وَعَنْ أَنَسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءُونَ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ. )أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ وَسَنَدُهُ قَوِيٌّ(
Dari Anas ra berkata, “Rasulullah saw bersabda, “setiap anak adam pasti bersalah dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang selalu bertaubat” (HR at Tirmidzi & Ibnu Majah, sanadnya kuat. Menurut Muhammad Nashirudin Al Albani Hadits ini hasan, shahih at Tirmidzi 2499)
Khataaun artinya (كَثِيرُو الْخَطَأِ إذْ هُوَ صِيغَةُ مُبَالَغَةٍ) banyak melakukan kesalahan, ini adalah bentuk sighat mubaalaghah.
Kandungan Hadits
وَالْحَدِيثُ دَالٌّ عَلَى أَنَّهُ لَا يَخْلُو مِنْ الْخَطِيئَةِ إنْسَانٌ لِمَا جُبِلَ عَلَيْهِ هَذَا النَّوْعُ مِنْ الضَّعْفِ وَعَدَمِ الِانْقِيَادِ لِمَوْلَاهُ فِي فِعْلِ مَا إلَيْهِ دَعَاهُ وَتَرْكِ مَا عَنْهُ نَهَاهُ.
Hadits ini menunjukkan bahwa seorang manusia pasti tidak akan terlepas dari kesalahan, karena manusia memiliki tabiat yang lemah & ada kecenderungan untuk tidak mematuhi aturan yang telah diperin-tahkan Allah serta ada keengganan untuk meninggalkan larangan-Nya.
وَلَكِنَّهُ تَعَالَى بِلُطْفِهِ فَتْحَ بَابَ التَّوْبَةِ لِعِبَادِهِ وَأَخْبَرَ أَنَّهُ خَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ الْمُكْثِرُونَ لِلتَّوْبَةِ عَلَى قَدْرِ كَثْرَةِ الْخَطَأِ. وَفِي الْأَحَادِيثِ أَدِلَّةٌ عَلَى أَنَّ الْعَبْدَ إذَا عَصَى اللَّهَ وَتَابَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ.
Akan tetapi atas Rahmat Allah ta’ala, Allah membukakan pintu taubat bagi para hamba dan mengatakan bahwa sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang mau bertaubat dan senantiasa bertaubat dari segala kesalahannya. Hadits ini juga merupakan bukti bahwa apabila seorang hamba melakukan perbuatan maksiat, lantas ia bertaubat, maka Allah pasti akan menerima taubatnya dan demikian seterusnya.
Syarat Taubat
Sebagian besar fuqoha dan ahli tafsir menyebutkan bahwa taubat memiliki 4 syarat,[1]
meninggalkan perbuatan maksiat tersebut,
الإِقْلاَعُ عَنِ المَعْصِيَةِ حَالاً
menyesali atas perbuatan dosanya pada masa lalu,
النَدْمُ عَلَى فِعْلِهَا فِي المَضِى
bertekad dengan tekad yang kuat untuk tidak mengulangi perbuatan yang sama selamanya.
العَزْمُ عَزْمًا جَزِمًا أَنْ لاَ يَعُودَ إلىَ مِثْلِهَا أَبَدَا
Apabila kemaksiatan itu berhubungan dengan hak-hak orang lain, maka disyaratkan pula mengganti kedholiman yang telah diperbuatnya dan meminta ampun ampun kepada yang telah di dholimi.
إِنْ كَانَتِ المَعْصِيَةُ تَتَعَلَّقُ بِحَقٍّ آدَمِيٍ، فَيُشْتَرَطُ فِيْهَا رَدُّ المُظَلِمِ إِلَى أَهْلِهَا أَوْ تَحْصِلُ البَرَاءَةِ مِنْهُم.
[1] al bada-i’ 7/96, al fawakih ad diwani 1/88-89, haasiyatul qalyubi 4/102, al mughni 9/201, al adaab asy syar’iyyah 1/100, tafsir al alusi 28/109