Tadabbur Ayat 12-13 Surat al-Mumthahanah
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لَا يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِينَ وَلَا يَقْتُلْنَ أَوْلَادَهُنَّ وَلَا يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ وَلَا يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (12)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَوَلَّوْا قَوْمًا غَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ قَدْ يَئِسُوا مِنَ الْآخِرَةِ كَمَا يَئِسَ الْكُفَّارُ مِنْ أَصْحَابِ الْقُبُورِ (13)
Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 12
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan penolongmu kaum yang dimurkai Allah, sesungguhnya mereka telah putus asa terhadap negeri akhirat sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada dalam kubur berputus asa. 13
Sebab Turunnya Ayat 12
Ayat ini diturunkan pada hari penaklukan (fathu makkah) ketika Rasulullah selesai membai’at laki-laki ia mengambil bai’at dari para wanita.[1]
Sebab Turunnya Ayat 13
Diriwayatkan dari ibnul mundzir dari ibnu abbas berkata:
كان عبد الله بن عمر، وزيد بن الحارث يوادّان رجلا من يهود، فأنزل الله: يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَوَلَّوْا قَوْماً غَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ الآية
adalah abdullah bin umar dan zaid bin al harits bersahabat karib dengan seorang laki-laki yahudi. Maka kemudian Allah menurunkan ayat ini.[2]
Hikmah Dari Ayat
Bai’at Dalam Keimanan & Balasannya.
Bai’at adalah suatu ikatan yang disertai dengan adanya transaksi.[3] Ayat ini menjelaskan kepada Rasulullah saw perkara-perkara yang diajukan dalam bai’at tersebut dan bagaimana cara beliau untuk membai’at para wanita tersebut dalam keimanan kepada-Nya. Imam Bukhari meriwayatkan,
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا ابْنُ أَخِي ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عَمِّهِ قَالَ: أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَخْبَرَتْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَمْتَحِنُ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ بِهَذِهِ الْآيَةِ: {يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ} إِلَى قَوْلِهِ: {غَفُورٌ رَحِيمٌ} قَالَ عُرْوَةُ: قَالَتْ عَائِشَةُ: فَمَنْ أَقَرَّ بِهَذَا الشَّرْطِ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ، قَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "قَدْ بَايَعْتُكِ"، كَلَامًا، وَلَا وَاللَّهِ مَا مَسَّتْ يَدُهُ يَدَ امْرَأَةٍ قَطّ فِي الْمُبَايَعَةِ، مَا يُبَايِعُهُنَّ إِلَّا بِقَوْلِهِ: "قَدْ بَايَعْتُكِ عَلَى ذَلِكَ"
Ya’qub bin Ibrahim memberitahu kami, putera saudaraku, ibnu syihab memberitahu kami, dari pamannya, ia bercerita. “urwah memberitahuku bahwa ‘Aisyah ra, isteri nabi saw pernah memberitahukan kepadanya bahwa Rasulullah saw telah menguji kaum wanita mukminah dengan ayat ini (al mumthohanah 12). Urwah bercerita bahwa Aisyah berkata: “wanita mukminah yang mau menerima persyaratan ini, Rasulullah saw akan berkata kepadanya: “sesungguhnya aku telah memba’iatmu,” Beliau hanya mengucapkan kata-kata itu saja dan demi Allah, tangan beliau sama sekali tidak bersentuhan dengan seorang wanitapun dalam bai’at tersebut. Rasulullah saw tidak membai’at mereka melainkan hanya dengan mengatakan: “sungguh aku telah membai’atmu atas hal itu.”[4]
Al Qusyairi menjelaskan secara ringkas bahwa ayat ini memerintahkan kepada Rasul untuk membai’at mereka,
إذا جاءك النساء يبايعنك على الإسلام فطالبهنّ وشارطهنّ بهذه الأشياء. ترك الشّرك، وترك السرقة والزنا وقتل الأولاد والافتراء في إلحاق النّسب، وألا يعصينك في معروف
Jika datang kepadamu wanita-wanita (yg berhijrah) bai’atlah mereka atas keislaman, maka tuntutlah mereka dan berikan mereka syarat dengan perkara-perkara ini, tinggalkan syirik, mencuri, berzina, membunuh anak-anak, berbohong dalam penentuan nasab serta larangan mendurhakai engkau dalam kebaikan.[5]
Sayyid Quthb menuliskan bahwa ayat ini meletakkan dasar bagi tegaknya bangunan aqidah dan kehidupan sosial yang baru.[6]
Larangan melakukan kemusyrikan adalah perintah yang sangat orisinal dari Allah, sebab berhala dalam segala bentuknya adalah sumber dari segala kerusakan manusia. Larangan berikutnya berisi prinsip-prinsip dasar kehidupan keluarga dan bermasyarakat, yang menurut sayyid quthb merupakan sebuah isyarat hal yang terjadi pada masa jahiliyyah itulah yang menghancurkan kehidupan mereka.[7] Syarat terakhir adalah perjanjian untuk menaati Rasulullah saw dalam setiap perkara kebaikan, ini mencerminkan prinsip dasar kehidupan bernegara.
Kaidah tidak ada ketaatan atas seorang pemimpin kecuali dalam kebaikan menjadikan kekuasaan dan kepemimpinan haruslan bersumber dari syari’at Allah. Tidak berdasar atas keinginan pemimpin maupun keinginan rakyat sementara hal itu bertentangan dengan syari’at Islam.
Penggalan akhir pada ayat ke 12 ini menggambarkan balasan yang diterima bagi orang-orang yang diterima bai’atnya adalah Rasulullah memintakan ampunan bagi mereka kepada Zat yang Maha Pengampun atas segala kesalahan mereka yang telah lampau. Dan Allah Maha mengampuni, memberi rahmat dan menghapus segala dosa.[8]
Larangan Menjadikan Selain Muslim Sebagai Wali.
Wali yang berarti an nashiir dan al ma’iin yaitu penolong dan pembantu.[9] Menurut al Qurthubi, al baghawi, ath thobari yang dimaksudkan adalah orang yahudi.[10] Sedangkan menurut az zuhaili yang dimaksud adalah yahudi, nashrani dan semua orang-orang kafir.[11] Pendapat semisal juga dikemukakan oleh Ibnu Katsir dan sayyid quthb meskipun dalam banyak riwayat bahwa yang dimaksud kaum yang dimurkai adalah yahudi, namun hal ini tidak menafikan keumuman nash yang meliputi semua musuh-musuh Allah. Karena mereka semua berputus asa dari kehidupan akhirat dan tidak memperhitungkannya sebagai-mana putus asanya orang-orang kafir dalam quburnya.[12]
Mengangkat orang kafir sebagai wali, berkasih sayang dengan mereka haram hukumnya. sebagaimana tidak adanya hubungan antara seorang muslim dengan kafir dalam hal kekuasaan dan warisan. Ibnu Abbas mengatakan,
نهى الله المؤمنين أن يلاطفوا الكفار، أو يتخذوهم وليجة من دون المؤمنين.
Allah melarang orang beriman untuk berkasih sayang dengan orang kafir atau mengangkat mereka sebagai sahabat karib selain orang-orang beriman.[13]
Termasuk dalam hal ini sebagian ulama berpendapat bahwa mengangkat orang kafir untuk menangani urusan ummat Islam tidak di bolehkan. Sebagaimana tidak dibolehkannya menghormat dan mengagungkannya dalam majlis-majlis, karena sesungguhnya orang-orang musyrik itu adalah najis (9:28).[14]
Allah melengkapi dalil atas larangan menjadikan musuh-musuhnya sebagai wali adalah karena mereka itu orang yang berputus asa dari kehidupan akhirat. Mereka itulah orang-orang yang miskin dari tujuan hidupnya. Keputusasaan mereka itu diibaratkan sebagaimana orang kafir meninggal yang melihat serta mengetahui balasan yang akan diterimanya.[15]
Wallahu a’lam
[1] Wahbah zuhaili: tafsir al munir 28/151
[2] Ibid, 28/152. Jalaludin as suyuthi: dar al mantsur 8/144.
[3] Ibrahim Musthofa et.al: al mu'jam al wasith 79.
[4] Shohih Bukhari 4891. Lihat juga al Baghawi: ma’alim at tanziil fi tafsir al qur’an 5/73, Ismail Haqi: ruuh al bayan 9/491. Asy syaukani: fath al qadir 5/259
[5] Abdul karim al qusyairi: lathoif al isyarot 3/574
[6] Sayyid Quthb: fi dzilal al qur’an 6/3547
[7] idem
[8] idem
[9] Wahbah az zuhaili: tafsir al munir 3/198
[10] Lihat al Qurthubi: al Jami’ li ahkam al Qur’an 18/76. Al Baghawi: ma’alim at tanzil fi tafsir al qur’an, Ibnu Jarir ath Thobari: jami’ al bayan an ta’wil li ayy al qur’an 23/346.
[11] Wahbah az zuhaili: tafsir al munir 28/155
[12] Sayyid Quthb: fi dzilal al qur’an 6/3548, Ibnu Katsir: Tafsir al qur’an al adzhim 8/103
[13] Lihat ath Thobari : jami’ al bayan an ta’wil li ayy al qur’an 6/313, al jashas: ahkam al qur’an 2/288, al kayya alhirasy: ahkam al qur’an 2/283-384, al qurthubi: al jami’ li ahkam al qur’an 4/57, ibnu katsir: tafsir al qur’an al adzhim 2/30, asy syaukani: fath al qadir 1/380, as sayis: tafsir ayat al ahkam 1/190.
[14] Ash shobuni: rowai’ al bayan 1/403.
[15] Mujahid bin Jabr: Tafsir Mujahid 1/657.