Wali Orang-Orang Beriman



1. Teks Ayat
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu). Ali Imran 28.[1]

2. Sebab Turunnya Ayat
Al Qurthubi menuliskan dalam tafsirnya sebuah riwayat dari adh dhohak dari Ibnu ‘Abbas sebagai berikut,
أَنَّ هَذِهِ الْآيَةَ نَزَلَتْ فِي عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ الْأَنْصَارِيِّ وَكَانَ بَدْرِيًّا تَقِيًّا وَكَانَ لَهُ حِلْفٌ مِنَ الْيَهُودِ، فَلَمَّا خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْأَحْزَابِ قَالَ عُبَادَةُ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، إِنَّ مَعِي خَمْسَمِائَةِ رَجُلٍ مِنَ الْيَهُودِ، وَقَدْ رَأَيْتُ أَنْ يَخْرُجُوا مَعِي فَأَسْتَظْهِرُ بِهِمْ عَلَى الْعَدُوِّ. فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى:" لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكافِرِينَ أَوْلِياءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ"
bahwa ayat ini diturunkan tentang ‘Ubadah bin ash shomit al anshari seorang ahli badar. Ia memiliki sahabat dari kalangan Yahudi. Ketika Nabi Muhammad saw keluar pada saat perang Ahzab ia berkata, Ya Nabiyullah, aku memiliki sahabat orang Yahudi sebanyak 500 orang, dan aku menganggap perlu kalau mereka itu mau keluar bersamaku untuk menghadapi musuh. Kemudian Allah menurunkan Ayat ini, “janganlah orang-orang beriman mengangkat orang-orang kafir sebagai wali dengan meninggalkan orang-orang  beriman.” Al Jami’ li Ahkam al Qur’an 4/58)[2]

3. Tafsir Ayat
Pengertian Wali
Aulia adalah bentuk jamak dari wali yang berarti an nashiir dan al ma’iin yaitu penolong dan pembantu. Tafsir al Muniir 3/198 sedangkan al muwalah berarti,
المعاشرة الجميلة في الدنيا بحسب الظاهر
Bergaul dengan baik di dunia dengan pertimbangan lahiriyah as sais: tafsir ayat al ahkam 1/191
Ibnu Jarir menuliskan sebuah riwayat dari mutsanna, dari Abdullah bin sholih, dari mu’awiyyah dari ali dari ibnu abbas ia berkata bahwa maksud kalimat “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.” adalah,
نهى الله سبحانه المؤمنين أن يُلاطفوا الكفار أو يتخذوهم وليجةً من دون المؤمنين، إلا أن يكون الكفارُ عليهم ظاهرين، فيظهرون لهم اللُّطف، ويخالفونهم في الدين.
Allah subhanahu wa ta’ala melarang orang beriman berlemah lembut kepada orang-orang kafir atau mengambil mereka sebagai teman setia hingga meninggalkan orang-orang mukmin, kecuali hanya menunjukkannya secara lahiriah semata dan meningkari mereka dalam urusan agama. Jami’ al bayan an ta’wil li ayy al qur’an 6/313

Pengertian Taqiyah
Ash shobuni menuliskan dalam tafsirnya bahwa taqiyah berarti kondisi seorang manusia yang menjaga dirinya dari kejahatan yang mungkin menimpa dirinya shafwah at tafasir 1/176. Sehingga  mencari keselamatan dengan bersiasat. Kondisi ini dikarenakan lemahnya muslim di suatu negeri.az zuhaili: tafsir al munir 3/179.
ibnu Abbas mengatakan taqiyyah itu adalah
هُوَ أَنْ يَتَكَلَّمَ بِلِسَانِهِ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ
bersiasat dengan lisan sedangkan hati mereka tenang dalam keimanan. Hal ini pernah terjadi pada masa-masa awal Islam, Sebagaimana perkataan mu’adz bin jabal dan mujahid,
كَانَتِ التَّقِيَّةُ فِي جِدَّةِ الْإِسْلَامِ قَبْلَ قُوَّةِ الْمُسْلِمِينَ، فَأَمَّا الْيَوْمُ فَقَدْ أَعَزَّ اللَّهُ الْإِسْلَامَ أَنْ يَتَّقُوا مِنْ عَدُوِّهِمْ
Kami melakukan taqiyah pada awal-awal Islam sebelum ummat Islam memiliki kekuatan, adapun pada hari Allah memuliakan Islam maka kami menjadi berani atas musuh-musuh.[3]

4. Kandungan Hukum· 

Mengangkat orang kafir sebagai wali
Mengangkat orang kafir sebagai pemimpin, wali, berkasih sayang dengan mereka haram hukumnya sebagaimana dalil ayat ini. sebagaimana tidak adanya hubungan antara seorang muslim dengan kafir dalam hal kekuasaan dan warisan. Ibnu Abbas mengatakan,
نهى الله المؤمنين أن يلاطفوا الكفار، أو يتخذوهم وليجة من دون المؤمنين.
Allah melarang orang beriman untuk berkasih sayang dengan orang kafir atau mengangkat mereka sebagai sahabat karib selain orang-orang beriman.[4]

Meminta Pertolongan Kepada Selain Ummat Islam Dalam Memerangi Musuh
Para fuqaha berbeda pendapat tentang dibolehkannya memohon pertolongan kepada orang musyrik dalam memerangi musuh. Kalangan  hanafiyah dan hanabilah dan syafi’iyyah selain ibnul mundzir dan ibnu hubaib dari malikiyah. Sebagaimana riwayat dari imam Malik bahwa dibolehkannya meminta bantuan kepada selain orang Islam ketika sangat dibutuhkan. Maushu’at fiqhiyyah 16/146
Dari kalangan Syafi’iyyah dan Hanabilah memberikan syarat bahwa imam yang mengambil keputusan tersebut harus terkenal baik oleh ummat Islam, dan diyakinkan aman dari pengkhianaan mereka. Kemudian Syafi’iyyah menambahkan syarat bahwa jumlah ummat Islam harus lebih banyak, sehingga jika terjadi pengkhianatan mereka masih bisa menyelesaikan masalahnya. Maushu’at fiqhiyyah 16/146
Al Mawardi memberikan syarat bahwa yang dimintai pertolongan itu harus berbeda keyakinan dengan musuh. Menurut Malikiyah selain ibnu Hubaib dan sekelompok dari ahli ilmu diantara mereka ibnul mundzir dan az zauzajaniy berpendapat tidak boleh meminta pertolongan kepada orang musyrik.[5]
Sedangkan meminta pertolongan kepada ahli kitab, maka kalangan syafi’iyyah berpendapat dibolehkan mengontrak mereka, karena mereka tidak berhak mendapatkan ghanimah dari perang tersebut. Nihayah al muhtaj 8/62-63

Mengangkat Orang Kafir Untuk Menangani Urusan Ummat Islam.
Sebagian ulama berpendapat bahwa mengang-kat orang kafir untuk menangani urusan ummat Islam tidak di bolehkan. Sebagaimana tidak dibolehkannya menghormat dan mengagung-kannya dalam majlis-majlis, karena sesungguh-nya orang-orang musyrik itu adalah najis (9:28). As shobuni: rowaiul bayan 1/403

Bersiasat Demi Melindungi Diri
Bersiasat dalam keadaan darurat demi melindungi diri dari ancaman dibenarkan dalam Islam sebagaimana dalil ayat ini dan surat an nahl 106,
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar.
Kondisi seperti ini pernah terjadi di masa Rasulullah saw ketika dua orang sahabat tertangkap oleh musailamah al kadzab. Al Hasan berkata,
أَخَذَ مُسَيْلِمَةُ الْكَذَّابُ رَجُلَيْنِ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِأَحَدِهِمَا: أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ؟ قَالَ: نَعَمْ نَعَمْ نَعَمْ، فَقَالَ: أَفَتَشْهَدُ أَنِّي رَسُولُ اللَّهِ؟  قَالَ: نَعَمْ، وَكَانَ مُسَيْلِمَةُ يَزْعُمُ أَنَّهُ رَسُولُ بَنِي حَنِيفَةَ، وَمُحَمَّدٌ رَسُولُ قُرَيْشٍ، فَتَرَكَهُ وَدَعَا الْآخَرَ فَقَالَ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: أَفَتَشْهَدُ أَنِّي رَسُولُ اللَّهِ؟ فَقَالَ: إِنِّي أَصَمُّ ثَلَاثًا، فَقَدَّمَهُ وَقَتَلَهُ فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم، فقال: أَمَّا هَذَا الْمَقْتُولُ فَمَضَى عَلَى يَقِينِهِ وَصِدْقِهِ فَهَنِيئًا لَهُ، وَأَمَّا الْآخَرُ فَقَبِلَ رُخْصَةَ اللَّهِ فَلَا تَبِعَةَ عَلَيْهِ.
Musailamah menangkap dua orang sahabat Nabi saw, lalu ia berkata kepada salah seorang diantara mereka berdua itu: apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah? Ia menjawab: benar, benar, benar. Musailamah bertanya lagi: apakah engkau bersaksi bahwa aku juga utusan Allah? Iapun menjawab: benar. Musailamah menganggap ia rasul bagi suku hanifah dan Muhammad adalah rasul suku quraisy, maka Musailamah melepaskan orang tersebut dan memanggil yang lainnya. Ia bertanya apakah engkau meyakini bahwa Muhammad itu utusan Allah? Ia menjawab: benar. Lalu bertanya lagi: apakah engkau meyakini bahwa aku juga utusan Allah? Ia menjawab sesungguhnya aku bisu, ini diucapkannya hingga 3 kali. Maka dibunuhlah ia. Kemudian sampailah berita ini kepada Rasulullah saw. Lalu ia bersabda; “adapun orang yang terbunuh ia telah melaksanakan keyakinan dan kebenarannya maka berbahagialah ia. Adapun yang seorang lagi maka ia menerima suatu keringanan dari Allah, karenanya ia tidak disiksa.”[6]
Al Hasan berkata bahwa taqiyyah dibolehkan bagi orang beriman hingga hari kiamat.[7] Berbeda dengannya, Al Qurthubi mengingkari adanya taqiyyah berdasarkan perkataan Mu’adz bin Jabar sebagaimana ia dan ar razi nisbahkan kepada mujahid,
كَانَتِ التَّقِيَّةُ فِي جِدَّةِ الْإِسْلَامِ قَبْلَ قُوَّةِ الْمُسْلِمِينَ، فَأَمَّا الْيَوْمُ فَقَدْ أَعَزَّ اللَّهُ الْإِسْلَامَ أَنْ يَتَّقُوا مِنْ عَدُوِّهِمْ
Kami melakukan taqiyah pada awal-awal Islam sebelum ummat Islam memiliki kekuatan, adapun pada hari Allah memuliakan Islam maka kami menjadi berani atas musuh-musuh.[8]
As Sarakhsi mengatakan bahwa taqiyyah adalah bagian dari nifaq. al mabsuth 24/45

5.Kesimpulan
Ayat ini menunjukkan larangan mengangkat orang kafir sebagai wali maupun pemimpin hingga menyampingkan orang beriman.
Bersiasat demi menyelamatkan diri dari ancaman kejahatan  orang-orang kafir diboleh-kan sekalipun teguh dalam pendirian adalah lebih utama.

Wallahu a’lam

  1. Wahbah az zuhaili menuliskan dalam tafsirnya bahwa ayat yang semakna dengan perngertian ini banyak ditemukan dalam al qur’an, yaitu Ali Imran 118, al mujadalah 22, al maidah 51, an nisa 144, al mumthanah 1, al anfal 73 dan at taubah 71.
  2. Lihat juga ats tsa’laby: al kasyaf al bayan an tafsir al qur’an 3/47, Nidzhomuddin Hasan an Naisabury: gharaib al qur’an wa raghaib al furqan 2/139, Wahbah musthofa az zuhaili: tafsir al munir fi al aqidah wa asy syari’at wa al minhaj 3/198.  
  3. Lihat al Qurthubi: al Jami’ li ahkam al qur’an 4/57. Ibnu Abi Hatim : tafsir al qur’an al adzhim 11/204. Ath thobari: jami’ al bayan an ta’wil li ayy al qur’an 6/315
  4. Lihat ath Thobari : jami’ al bayan an ta’wil li ayy al qur’an 6/313, al jashas: ahkam al qur’an 2/288, al kayya alhirasy: ahkam al qur’an 2/283-384, al qurthubi: al jami’ li ahkam al qur’an 4/57, ibnu katsir: tafsir al qur’an al adzhim 2/30, asy syaukani: fath al qadir 1/380, as sayis: tafsir ayat al ahkam 1/190.
  5. Lihat Ibnu ‘Abidin 3/235, al mabsuth 10/33, fath al qadir 5/242, al mudawanah 3/40, mughni al muhtaj 4/221, raudhah ath tholibin 10/239, al mughni 8/414, kasyaf al qana’ 3/48.
  6. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 12/308 dari jalur yunus dari hasan al bashri. Hadits ini mursal. Hadits ini banyak dikemukakan oleh para mufassir ketika menafsirkan surat an nahl 106, diantaranya,  al jami’ li ahkam al qur’an 10/189, fath al qadir 3/237, jami’ al bayan an ta’wil li ayy al qur’an 20/505, tafsir ibnu katsir 4/606.
  7. Ad dar al mansur 5/182, ar razi 8/28, fath al baari 12/112.
  8. al qurthubi: al jami’ li ahkam al qur’an 4/57, ar razi 8/14.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

2 komentar