GERAK DA'WAH



وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shaleh dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?" ( al Fushilat 33)

Kebusukan, kerapuhan atau kerusakan adalah keniscayaan dari sebuah apatisme. Dahan kayu akan  menjadi rapuh karena terhentinya gerak pertumbuhan, air diam menggenang yang membusuk bahkan kehilangan sifat asasinya; suci dan menyucikan.

Bagi para pelaku dakwah, retorika “siapakah yang lebih baik…” seharusnya membangkitkan semangat para aktivis da’wah akan janji kemenangan dan kemuliaan hidup. Al Hasan[1] menggambarkan karakter orang-orang tersebut “هُوَ الْمُؤْمِنُ الَّذِي أَجَابَ اللَّهَ فِي دَعْوَتِهِ، وَدَعَا النَّاسَ إِلَى مَا أَجَابَ إِلَيْهِ، وَعَمِلَ صَالِحًا فِي إِجَابَتِه” mereka adalah Mukmin yang mengijabah panggilan Allah, mengajak manusia kepadanya dan beramal sholeh dalam melaksanakan panggilan tersebut.

Jika kemanusiaan telah teronggok, terjagal oleh kebebasan berfikir dan berekspresi, pelecehan Tuhan, zina, khamr, dan segala bentuk dusta lainnya kemudian tak seorang pun peduli maka biarlah kita yang menanggungnya sebahagian demi sebahagian, sekuat pundak yang telah Allah anugerahkan dan segenap cinta telah Allah semayamkan di hati.  Sungguh “Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar” (al fushilat 35).

Demikianlah gerak da’wah, ia tidak lahir dari arogansi, kesombongan dan perasaan diri lebih baik dari seorang aktivis da’wah atas objek da’wahnya atau bahkan sesamanya. Melainkan harokah (gerak) yang lahir karena rasa kepedulian dan cinta kepada bangsa, dan menginginkan kebaikan bagi sesama. Jika diutusnya Nabi Muhammad SAW adalah anugerah terindah dan teragung bagi manusia, maka gerak da’wah adalah gerak terindah bagi manusia. Demikianlah Sayyid Quthb[2] menafsirkan gerakan yang dilakukan oleh khoiru ummah (ummat terbaik), “إنها حركة خفية المسرى، لطيفة الدبيب. حركة تخرج على مسرح الوجود أمة. أمة ذات دور خاص. لها مقام خاص، ولها حساب خاص” Ia adalah suatu gerakan yang halus yang rahasia, suatu gerakan yang indah yang merayap perlahan, namun gerakan ini sanggup mengeluarkan ummat kepentas dunia, ummat yang memiliki peranan khusus, maqam khusus dan hisab yang khusus pula.

Khairu ummah dilahirkan untuk memenangkan pertarungan dunia dan meraih kemuliaan akhirat. Kekuatan visi, kebersamaan langkah, keikhlasan pemimpin, ketaatan kader dan kesungguhan berkorban semua pihak menjadi prasyarat.

Tahapan dan Amaliyah Da’wah

Pentahapan adalah sunnah Allah atas makhluk-Nya, pertumbuhan manusia, tumbuhan, hewan hingga turunnya risalah semuanya melalui proses tersebut  “وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا” Dan Al Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian (al isra 106).

Wajib bagi setiap aktivis da’wah untuk bersikap lemah lembut dan melakukan pendekatan da’wah secara bertahap. Rasulullah SAW bersabda [3] “إِنَّ هَذَا الدِّينَ مَتِينٌ فَأَوْغِلْ فِيهِ بِرِفْقٍ” sesungguhnya agama ini kokoh maka tanamkanlah ia dengan lemah lembut. Pentahapan da’wah juga memungkinkan terbentuknya karakter objek da’wah secara kokoh.

Da’wah terbagi dalam 3 tahapan yaitu ta’rif, takwin dan tanfidz. Hasan al Banna[4] menjelaskan prinsip Ikhwan bahwa setiap langkah da’wah harus melalui tiga fase tersebut. Fase ta’rif adalah “مرحلة الدعاية والتعريف والتبشير بالفكرة وإيصالها إلى الجماهير من طبقات الشعب” fase penyampaian, pengenalan dan penyebaran fikrah, sehingga tersebar kepada masyarakat dari berbagai strata sosial. Fase takwin adalah “مرحلة التكوين وتخير الأنصار وإعداد الجنود وتعبئة الصفوف من بين هؤلاء المدعوين” fase pembentukan dan penseleksian terhadap aktivis yang sudah terekrut, mengordinasikan serta menggerakkannya untuk menjalin hubungan dengan objek da’wah. Fase Tanfidz adalah “مرحلة التنفيذ والعمل والإنتاج” fase pelaksanaan program, pengamalan menuju keberhasilan da’wah.

Lebih lanjut Hasan al Banna menjelaskan bahwa ketiga fase ini berjalan beriring, karena kesatuan da’wah dan saling keterkaitan antara fase da’wah tersebut. Seorang aktivis yang melakukan tabligh, pada saat lain ia mentarbiyyah mad’u untuk menyeleksi mereka sekaligus melakukan amaliah tanfidz.

Musthofa Muhammad Thahhan[5] menjelaskan dengan lebih rinci tahapan dan amaliyah da’wah sebagai berikut,

At Ta’riif
Penyebaran gagasan umum Islam dikalangan masyarakat “نشر الفكرة العامة بين الناس”
Pengaturan da’wah pada marhalah ini bersifat hubungan keadministrasian “ونظام الدعوة في هذه المرحلة نظام الجمعيات الإدارية”
Misi amal untuk kebaikan umum  “ومهمتها العمل للخير العام”
Menggabungkan sarana khutbah dan bimbingan keislaman dengan menegakkan kegiatan-kegiatan yang menguntungkan “ووسيلتها الوعظ والإرشاد تارة، وإقامة المنشآت النافعة تارة أخرى”

At Takwin
Menghasilkan komponen yang siap untuk menanggung beban da’wah, saling menanggung satu sama lain ” باستخلاص العناصر الصالحة لحمل أعباء الجهاد، وضم بعضها إلى بعض”
Pengaturan da’wah pada marhalah ini adalah sufi murni secara ruhiyyah dan kedisiplinan militer secara amaliyyah “ونظام الدعوة صوفي بحت من الناحية الروحية، وعسكري بحت من الناحية العملية”

At Tanfiidz
Da’wah pada fase ini adalah panggilan perjuangan yang tanpa henti dan bekerja terus menerus hingga mencapai tujuan akhir “والدعوة في هذه المرحلة جهاد لا هوادة معه، وعمل متواصل في سبيل الوصول إلى الغاية”

Seruan Da’wah Kami
Al Quran adalah cahaya yang menerangi kegelapan dunia, ia diturunkan dengan ajaran yang berisi seluruh perangkat perbaikan sosial yang komprehensif. Risalah ini Allah unggulkan dengan segala sesuatunya. Demikian pula da’wah, ia bertujuan melakukan perbaikan sosial dalam kehidupan manusia secara komprehensif. Berikut 3 hal diantara tujuan da’wah yang terdapat dalam al Qur’an.

Pertama, Memuliakan manusia. Allah ta’ala telah memuliakan manusia dengan menjadikannya sebaik-baik bentuk (ahsani taqwin) serta melimpahkan rezeki bagi manusia di dunia. Namun sebagian manusia tidak bersyukur dan menentang Allah hingga lahirlah spesies baru manusia,

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. ( al a’raf 179)
Da’wah bertujuan mengembalikan kemuliaan martabat manusia sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya di muka bumi.

Kedua, Menjadi manusia rabbani, yang senantiasa belajar dan mengajarkan al Qur’an dan Sunnah.
وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
“…Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (ali Imran 79).

Ketiga, Memperkuat persaudaraan,
وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.
Hasbunallah wa ni’mal wakiil

[1] Abu Muhammad al Baghawi : Ma’alim at Tanziil fi Tafsiir al Qur’an, Beirut : Daar Ihya at Turats al ‘Araby, 1420 H, Juz 4, hlm 133.
[2] Sayyid Quthb: Fii Dzilal al Qur'an, Beirut: Daar Asy Syuruq. 1412 H, jilid 1, hlm 447.
[3] Ahmad bin Hanbal : al Musnad, Beirut: Muassasah ar Risalah, 1421 H, Juz 20, hlm 346, hadits ke 13502.
[4] Hasan al Banna : Majmu’ah Rasail al Imam Hasan al Banna, Mesir : Daar ad Da’wah, tt, Juz 1, hlm 134.
[5] Musthofa Muhammad Thahhan : al Fikru al Islamy al Wasith; Diraastu fi Fikri al Ikhwani al Muslimin, Kuwait :  1423 H, hlm 210-211.

Menjaga Keselamatan Diri & Keluarga



Tadabbur surat at Tahrim ayat 6

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

Seruan bagi orang beriman
Ibnu Mas’ud ra berkata,[1] “إِذْا قَالَ اللَّهُ يا أيها الذين آمنوا فَارَعَهَا سَمَعَكَ فَإِمَّا خَيْرَ تُؤْمَرَ بِهِ أَوْ شَرَّ تَنْهَى عَنْهُ” jika Allah menyebut wahai orang-orang yang beriman maka dengarkanlah perintah-Nya apakah kebaikan yang kalian diwajibkan dengannya atau keburukan yang kalian dilarang darinya.

Perintah menjaga keselamatan diri dan keluarga
Pendapat-pendapat tentang makna “peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”,
Ali bin Abi Thalib ra[1] : “أدّبوهم، علموهم” didiklah mereka dan ajarilah mereka.

Ibnu Abbas ra[2] : “قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأْمُرُوا أَهْلِيكُمْ بِالذِّكْرِ وَالدُّعَاءِ حَتَّى يَقِيَهُمُ اللَّهُ بِكُمْ” peliharalah diri kalian dan perintahkanlah keluarga kalian untuk berdzikir dan berdo’a hingga Allah menjaga kalian.

Mujahid bin Jabir[3] : “اتقوا الله، وأوصوا أهليكم بتقوى الله” bertaqwalah kepada Allah dan berwasiatlah kepada keluarga kalian untuk bertaqwa kepada Allah.

Rasulullah saw bersabda[4] : “مُرُوا الصَّبِيَّ بِالصَّلَاةِ إِذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِينَ، فَإِذَا بَلَغَ عَشْرَ سِنِينَ فَاضْرِبُوهُ عَلَيْهَا” perintahkanlah anak kecil untuk sholat jika ia mencapai tujuh tahun, jika ia mencapai sepuluh tahun maka pukullah ia (jika tidak sholat).

Bahan bakar neraka
Ibnu Katsir berpendapat[6] bahwa kata “وَقُودُ” bahan bakar tubuh manusia yang dilemparkan kedalamnya, sedangkan “الْحِجَارَةُ” adalah patung yang dijadikan sesembahan di dunia. Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al anbiya ayat 98 “إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ” Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah, adalah umpan Jahanam, kamu pasti masuk ke dalamnya.

Sifat malaikat
Ibnu Katsir berpendapat[7] karakter malaikat zabaniyyah itu sangat kasar karena dari hatinya telah dihilangkan rasa kasihan terhadap orang-orang yang kafir terhadap Allah. Susunan tubuh mereka keras, tebal dan penampilannya menakutkan.
Mereka sangat patuh terhadap perintah Allah, tidak pernah menangguhkan meski hanya sekejap mata, tidak ada cela dan kelemahan mereka dalam melaksanakan tugas tersebut.

[1] Al Mawardi : An Nukat wal ‘Uyun, 6/43.
[2] Abu Ja’far ath Thobari : Jami’ul Bayan an Ta’wil li Ayyil Qur’an, 23/491
[3] Syamsuddin al Qurthubi : al Jami’ li Ahkamil Qur’an, 18/194
[4] Ath Thobari, 23/492.
[5] Al Musnad 3/403, Sunan Abu Dawud 494, sunan at tirmidzi 407.
[6] Ibnu Katsir: Tafsir al Qur’an al Adzhim, 8/167
[7] Ibid, 8/168

Tepat Dalam Memberikan Nasihat



Menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf, ia berkata: mengabarkan kepada kami Sufyan dari al A’masy, dari Abu Waa-il, dari Ibnu Mas’ud ra, ia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَخَوَّلُنَا بِالْمَوْعِظَةِ فِي الأَيَّامِ، كَرَاهَةَ السَّآمَةِ عَلَيْنَا
Bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam selalu memperhatikan bagi kami untuk memberikan nasihat, karena beliau takut akan merasa bosan.

Referensi Hadits
1. al Bukhari : Shahih al Bukhari, Bab ma kaana an Nabiyyu sholallahu ‘alaihi wa sallam yatakhawwaluhum bil mau’idzhati wal ‘ilmi kay la yanfiru, hadits no 68, Juz 1/25.
2. Muslim : Shahih Muslim, dengan sanad yang berbeda, bab al ‘iqtishad fil mau’idzah, hadits no 2821, Juz 4/2172.
3. Muhammad bin Isa at Tirmidzi : Sunan at Tirmidzi, dengan sanad yang berbeda, bab ma ja-a fil fashohah wal bayan, hadits no 2855, juz                                            5/142.
4. Abu Dawud ath Thoyalisi : Musnad Abu Dawud, dengan sanad yang berbeda dan matan yang serupa, bab ma asnada Abdullah bin Mas’ud ra,  hadits no 253, juz 1/206.
5. Ahmad bin Hanbal : Musnad Ahmad bin Hanbal, dengan sanad yang berbeda, bab musnad Abdullah bin Mas’ud ra, hadits no 3581, juz 6/57.
6. an Nasaa-i : Sunan al Kubra, dengan sanad yang berbeda dan matan yang serupa, bab at Takhawal bil mau’idzhah, hadits no 5858, juz 5/383.
7. juga diriwayatkan oleh yang lainnya, seperti al bazzar dalam musnadnya 5/94, Abu Ya’la dalam musnadnya 8/445,  Ibnu Hibban dalam shahihnya 10/383, ath Thabrani dalam mu’jam al awsath 4/259, al Baihaqi dalam al Aadab 1/129, al Baghawi dalam syarh as sunnah 1/312 dan ibnu ‘Asakir dalam mu’jam as syuyukh 1/241.

Perawi Hadits

Ibnu Mas’ud adalah Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil bin Habib al Hudzali, Abu Abdurrahman. Beliau adalah salah seorang sahabat mulia dari kalangan angkatan pertama yang masuk Islam, dalam sebuah riwayat dia orang keenam yang masuk Islam. Beliau termasuk ahlul badar, ikut dalam perang uhud, khandaq dan bai’aturridhwan. Beliau termasuk salah seorang ulama besar dari kalangan sahabat.

Rasulullah saw sangat mencintai dan memuliakannya. Dia adalah pelayan Rasulullah yang amanah dan penjaga rahasianya, teman ketika mukim dan bepergian. Dia diperbolehkan menemui Rasullah saw setiap saat dan berjalan bersamanya. Dia membawakan siwak, sandal dan air untuk bersucinya Nabi saw. Hadits yang diriwayatkan darinya sebanyak 848 hadits.
Diangkat menjadi gubernur Kufah oleh Umar ibn Khattab. Beliau wafat di Madinah tahun 32 H dimasa kekhalifahan Utsman bin Affan, pada usia sekitar 60 tahun.

Makna Kata
يَتَخَوَّلُنَا : يتعهدنا مراعيا أوقات (memperhatikan bagi kami waktu yang sesuai), يُصْلِحنَا (menyesuaikan bagi kami), يتخذنا (memilihkan bagi kami).
الْمَوْعِظَة : النصيحة (nasihat) التنبيه (peringatan)
السَّآمَةِ : الملل ( jenuh / bosan ),  النفور( enggan / meninggalkan )

Pemahaman Hadits

1. Memperhatikan aspek waktu dalam memberikan nasihat. Al khattabi[1] berkata demikianlah maksud dari hadits ini “كَانَ يُرَاعِي الْأَوْقَاتَ فِي تَذْكِيرِنَا وَلَا يَفْعَلُ ذَلِكَ كُلَّ يَوْمٍ لِئَلَّا نَمَلَّ” bahwa Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa memperhatikan waktu dalam memberikan nasihat, Beliau tidak memberikan nasihat setiap hari agar kami tidak merasa bosan. Abu Ubaid al Harawi menceritakan dalam al gharibiin dari Abu Amru asy Syaibani bahwa yang benar adalah yatahawaluna dengan (ح) sehingga bermakna “يتطلب أحوالنا التي ننشط فيها للموعظة” memperhatikan kondisi kami ketika memberikan nasihat. Namun menurut al arnauth pendapat pertama lebih kuat.[2] meskipun demikian memperhatikan kondisi pendengar ketika hendak menyampaikan sebuah nasihat juga harus diperhatikan.

Termasuk dalam pengertian ini adalah memilih waktu yang yang telah disepakati, makna ini disampaikan oleh al ‘Ainiy[3] “أَن النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم كَانَ يعظ الصَّحَابَة فِي أَوْقَات مَعْلُومَة” bahwasanya Nabi saw memberikan nasihat bagi para sahabatnya pada waktu yang telah umum disepakati.

Memperhatikan aspek waktu juga berarti singkat, padat dan mudah dalam memberikan nasihat.
Dari Jabir bin Samurah ra, ia berkata “كُنْتُ أُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَوَاتِ فَكَانَتْ صَلَاتُهُ قَصْدًا، وَخُطْبَتُهُ قَصْدًا” aku shalat di belakang nabi saw, ternyata shalat dan khutbah beliau itu sedang-sedang saja.[4]

Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan matan yang berbeda, dari Jabir bin Samurah ra, ia berkata “كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُطِيلُ الْمَوْعِظَةَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، إِنَّمَا هُنَّ كَلِمَاتٌ يَسِيرَاتٌ” Rasulullah saw tidak lama dalam memberi pelajaran pada hari jum’at namun hanya kalimat-kalimat yang ringan / mudah.[5]

Dari Amr bin al Ash ra ia berkata, Rasulullah saw bersabda, “لَقَدْ رَأَيْتُ، أَوْ أُمِرْتُ، أَنْ أَتَجَوَّزَ فِي الْقَوْلِ، فَإِنَّ الْجَوَازَ هُوَ خَيْرٌ” sungguh aku lihat atau diperintah untuk singkat dalam berbicara, karena singkat dalam berbicara adalah yang terbaik.[6]

2. Perilaku mendidik itu lahir karena rasa cinta, menginginkan kebaikan bagi perserta didik. Bukan karena keinginan menonjolkan kepandaian, kebencian apalagi karena rasa sombong. Seorang pendidik harus memiliki jiwa yang penuh kasih sayang dan menginginkan kebaikan bagi mutarabbinya. Ibnu Bathal menjelaskan maksud hadits ini sebagai berikut [7]“أراد (صلى الله عليه وسلم) الرفق بأمته ليأخذوا الأعمال بنشاط وحرص عليها الصفة” bahwa rasulullah saw menginginkan berlaku lemah lembut kepada ummatnya dalam hal menggiatkan amal shalil serta sangat menginginkan kebaikan bagi mereka. Rasulullah saw bersabda [8]t“إِنَّ هَذَا الدِّينَ مَتِينٌ فَأَوْغِلْ فِيهِ بِرِفْقٍ” sesungguhnya agama ini kokoh maka tanamkanlah ia dengan lemah lembut.

3. Hadits ini menganjurkan agar bertahap dalam mengerjakan amal shalih dan mengutamakan kontinuitas amal. Amal sholeh akan mudah dikerjakan secara berkesinambungan jika bertahap dalam mengerjakannya. Bahkan amal yang dikerjakan secara kontinu itu lebih disukai, sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra [9]“وَكَانَ أَحَبَّ الدِّينِ إِلَيْهِ مَادَامَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ” sesungguhnya amal ketaatan yang lebih dicintai adalah yang dikerjakan secara kontinu oleh pelakunya. 

4. Penting bagi para pendidik untuk menguasai metode memberikan nasihat yang baik sehingga tidak menyebabkan mutarabbinya menjadi cepat bosan. Sebagaimana sebuah teladan dari Rasulullah saw tentang ekspresi beliau ketika menyampaikan tema hari kiamat, seperti dikatakan Jabir bin Abdullah[10] “كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ، وَعَلَا صَوْتُهُ، وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ، حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ: «صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ»” jika nabi berkhutbah memerah matanya, meninggi suaranya dan terlihat marah, hingga beliau seperti pemberi peringatan pasukan yang berkata, musuh akan darang kepada kalian pada pagi hari, musuh akan datang pada kalian sore hari.

5. Seorang pendidik yang sukses ialah yang mampu berinteraksi dengan anggotanya secara efektif dan membangun kerjasama yang positif. Pentahapan dalam pemberian nasihat dan pembebanan memungkinkan terjadinya adaptasi, kesertaan dan keterlibatan pendidik dengan anggotanya.

[1] Sebagaimana di kutip Ibnu Hajar al Asqalaani : Fath al Baari, Beirut : Daar al Ma’rifah, 1379 H, Juz 1, hlm 162.
[2] lihat penjelasan pada Musnad Imam Ahmad yang ditahqiq oleh Syu’aib al Arnauth. Ahmad bin Hanbal: al Musnad, Beirut : Muassasah ar Risalah, 1421 H, juz 6, hlm 59.
[3] Badruddin al ‘Ainiy : ‘Umdatu al Qaari Syarh Shahih al Bukhari, Beirut : Daar Ihya at Turats al ‘Arabiy, tt, Juz 2, hlm 44.
[4] Muslim : Shahih Muslim, Beirut : Daar Ihya at Turats al Araby, tt, Juz 2, hlm 591.
[5] Abu Dawud : Sunan Abu Dawud, Beirut : Maktabah al ‘Ashriyah, tt, Juz 1, hlm 289. Hadits ini hasan menurut al Albany
[6] Idem, Juz 4 hlm 302. Hadits ini shahih menurut al Albany.
[7] Ibnu Bathal : Syarh Shahih al Bukhari, Riyadh : Maktabah ar Rusyd, 1423 H, Juz 1, hlm 153.
[8] Ahmad bin Hanbal : al Musnad, Beirut: Muassasah ar Risalah, 1421 H, Juz 20, hlm 346, hadits ke 13502.
[9] Al Bukhari : Shahih al Bukhari. Daar Thuuq an Najah, 1422 H, Juz 1, hlm 17.
[10] Shahih Muslim, Juz 2, hlm 592.