GERAK DA'WAH



وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shaleh dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?" ( al Fushilat 33)

Kebusukan, kerapuhan atau kerusakan adalah keniscayaan dari sebuah apatisme. Dahan kayu akan  menjadi rapuh karena terhentinya gerak pertumbuhan, air diam menggenang yang membusuk bahkan kehilangan sifat asasinya; suci dan menyucikan.

Bagi para pelaku dakwah, retorika “siapakah yang lebih baik…” seharusnya membangkitkan semangat para aktivis da’wah akan janji kemenangan dan kemuliaan hidup. Al Hasan[1] menggambarkan karakter orang-orang tersebut “هُوَ الْمُؤْمِنُ الَّذِي أَجَابَ اللَّهَ فِي دَعْوَتِهِ، وَدَعَا النَّاسَ إِلَى مَا أَجَابَ إِلَيْهِ، وَعَمِلَ صَالِحًا فِي إِجَابَتِه” mereka adalah Mukmin yang mengijabah panggilan Allah, mengajak manusia kepadanya dan beramal sholeh dalam melaksanakan panggilan tersebut.

Jika kemanusiaan telah teronggok, terjagal oleh kebebasan berfikir dan berekspresi, pelecehan Tuhan, zina, khamr, dan segala bentuk dusta lainnya kemudian tak seorang pun peduli maka biarlah kita yang menanggungnya sebahagian demi sebahagian, sekuat pundak yang telah Allah anugerahkan dan segenap cinta telah Allah semayamkan di hati.  Sungguh “Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar” (al fushilat 35).

Demikianlah gerak da’wah, ia tidak lahir dari arogansi, kesombongan dan perasaan diri lebih baik dari seorang aktivis da’wah atas objek da’wahnya atau bahkan sesamanya. Melainkan harokah (gerak) yang lahir karena rasa kepedulian dan cinta kepada bangsa, dan menginginkan kebaikan bagi sesama. Jika diutusnya Nabi Muhammad SAW adalah anugerah terindah dan teragung bagi manusia, maka gerak da’wah adalah gerak terindah bagi manusia. Demikianlah Sayyid Quthb[2] menafsirkan gerakan yang dilakukan oleh khoiru ummah (ummat terbaik), “إنها حركة خفية المسرى، لطيفة الدبيب. حركة تخرج على مسرح الوجود أمة. أمة ذات دور خاص. لها مقام خاص، ولها حساب خاص” Ia adalah suatu gerakan yang halus yang rahasia, suatu gerakan yang indah yang merayap perlahan, namun gerakan ini sanggup mengeluarkan ummat kepentas dunia, ummat yang memiliki peranan khusus, maqam khusus dan hisab yang khusus pula.

Khairu ummah dilahirkan untuk memenangkan pertarungan dunia dan meraih kemuliaan akhirat. Kekuatan visi, kebersamaan langkah, keikhlasan pemimpin, ketaatan kader dan kesungguhan berkorban semua pihak menjadi prasyarat.

Tahapan dan Amaliyah Da’wah

Pentahapan adalah sunnah Allah atas makhluk-Nya, pertumbuhan manusia, tumbuhan, hewan hingga turunnya risalah semuanya melalui proses tersebut  “وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا” Dan Al Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian (al isra 106).

Wajib bagi setiap aktivis da’wah untuk bersikap lemah lembut dan melakukan pendekatan da’wah secara bertahap. Rasulullah SAW bersabda [3] “إِنَّ هَذَا الدِّينَ مَتِينٌ فَأَوْغِلْ فِيهِ بِرِفْقٍ” sesungguhnya agama ini kokoh maka tanamkanlah ia dengan lemah lembut. Pentahapan da’wah juga memungkinkan terbentuknya karakter objek da’wah secara kokoh.

Da’wah terbagi dalam 3 tahapan yaitu ta’rif, takwin dan tanfidz. Hasan al Banna[4] menjelaskan prinsip Ikhwan bahwa setiap langkah da’wah harus melalui tiga fase tersebut. Fase ta’rif adalah “مرحلة الدعاية والتعريف والتبشير بالفكرة وإيصالها إلى الجماهير من طبقات الشعب” fase penyampaian, pengenalan dan penyebaran fikrah, sehingga tersebar kepada masyarakat dari berbagai strata sosial. Fase takwin adalah “مرحلة التكوين وتخير الأنصار وإعداد الجنود وتعبئة الصفوف من بين هؤلاء المدعوين” fase pembentukan dan penseleksian terhadap aktivis yang sudah terekrut, mengordinasikan serta menggerakkannya untuk menjalin hubungan dengan objek da’wah. Fase Tanfidz adalah “مرحلة التنفيذ والعمل والإنتاج” fase pelaksanaan program, pengamalan menuju keberhasilan da’wah.

Lebih lanjut Hasan al Banna menjelaskan bahwa ketiga fase ini berjalan beriring, karena kesatuan da’wah dan saling keterkaitan antara fase da’wah tersebut. Seorang aktivis yang melakukan tabligh, pada saat lain ia mentarbiyyah mad’u untuk menyeleksi mereka sekaligus melakukan amaliah tanfidz.

Musthofa Muhammad Thahhan[5] menjelaskan dengan lebih rinci tahapan dan amaliyah da’wah sebagai berikut,

At Ta’riif
Penyebaran gagasan umum Islam dikalangan masyarakat “نشر الفكرة العامة بين الناس”
Pengaturan da’wah pada marhalah ini bersifat hubungan keadministrasian “ونظام الدعوة في هذه المرحلة نظام الجمعيات الإدارية”
Misi amal untuk kebaikan umum  “ومهمتها العمل للخير العام”
Menggabungkan sarana khutbah dan bimbingan keislaman dengan menegakkan kegiatan-kegiatan yang menguntungkan “ووسيلتها الوعظ والإرشاد تارة، وإقامة المنشآت النافعة تارة أخرى”

At Takwin
Menghasilkan komponen yang siap untuk menanggung beban da’wah, saling menanggung satu sama lain ” باستخلاص العناصر الصالحة لحمل أعباء الجهاد، وضم بعضها إلى بعض”
Pengaturan da’wah pada marhalah ini adalah sufi murni secara ruhiyyah dan kedisiplinan militer secara amaliyyah “ونظام الدعوة صوفي بحت من الناحية الروحية، وعسكري بحت من الناحية العملية”

At Tanfiidz
Da’wah pada fase ini adalah panggilan perjuangan yang tanpa henti dan bekerja terus menerus hingga mencapai tujuan akhir “والدعوة في هذه المرحلة جهاد لا هوادة معه، وعمل متواصل في سبيل الوصول إلى الغاية”

Seruan Da’wah Kami
Al Quran adalah cahaya yang menerangi kegelapan dunia, ia diturunkan dengan ajaran yang berisi seluruh perangkat perbaikan sosial yang komprehensif. Risalah ini Allah unggulkan dengan segala sesuatunya. Demikian pula da’wah, ia bertujuan melakukan perbaikan sosial dalam kehidupan manusia secara komprehensif. Berikut 3 hal diantara tujuan da’wah yang terdapat dalam al Qur’an.

Pertama, Memuliakan manusia. Allah ta’ala telah memuliakan manusia dengan menjadikannya sebaik-baik bentuk (ahsani taqwin) serta melimpahkan rezeki bagi manusia di dunia. Namun sebagian manusia tidak bersyukur dan menentang Allah hingga lahirlah spesies baru manusia,

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. ( al a’raf 179)
Da’wah bertujuan mengembalikan kemuliaan martabat manusia sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya di muka bumi.

Kedua, Menjadi manusia rabbani, yang senantiasa belajar dan mengajarkan al Qur’an dan Sunnah.
وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
“…Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (ali Imran 79).

Ketiga, Memperkuat persaudaraan,
وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.
Hasbunallah wa ni’mal wakiil

[1] Abu Muhammad al Baghawi : Ma’alim at Tanziil fi Tafsiir al Qur’an, Beirut : Daar Ihya at Turats al ‘Araby, 1420 H, Juz 4, hlm 133.
[2] Sayyid Quthb: Fii Dzilal al Qur'an, Beirut: Daar Asy Syuruq. 1412 H, jilid 1, hlm 447.
[3] Ahmad bin Hanbal : al Musnad, Beirut: Muassasah ar Risalah, 1421 H, Juz 20, hlm 346, hadits ke 13502.
[4] Hasan al Banna : Majmu’ah Rasail al Imam Hasan al Banna, Mesir : Daar ad Da’wah, tt, Juz 1, hlm 134.
[5] Musthofa Muhammad Thahhan : al Fikru al Islamy al Wasith; Diraastu fi Fikri al Ikhwani al Muslimin, Kuwait :  1423 H, hlm 210-211.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »
Give us your opinion