Makna Akhlaq Dalam Islam


Sigit Suhandoyo. Teks akhlak (أَخْلاَق) berasal dari bahasa Arab, yaitu isim mashdar (bentuk infinitif) dari kata akhlaqa, yukhliqu, akhlaqan, yang  secara tekstual berarti (السَّجِيَّةُ) perangai, karakter. (الطبْع) kelakuan, tabi’at, watak dasar, dan (الدِّين) agama.  Teks ini memiliki persesuaian dengan kata (خلَقٌ) penciptaan, erat hubungannya dengan  (خالِقٌ) pencipta dan (مَخْلوقٌ) yang diciptakan. Kata akhlak juga berkaitan dengan kata (الخَلْقُ) kejadian dan al-khuluqu (الخُلُقُ) tingkah laku. Al-khalqu adalah bentuk lahir dan al-khuluqu adalah bentuk batin. Hal ini berkaitan dengan keadaan manusia yang tersusun dari jasad (tubuh) yang terlihat mata dan dapat diraba serta unsur roh dan jiwa yang hanya dapat dilihat dengan mata hati. Dari dua unsur tersebut, unsur ruh lebih besar nilainya dibanding dengan tubuh yang terlihat dengan mata kepala.

Dalam al-Qur’an tidak terdapat teks akhlaq, term akhlaq dalam al-Qur’an ditunjukkan dengan kata (الخُلُقُ), diantaranya dalam surat al-Qalam ayat 4,

وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.

Menurut Shihab, Kata (خُلُقٍ) khuluq jika tidak dibarengi dengan adjektifnya (kata sifat), maka ia selalu berarti budi pekerti yang luhur, tingkah laku dan watak terpuji. 

Dari berbagai definisi kebahasaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa akhlaq adalah budi pekerti, tingkah laku dan watak manusia. Akhlaq merupakan sesuatu yang menghubungkan makhluq (ciptaan) dengan khaliq (pencipta). Akhlaq memiliki dua dimensi, pertama, dimensi lahiriyah yang dapat dilihat mata yaitu akhlaq terhadap sesama manusia. Kedua dimensi batiniyah, yaitu akhlaq kepada Allah ta’ala, yang dapat dilihat dengan mata hati. Kata Akhlaq memiliki konotasi makna yang positif, dikarenakan secara bahasa memiliki arti agama (دين) Islam. Meskipun kata akhlaq dapat juga disandingkan dengan kata madzmummah (الأخلاق المذمومة) yang berarti akhlaq tercela.

Adapun jika merujuk pendapat akhlaq secara istilah keilmuan, pendapat tertua yang dikemukakan oleh ulama Islam boleh jadi diwakili oleh al-Jahidz (w.255H), yaitu:

أن الخلق هو حال النفس، بها يفعل الإنسان أفعاله بلا روية ولا اختيار، والخلق قد يكون في بعض الناس غريزة وطبعا، وفي بعضهم لا يكون إلّا بالرياضة والاجتهاد، كالسخاء قد يوجد في كثير من الناس من غير رياضة ولا تعمل، وكالشجاعة والحلم والعفة والعدل وغير ذلك من الأخلاق المحمودة.  

akhlaq adalah keadaan jiwa, dengan itu seseorang melakukan tindakannya tanpa penilaian atau pilihan, dan akhlaq ada pada beberapa orang berupa naluri dan tabi’at, dan pada beberapa orang lainnya diperoleh dengan latihan dan ketekunan. Seperti halnya kemurahan hati mungkin ada pada banyak orang tanpa proses latihan dan upaya yang keras. Sebagaimana keberanian, kelembutan, kesucian, keadilan dan lainnya Itu adalah akhlak yang terpuji.

Melalui definisi ini al-Jahidz menegaskan bahwa akhlaq adalah keadaan jiwa yang mendorong manusia melakukan suatu tindakan secara spontan. Orang yang berakhlaq baik akan secara spontan merespon suatu stimulus dengan kebaikan secara spontan. Demikian pula orang yang berakhlaq buruk akan merespon suatu stimulus dengan keburukan secara spontan pula. Akhlaq ada yang berupa tabi’at bawaan dan adapula yang harus diperoleh melalui latihan dan upaya yang keras.

Meneruskan pendapat sebelumnya, Ibnu Miskawaih (w.421H) mengemukakan bahwa akhlaq adalah,

حال للنفس داعية لها إلى أفعالها من غير فكر ولا روية، وهذه الحال تنقسم إلى قسمين: منها ما يكون طبيعيّا من أصل المزاج، كالإنسان الذي يحركه أدنى شيء نحو غضب ويهيج من أقل سبب، وكالإنسان الذي يجبن من أيسر شيء، أو كالذي يفزع من أدنى صوت يطرق سمعه، أو يرتاع من خبر يسمعه، وكالذي يضحك ضحكا مفرطا من أدنى شيء يعجبه، وكالذي يغتم ويحزن من أيسر شيء يناله. ومنها ما يكون مستفادا بالعادة والتدرّب، وربما كان مبدؤه بالروية والفكر، ثم يستمر أولا فأولا حتى يصير ملكة وخلقا. 

Keadaan jiwa yang mengundang untuk bertindak tanpa pemikiran atau pertiimbangan. Situasi ini terbagi menjadi dua bagian: beberapa di antaranya alami dari asal mula suasana hati, seperti orang yang digerakkan oleh hal sekecil apa pun ke arah kemarahan dan kesal karena alasan sekecil apa pun. Seperti juga orang yang ketakutan karena hal kecil. Suara yang mengetuk pendengarannya, atau takut pada berita yang didengarnya. Dan sebagian orang yang tertawa berlebihan pada hal terkecil yang disukainya, dan sebagian orang yang mudah berduka karena hal kecil yang didapatnya. Dan sebagian orang mendapat kebaikan akhlaq dari pembiasaan dan pelatihan. Boleh jadi prinsip akhlaq pada awalnya adalah perhatian dan pemikiran, kemudian dilanjutkan tahap demi tahap sampai menjadi kebiasaan dan kepribadian.

Melalui pendapat ini, Ibnu Miskawaih selain menguatkan pendapat sebelumnya bahwa akhlaq ada yang berupa tabiat bawaan, dengan mengemukakan berbagai contoh. Secara samar Ibnu Miskawaih menambahkan definisi berupa kemungkinan proses terbentuknya akhlaq yang diperoleh mepapui pembiasaan dan pelatihan. Menurutnya pembentukan akhlaq dimulai dengan melatih perhatian dan pemikiran untuk menimbang dan memberikan  respon yang baik atas suatu stimulus. Sehingga tahap demi tahap akhirnya jiwa menjadi spontan melakukan kebaikan atas setiap stimulus tanpa perhatian dan pemikiran yang mendalam.

Penting juga dikemukakan pendapat tentang akhlaq dari Ulama kenamaan dari Basrah, al-Mawardi (w.450H),

غرائز كامنة، تظهر بالاختيار، وتقهر بالاضطرار. 

Naluri yang tersembunyi, yang ditunjukkan oleh pilihan, dan ditundukkan oleh paksaan.

Definisi ini meringkaskan pengertian panjang yang dikemuka-kan sebelumnya. Menurut al-Mawardi sebagaimana pendapat-pendapat yang lebih awal, akhlaq itu watak yang tak terlihat oleh orang lain, menjadi terlihat ketika orang tersebut memilih melakukan sesuatu dari stimulus yang diterimanya. Terkadang jiwa harus dipaksa untuk melakukan respon yang baik atas suatu stimulus.

Pendapat berikutnya dari kajian istilah tentang Akhlaq adalah yang dikemukakan oleh al-Imam Abu Hamid al-Ghazali (w.505H). Menurutnya akhlaq adalah,

هَيْئَةٌ فِي النَّفْسِ رَاسِخَةٌ عَنْهَا تُصْدِرُ الْأَفْعَالَ بِسُهُولَةٍ وَيُسْرٍ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ إِلَى فِكْرٍ وَرَوِيَّةٍ  

Gambaran tentang keadaan jiwa yang tertanam secara mendalam. Keadaan jiwa itu melahirkan tindakan dengan mudah dan gampang tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.

Dari berbagai definisi tersebut ini dapat dijelaskan bahwa, seseorang yang berakhlaq mulia akan secara mudah berbuat mulia. Seorang pemurah dikatakan dermawan karena seringnya ia berderma, ia akan mudah mendermakan hartanya, tanpa berfikir atau menimbang kerugian pada hartanya, maupun keuntungan yang didapatnya. Orang-orang yang berakhlaq baik akan senantiasa berbuat baik, sekalipun kebaikan mereka tidak dibalasi dengan kebaikan yang setimpal, bahkan mereka senantiasa berbuat baik meskipun diperlakukan buruk. Mereka berbuat baik bukan karena orang lain, melainkan karena kebaikan itu sudah melekat pada diri mereka dan menjadi karakter yang kokoh. Mereka berbuat baik karena Allah ta’ala menjadikan mereka orang-orang yang berakhlaq baik. Memiliki akhlaq yang baik ada yang diperoleh berupa tabi’at bawaan dan adapula yang diperoleh melalui latihan dan upaya yang keras untuk menundukkan nafs.

Dari ranah individu, pengertian akhlaq kemudian merambah kelingkup sosial. Pengertian akhlaq dalam definisi ini dikemukakan oleh Abdul Wadud Makrum, menurutnya akhlaq adalah, 

مجموعة القواعد السلوكية التي تحدد السلوك الإنساني وتنظمه، وينبغي أن يحتذيها الإنسان فكرا وسلوكا في مواجهة المشكلات الاجتماعية والمواقف الخلقية المختلفة، والتي تبرز المغزى الاجتماعي لسلوكه بما يتفق وطبيعة الآداب والقيم الإجتماعية السائدة.  

Seperangkat aturan perilaku yang mendefinisikan dan mengatur perilaku manusia, dan harus diikuti dalam pemikiran dan perilaku individu dalam menghadapi berbagai masalah sosial dan situasi moral, yang menonjolkan makna sosial dari perilakunya sesuai dengan sifat moral dan nilai-nilai sosial yang berlaku.  

Pendapat semisal dengan Makrum dikemukakan oleh Prof. Miqdad Yaljan,

مجموعة المبادىء والقواعد المنظمة للسلوك الإنساني التي يحددها الوحي لتنظيم حياة الإنسان وتحديد علاقته بغيره على نحو يحقق الغاية من وجوده في هذا العالم على أكمل وجه.  

Seperangkat prinsip dan aturan yang mengatur perilaku manusia yang ditentukan oleh Wahyu untuk mengatur kehidupan manusia dan mendefinisikan hubungannya dengan seluruh mahluk dengan cara yang dapat mencapai tujuan keberadaannya di dunia ini sepenuhnya.

Dengan demikian dari definisi ulama masa lampau maupun masa kini, akhlaq dalam pandangan Islam adalah kumpulan tata nilai ketuhanan yang mengatur individu dan masyarakat. Tata nilai ini komprehensif dalam perspektif yang terintegrasi antara sumber, hakikat, makna sosial, dan tujuannya.


Dafftar Pustaka

  • Ibnu Manzhur al-Anshari, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadr, cet ketiga, 1414 H), Juz 10, hlm 86. 
  • Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera hati, 2002) vol 14, hlm 380.
  • Abu ‘Utsman ‘Amru al-Jahidz al-Kinani, Tahdzib al-Akhlaq, (Mesir: Dar al-Shahabah li al-Turats, 1989), hlm 12.
  • Abu ‘Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-A’raq, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabiyah, 1981), hlm 4-5.  
  • Abu al-Hasan al-Bashri al-Mawardi, al-Tasyhil al-Nadzar, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabiyah, 1983), hlm 5.
  • Abu Hamid al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tth) vol 3, hlm 53.
  • Shalih bin ‘Abdullah al-Hamid, et.al, Nadzratu al-Na’im fi Makarim Akhlaq al-Rasul al-Karim, (Jeddah: Dar al-Wasilah, tth) Vol 1, hlm 63.
  • Miqdad Yaljan, al-Tarbiyah al-Akhlaq al-Islamiyah, (Cairo: Maktabah al-Khanaji, 1977), hlm 75.


Tafsir Surat An-Naba Bagian Ketiga Ayat 21-30

 


Sigit Suhandoyo. Setelah kelompok ayat sebelumnya menerangkan beberapa peristiwa hari kebangkitan hingga pengelompokan manusia, kelompok ayat selanjutnya menerangkan keadaan neraka, sifat para pendusta dan azab bagi mereka. 

إِنَّ جَهَنَّمَ كَانَتْ مِرْصَادًا (21) لِلطَّاغِينَ مَآبًا (22) لَابِثِينَ فِيهَا أَحْقَابًا (23) لَا يَذُوقُونَ فِيهَا بَرْدًا وَلَا شَرَابًا (24) إِلَّا حَمِيمًا وَغَسَّاقًا (25) جَزَاءً وِفَاقًا (26) إِنَّهُمْ كَانُوا لَا يَرْجُونَ حِسَابًا (27) وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا كِذَّابًا (28) وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ كِتَابًا (29) فَذُوقُوا فَلَنْ نَزِيدَكُمْ إِلَّا عَذَابًا (30)

Sesungguhnya neraka Jahanam itu (padanya) ada tempat pengintai, lagi menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas, mereka tinggal di dalamnya berabad-abad lamanya, mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman, selain air yang mendidih dan nanah, sebagai pembalasan yang setimpal. Sesungguhnya mereka tidak takut kepada hisab, dan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dengan sesungguh-sungguhnya, dan segala sesuatu telah Kami catat dalam suatu kitab. Karena itu rasakanlah. Dan Kami sekali-kali tidak akan menambah kepada kamu selain daripada adzab.

Neraka jahannam memiliki tempat pengintai. Mahaguru susastra Ibnu Mandzhur mengemukakan bahwa kata (جَهَنَّمَ) jahanam merupakan kata serapan dari bahasa non arab. Sebagai salah satu nama neraka, jahanam digunakan untuk menggambarkan suatu jurang yang teramat dalam bagian dasarnya.  

Adapun kata (مِرْصَادًا) mirshoda, dalam bahasa arab berasal dari kata (رصد) yang berarti mengintai. Pemikir kenamaan dinasti Abasiyah, al-Mawardi mengemukakan 3 makna kata mirshoda dalam tafsirnya al-nukat wal ‘uyun. Pertama, pengawas yang akan membalas segala perbuatan manusia. Kedua, pos pengamatan yang harus dilewati untuk menuju kesurga. Dan ketiga, tempat mengintai musuh-musuh Allah.  Mengutip pendapat pakar susastra al-Ashma’i, Asy-Syaukani mengemukakan bahwa lafadz al-mirshod adalah bentuk mubalagah (hiperbola). sehingga seolah-olah sudah teramat lama neraka jahanam mengintai dan menanti kedatangan orang-orang kafir. 

Demikianlah neraka jahanam telah diciptakan, memiliki pos pengintaian yang akan mengintai amal setiap manusia. Mereka yang amalnya baik akan melewatinya dan yang amalnya buruk akan tertahan dan dijatuhkan kedalam jahanam, jurang yang teramat dalam.

Neraka tempat kembali dan tinggal orang-orang yang melampaui batas, dalam waktu yang panjang. Menurut penulis al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, kata (الطَّاغِينَ) adalah  orang yang melampaui batas, baik dalam perkara agama berupa kekufuran dan dalam perkara dunia berupa kedzaliman. 

Dalam ayat ini Allah ta’ala menegaskan bahwa, tempat kembali orang-orang yang melampaui batas adalah neraka. Pakar ilmu munasabah Burhanuddin al-Biqa’i mengemukakan, Allah ta’ala menjadikan isi neraka Jahannam adalah jin dan manusia. Namun Ia melimpahkan karunia-Nya dengan mengutus para Nabi dan memberikan manusia fitrah yang suci. Kemudian manusia mendzhalimi fitrahnya dan mengingkari para nabi, sehingga mereka kembali ke neraka. 

Sebagian besar ulama tafsir mengemukakan bahwa maksud dari kata maaba dalam ayat ini adalah tempat kembali dan tempat tinggal. 

Adapun kata (أَحْقَابًا) ahqaba memiliki banyak sekali pengertian. Mahaguru tafsir Ath-Thobari mengemukakan banyak riwayat tentang makna ahqaba. Ada yang berpendapat 300 tahun, 80 tahun dan 70 ribu tahun, dimana 1 harinya setara dengan 1000 tahun. Namun pendapat yang dipilih Ath-Thobari adalah kata ahqaba menunjukkan makna waktu yang tak mengenal putus dan tiada berakhirnya.   

Neraka Tempat yang Tiada Kesejukan dan Minuman di Dalamnya. Sebagian ulama tafsir mengemukakan, kata (بَرْدًا) secara umum berarti dingin atau sejuk. Sedangkan kata (شَرَابًا) berarti air. Dengan demikian para penghuni neraka, tidak merasakan dingin yang dapat mendinginkan panasnya neraka, dan tidak pula mereka merasakan minurnan yang menghilangkan dahaga nan sangat yang menimpa mereka kecuali air yang sangat panas. Adapula yang berpendapat bahwa kata (بَرْدًا) berarti rasa kantuk atau tidur, karena tidur dapat menghilangkan haus. Namun menurut ath-Thobari pendapat ini tidaklah populer.

Ketiadaan minuman bagi ahli neraka pada ayat ke 24, kemudian dikecualikan oleh Allah dalam ayat 25, bahwa ada minuman bagi ahli neraka yaitu air yang sangat panas dan nanah. Inilah balasan yang setimpal bagi mereka. Menurut Asy-Sya’rawi kata (وِفَاقًا) wifaqa menunjukkan suatu keadilan. Kata ini berfungsi untuk mencegah munculnya rasa kasihan yang tidak pada tempatnya.  

Sifat Calon Penghuni Neraka. Diterangkan dalam kelompok ayat ini bahwa para penghuni neraka ketika didunianya, memiliki sifat tidak takut akan hisab dan mendustakan ayat-ayat Allah ta’ala. Menurut Asy-Sya’rawi, tidak takut akan hisab adalah awal dari kerusakan peradaban dunia. Ketika masyarakat tidak takut lagi akan adanya hisab, maka setiap orang akan berbuat sesuka hatinya. Bayangkan jika di dalam sebuah masyarakat terdapat seorang hakim yang tidak adil. Apa yang terjadi jika kelompok yang terikat oleh hukum melihat kelompok lainnya yang bebas hukum? Yang muncul adalah masyarakat yang melakukan pengkhianatan dengan berkata: “Aku akan berlindung di balik kejahatan sebisa mungkin”.  

Calon penghuni neraka juga memiliki sifat mendustakan ayat-ayat Allah. Bunyi lafaz ayat ke 28 ini menurut Sayyid Quthb menunjukkan pendustaan dan pembangkangan yang bersangatan kepada ayat-ayat Allah. Sementara Allah mencatat secara detail segala sesuatu, tanpa ada sesuatupun yang luput, meski sebesar dzarrah. Dan pasti akan mendapatkan pembalasan yang setimpal. 



Puasa Ramadhan Bagi Wanita Hamil dan Menyusui

 


Sigit Suhandoyo. Puasa di bulan Ramadhan merupakan salah satu kewajiban yang membutuhkan kekuatan fisik. Permasalahan yang sering terjadi bagi wanita hamil dan menyusui adalah, kekhawatiran akan timbulnya kemudharatan atas diri dan anaknya. Sehingga mereka tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Hal ini menjadi pembahasan para ulama fiqh. Apakah wajib mengqadha puasa dibulan lain, atau membayar fidyah, atau keduanya.

Dalil ayat yang menjadi dasar pemikiran para ulama fiqh tentang hukum ibadah puasa bagi wanita hamil dan menyusui adalah al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 184.

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Dalil tentang hukum ibadah puasa bagi wanita hamil dan menyusui juga terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra, bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda,

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ لِلْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلَاةِ، وَعَنِ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ

Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menggugurkan kewajiban puasa dan separuh sholat dari pundak musafir, dan menggugurkan puasa dari pundak wanita hamil dan wanita menyusui. (sunan an-Nasai no 2315)

Menurut Ibnu Qudamah dari kalangan Hanabilah, para ulama sepakat bahwa bagi wanita hamil dan menyusui dibolehkan tidak berpuasa, dengan syarat adanya kekhawatiran akan timbul kemudharatan atas dirinya atau anaknya (al Mughni 3/139). Dengan syarat yang sama, Ad-Dasuqi seorang ulama Malikiyah bahkan berpendapat wajib bagi wanita hamil dan menyusui untuk membatalkan puasanya (Hasiyatu ad-Dasuqi 1/536). Menurut Wahbah Zuhaili Hukum ini termasuk bagi seorang wanita yang menerima upah menyusui anak orang lain, apabila mengkhawatirkan timbulnya kemudharatan atas dirinya maupun anak yang disusuinya (al-Fiqh al-Islami 3/78). Lebih lanjut menurut Zuhaili, standar kemudharatan yang membolehkan berbuka harus diketahui secara meyakinkan, hal ini bisa mengacu pada pengalaman sebelumnya maupun keterangan medis yang terpercaya. 

Salah satu pendapat terkait hukum bagi wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan, karena kekhawatiran atas diri dan anaknya, adalah wajib mengqadha puasa saja. Mereka tidak wajib membayar fidyah. Ini adalah pendapat para ulama Hanafiyah (Fath al-Qadir li ibn Himam 2/355 ). Al Kasani mengutip pula pendapat dari Ali bin Abi Thalib ra dari kalangan sahabat dan Hasan dari kalangan tabi’in tentang wanita hamil dan menyusui,

وَعَلَيْهِمَا الْقَضَاءُ وَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهِمَا عِنْدَنَا

Mereka wajib mengqadha puasa dan tidak ada kewajiban membayar fidyah atas keduanya.(Bada’i al-Shana’i 2/97)

Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Imam asy-Syafi’i dan ulama Syafi’iyyah.

قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا أَنَّهُمَا إنْ خَافَتَا عَلَى أَنْفُسِهِمَا لَا غَيْرَ أَوْ عَلَى أَنْفُسِهِمَا وَوَلَدِهِمَا أَفْطَرَتَا وَقَضَتَا وَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهِمَا بِلَا خِلَافٍ

bahwa perempuan hamil dan menyusui jika keduanya merasa khawatir atas dirinya bukan atas yang lainnya, atau atas dirinya dan anaknya, lalu berbuka dan mengganti puasanya maka tidak ada kewajiban membayar fidyah baginya, dalam hal ini tidak ada perselisihan pendapat.(al-Hawi al-Kabir 3/437 lihat juga al-Majmu’ 6/269) 

Dari kalangan ulama Malikiyah, Ibnu ‘Abdil Bar mengutip pendapat al-Auza’i, 

الْحَمْلُ وَالرَّضَاعُ عِنْدَنَا مَرَضٌ مِنَ الْأَمْرَاضِ تَقْضِيَانِ وَلَا إِطْعَامَ عَلَيْهِمَا

Mengandung dan menyusui dalam pandangan mazhab kami adalah penyakit. Mereka wajib mengqadha puasa dan tidak membayar fidyah (al-Istidzkar 3/365) 

Adapun jika dalam kenyataanya wanita hamil dan menyusui tersebut, benar-benar tidak sanggup secara berkepanjangan untuk mengqadha (mengganti puasanya), maka hukumnya kemudian dipindahkan kepada penggantinya yaitu membayar fidyah dengan memberi makan satu orang miskin sebagai ganti satu hari puasa. Wallahu a’lam bishowab.

Daftar Pustaka

  • Abu Abdurahman an-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, (Suriah: Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyyah, Cet kedua, 1406 H)
  • Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, (Mesir: Maktabah al-Qahirah, 1388 H) 
  • Muhammad bin Ahmad Ad-Dasuqi, Hasiyatu ad-Dasuqi ala asy-Syarh al-Kabir, (Suriah: Dar al-Fikr, 
  • Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, (Suriah: Dar al-Fikr, 1428 H) 
  • Kamaluddin Ibnu Himam, Fath al-Qadir (Beirut: Dar al-Fikr, tth) 
  • Abu Bakar al-Kasani al-Hanafi, Bada’i al-Shana’i fi Tartib al-Syara’i, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1986) 
  • Abu al-Hasan al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1999) 
  • Abu Zakariya an-Nawawi, al-Majmu’, (Beirut: Dar al-FIkr, tth).
  • Ibnu ‘Abdil Bar, al-Istidzkar, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000) Juz 3, hlm 365.


Mencicipi Rasa Makanan Saat Berpuasa

 



Sigit Suhandoyo. Salah satu bentuk menahan diri saat melaksanakan ibadah puasa adalah, menahan diri dari makan dan minum. Adapan ukuran seseorang dianggap makan dan minum adalah tertelannya makanan dan minuman melalui tenggorokan. Dengan demikian bagaimanakah hukumnya mencicipi rasa makanan saat sedang berpuasa, sedang makanan dan minuman tersebut hanya berada di dalam mulut saja, tidak sampai tertelan melalui tenggorokan.

Mencicipi rasa makanan tanpa suatu keperluan, meskipun tidak diharamkan, namun menurut para ulama merupakan sesuatu yang tidak disukai dalam agama. Para ulama menetapkan sebagai sesuatu yang makruh, karena dikhawatirkan dapat merusak ibadah puasa.

Sebagaimana dikemukakan diantaranya oleh Ahmad ash-Shawi, seorang ulama Malikiyah,  

كُرِهَ لِلصَّائِمِ ذَوْقُ شَيْءٍ لَهُ طَعْمٌ كَمِلْحٍ وَعَسَلٍ وَخَلٍّ لِيَنْظُرَ طَعْمُه

Dimakruhkan bagi orang yang berpuasa merasakan sesuatu (masakan) dengan lidahnya seperti garam, madu dan cuka untuk mengetahui rasa masakannya tersebut (Bulghatu as-Salik li Aqrabi al-Masalik, 1/639) 

Adapun jika ada udzur, alasan yang bersifat darurat, maka dibolehkan melakukannya. Ibnu ‘Abidin, seorang ulama hanafiyah, memberikan contoh seandainya seorang ibu memerlukan mengunyahkan makanan bagi anaknya, sedang dia tidak menjumpai orang lain yang sedang tidak berpuasa baik karena haidh, dan sebagainya, maka ia ia dibolehkan mengunyah makanan tersebut (Radd al-Mukhtar 2/416) 

Ulama lain dari kalangan hanafiyah juga memberikan contoh jika dalam suatu transaksi pembelian makanan, yang ia tidak meyakini kualitasnya dan khawatir akan terjadinya penipuan, maka dibolehkan mencicipi dengan lidahnya (Tabyin al-Haqaiq, 1/330) 

Abu Zakariya an-Nawawi, seorang ulama syafi’iyyah, menyampaikan sebuah atsar (riwayat sahabat) shahih tentang kebolehan mencicipi makanan. Dari Imam al-Bayhaqi, bahwa Ibnu Abbas ra berkata:

لَا بَأْسَ أَنْ يتطاعم الصائم بالشئ يعني المرقة ونحوها

Tidak mengapa orang yang puasa mencicipi kuah (masakan) dan yang sejenisnya (al-Majmu’ 6/354)

Meski teks riwayat sahabat tersebut menyebutkan tentang kebolehan mencicipi makanan tanpa sebuah perkecualian, namun Imam an-Nawawi memberikan penjelasan, bahwa kebolehannya adalah karena kondisi yang darurat.

Karena alasan kehati-hatian, Ulama lain dari kalangan Syafi’iyyah, bahkan mengemukakan bahwa disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk meninggalkan kebiasaan mencicipi makanan ketika sedang memasak.(al-Iqna’ 1/239)

Pendapat serupa dikemukakan pula oleh seorang ulama Hanabilah, ‘Abdurrahman al-Maqdisy. Ia mengutip pendapat Imam Ahmad bin Hanbal,

أحب إلي أن يجتنب ذوق الطعام فإن فعل لم يضره

Aku lebih menyukai untuk menjauhi perbuatan mencicipi rasa (makanan) meskipun perbuatan tersebut tidak mendatangkan kemudharatan (atas puasanya) (asy-Syarhu al-Kabir 3/72)

Berdasarkan pendapat dari berbagai ulama mazhab tersebut, dapat kita simpulkan bahwa, meskipun terdapat sebuah riwayat dari sahabat tentang kebolehan mencicipi makanan, namun para ulama membatasinya kebolehannya hanya dalam situasi darurat. Dan makruh jika dilakukan dalam kondisi yang tidak darurat.

Sehingga alangkah baiknya kebiasaan mencicipi rasa masakan, ketika sedang memasak dapat dihindari. Sehingga hal tersebut dapat meningkatkan nilai amalan ibadah puasa kita. Wallahu a’lam bishowwab.


Daftar Pustaka

  • Ahmad ash-Shawi al-Maliki, Bulghatu as-Salik li Aqrabi al-Masalik, (Cairo: Dar al-Ma’arif, tth)
  • Ibnu ‘Abidin, Radd al-Mukhtar ‘ala Dar al-Mukhtar, (Beirut: Dar al-Fikr, cet ke 2, 1992)
  • Fakhrudin al-Zayla’i al-Hanafi, Tabyin al-Haqaiq, (Cairo: Al-Mathba’atu al-Kubra, cet pertama, 1313 H) 
  • Abu Zakariya an-Nawawi asy-Syafi’i, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, (Beirut: Dar al-Fikr, tth)
  • al-Khatib asy-Syarbini asy-Syafi’i, al-Iqna’, (Beirut: Dar al-Fikr, tth ) 
  • ‘Abdurrahman al-Maqdisy al-Hanbali, asy-Syarhu al-Kabir, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, tth)

Melazimkan Niat Puasa Ramadhan Setiap Malam


 

Sigit Suhandoyo, MA Sebagaimana layaknya ibadah, puasa Ramadhan juga memerlukan niat. Sebagian ulama menjadikan niat sebagai syarat puasa, sedang sebagian lain menetapkannya sebagai rukun puasa.

Jika pada puasa sunnah, seseorang yang terbangun di waktu subuh atau setelah subuh, kemudian ia berniat puasa, maka menurut sebagian ulama dibolehkan. Hal ini berbeda dengan puasa Ramadhan, melafalkan niat diwajibkan sejak malam, sebelum masuk waktu shubuh. 

Ulama dari kalangan Hanafiyah, Al Kasani mengemukakan, 

فَالْأَفْضَلُ فِي الصِّيَامَاتِ كُلِّهَا أَنْ يَنْوِيَ قبل طلوع الفجر أو مِنْ اللَّيْلِ، وَإِنْ نَوَى بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَإِنْ كَانَ الصَّوْمُ دَيْنًا لَا يَجُوزُ بِالْإِجْمَاعِ.

Dan lebih utama bagi orang-orang yang berpuasa untuk berniat sebelum terbit fajar atau sejak malam, dan jika berniat puasa wajib setelah terbit fajar, maka tidak diperbolehkan berdasarkan kesepakatan ulama. (Bada’i ash-Shana’I 2/85)

Al Imam an-Nawawi dari kalangan ulama Syafi’iyyah mengemukakan, 

لَا يَصِحُّ الصَّوْمُ إِلَّا بِالنِّيَّةِ، وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ. وَلَا يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلَا خِلَافٍ. وَتَجِبُ النِّيَّةُ لِكُلِّ يَوْمٍ

Tidak sah berpuasa kecuali dengan berniat, dan tempat niat adalah hati. Tidak disyaratkan untuk melafalkannya dengan lisan, dan dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat. Wajib berniat setiap malam (Raudhatu ath-Thalibin 2/350 )

Demikian pula Ibnu Qudamah, dari kalangan Hanabilah,

إنْ كَانَ فَرْضًا كَصِيَامِ رَمَضَانَ فِي أَدَائِهِ أَوْ قَضَائِهِ، وَالنَّذْرِ وَالْكَفَّارَةِ، اُشْتُرِطَ أَنْ يَنْوِيَهُ مِنْ اللَّيْلِ.

Adapun dalam puasa yang wajib seperti puasa Ramadhan, pada waktunya, qadha, nadzar dan kafarah, disyaratkan untuk berniat sejak malam hari. (al-Mughni 3/109)

Keharusan menetapkan niat ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan diantaranya oleh Abu Dawud dari Hafsah ra, bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda:

مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ، فَلَا صِيَامَ لَهُ.

Barangsiapa yang tidak meniatkan puasa sebelum fajar, maka puasanya tidak sah (Sunan Abu Dawud no 2454)

Permasalahannya adalah, apakah untuk ibadah puasa Ramadhan selama satu bulan penuh, apakah harus melazimkan berniat setiap malam, ataukah cukup satu kali di awal bulan untuk sebulan penuh.

Menurut jumhur (sebagian besar) ulama, niat puasa harus sesuai dengan jumlah hitungan hari puasa. Artinya disyaratkan untuk berniat pada setiap malam di bulan Ramadhan. Sebab puasa itu terhitung, setiap harinya sebagai ibadah yang mandiri, tidak terkait dengan hari lainnya. Sebagai contoh, Jika seseorang berhalangan puasa 1 hari karena sakit, maka ia hanya mengqadha 1 hari pula.

Al Kasani mengutip pendapat Abu Yusuf dari Abu Hanifah,

يُشْتَرَطُ لِكُلِّ يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ نِيَّةٌ

Bahwasanya disyaratkan untuk setiap malam Ramadhan untuk berniat puasa (Bada’i ash-Shana’i 2/85)

Al-Khatib asy-Syarbini dari kalangan Syafi’iyyah berpendapat, tidak bisa tidak, bahwa untuk menetapkan niat berpuasa (تَّبْيِيتُ النِّيَّةِ), niat harus dilakukan pada setiap malam (mughni al-Muhtaj 2/149) 

Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh ulama kalangan Malikiyah. Bahwa diperbolehkan berniat satu kali di awal malam Ramadhan untuk berpuasa selama satu bulan penuh. Ibnu Juzzay dari kalangan Malikiyah mengemukakan,

تجزيه نِيَّة وَاحِدَة لرمضان فِي أَوله وَكَذَلِكَ فِي صِيَام متتابع مَا لم يقطعه 

Diperbolehkan satu kali berniat di awal Ramadhan, dan demikianlah hukum pada puasa yang berkesinambungan dan tak terputus. (al-Qawanin al-Fiqhiyah, 1/80) 

Pendapat ini didasarkan pada teks ayat 185 surat al-baqarah (فمن شهد منكم الشهر فليصمه) “Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,” teks as-syahr (bulan) adalah suatu nama yang menunjukkan satuan waktu, hal itu menunjukkan puasa Ramadhan dari awal hingga akhirnya menunjukkan satu satuan ibadah. 

Dari berbagai pendapat tersebut, sebaiknya niat puasa dilazimkan setiap malam Ramadhan. Dan adapun untuk kehati-hatian, bilamana kita terlupa, dapat pula diiringi pada awal malam Ramadhan, dengan berniat puasa untuk satu bulan penuh. 

Adapun tempat niat, para ulama bersepakat bahwa tempatnya adalah hati. Terkait melafadzkan niat dengan suara, tujuannya adalah untuk menguatkan niat dalam hati, sehingga tidak cukup jika hanya diucapkan secara lahiriyah saja, melainkan harus disertai kesadaran batiniyah. Wallahu a’lam bishowab.

Daftar Pustaka

  • Abu Bakar al-Kasani al-Hanafi, Bada’i ash-Shana’i fi Tartib asy-Syara’i, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1986)
  • Abu Zakariya an-Nawawi, Raudhatu ath-Thalibin, (Beirut: al-Maktab al-Islami, Cet ke3, 1991) 
  • Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, (Mesir: Maktabah al-Qahirah, 1388 H)
  • Abu Dawud as-Sijistani, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Maktabatu al-Ashriyah, tth)
  • Al-Khatib asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994) 
  • Ibnu Juzzay al-Kalbi, al-Qawanin al-Fiqhiyah, (Cairo: Dar al-Hadits, tth)