Sigit Suhandoyo, MA Sebagaimana layaknya ibadah, puasa Ramadhan juga memerlukan niat. Sebagian ulama menjadikan niat sebagai syarat puasa, sedang sebagian lain menetapkannya sebagai rukun puasa.
Jika pada puasa sunnah, seseorang yang terbangun di waktu subuh atau setelah subuh, kemudian ia berniat puasa, maka menurut sebagian ulama dibolehkan. Hal ini berbeda dengan puasa Ramadhan, melafalkan niat diwajibkan sejak malam, sebelum masuk waktu shubuh.
Ulama dari kalangan Hanafiyah, Al Kasani mengemukakan,
فَالْأَفْضَلُ فِي الصِّيَامَاتِ كُلِّهَا أَنْ يَنْوِيَ قبل طلوع الفجر أو مِنْ اللَّيْلِ، وَإِنْ نَوَى بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَإِنْ كَانَ الصَّوْمُ دَيْنًا لَا يَجُوزُ بِالْإِجْمَاعِ.
Dan lebih utama bagi orang-orang yang berpuasa untuk berniat sebelum terbit fajar atau sejak malam, dan jika berniat puasa wajib setelah terbit fajar, maka tidak diperbolehkan berdasarkan kesepakatan ulama. (Bada’i ash-Shana’I 2/85)
Al Imam an-Nawawi dari kalangan ulama Syafi’iyyah mengemukakan,
لَا يَصِحُّ الصَّوْمُ إِلَّا بِالنِّيَّةِ، وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ. وَلَا يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلَا خِلَافٍ. وَتَجِبُ النِّيَّةُ لِكُلِّ يَوْمٍ
Tidak sah berpuasa kecuali dengan berniat, dan tempat niat adalah hati. Tidak disyaratkan untuk melafalkannya dengan lisan, dan dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat. Wajib berniat setiap malam (Raudhatu ath-Thalibin 2/350 )
Demikian pula Ibnu Qudamah, dari kalangan Hanabilah,
إنْ كَانَ فَرْضًا كَصِيَامِ رَمَضَانَ فِي أَدَائِهِ أَوْ قَضَائِهِ، وَالنَّذْرِ وَالْكَفَّارَةِ، اُشْتُرِطَ أَنْ يَنْوِيَهُ مِنْ اللَّيْلِ.
Adapun dalam puasa yang wajib seperti puasa Ramadhan, pada waktunya, qadha, nadzar dan kafarah, disyaratkan untuk berniat sejak malam hari. (al-Mughni 3/109)
Keharusan menetapkan niat ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan diantaranya oleh Abu Dawud dari Hafsah ra, bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda:
مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ، فَلَا صِيَامَ لَهُ.
Barangsiapa yang tidak meniatkan puasa sebelum fajar, maka puasanya tidak sah (Sunan Abu Dawud no 2454)
Permasalahannya adalah, apakah untuk ibadah puasa Ramadhan selama satu bulan penuh, apakah harus melazimkan berniat setiap malam, ataukah cukup satu kali di awal bulan untuk sebulan penuh.
Menurut jumhur (sebagian besar) ulama, niat puasa harus sesuai dengan jumlah hitungan hari puasa. Artinya disyaratkan untuk berniat pada setiap malam di bulan Ramadhan. Sebab puasa itu terhitung, setiap harinya sebagai ibadah yang mandiri, tidak terkait dengan hari lainnya. Sebagai contoh, Jika seseorang berhalangan puasa 1 hari karena sakit, maka ia hanya mengqadha 1 hari pula.
Al Kasani mengutip pendapat Abu Yusuf dari Abu Hanifah,
يُشْتَرَطُ لِكُلِّ يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ نِيَّةٌ
Bahwasanya disyaratkan untuk setiap malam Ramadhan untuk berniat puasa (Bada’i ash-Shana’i 2/85)
Al-Khatib asy-Syarbini dari kalangan Syafi’iyyah berpendapat, tidak bisa tidak, bahwa untuk menetapkan niat berpuasa (تَّبْيِيتُ النِّيَّةِ), niat harus dilakukan pada setiap malam (mughni al-Muhtaj 2/149)
Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh ulama kalangan Malikiyah. Bahwa diperbolehkan berniat satu kali di awal malam Ramadhan untuk berpuasa selama satu bulan penuh. Ibnu Juzzay dari kalangan Malikiyah mengemukakan,
تجزيه نِيَّة وَاحِدَة لرمضان فِي أَوله وَكَذَلِكَ فِي صِيَام متتابع مَا لم يقطعه
Diperbolehkan satu kali berniat di awal Ramadhan, dan demikianlah hukum pada puasa yang berkesinambungan dan tak terputus. (al-Qawanin al-Fiqhiyah, 1/80)
Pendapat ini didasarkan pada teks ayat 185 surat al-baqarah (فمن شهد منكم الشهر فليصمه) “Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,” teks as-syahr (bulan) adalah suatu nama yang menunjukkan satuan waktu, hal itu menunjukkan puasa Ramadhan dari awal hingga akhirnya menunjukkan satu satuan ibadah.
Dari berbagai pendapat tersebut, sebaiknya niat puasa dilazimkan setiap malam Ramadhan. Dan adapun untuk kehati-hatian, bilamana kita terlupa, dapat pula diiringi pada awal malam Ramadhan, dengan berniat puasa untuk satu bulan penuh.
Adapun tempat niat, para ulama bersepakat bahwa tempatnya adalah hati. Terkait melafadzkan niat dengan suara, tujuannya adalah untuk menguatkan niat dalam hati, sehingga tidak cukup jika hanya diucapkan secara lahiriyah saja, melainkan harus disertai kesadaran batiniyah. Wallahu a’lam bishowab.
Daftar Pustaka
- Abu Bakar al-Kasani al-Hanafi, Bada’i ash-Shana’i fi Tartib asy-Syara’i, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1986)
- Abu Zakariya an-Nawawi, Raudhatu ath-Thalibin, (Beirut: al-Maktab al-Islami, Cet ke3, 1991)
- Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, (Mesir: Maktabah al-Qahirah, 1388 H)
- Abu Dawud as-Sijistani, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Maktabatu al-Ashriyah, tth)
- Al-Khatib asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994)
- Ibnu Juzzay al-Kalbi, al-Qawanin al-Fiqhiyah, (Cairo: Dar al-Hadits, tth)