Mencicipi Rasa Makanan Saat Berpuasa

 



Sigit Suhandoyo. Salah satu bentuk menahan diri saat melaksanakan ibadah puasa adalah, menahan diri dari makan dan minum. Adapan ukuran seseorang dianggap makan dan minum adalah tertelannya makanan dan minuman melalui tenggorokan. Dengan demikian bagaimanakah hukumnya mencicipi rasa makanan saat sedang berpuasa, sedang makanan dan minuman tersebut hanya berada di dalam mulut saja, tidak sampai tertelan melalui tenggorokan.

Mencicipi rasa makanan tanpa suatu keperluan, meskipun tidak diharamkan, namun menurut para ulama merupakan sesuatu yang tidak disukai dalam agama. Para ulama menetapkan sebagai sesuatu yang makruh, karena dikhawatirkan dapat merusak ibadah puasa.

Sebagaimana dikemukakan diantaranya oleh Ahmad ash-Shawi, seorang ulama Malikiyah,  

كُرِهَ لِلصَّائِمِ ذَوْقُ شَيْءٍ لَهُ طَعْمٌ كَمِلْحٍ وَعَسَلٍ وَخَلٍّ لِيَنْظُرَ طَعْمُه

Dimakruhkan bagi orang yang berpuasa merasakan sesuatu (masakan) dengan lidahnya seperti garam, madu dan cuka untuk mengetahui rasa masakannya tersebut (Bulghatu as-Salik li Aqrabi al-Masalik, 1/639) 

Adapun jika ada udzur, alasan yang bersifat darurat, maka dibolehkan melakukannya. Ibnu ‘Abidin, seorang ulama hanafiyah, memberikan contoh seandainya seorang ibu memerlukan mengunyahkan makanan bagi anaknya, sedang dia tidak menjumpai orang lain yang sedang tidak berpuasa baik karena haidh, dan sebagainya, maka ia ia dibolehkan mengunyah makanan tersebut (Radd al-Mukhtar 2/416) 

Ulama lain dari kalangan hanafiyah juga memberikan contoh jika dalam suatu transaksi pembelian makanan, yang ia tidak meyakini kualitasnya dan khawatir akan terjadinya penipuan, maka dibolehkan mencicipi dengan lidahnya (Tabyin al-Haqaiq, 1/330) 

Abu Zakariya an-Nawawi, seorang ulama syafi’iyyah, menyampaikan sebuah atsar (riwayat sahabat) shahih tentang kebolehan mencicipi makanan. Dari Imam al-Bayhaqi, bahwa Ibnu Abbas ra berkata:

لَا بَأْسَ أَنْ يتطاعم الصائم بالشئ يعني المرقة ونحوها

Tidak mengapa orang yang puasa mencicipi kuah (masakan) dan yang sejenisnya (al-Majmu’ 6/354)

Meski teks riwayat sahabat tersebut menyebutkan tentang kebolehan mencicipi makanan tanpa sebuah perkecualian, namun Imam an-Nawawi memberikan penjelasan, bahwa kebolehannya adalah karena kondisi yang darurat.

Karena alasan kehati-hatian, Ulama lain dari kalangan Syafi’iyyah, bahkan mengemukakan bahwa disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk meninggalkan kebiasaan mencicipi makanan ketika sedang memasak.(al-Iqna’ 1/239)

Pendapat serupa dikemukakan pula oleh seorang ulama Hanabilah, ‘Abdurrahman al-Maqdisy. Ia mengutip pendapat Imam Ahmad bin Hanbal,

أحب إلي أن يجتنب ذوق الطعام فإن فعل لم يضره

Aku lebih menyukai untuk menjauhi perbuatan mencicipi rasa (makanan) meskipun perbuatan tersebut tidak mendatangkan kemudharatan (atas puasanya) (asy-Syarhu al-Kabir 3/72)

Berdasarkan pendapat dari berbagai ulama mazhab tersebut, dapat kita simpulkan bahwa, meskipun terdapat sebuah riwayat dari sahabat tentang kebolehan mencicipi makanan, namun para ulama membatasinya kebolehannya hanya dalam situasi darurat. Dan makruh jika dilakukan dalam kondisi yang tidak darurat.

Sehingga alangkah baiknya kebiasaan mencicipi rasa masakan, ketika sedang memasak dapat dihindari. Sehingga hal tersebut dapat meningkatkan nilai amalan ibadah puasa kita. Wallahu a’lam bishowwab.


Daftar Pustaka

  • Ahmad ash-Shawi al-Maliki, Bulghatu as-Salik li Aqrabi al-Masalik, (Cairo: Dar al-Ma’arif, tth)
  • Ibnu ‘Abidin, Radd al-Mukhtar ‘ala Dar al-Mukhtar, (Beirut: Dar al-Fikr, cet ke 2, 1992)
  • Fakhrudin al-Zayla’i al-Hanafi, Tabyin al-Haqaiq, (Cairo: Al-Mathba’atu al-Kubra, cet pertama, 1313 H) 
  • Abu Zakariya an-Nawawi asy-Syafi’i, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, (Beirut: Dar al-Fikr, tth)
  • al-Khatib asy-Syarbini asy-Syafi’i, al-Iqna’, (Beirut: Dar al-Fikr, tth ) 
  • ‘Abdurrahman al-Maqdisy al-Hanbali, asy-Syarhu al-Kabir, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, tth)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »
Give us your opinion