DAKWAH ADALAH KEBUTUHAN HIDUP MANUSIA (الدعوة حاجة البشرية)



urgensi dakwah dalam al Qur'an 2

Dengan hikmahnya Allah telah menciptakan manusia sebagai ciptaan yang terbaik dari segi fisik maupun psikis. Mengistimewakan manusia dengan berbagai karakter dan sifat dengan sangat rinci dan mendetail serta memiliki berbagai macam kondisi dan perubahan.  Jika setiap Muslim mampu mengarahkan keburukan nafsunya dan mendidiknya kejalan yang benar maka sungguh dia telah beruntung, dan sebaliknya jika dia tidak berhasil mendidiknya maka sungguh dia telah merugi. 

Allah ta’ala berfirman dalam surat Yusuf ayat 53 tentang kecenderungan nafsu manusia yang menyuruh kepada kejahatan,
وما أبرئ نفسي إن النفس لأمارة بالسوء إلا ما رحم ربي إن ربي غفور رحيم.
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “ (Yusuf 53).

Menurut az Zuhailiy ayat ini menujujukkan bahwa manusia memerlukan bimbingan agar senantiasa dapat berprilaku baik,
أنّ أكثر النّفوس نزّاعة للشّهوة، ميّالة للهوى، ذات نزعة شريرة، تحتاج إلى مجاهدة ومكافحة ومراقبة وتحذير”[1]
Dalam pengertian lain, sesungguhnya sebagian besar jiwa bertentangan dengan syahwat, cenderung kepada kesenangan hatinya yang mengarah kepada keburukan, hal ini membutuhkan kesungguhan, pertahanan, pengawasan dan peringatan.

Manusia memiliki nafsu yang senantiasa menyuruh berbuat keburukan, sebagaimana didefinisikan oleh al Jurzani sebagai nafsu lahiriyah atau duniawiyah semata, ia berkata,
هي التي تميل إلى الطبيعة البدنية، وتأمر باللذات والشهوات الحسية، وتجذب القلب إلى الجهة السفلية، فهي مأوى الشرور، ومنبع الأخلاق الذميمة” [2]
Dalam pengertian lain, nafsu yang menyeru kepada keburukan adalah nafsu yang cenderung kepada tabi’at tubuh, menyuruh menikmati kelezatan dan syahwat inderawi dan menarik hati ke tingkat yang rendah. Maka itulah tempat bagi berbagai kejahatan dan sumber segala perilaku tercela.

Penutupan ayat ini diakhiri dengan, … “sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun dan Maha Pengasih ”, maksudnya adalah,
إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ عظيم المغفرة فيغفر ما يعتري النفوس بمقتضى طباعها ومبالغ في الرحمة فيعصمها من الجريان على موجب ذلك”[3]
ampunan bagi siapapun yang mau bertaubat dan kembali dari ajakan jiwa yang menyuruhnya berbuat buruk. Mahakasih, yang melindungi jiwa dari terus mengikuti perintah jiwa ini serta meningkatkannya pada kondisi jiwa yang lebih baik.

Allah ta’ala juga berfirman dalam surat asy Syams ayat 7 – 10, tentang kondisi jiwa manusia yang memerlukan da’wah agar senantiasa berada dalam kebenaran.
ونفس وما سواها. فألهمها فجورها وتقواها. قد أفلح من زكاها. وقد خاب من دساها.
“dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Asy Syams 7 – 10).

Allah ta’ala memberikan pada jiwa manusia karakteristik berupa kemampuan untuk mengetahui yang baik dan buruk. Ayat ini mengisyaratkan akan adanya tabiat manusia yang dapat menerima kebaikan dan keburukan. Adapun maksud dari kalimat “fa alhamaha fujuraha wa taqwaha”, adalah; “Menurut ibnu Abbas dalam riwayat Ali bin Abi Thalhah maksudnya adalah, “بَيَّنَ لَهَا الْخَيْرَ وَالشَّرَّ” menjelaskan kepadanya kebaikan dan keburukan. Sedangkan dalam riwayat ‘Athiyah “عَلَّمَهَا الطَّاعَةَ وَالْمَعْصِيَةَ” mengajarkan kepadanya keta’atan dan maksiat. Al Kalby meriwayatkan dari Aby Shalih, “عَرَّفَهَا مَا تَأْتِي مِنَ الْخَيْرِ وَمَا تَتَّقِي مِنَ الشَّرِّ” memperkenalkan kepadanya segala sesuatu yang datang dari kebaikan dan berhati-hati terhadap segala keburukan.”[4]

Menurut al Fairuz Abadi jiwa manusia itu memiliki sifat-sifat sebagai berikut; “مَيْلُ النَّفس إِلى الشَّهْوَة” jiwa itu memiliki kecenderungan kepada sesuatu yang diinginkannya, “العِشْقُ، ويكون فى الخَيْر والشرّ” --kecenderungannya terhadap sesuatu itu -- menjadikan hatinya tertambat baik terhadap kebaikan maupun keburukan, “إِرادةُ النَّفْس والمحَبَّة”  -- kecenderungannya terhadap sesuatu itu -- menjadikannya sebagai pilihan jiwa dan kecintaan. [5]

Maka da’wah merupakan sesuatu yang dibutuhkan setiap manusia untuk mengarahkan dan menjadikan kebaikan sebagai sesuatu yang dicintai bagi dirinya. Serta mengalihkan jiwanya dari kecenderungan menyukai perbuatan buruk.

Catatan Pustaka
  1. Wahbah bin Musthafa az Zuhaily, op.cit, Vol 7, hlm 13.
  2. Asy Syarif al Jurzani, Kitab al Ta’rifat, Beirut : Daar al Kutub al ‘Ilmiyyah,1403 H, hlm 243.
  3. Syihabuddin al Alusi, Ruuh al Ma’aniy, Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyah, 1415 H, Vol 7, hlm 5.
  4. Abu Muhammad al Baghawi, Ma’alim at Tanziil fi Tafsir al Qur’an, Beirut : Daar Ihyau at Turats al ‘Arabiy, 1420 H,Vol 5, hlm 258.
  5. Majiduddin Abu Thahir Muhammad bin Ya’qub al Al Fairuz Abadiy, Bashairu Dzawi at Tamyiz fi Lathaif al Kitab al Aziz, Qahirah : Lajnah Ihya at Turats al ‘Araby, 1412 H, vol 5, hlm 359.

KEWAJIBAN TABLIGH



حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ، أَخْبَرَنَا الأَوْزَاعِيُّ، حَدَّثَنَا حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ، عَنْ أَبِي كَبْشَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً، وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلاَ حَرَجَ، وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ»
Memberitakan kepada kami Abu ‘Ashim bin Makhlad, mengabarkan kepada kami al Auza’i, memberitakan kepada kami Hasan bin ‘Athiyah, dari Abi Kabsyah, dari Abdullah bin Amr, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka”[1]

PENJELASAN HADITS

Hadits ini menjelaskan bahwa barangsiapa yang mengetahui sesuatu dari ilmu pengetahuan dan kemaslahatan maka wajib baginya untuk bertabligh jika tidak ada orang lain yang menyampaikannya. Karena hal ini merupakan kewajiban dan terdapat larangan menyembunyikan ilmu. “Bentuk perintah tabligh dalam hadits ini menunjukkan hukum fardhu kifayah”[2].

Tabligh adalah menyampaikan sesuatu yang diterimanya sebagaimana adanya tanpa melalui proses interpretasi sebagaimana fatwa. Perintah tabligh dalam hadits ini tidak dibatasi temanya banyak maupun sedikit. Pengertian dari kalimat (بَلِّغُوا عَنِّي) adalah,
انْقُلُوا إِلَى النَّاسِ، وَأَفِيدُوهُمْ مَا أَمْكَنَكُمْ، أَوْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِمَّا سَمِعْتُمُوهُ مِنِّي، وَمَا أَخَذْتُمُوهُ عَنِّي مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ، أَوْ تَقْرِيرٍ بِوَاسِطَةٍ أَوْ بِغَيْرِ وَاسِطَةٍ [3]
“beritakanlah kepada manusia sesegera mungkin, sesuai dengan kesanggupan kalian dari apa yang kalian dengar dariku atau yang  kalian dapat dariku dari perkataan, perbuatan atau ketetapan ku dengan perantara maupun tanpa perantara.”

Hamzah Muhammad Qasim berpendapat bahwa hadits ini berisi perintah yang tegas untuk bertabligh bagi setiap orang yang memiliki pengetahuan,
وهذا أمر صريح لكل من وصل إلى مسامعه شيء من حديث رسول الله أن يبلغه، وينقله لغيره، سواء كان قليلاً أو كثيراً، ولو آية واحدة من القرآن[4]
“ini adalah perintah yang jelas bagi setiap muslim yang mendengar sesuatu dari Rasulullah saw untuk menyampaikan kepada yang lainnya banyak maupun sedikit, meskipun hanya satu ayat dari al Qur’an.”

Lebih luas dari pendapat di atas, Ibn ‘Utsaimin mengatakan bahwa kewajiban tabligh tidak hanya terkait dengan ayat al Qur’an saja, melainkan seluruh ajaran Rasulullah yang terhimpun dalam jalan hidupnya.
بلغوا الناس بما أقول وبما أفعل وبجميع سنته عليه الصلاة والسلام[5]
“sampaikanlah kepada manusia dari perkataan dan perbuatan yang dihimpun dalam sunnah Nabi Muhammad saw”.

Terkait dengan pengertian (وَلَوْ آيَةً), Para ulama berbeda pendapat tentang hal tersebut. Menurut al Baidhowi yang dimaksud adalah ayat al Qur’an dan bukan hadits, ia mengatakan,
“فَإِن الْآيَات مَعَ تكفل الله بحفظها وَاجِبَة التَّبْلِيغ”[6]
karena ayat al Qur’an Allah bebankan bagi manusia untuk menghafalkan serta kewajiban untuk menyampaikannya.

Namun ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud (وَلَوْ آيَةً)  adalah perkataan yang berfaedah yaitu hadits-hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, atsar salafush shalih, dll. atau semua hukum-hukum yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw.[7] Dengan demikian kewajiban bartabligh menjadi lebih luas menyangkut kemaslahatan secara umum baik dalam hal agama maupun kehidupan dunia. Melingkupi kemaslahatan pribadi maupun sosial. Allah ta’ala melaknat bani Israil karena menyembunyikan kebenaran yang telah mereka dapatkan dari al Kitab.
إن الذين يكتمون ما أنزلنا من البينات والهدى من بعد ما بيناه للناس في الكتاب أولئك يلعنهم الله ويلعنهم اللاعنون
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati.”

Adapun maksud atau tujuan dari perintah Rasulullah saw untuk segera menyampaikan darinya walaupun hanya satu ayat adalah agar terjadi kesinambungan pengetahuan kepada muslim lain yang tidak hadir atau berada ditempat lain.

Demikian pendapat Ibnu Hajar ,
"أَيْ وَاحِدَةً لِيُسَارِعَ كُلُّ سَامِعٍ إِلَى تَبْلِيغِ مَا وَقَعَ لَهُ مِنَ الْآيِ وَلَوْ قَلَّ لِيَتَّصِلَ بِذَلِكَ نَقْلُ جَمِيعِ مَا جَاءَ بِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ" [8]
Hal ini dimaksudkan agar setiap orang yang mendengar suatu perkara dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersegera untuk menyampaikannya, meskipun hanya sedikit. Tujuannya agar perkataan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dapat segera tersambung dan tersampaikan seluruhnya.

Hadits ini juga berisi kebolehan menceritakan sesuatu dari bani Israil, serta larangan berdusta atas nama Rasulullah saw. Hal ini menegaskan kembali bahwa kewajiban bertabligh melingkupi tema yang sangat luas terkait dengan kemaslahatan manusia. Disebutkan bahwa kebolehan menceritakan dari bani Israil terkait dengan, “pembicaraan yang tidak bertentangan dengan al Qur’an dan hadits yang shahih.”[9] Adapula sebuah pendapat yang bertentangan. Bahwa yang dimaksud (وَلاَ حَرَجَ) adalah, “tidak mengapa meninggalkan pembicaraan tersebut.”[10] Dalam artian seorang muslim boleh menceritakan sesuatu dari bani Israil ataupun mengabaikannya. “Hukum menyampaikan sesuatu dari bani Israil dalam hadits ini adalah mubah”[11].

Larangan berdusta atas nama Rasulullah saw dalam hadits ini merupakan batasan dari keluasan bertabligh. “Para ulama sepakat bahwa merupakan dosa besar orang yang sengaja berdusta atas nama Rasulullah saw.”[12] bahkan ada yang menghukuminya dengan kafir[13]. Dari Al Mughirah, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ ، مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ [14]
“Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.”

Dalam hadits lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
حَدِّثُوا عَنِّي بِمَا تَسْمَعُونَ، وَلَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يَكْذِبَ عَلَيَّ، فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ بُنِيَ لَهُ بَيْتٌ فِي جَهَنَّمَ يَرْتَعُ فِيهِ [15]
“Sampaikanlah dariku apa yang kalian dengan, dan janganlah berdusta atas namaku. Barangsiapa berdusta atas namaku, maka akan dibangunkan baginya rumah di (neraka) Jahannam.”
 
Catatan Pustaka
  1. Muhammad  bin Isma’il Abu Abdullah al Bukhari, Shahih al Bukhari,(Saudi Arabia: Daar Thuwaiq an Najah, 1422 H),Vol 4, hlm 170 hadits no 3461.
  2. Ibnu Hajar al Asqalany, Fathul Baary Syarh Shahih al Bukhari,(Beirut: Daar al Ma’rifah, 1379 H), Vol 6, hlm 498.
  3. Nuruddin al Mala al Harawi al Qari, Mirqatul Mafatih Syarh Miskat al Mashabih, (Beirut: Daar al Fikr, 1422 H),vol 1, hlm 280.
  4. Hamzah Muhammad Qasim, Manar al Qaari Syarh Mukhtashar Shahih al Bukhari, (Damaskus : Maktabah Daar al Bayan, 1410 H),Vol 4, hlm 212.
  5. Muhammad bin Sholih bin Muhammad bin ‘Utsaimin, Syarh Riyadus Shalihin, (Riyadh: Daar al Wathan lin Nasyr, 1421 H), Vol 5, hlm 431.
  6. Badruddin al ‘Ainiy, ‘Umdatul Qaari Syarh Shahih al Bukhari,(Beirut: Daar Ihyau at Turats al ‘Araby, tt), vol 16, hlm 45.
  7. Abdurrahman al Mubarakfury, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’ at Tirmidzi, (Beirut: Daar al Kutub al ‘Ilmiyah, tt), vol 7, hlm 360.
  8. Ibnu Hajar al Asqalany, loc.cit.
  9. ibid, vol 6, hlm 499.
  10. Badruddin al ‘Ainiy, lo.cit.
  11. ibid, vol 16, hlm 46.
  12. Ibnu Hajar al Asqolany, loc.cit.
  13. ibid.
  14. Muhammad bin Isma’il al Bukhari, Shahih al Bukhari, (Riyadh: Daar Thuwaiq an Najah, 1422 H), vol 2, hlm 80, hadits no 1291.
  15. Abul Qasim ath Thabrani, al Mu’jam al Kabir, (Cairo : Maktabah Ibnu Taimiyah, 1415 H) vol 3, hlm 18, hadits no 2516.

BERKURBAN ATAS NAMA ORANG LAIN



Dalam tabyin al haqaa’iq disebutkan bahwa kurban adalah “اسْمٌ لِحَيَوَانٍ مَخْصُوصٍ بِسِنٍّ مَخْصُوصٍ يُذْبَحُ بِنِيَّةِ الْقُرْبَةِ فِي يَوْمٍ مَخْصُوصٍ عِنْدَ وُجُودِ شَرَائِطِهَا وَسَبَبِهَا” nama bagi hewan yang khusus disembelih dengan niat mendekatkan diri kepada Allah pada hari yang ditentukan sesuai dengan syarat-syarat dan sebab-sebabnya.[1]

Hukum kurban menurut jumhur ulama – syafi’iyyah, hanabilah dan malikiyyah -- adalah sunnah muakkad  sebagaimana hadits Rasulullah saw[2] “إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ وَعِنْدَهُ أُضْحِيَّةٌ يُرِيدُ أَنْ يُضَحِّيَ، فَلَا يَأْخُذَنَّ شَعْرًا، وَلَا يَقْلِمَنَّ ظُفُرًا” jika telah masuk hari ke sepuluh pada musim kurban kemudian salah seorang dari kalian ingin berkurban maka hendaklah ia tidak memotong rambut dan kuku(hewan kurban)nya (hingga datang hari berkurban).

Jumhur ulama berpendapat sesuai dengan hadits ini keinginan berkurban tidak menunjukkan dalil wajibnya kurban melainkan sunnah. Sebab kewajiban tidak terkait dengan keinginan seorang mukallaf.
Menurut mazhab syafi’iyyah,[3] tidak dibolehkan berkurban atas nama orang lain kecuali seizin orang itu, sebagaimana tidak boleh berkurban untuk orang yang sudah mati kecuali jika si mayit pernah mewasiatkan sebelumnya. Sebagaimana dalil firman Allah dalam surat an najm 39 : “وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى” dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.

Menurut madzhab maliki,[4] makruh hukumnya berkurban atas nama orang yang sudah meninggal, apabila si mayit tidak menetapkan hewan tertentu sebagai kurban sebelum wafatnya. Namun apabila si mayit menetapkannya maka sunnah hukumnya merealisasikan kurban tersebut.
Adapun menurut mazhab Hanafi dan Hambali,[5] dibolehkan berkurban atas nama orang yang sudah meninggal. Dan pahalanya sampai kepada si mayit.

Catatan Pustaka
[1] Fakhruddin al Hanafi: Tabyiin al Haqaa’iq, Mesir: al Mathba’ah al Kubro, 1414 H, jilid 6, hlm 2.
[2] Muslim bin Hajjaj: Shahih Muslim, Beirut: Daar Ihya at Turats al ‘Araby. tt, jilid 3, hlm 1565.
[3] Lihat Khatib asy Syarbini asy Syafii: Mughni al Muhtaj ila Ma’rifat Ma’ani Alfadz al Minhaj, Beirut: Daar al Kutub al ‘Ilmiyyah, Jilid 6, hlm 137.
[4] Lihat Muhammad bin Ahmad ad Dasuqy al Maliky : Hasyiyatu ad Dasuqy ala Syarh al Kabir, Beirut: Daar al Fikr. tt, jilid 2, hlm 122.
[5] Lihat al Bahuty: Kasyaf al Qina’. Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyyah, tt, jilid 3, hlm 18.

URGENSI DAKWAH DALAM AL QUR'AN 1



Dakwah adalah Kewajiban Syari’at (الدعوة فريضة شرعية)

Allah ta’ala berfirman dalam surat Ali Imran ayat 104 sebagai berikut,
ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولئك هم المفلحون
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (Ali Imran 104)

Huruf lam pada lafaz waltakun dalam firman Allah ini adalah untuk menyatakan perintah[1], sedangkan perintah itu menuntut suatu kewajiban. Demikian menurut Ibnu Asyur, shigat (bentuk) lafaz waltakun minkum ummah merupakan bentuk wajib karena menerangkan perintah.[2] Dalam menafsirkan ayat ini, Wahbah az Zuhaili berpendapat,
 يأمر الله تعالى الأمة الإسلامية بأن يكون منها جماعة متخصصة بالدعوة إلى الخير والأمر بالمعروف والنّهي عن المنكر، وأولئك الكمّل هم المفلحون في الدّنيا والآخرة”[3]
Allah ta’ala memerintahkan bagi ummat Islam tentang keharusan adanya sekelompok jama’ah yang khusus menangani perintah berda’wah kepada kebaikan menyeru yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran, mereka itulah kemenangan yang sempurna di dunia dan akhirat.

Sayyid Quthb berpendapat bahwa “إن قيام هذه الجماعة ضرورة من ضرورات المنهج الإلهي ذاته”[4] menegakkan jamaa’ah da’wah ini merupakan kewajiban darurat sebagaimana kedaruratan menegakkan system Ilahiyah itu sendiri.  Menurut Ibnu Katsir, maksud yang terkandung dalam ayat ini adalah,
أَنْ تَكُونَ فرْقَة مِنَ الأمَّة مُتَصَدِّيَةٌ لِهَذَا الشَّأْنِ، وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ وَاجِبًا عَلَى كُلِّ فَرْدٍ مِنَ الْأُمَّةِ بِحَسْبِهِ”[5]
bahwa hendaklah ada sekelompok orang dari ummat Islam yang dikerahkan untuk menanangani perintah da’wah ini, walaupun tuhgas ini merupakan kewajiban bagi setiap individu ummat Islam sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing.

Dari Abu Sa’id ra, bahwasanya Rasulullah telah bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ.[6]
“Barangsiapa diantara kalian melihat sebuah kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan perkataannya, jika tidak mampu maka dengan hatinya dan itulah selemah-lemah iman ”

Tentang wajibnya berda’wah menerangkan kebenaran juga tersirat dari makna pelarangan menyembunyikan ilmu, sebagaimana firman Allah ta’ala pada surat al Baqarah ayat 159,
إن الذين يكتمون ما أنزلنا من البينات والهدى من بعد ما بيناه للناس في الكتاب أولئك يلعنهم الله ويلعنهم اللاعنون.
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati.”

Ayat ini turun terkait dengan perilaku para pendeta yahudi yang menyembunyikan kebenaran,[7] Meskipun demikian ancaman dalam ayat ini tidak hanya diperuntukkan bagi pendeta-pendeta Yahudi saja, melainkan berlaku secara umum. Al Qurthubi mengemukakan bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah setiap orang yang menyembunyikan kebenaran.
الْمُرَادُ كُلُّ مَنْ كَتَمَ الْحَقَّ، فَهِيَ عَامَّةٌ فِي كُلِّ مَنْ كَتَمَ عِلْمًا مِنْ دِينِ اللَّهِ يُحْتَاجُ إِلَى بَثِّهِ”[8]
Ayat ini bersifat umum. Mencakup semua orang yang menyembunyikan ilmu agama yang harus disyiarkan.

Da’wah sebagai sebuah kewajiban syari’at juga terdapat pada surat al Ashr. Dalam surat ini Allah mensifati manusia yang tidak berda’wah itu berada dalam kerugian,
والعصر. إن الإنسان لفي خسر. إلا الذين آمنوا وعملوا الصالحات وتواصوا بالحق وتواصوا بالصبر.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.”

Dalam ayat ini terdapat hikmah tentang kerugian orang-orang yang tidak berda’wah. Az Zuhaili berpendapat,
حكم اللَّه تعالى بالوعيد الشديد لأنه حكم بالخسارة على جميع الناس إلا من كان آتيا بأشياء أربعة أو متصفا بصفات أربع، وهي: الإيمان، والعمل الصالح، والتواصي بالحق، والتواصي بالصبر.”[9]
Allah ta’ala mengancam manusia dengan ancaman yang keras dengan kerugian bagi seluruh manusia kecuali mereka yang memiliki sifat beriman, beramal shaleh serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.

Ar Razi berpendapat,
دَلَّتِ الْآيَةُ عَلَى أَنَّ الْحَقَّ ثَقِيلٌ، وَأَنَّ الْمِحَنَ تُلَازِمُهُ، فَلِذَلِكَ قَرَنَ بِهِ التَّوَاصِيَ”[10]
ayat ini menunjukkan bahwa kebenaran itu berat dan ujian tidak dapat dihindari dan yang demikian itu terkait dengan kegiatan saling menasihati. Maksudnya adalah beratnya menegakkan kebenaran dan ujian yang senantiasa menimpa manusia merupakan bukti pentingnya da’wah dalam bentuk saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.

Catatan Pustaka
[1] Mahmud bin Abdurrahim shafiy, al Jadwal fi I’rabil Qur’an al Karim, Damaskus : Daar Ar Rasyid, 1418 H, vol 4, hlm 265.
[2] Muhammad ath Thahir bin Muhammad bin Muhammad ath Thahir bin ‘Asyur at Tunisiy, at Tahrir wa at Tanwir, Tunisia : Daar at Tunisiah li an Nusyr, 1984, vol 4, hlm 37.
[3] Wahbah bin Musthafa az Zuhaily, at Tafsir al Munir fi al Aqidati wa asy Syari’ati wa al Manhaj, Damaskus : Daar al Fikr al Muashir, 1418 H, Vol 4, hlm 33.
[4] Sayyid Quthb Ibrahim Husain asy Syarabi, Fi Dzilalil Qur’an, Cairo : Daar as Syuruq, vol 1, hlm 44.
[5] Abul Fida Ismail bin ‘Amr bin Katsir al Qurasyi, Tafsir al Qur’an al Adzhim, Daar Thoyyibah, 1420 H,Vol 2, hlm 91.
[6] Muslim bin al Hajjaj Abul Hasan al Qusyairi an Naisabury, Shahih Muslim, Beirut : Daar Ihya at Turats al Araby,tt, Vol 1, hlm 69.
[7] Abul Hasan al Wahidiy, Asbab an Nuzul, Ad Damam : Daar al Ishlah, 1412 H, Hlm 47.
[8] Syamsuddin al Qurthubi, al Jami’ li Ahkam al Qur’an, Cairo : Daar al Kutub al Mishriyah, 1384 H, Vol 2, hlm 148
[9] Wahbah bin Musthafa az Zuhaily, op.cit, Vol 30, hlm 395.
[10] Fakhruddin arRazi, Mafatih al Ghaib, Beirut : Daar Ihya at Turats al ‘Arabiy, 1420 H, Vol 32, hlm 282.