Hafidzat



Sigit Suhandoyo. Kajian para penafsir al-Qur’an tentang peran istri dalam keluarga memiliki dimensi dan sumber transenden. Secara harfiah terinterpretasikan dari realitas  cinta yang primordial. 


Pendekatan terhadap pemaknaan hafidzat, menunjukkan upaya memasuki wilayah privasi terdalam eksistensi sebuah keluarga. Invasi itu menerobos kedalam relung jiwa wanita, menyatukan hal-hal yang saling bertentangan dari esensi dan bentuk kehidupan keluarga. Seperti sebuah shibghah terhadap inti sebuah keluarga, yang menjadikan kehidupan keluarga setelah itu tak bisa tidak, harus dijalani dengan lebih baik.


Pakar tafsir zaman Dinasti Murabitun, Ibnu athiyah menuturkan pengertian yang paling mendasar tentang hafidzat sebagai wanita yang menjaga terlaksananya perintah-perintah Allah melalui ketundukan, ketaatan, rasa takut kepada Tuhan.(1)  


Sebagaimana halnya sebuah bentuk kreativitas, visi tersebut kemudian berevolusi secara perlahan menjadi semakin universal, mentransformasikan dimensi ilahiyah, dari pribadi kepada kehidupan keluarga.


Gagasan ini disampaikan Maha Guru tafsir dari lereng Alborz, ath-Thobari. Menurutnya hafidzat adalah para wanita yang selain hidupnya diliputi oleh berbagai kualitas rasa yang sangat dalam dan tulus dalam menjaga hak Allah,  menjaga kehormatan diri dan suaminya, meski sedang berada dalam kesendirian.(2) 


Para hafidzat itu menyikapi makna-makna kehidupan yang tidak selalu koheren dengan menghadirkan Allah. Pengalaman itu tergambar sebagai shibghah ilahiyah yang membebaskan desakan perasaan atas kekurangan suami, dan mengalirkan kerinduan.


Penafsir dari abad 10 H, Syaikh ‘Ulwan dari Nakhjawan menuturkan, para hafidzat itu senantiasa memelihara kewajiban-kewajiban batiniah yang tersembunyi.(3)  Mereka menempatkan suami sebagai satu-satunya kekasih yang sepenuhnya mendapatkan kecintaan yang mendalam,(4)  imbuh Muqatil Ibnu Sulaiman.


Sebagai hasrat yang paling sensitif dari kerinduan suci, cinta dalam keluarga mengungkapkan dirinya dalam rahasia yang tersembunyi. Muhammad Rasyid bin Ali Ridho mengemukakan, hafidzat itu adalah para wanita yang menjaga segala perkara rahasia, dan tidak menampakkan dari dirinya segala sesuatu yang khusus hanya untuk suaminya.(5)  Pengertian semacam ini juga diamini oleh Maha Guru Tafsir Musthofa al Maraghi.


Dan seperti kata-kata, kualitas ini kemudian mengungkapkan pemaknaaan, melakukan identifikasi dan separasi secara spasial. As-Sa’dy mengemukakan hafidzat itu adalah para wanita yang senantiasa menjaga dirinya dari syubhat, menjaga amanah, merawat rumah, menjaga keluarga dengan pendidikan yang baik, adab yang bermanfaat bagi agama dan dunia. Para hafidzat itu mengerahkan seluruh potensinya seraya mengetuk pintu-pintu pertolongan dan kasih sayang Allah melalui munajat dan pertaubatan sejati.(6)  


Melalui pengalaman sejati, hafidzat itu memperoleh pandangan baru kebenaran dan kebermaknaan. Kekuatan cinta mereka kepada Allah menjadi dasar atas terjaganya rahasia dan kekurangan suami terkasih. Menjadi pondasi bagi lahirnya keberadaban. 


Mereka menjadikan Allah bukan sebagai realitas Maha Mengetahui yang berada jauh diluar sana, melainkan menghadirkan Allah dalam pikiran, hati dan wujud tingkah laku. Melalui pengalaman sejati, hafidzat menempuh perjalanan spiritual kedalam wilayah yang tak dapat dijangkau melalui persepsi wanita biasa. 


Hafidzat bukanlah merupakan definisi dari sebuah inferioritas kultural dan spiritual. Mereka meletakkan nilai transenden di pusat kehidupan keluarga, menanamkan sikap batin, serta menjaga arah perjalanan keluarga. Dan dalam keheningannya yang fasih, mereka tak lekang memuji Tuhannya.


Catatan Kaki

  1. Ibnu ‘Athiyah al-Andalusi, al-Muharar al-Wajiz Fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Cetakan pertama, 1422 H), Juz 2, hlm 47.
  2. Abu Ja’far al-Thabari, Jami’ al-Bayan Fi Ta’wil al-Qur’an, (Beirut: Muassasatu al-Risalah, Cetakan pertama, 1420 H),Juz 8, hlm 295.
  3. Ni’matullah bin Mahmud al-Nakhjawani, al-Fawatih al-Ilahiyah wa al-Mafatih al-Ghaibiyah, (Mesir: Dar Rukabi li an-Nashr, cetakan pertama 1419 H), Juz 1, hlm 151.
  4. Muqatil bin Sulaiman, Tafsir Muqatil bin Sulaiman, (Beirut: Dar Ihyau Turats, Cetakan pertama, 1423 H), Juz 1, hlm 371
  5. Muhammad Rasyid Ridha al-Husaini, Tafsir al-Manar, (Mesir: al-Haiah a-Mishriyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1990), Juz 5, hlm 58.
  6. Abdurrahman al-Sa’di, Taisir al-Lathif al-Manan Fi Khalasah Tafsir al-Qur’an, (Kerajaan Saudi Arabia: Departemen Urusan Islam, Cetakan pertama, 1422 H), Juz 1, hlm 138.

 

Qanitat




Sigit Suhandoyo. Sebagai sebuah integritas utama seorang wanita, Qanitat atau keta’atan berkaitan erat dengan ketaksempurnaan alamiah manusia dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan dari Zat Yang Maha Sempurna. Pertumbuhan akan terjadi jika manusia menyadari bahwa dirinya inferior dan membutuhkan Tuhan, seraya secara tak terhentikan berjuang keras mengembangkan jiwa secara gradual dan alamiah.

Pengertiaan Qanitat sebagai wanita yang penuh keta’atan,(1)  sebagaimana dikemukakan oleh Mujahid bin Jabr, menunjukkan bimbingan kepada kaum wanita yang menuntut kualitas keyakinan dan moral yang lahir dari visi tentang Tuhan yang Maha Suci.

Gagasan murid Ibnu Abbas ra tersebut diikuti oleh sebagian besar penafsir Qur’an. Bahkan penulis tafsir Mafatihul Ghaib, Fakhruddin Razi mengemukakan sebuah narasi, bahwa beragam derivasi teks qunut dalam al-Qur’an mengandungi arti keta’atan(2) .

Beragam pengertian Qanitat berikut, menunjukkan ragam makna keta’atan yang menunjukkan keutamaan wanita, penuh kehormatan dan menginspirasi. Seperti sebuah wiracarita tentang perjuangan memasuki zona esensial kehidupan yang penuh pengorbanan.
 
Ash-shobuni. Penulis tafsir Shofwatu Tafasir ini mengemukakan gagasan, bahwa qanitat adalah wanita yang melazimkan pengabdian kepada Tuhan dengan penuh ketundukan.(3)  

Isma’il Haqi, penulis tafsir Ruhul Bayan mengemukakan, qanitat adalah wanita yang tekun dan teratur mewujudkan keta’atan kepada Tuhan.(4) 

Keta’atan itu diiringi kesatuan tekad, kejelasan arah tujuan, serta penuh harap dan cinta kepada Tuhan,(5)  Imbuh Sayyid Quthb penulis tafsir Fii Dzilalil Qur’an. 

Qanitat menunjukkan konsepsi menarik mengenai kedalaman jiwa wanita yang merefleksikan orientasi eksoteris dan esoteris kepada Tuhan Yang Maha Suci. Orientasi ini membuat hati pemiliknya, senantiasa terkait dengan Tuhan, merekomendasikan gagasan tentang esensi dalam memandang seluruh kehidupan, terutama usaha kreatif dan gagasan-gagasan moral terhadap Tuhan dan sesama.

Ketulusan, Qanitat adalah wanita yang keikhlasannya teruji dalam keadaan susah maupun senang.(6)  Ungkap pakar ilmu munasabah, Burhanuddin dari lembah Biqa’.

Keinsyafan. Qanitat adalah wanita yang senantiasa kembali dari segala sesuatu yang tak disukai Allah kepada yang disukai Allah.(7)  Imbuh pemikir agung dari zaman keemasan Dinasti ‘Abassiyah, al-Mawardi. 

Kehormatan, Qanitat adalah wanita yang terjaga kesuciannya dari perbuatan tercela karena agamanya,(8)  tambah Abu Laits pakar tafsir dari Samarkand. 

Keakraban. Qanitat  adalah wanita yang banyak mencurahkan waktu untuk bersujud dan menyampaikan permohonan kepada Tuhannya,(9)  demikian tutup Abu Ishaq, sang pemberi nasihat dari Tsa’lab.

Tidak saja merefleksikan keindahan abstraksi batiniyah, qanitat terlihat pula dalam perspektif lahiriah yang menawan. Ketaatan wanita kepada Tuhan memenuhi potensi esensial watak ilahiyah pada batiniyah mereka, teradaptasi dalam aspek lahiriah.

Pakar tafsir lughowi dari abad 6 hijriah, Mahmud bin abil hasan an-Naisabury, memberikan kesaksian yang mengharukan dan mencerahkan, tentang makna qanitat sebagai wanita yang memegang teguh hak-hak suami dalam rangka pengabdian kepada Tuhan.(10) 

Dikarenakan pengabdian mereka kepada Tuhan, para wanita itu mempersembahkan kepada suaminya kemurnian jiwa dan ketentraman hati,(11)  ungkap maha guru tafsir universitas al-Azhar, Sayyid Thantawi.

Konsistensi batiniyah dan lahiriyah menjadi arsitek bagi kebermaknaan wanita. Seperti koherensi kimiawi, menimbulkan daya tarik molekul-molekul yang menghindarkan terpisahnya bagian-bagian.  Para pembawa energi ilahiyah itu menumbuhkan kedamaian dan ketenangan tertentu disekitar mereka, memberi rasa akan kebermaknaan.
Qanitat. Para wanita penuh kasih itu terbakar oleh hasrat mengabdi yang suci. Menjaga keseimbangan yang memikat antara pola fikir lahiriyah dan batiniyah karena Tuhannya. Mendatangkan kedamaian bagi sesama, menggagas makna batin peradaban. Hasbunallah wa ni’mal wakil

Catatan Kaki
  1. Mujahid bin Jabr, Tafsir Mujahid, (Mesir: Dar al-Fikr al-Islami al-Haditsah, Cetakan pertama 1410 H), hlm 275.
  2. Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar Ihyau Turats al-‘Arabi, Cetakan ke 3, 1420 H), Juz 6, hlm 488.
  3. Muhammad Ali al-Shabuni, Shafwatu al-Tafasir, (Cairo: Dar al-Shabuni, Cetakan pertama, 1417 H), Juz 1, hlm 250.
  4. Isma’il Haqi, Ruh al-Bayan, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Juz 2, hlm 202.
  5. Sayyid Quthb, Fi Dzilal al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Syuruq, Cetakan ke 17, 1412 H), Juz 2, hlm 652.
  6. Burhanuddin al-Biqa’i, Nadhmu al-Durar fi Tanasubi al-Ayat wa al-Suwar, (Cairo: Dar al-Kitab al-Islami, tth), Juz 20, hlm 194.
  7. Abul Hasan al-Mawardi, al-Nukat wal ‘Uyun, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth), Juz 6, hlm 41.
  8. Abu al-Laits al-Samarqandi, Bahr al-‘Ulum, (Beirut: Dar al-Fikr,tth), Juz 1, hlm 300.
  9. Abu Ishaq al-Tsa’labi, Al-Kasyaf wa al-Bayan ‘an Tafsir al-Qur’an, (Beirut; Dar Ihyau al-Turats al-‘Arabiy, Cetakan pertama, 1422 H), Juz 9, hlm 349.
  10. Nidzham al-Din al-Qumi al-Naisabury, Gharaib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Cetakan pertama, 1416 H), Juz 2, hlm 409. Lihat juga Juz 1, hlm 656.
  11. Muhammad Sayyid Thantawi, Al-Tafsir Al-Wasith li al-Qur’an al-Karim, (Cairo: Dar Nahdhah, 1997), Juz 3, hlm 138.

Rasul pun Mencintai Wanita



Sigit Suhandoyo  


حُبِّبَ إِلَيَّ مِنْ دُنْيَاكُمُ النِّسَاءُ وَالطِّيبُ، وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ.(1) 


Allah telah membuatku mencintai dari dunia; kaum wanita dan wewangian dan penyejuk pandangan mataku ialah shalat.


Cinta itu sesuatu yang putih bersih, tersembunyi namun terlahirkan. Demikianlah yang dituliskan oleh Muhammad dalam Madarijus Salikin. Salah satu masterpiecenya, yang menuturkan tentang jalan-jalan spiritual para Salik.


Seperti itulah cinta, kesuciannya terjaga di lubuk hati. ia terkekang, bersembunyi dan malu untuk menampakkan dirinya. Namun ia juga ingin terlahirkan, ingin berbagi keindahannya. Dalam keheningannya, ia bergemuruh. Dalam kebisuannya, ia menyapa. Tak dapat ditutup-tutupi, cinta selalu menginginkan melantunkan pujian bagi kekasihnya, sentimental penuh gairah.


Pemilik nama pena Ibnul Qayyim al-Jauziyah ini menuturkan lebih lanjut, Cinta itu sesuatu yang konsisten, kokoh, menjaga dan memiliki.(2)  Entah kita menyadarinya atau tidak, cinta adalah akar dari eksistensi manusia. Ia adalah unsur elementer bagi proses kreatif kebajikan.


Seperti juga yang dituturkan oleh Ar-Raghib; Sang Perindu dari Isfahan. Cinta itu ingin memiliki dan takut berpisah. Cinta menginginkan kebaikan dan kemuliaan, bukan kenistaan.(3)  Melalui cinta, Allah sematkan pandangan baru tentang makna kebenaran dan pertaubatan. Yang secara mendasar Al-Ghazali menyebutkannya sebagai sepasang sayap; rasa harap dan rasa takut.


Pakar tafsir al-Qurthubi mengemukakan, hadits tersebut di atas menjelaskan bahwa Rasulullah saw memiliki watak kemanusiaan, menikmati keindahan atas penciptaan manusia. Allah ta’ala mensyari’atkan kepada manusia kecenderungan kepada kebenaran dengan mudah. Keberadaan syahwat tidak menjadikan manusia hina, ketika manusia kembali kepada hukum-hukum Allah dengan hati yang bersih.(4) 


Mencintai wanita bagi Nabi saw, adalah sebuah momentum lahirnya gerakan legalistik dan asketik bagi pemuliaan wanita. Berbakti kepada ibu, menikah, memuliakan wanita, mengasihi anak wanita, adalah diantara aspek cinta positif dan sehat yang terlegitimasi.


Mencintai wanita bagi Nabi saw, bukan suatu symbol hiperseksual, sebagaimana tuduhan para kritikus. Ia adalah tahapan normatif dan formatif untuk memindahkan wanita dari posisinya sebagai; penghasut pada kejahatan, pemaling perhatian pria dari upaya intelektual dan spriritual, maupun komoditas yang dapat diperdagangkan dan diwariskan. Sebagaimana pandangan tradisi sebelum Nabi saw terhadap wanita.


Mencintai wanita (istri) atas segala aspek kewanitaannya adalah keta’atan, salah satu bentuk penghambaan diri kepada Allah yang bernilai ibadah. 


Pakar hadits Ibnu Rajab al-Hanbali menyebutnya sebagai bentuk kedinamisan beribadah. Menikahi dan mencintai wanita (istri) adalah pengalaman keagamaan; separuh dien. Dalam pengalaman ini hal-hal yang saling bertentangan berbaur, tanpa batas, tak ada perbedaan, melahirkan warna-warni yang harmoni dan menyatu. Dinamis. Wanita dan wewangian itu menguatkan ruh, meningkatkan semangat hidup, demikian tutup Ibnu Rajab.(5) 


Kenapa dalam hadits ini, wanita lebih awal disebutkan dari sholat? Padahal shalat adalah sebaik-baik perkara agama. 


Nuruddin al-Qari menyebutkan wanita adalah perkara terbesar yang menguji kehidupan manusia di dunia. Bukan untuk dijauhi, bukan pula untuk dinistakan, melainkan untuk dicintai dalam segala skema cinta dalam agama.


Selanjutnya penulis Mirqatul Mafatih ini menuturkan, kebaikan dalam hubungan cinta akan menjadi dasar bagi pemiliknya untuk meraih kebaikan dalam sholat. Meraih sebaik-baik perkara akhirat, beralaskan sebaik-baik perkara dunia. Bukankah dunia itu perhiasan? dan sebaik-baik perhiasan dunia itu wanita (istri) sholihat,(6)  Demikian pakar hadits asal khurasan ini menyimpulkan.


Sependapat dengan al-Qari, Zainuddin al-Munawi pensyarah kitab hadits al-Jami’ush Shagir ini menuturkan. Disebutkan wanita lebih awal, karena wanita adalah bagian dari pria, yang ujud lahiriyahnya merupakan penyejuk pandangan mata (qurratu a’yun) suaminya. Dan sholat sebagaimana dicontohkan Nabi, hendaknya menjadi penyejuk pandangan mata batin. Istri adalah bagian dari diri suaminya, mengenali istri merupakan bagian dari mengenali diri sendiri. Dan siapa yang mengenali dirinya Ia akan mengenali Tuhannya.(7)  


Demikianlah, wujudnya cinta suami istri adalah awal dari wujudnya berbagai kebaikan perkara akhirat. Al-Ghazali menyebutkannya sebagai nilai didaktik cinta “metaforis” dalam mencintai Allah secara sejati. 


Gagasan yang menggelitik dikemukakan oleh Ismail Haqi -Dalam tafsirnya yang bercorak Isyari, Ruhul Bayan- ia menuturkan, termasuk keperkasaan maskulin (jima’) suami kepada istrinya, merupakan kebaikan bagi agama keduanya.(8) 


Dalam pandangan ini, cinta adalah realitas yang terang, merambah semua tataran wujud, jiwa dan raga, menuntut penerimaan penuh, kelembutan, kesungguhan, perhatian dan tanggung jawab. 


Ismail Haqi memandang bahwa energi erotis dan konsekuensinya adalah upaya yang dilakukan para pencari kebenaran untuk meniti jalan kepada Tuhannya. Inilah sebabnya menurut pandangan sementara kaum sufi, manusia bisa lebih mulia dari malaikat, karena malaikat tak memiliki hawa nafsu.


Boleh setuju ataupun tidak, Sahl at-Tustari, seorang penafsir dari abad 3 hijriah, bahkan mengaitkan keperkasaan maskulin seorang pria atas istrinya, dengan tingginya tingkat keshalihan. Sebuah gagasan yang juga diamini oleh al-Hakim at-Tirmidzi dari abad berikutnya.(9) 


Dari era yang sama, Ibnu ‘Ajibah mengemukakan, Mencintai istri bukanlah bentuk dominasi syahwat atas diri seorang suami. Melainkan syafaqah, yaitu; lemah lembut merasakan keadaan emosional istri dan membimbingnya. Dan juga rahmah, keintiman dalam kasih sayang, yang bukan semata bagi kebaikan dunia namun juga bagi kebaikan akhirat.(10)  


Selanjutnya penulis tafsir Bahrul Madid ini mengutip perkataan Ibnul Mubarak, al-Ushrah ash-Shahihah; adalah sesuatu yang tidak akan meninggalkan penyesalan, cepat maupun lambat, didunia maupun akhirat.


Hasbunallah wa ni’mal wakil



Catatan Kaki

  1. Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, (Beirut: Muassasatu al-Risalah, Cetakan pertama, 1421 H), Juz 19, hlm 307, hadits no 12294.
  2. Ibn Qayyim al-Jauziyah, Madarij al-Salikin, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, Cetakan ke 3, 1416 H), Juz 3, hlm 11.
  3. Al-Raghib al-Ashfihani, al-Mufradat Fi Gharib al-Qur’an, (Damaskus: Dar al-Qalam, cetakan pertama 1412 H), Juz 1, hlm 214.
  4. Syamsuddin al-Qurthubi, al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, (Cairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, Cetakan ke 2, 1384 H), Juz 10, hlm 56.
  5. Ibnu Rajab al-Hanbali, Jami’ul Ulum wal Hikam, (Beirut: Muassasatu al-Risalah, tth), Juz 2, hlm 192
  6. Abu al-Hasan Nuruddin al-Mala al-Harawi al-Qari, Mirqatu al-Mafatih, (Beirut: Dar al-Fikr, cetakan pertama 1412 H), Juz 8, hlm 3294.
  7. Zainuddin al-Munawi, Al-Taysir bi Syarhi al-Jami’ ash-Shagir, (Riyadh: Maktabah al-Imam al-Syafi’i, cetakan ke 3 1408 H), Juz 1, hlm 493.
  8. Isma’il Haqi al-Hanafi, Ruhul Bayan, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Juz 2, hlm 183.
  9. Ibid, Juz 4, hlm 384
  10. Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Ajibah, al-Bahrul Madid fi Tafsir al-Qur’anul Majid, (Cairo: Terbitan Pribadi Hasan Abbas Zaki, 1419 H), Juz 4, hlm 333.

Sumber Kebaikan yang Berlimpah



Sigit Suhandoyo. Daya tarik feminin seorang wanita acap kali dicitrakan sebagai jiwa rendah hati yang penuh kasih. Kaum wanita tampil sebagai model dari jiwa yang mengungkapkan kesetiaan cinta dalam bahasa sendiri. 


Suatu kekhasan yang kadang tak difahami, atau difahami oleh suami dalam citra yang bertentangan. Karenanya ramai para mufasir menyeru para suami untuk bersabar terhadap istri. Dan seperti yang dinyatakan dalam Al-Qur’an, kesabaran akan mendapatkan berbagai kebaikan di dunia dan di akhirat.


وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

 “Dan bergaullah dengan mereka (istri) secara ma’ruf. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. (an-Nisa 19)


Berbuat ma’ruf kepada istri itu adalah bertanggung jawab dalam pengajaran ilmu agama, pendidikan etika dan estetika serta menjadi sahabat terbaik yang membersamai kekurangan istri.(1)  Demikian ajar al-Qusyairi mufasir sufi dari abad ke 6 hijriah. Dalam perspektif ini, berbuat ma’ruf kepada istri, terlihat sebagai kualitas ilahi, meliputi segenap perjalanan waktu sebuah keluarga. Keluarga menjadi sebuah zona keindahan dan keagungan llahi.


Abu Ja’far ath-Thobari, dalam kutipannya dari Mujahid mengemukakan bahwa, kebaikan yang berlimpah adalah anak yang sholeh,(2)  pendapat ini juga diamini oleh banyak penafsir terkemuka. Dua entitas yang terpolarisasi itu, melahirkan rasa saling menginginkan satu sama lain, mewujudkan sebuah penciptaan yang orgasmik. Keturunan yang sholeh adalah energi kreatif untuk masa yang sangat panjang, tempat do’a dan munajat dipanjatkan, tempat nama-nama Allah termanifestasikan. 


Lebih lanjut Mufasir legendaris dari lereng Alborz ini, juga mengemukakan bahwa, kebaikan yang berlimpah adalah kelembutan hati.(3)  Kesabaran itu pada akhirnya akan mengubah benci menjadi cinta dan rasa rindu tak ingin berpisah.(4)  Itulah kebaikan yang berlimpah. Tutur al-Khazin, sang penulis Lubab at-Ta’wil fi Ma’ani at-Tanzil. 


Gagasan menarik dikemukakan oleh Rasyid Ridho, menurutnya ayat ini menunjukkan aturan umum untuk apa pun yang tidak disukai, tidak khusus untuk wanita. Allah membuat banyak kebaikan dalam segala hal yang tidak disukai. Senantiasalah berbuat baik, meski kebaikan itu tak dibalasi kebaikan dari orang lain.(5)  Berbuat baiklah karena engkau orang baik. Karena di atas segala sesuatu yang engkau lalui, Allah menginginkanmu menjadi orang baik.


"Perbuatan baik adalah, ketika kamu bisa berbuat baik kepada mereka yang tak berbuat baik kepadamu"(6) . Demikian kutip syaikh Nawawi dari Kesultanan Banten. Segala sesuatu yang kita lakukan pada akhirnya menunjukkan kualitas dari mencintai Tuhan yang bersifat elementer. Mengkreasikan sebuah skema alamiah tentang kebaikan yang menghubungkan segala sesuatu. Meski harus melalui belantara sunyi bercabang dan penuh misteri.  


Citra pandang yang berbeda dikemukakan oleh Penafsir masyhur kelahiran Basrah, Ibnu Katsir. Dia mengungkapkan sebuah narasi dari Imam Muslim,

لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً، إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ (7)

 “janganlah seorang mukmin membenci wanita mukminah, jika ia tidak menyukai suatu akhlak darinya, maka ia meridhoi akhlaknya yang lain” 


Seakan Ibnu Katsir hendak menuturkan, jika engkau tak sanggup memperkecil rasa bencimu akan sesuatu hal yang tak kau sukai pada istrimu, maka mulailah memperbesar rasa cintamu akan sesuatu hal yang engkau sukai pada istrimu. Hingga akhirnya rasa cintamu itu mendominasi kebencianmu dan eksplosif, Menyisakan dua hakikat, pecinta dan sang kekasih. Sebagaimana halnya suami, penciptaan istri menunjukkan kepiawaian tunggal Sang Maha Pencipta.


Cinta adalah kemampuan tertinggi manusia untuk mengungkapkan citarasa hubungannya dengan Tuhan. Cinta antara suami istri, ibarat dua kutub yang terkadang bisa saling bertentangan. Daya tariknya tumbuh, berkorelasi karena merefleksikan cinta mereka kepada Tuhannya. 


Al-Qur’an memberi petunjuk, pengalaman cinta kepada pasangan, membuat sang pencinta terbuka pada cinta lain yang transenden, penuh gairah, tak kenal kompromi, Cinta kepada Tuhan. Hasbunallah wa ni’mal wakil


Catatan Kaki

  1. ‘Abdul Karim al-Qusyairi, Lathaif al-Isyarat, (Mesir: al-Haiah al-Mishriyah al-‘Amah lil Kitab, tth),  Juz 1, hlm 322
  2. Abu Ja’far Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan Fi Ta’wil al-Qur’an, (Beirut: Muassasatu al-Risalah, 1420 H), Juz 8, hlm 122
  3. Ibid
  4. Alauddin Ali bin Muhammad al-Khazin, Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1415 H), Juz 1, hlm 356
  5. Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, (Mesir: al-Haiah al-Mishriyah al-‘Amah lil Kitab, 1990), Juz 4, hlm 375.
  6. Muhammad bin Amru Nawawi al-Bantani, Marah Labid Li Kasyaf Ma’ani al-Qur’an al-Majid, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1417 H), Juz 1, hlm 154
  7. Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Dar ihyau Turats al-‘Arabi, tth),  Juz 2, hlm 1901, hadits no 1469.


Mereka Adalah Pakaian Bagimu & Kamu Adalah Pakaian Bagi Mereka

 



Sigit Suhandoyo. Tak hanya sebagai sesuatu yang digunakan menutupi tubuh dan melindungi kehormatan. Pakaian adalah objek yang terkait begitu erat dengan kepribadian seseorang. Penelusuran terhadap pendapat para penafsir al-Qur’an tentang penggunaan kata pakaian dalam al-Qur’an menunjukkan makna lahiriyah maupun batiniyah. Setiap orang merajut niat, fikiran, kata dan tindakan, membentuk selembar pakaian bagi jiwanya. Maka adakah yang lebih baik dari pakaian takwa?


هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ


Mereka (istri) adalah pakaian bagi kalian (suami), dan kalian adalah pakaian bagi mereka (al-Baqarah ayat 187). Ayat ini merupakan ungkapan yang indah tentang kedalaman hubungan wanita dan pria dalam ikatan pernikahan yang jauh dari manifestasi rendah dan parsial.


Hubungan integratif, saling melengkapi, menutupi aib dan memberikan perlindungan sebagaimana adanya pakaian. Muqatil ibn Sulaiman, Penafsir abad ke 2 hijriah ini mengemukakan gagasan tentang istri yang merengkuh suami sepenuh hidupnya, demikian pula sebaliknya.(1)  Menunjukkan keindahan makna harmoni dari dua jiwa yang berbeda.


Tak pelak lagi, dalam buku tafsir yang disusunnya selama 16 tahun, Abu Ishaq Az Zajjaj menganalogikan hubungan suami istri sebagai kelekatan erat yang tanpa sekat, saling merangkul satu sama lain.(2)  Dua bagian yang terserak itu terhimpun untuk hidup saling melindungi dan memberikan ketenangan. Pendapat ini juga diamini oleh Makki ibn Abi Thalib. Pemegang otoritas fiqh Maliki pada abad ke 4 hijriah ini mengemukakan metafora yang baik, tentang hubungan keduanya yang tiada sekat dan bukan formalitas. Masing-masing mereferensikan kebaikan dan penerimaan kepada pasangannya.(3) 


Pensyari’atan istri dan suami sebagai pakaian bagi pasangannya, adalah bukti kasih sayang Allah kepada manusia. Setelah itu Allah menuntut dari keduanya untuk menghindarkan diri mereka dari berbagai keburukan eksternal, dengan cara senantiasa memperkuat hubungan diantara mereka karena Allah,(4)  demikian Mutawalli asy Sya’rawi.


Penggunaan ungkapan ini, juga menunjukkan adanya hubungan sensorik, fisik, emosional dan spiritual yang membangun moral korelatif antara keduanya. Sahabat al-Ghazali, Raghib dari Isfahan mengemukakan, bukankah pernikahan itu benteng yang menjamin penghuninya berada dalam keselamatan. Satu dan lainnya saling menutupi aib dan kekurangan.(5)  Abu Laits as Samarqandi, penulis tafsir Bahrul ‘ulum, bahkan mengungkapkan gagasan yang cukup tegas tentang keberadaan istri sebagai pelindung suami dari api neraka, demikian pula sebaliknya.(6) 


Pakar tafsir universitas al-Azhar, al-Hijazy menuturkan, penggalan ayat ini merupakan kerangka bagi keluarga yang kokoh, merupakan wujud rasa saling mengasihi yang mendalam, bukan sekedar hubungan fisik semata, melainkan penyatuan ruhiyah, keterikatan jiwa, dan menghimpun tujuan yang satu untuk membina kehidupan keluarga atas prinsip-prinsip kemuliaan.(7) 


Sepenggal ayat al-Qur’an ini merangkum kata dalam berbagai makna yang mendalam, mewariskan pemahaman yang idealistis dan romantis tentang hubungan antara wanita dan pria dalam ikatan pernikahan. Memberikan pendekatan bagi kebahagiaan dunia dan akhirat yang melibatkan pemahaman dan komitmen keagamaan. Hasbunallah wa ni’mal wakil


Catatan Kaki

  1. Muqatil Ibn Sulaiman, Tafsir Muqatil Ibn Sulaiman, (Beirut: Dar Ihyau Turats, cetakan pertama, 1423 H), Juz 1, hlm 164
  2. Abu Ishaq al-Zajjaj, Ma’ani al-Qur’an wa I’rabuhu, (Beirut: ‘alam al-Kutub, cetakan pertama, 1408 H), Juz 1, hlm 256.
  3. Maki Ibn Abi Thalib, al-Hidayatu Ila Bulughi al-Nihayah, (UEA: Sharjah University, cetakan pertama 1429 H), Juz 2, hlm 1523.
  4. Muhammad Mutawali al-Sya’rawi, Tafsir al-Sya’rawi, (Mesir: Mathabi’ Akhbar al-Yaum),Juz 2, hlm 791
  5. Raghib al-Ashfihani, Tafsir al-Raghib al-Ashfihani, (Mesir: Jami’ah Thanta, cetakan pertama 1420 H) , Juz 1, hlm 398.
  6. Abu Laits al-Samarqandi, Tafsir Bahrul ‘Ulum, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth),Juz 1, hlm 124.
  7. Muhammad Mahmud al-Hijazy, al-Tafsir al-Wadhih, (Beirut: Dar al-Jil al-Jadid, Cetakan ke 10, 1413 H), juz 3, hlm 22.


Sakinah



Para Mufasssir Muslim menjelaskan peran utama penciptaan wanita dengan ragam definisi yang mengukur kedalaman makna yang selalu bertambah. Peranan dari para perindu dan reseptif itu digambarkan sebagai jalan panjang pengorbanan yang membuahkan kebahagiaan.


Ibnu Abbas ra menuturkan, tidak hanya dalam aspek kepribadian dan tingkah laku. Penampilan seorang wanita (istri) harus menumbuhkan keridhoan suaminya sejak pandangan pertamanya.


Abu Laits as-Samarqandi pakar tafsir abad ke 4 Hijriah, mengemukakan pandangan bahwa wanita (istri) adalah tempat hati seorang pria (suami) bertaut dan menemukan damai.(1) “Seolah waktu enggan berpaling kepada hal selainnya”(2), ujar Zamakhsyari, penulis tafsir al-Kasyaf. Tiada kecenderungan di antara dua jiwa yang melebihi kecenderungan antara sepasang suami istri,(3) ungkap Imaduddin Ibnu Katsir.


Pakar susastra Arab Al-Jurjani mengemukakan bahwa, sakinah adalah hati yang bahagia dengan datangnya sesuatu yang tidak diduga, menyaksikannya memberikan ketenangan yang menerangi hati. Dan senantiasa seperti itu selamanya, mengingat penggunaan kata tersebut ketika disandingkan dengan wanita (istri) dalam bentuk mudhori’. Wanita (istri) adalah perantara Allah menurunkan ketenangan jiwa yang berkesinambungan bagi pria (suami). 


Secara sosial hal semacam ini kita temukan pada kelompok masyarakat yang menutupi aurat dan seantiasa menundukkan pendangannya. Pemandangan tak terduga yang menakjubkan dari kecantikan feminin seorang wanita (istri) dan memberikan pengaruh yang luar biasa dalam kehidupan, tentu akan dialami oleh orang-orang yang senantiasa menundukkan pandangannya. Inilah kekhasan syari’at Islam, demikian Sayyid Quthb. Seperti rute-rute rahasia para pecinta, mereka yang tidak setia dalam cinta, tak akan pernah merasakannya. 


Sakinah menggambarkan situasi hati bagi suami istri yang seharusnya merupakan refleksi jiwa yang kuat, bukan dalam bias lemah yang menyimpang. Hanya dari sisi penciptaan yang dikembalikan kepada Allah, maka orang dapat mengumpullkan sedikit demi sedikit gagasan tentang keagungan Sang Pencipta, setidaknya bagi mereka yang mempunyai hati untuk melihat tanda-tanda. Ingatlah kemanapun pandangan beralih, disitu ada wajah Allah.


Pengkajian tentang kata sakinah menurut penulis besar abad 12 hijriah Murtadho az-Zabidy, memperlihatkan adanya pengaruh yang besar atas ketenangan jiwa.(4) Kebersamaan yang terjalin antara suami dan istri selaiknya menciptakan momen eksistensial dan vertikal yang karakternya tergambarkan oleh respon emosional yang kuat pada hati. Cinta itu tergambar dalam suatu harmoni yang tanpa henti lagi kreatif. (Sigit Suhandoyo)


Catatan Kaki

  1. Abu al-Laits Al-Samarqandy, Bahr al-Ulum, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tth), Juz 3, hlm 8.
  2. Abu al-Qasim Mahmud al-Zamakhsariy, al-Kasyaf, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, Cetakan ke 3, 1407 H), Juz 3, hlm 473. Menurut Zamakhsary as-sakinah adalah kecenderungan suami terhadap istrinya yang demikian kuat, sehingga segala sesuatu selainnya seolah terputus, waktu seolah berhenti dan hati menjadi tenang karenanya.
  3. Abu al-Fida Isma’il Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzhim, (Riyadh: Dar Thayibah, 1999), Juz 3, hlm 525.
  4. Murtadha al-Zabidiy, Taj al-Arus min Jawahi al-Qamus, (Kuwait: Dar al-Hidayah, tth), Juz 35, hlm 206

Tulang Rusuk Yang Bengkok


Sigit Suhandoyo. 

Hawa. Para penafsir muslim menuturkan penciptaan wanita pertama ini dari tulang rusuk Adam as. Sebut saja ath-Thobari (w.310H), Mahaguru tafsir dari lereng Alborz ini mengutip pendapat Qatadah.(1)  Tulang rusuk sebelah kiri, kata Ibnu Mundzir (w.319H) setelah mengutip riwayat Abdullah bin ‘Amr.(2)  Tulang rusuk paling bawah, sahut Ibnu Abi Hatim (w.327H) dalam kutipannya dari adh Dhahak.(3) 


Karena Allah mengambil tulang rusuk yang bengkok ini untuk menciptakan Hawa. Maka para pria harus memperlakukan wanita dengan lembut dan sabar. Jika ditekuk akan patah, jika dibiarkan akan semakin bengkok. Pakar Hadits al-Bukhari (w.256H) meriwayatkan sebuah narasi dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi Muhammad saw, memerintahkan untuk menasihati para wanita dengan bijaksana. (hadits no 5186).(4)  Adakah karunia yang lebih utama dari wanita (istri) yang shalihah?(5)  Siapakah pula yang sedia menerima tulang rusuk yang telah patah? 


Gagasan ini tak semerta-merta meremehkan posisi wanita dalam pandangan pria. Sang Perindu dari Isfahan (w.502H), memberikan penekanan adanya keterkaitan erat unsur maskulin pada wanita. Menurutnya penciptaan dapat pula dimaknai sebagai proses menemukan sesuatu yang baru dari sesuatu yang ada.(6)   Bukankah Hawa tercipta dari tulang rusuk seorang pria? Sehingga bagi seorang pria, hakikat menasihati wanita secara bijaksana, dapat diartikan sebagai perwujudan menasihati diri sendiri, memperbaiki diri sendiri.


Mahaguru tafsir dari lereng Alborz kembali menegaskan, Allah telah menyatakan bahwa Dialah satu-satunya Dzat yang menciptakan seluruh manusia dari sosok yang satu, dari  jiwa yang satu. Sebagian dari mereka berasal dari sebagian yang lain, dan hak sebagian dari mereka merupakan kewajiban bagi sebagian lain.(7) 


Disebabkan tulang rusuk bengkok itu merupakan bagian dari keseluruhan seorang pria, beberapa penafsir mengemukakan pandangan yang cukup berani tentang hasrat dan kerinduan yang terus menerus dari bagian itu kepada keseluruhannya dengan tak terbagi. Tulang rusuk bengkok itu menempuhi jalan berliku untuk menepati janji kesetiaannya atas kesucian. Ibnu Mundzir, penafsir abad ke 2 hijriah ini, mengutip Mahaguru Tafsir dari kalangan sahabat, Ibnu Abbas ra. Bahwa terciptanya wanita dari bahagian pria menjadikan gairah dan kesetiaannya hanya pada pria (suaminya),(8)  maka balaslah cinta wanita (istri) kalian. Hal ini berbeda dengan pria yang tercipta dari tanah, yang Allah jadikan kecenderungannya untuk menyenangi berbagai keindahan dunia. Kalau boleh mengutip pepatah jalanan, “gagal dalam cinta bagi seorang pria adalah pengalaman, sedang bagi wanita gagal dalam cinta adalah kehancuran.”


Tulang rusuk yang bengkok itu adalah karunia Sang Penggenggam Jiwa. Tercipta dengan tujuan memberikan arti bagi keberadaan kaum pria, akan hasrat seorang pria (suami) untuk dihargai seutuhnya dengan tak terbagi dari wanita (istri). Melalui tulang rusuk bengkok itu, sebagaimana disadari secara mendalam oleh penulis tafsir al-Qayyim, Allah telah mengungkapkan tanda-tanda keagungan diri-Nya dalam cara yang paling indah pada diri wanita.(9) Bukan hanya karena kecantikan atau kesempurnaan fisiknya. Hanya dalam dongeng imajinatiflah, wanita memainkan perannya dalam peradaban melalui kecantikannya yang digambarkan dalam warna-warna penuh cahaya. Hasbunallah wa ni’mal wakil


Catatan Kaki

  1. Abû Ja’far al-Thobarî, Jâmi’ al-Bayân Fî Ta’wîl al-Qur’ân, (Beirut: Muassasatu al-Risâlah, 1420H), Juz 7, hlm 515
  2. Abu Bakar Muhammad Ibn al-Mundzir, Tafsir Ibn al-Mundzir, (Madinah: Dar al-Matsir, 2002), Juz 2, hlm 547
  3. Ibn Abi Hatim al-Razi, Tafsir Ibn Abi Hatim, (Saudi Arabia: Maktabah Nizar Musthafa al-Baz, Cetakan ke 3, 1419 H), Juz 3, hlm 852.
  4. Teks haditsnya adalah “وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا” nasihatilah wanita kalian dengan baik, karena sesungguhnya mereka telah diciptakan dari tulang rusuk.
  5. Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah istri yang shalihah “الدُّنْيَا مَتَاعٌ، وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ” hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dari Abdullah bin Amru. Lihat Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihyau Turats al-Arabi, tth), Juz 2, hlm 1090, hadits no 1467.
  6. Raghib al-Ashfahani, Mufradat Fi Gharib al-Qur’an, (Beirut: Dal al-Qalam, cetakan pertama 1412 H), Juz 1, hlm 296.
  7. Abû Ja’far al-Thobarî, op.cit, Juz 7, hlm 512
  8. Teksnya adalah “خُلِقَتِ الْمَرْأَةُ مِنَ الرَّجُلِ، فَجَعَلَ نَهْمَتَهَا فِي الرِّجَالِ” lihat Ibn Abi Hatim al-Razi, loc.cit. 
  9. Menurut Ibnu Qayyim cinta itu Allah sematkan dalam jiwa, keserasian akhlak menjadikan cinta itu lebih memiliki makna. Lihat Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Tafsir al-Qayyim, (Beirut: Dar wa Maktabah al-Hilal, cet pertama 1410 H), Juz 1, hlm 259.

Peristiwa Hari Kebangkitan



Tafsir Surat An-Nazi’at ayat 34-41

Sigit Suhandoyo. Setelah ayat-ayat yang lalu menjelaskan betapa Maha Kuasanya Allah atas segala ciptaan-Nya,  dan bahwa kesemuanya itu menunjukkan pentingnya manusia menyadari bahwa begitu mudah dirinya dibangkitkan kembali, dan dimintai pertanggung-jawaban atas segala yang pernah dilakukannya. Maka dalam kelompok ayat 34-41 ini menjelaskan persitiwa yang terjadi pada hari kebangkitan.

فَإِذَا جَاءَتِ الطَّامَّةُ الْكُبْرَى (34) يَوْمَ يَتَذَكَّرُ الْإِنْسَانُ مَا سَعَى (35) وَبُرِّزَتِ الْجَحِيمُ لِمَنْ يَرَى (36) فَأَمَّا مَنْ طَغَى (37) وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا (38) فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى (39) وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى (40) فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى (41)


Maka apabila malapetaka yang sangat besar (hari kiamat) telah datang. Pada hari (ketika) manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya, dan diperlihatkan neraka dengan jelas kepada setiap orang yang melihat. Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal (nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).


Malapetaka Besar. Hari kiamat adalah malapetaka  besar, yang mengerikan dan menakutkan yang merampas seluruh perhatian manusia. Hari kiamat merupakan malapetaka besar, yang mengungguli  segala macam malapetaka, ia adalah malapetaka yang tidak terbendung, petaka di atas petaka. Hari ketika manusia dibangkitkan kembali dari kematiannya, untuk kemudian digiring ke surga atau neraka.(1) Dan pada hari itu pula manusia teringat segala hal yang pernah dikerjakannya di dunia, kebaikan maupun keburukan.


Kata (الطَّامَّةُ) berasal dari kata (طمّ) yang berarti segala yang mengisi sesuatu hingga tertutupi. Jika dikatakan (طم الْفرس طميما) adalah seekor kuda yang dengan mudah melampaui lawannya berlari.(2)  Menurut al-Azhari (w 370 H), kata (طمّ) juga berarti (الشَّيْء الّذي يَكثُر حَتَّى يَعْلُو) yaitu sesuatu yang lebih banyak hingga lebih tinggi melampaui. Seperti air bah yang melampaui dan mengalahkan segala sesuatu.(3)


Neraka diperlihatkan. Pada hari kebangkitan, neraka akan diperlihatkan dengan sangat jelas. Ibnu Abbas ra berkata, (يُكْشَفُ عَنْهَا فَيَرَاهَا تَتَلَظَّى كُلُّ ذِي بَصَرٍ) yaitu, neraka dibuka hingga semua orang yang memiliki penglihatan dapat melihamya berkobar-kobar.(4) Pakar Tafsir asy-Sya’rawi mengemukakan bahwa, setiap orang pasti melewati neraka. Melihat berbagai siksa didalamnya dan kemudian Allah selamatkan orang-orang yang bertakwa.(5) Sebagaimana teks surat Maryam ayat 71,


وَإِنْ مِنْكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا (71) ثُمَّ نُنَجِّي الَّذِينَ اتَّقَوْا وَنَذَرُ الظَّالِمِينَ فِيهَا جِثِيًّا (72)

Dan tidak ada seorang pun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan. Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang dzalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut.


Lebih lanjut asy-Sya’rawi menjelaskan bahwa dalam hal ini, Orang yang bertakwa mendapat nikmat dua kali: (1). nikmat ketika melihat azab yang dia diselamatkan darinya; dan (2) nikmat melihat surga yang ia akan dimasukkan ke dalamnya.


Karakteristik Penghuni Neraka. Ayat 37 dan 38 surat ini menerangkan bahwa penghuni neraka adalah orang-orang yang melampaui batas dan orang yang lebih mengutamakan kehidupan dunia.


Menurut asy-Sya’rawi, kata (طَغَى) artinya berbuat semena-mena hingga melampaui batas kewajaran. Perbuatan melampaui batas bersumber dari kerusakan akal, hingga zalim, atau bersikap sombong. Lebih lanjut menurut asy-Sya’rawi, Orang yang dapat berbuat zhalim disebabkan 2 hal. Pertama, karena merasa dirinya kuat dan orang lain yang dizhalimi lemah. Kedua, orang tersebut tidak merasa bahwa suatu saat ada kemungkinan dirinya juga akan menjadi lemah.(6) 


Dari keterangan ayat selanjutnya diketahui bahwa orang berlaku sombong juga dikarenakan tidak memiliki rasa takut terhadap Allah ta’ala. 


Neraka juga dihuni oleh orang-orang yang lebih mementingkan kehidupan dunianya, tidak diingatnya lagi bahwa hidup di dunia ini hanyalah buat sementara, lalu hatinya terpaut kepada dunia yang akan ditinggalkan itu, sehingga tersesatlah dia daripada jalan yang benar. (7)


Karakteristik Penghuni Surga. Ayat 40 surat ini menerangkan bahwa penghuni surga adalah orang-orang yang takut kepada kebesaran tuhannya dan menahan diri dari hawa nafsu.


Pakar tafsir hukum al-Qurthubi, mengemukakan bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah, terkait dengan Mush’ab bin Umair. Ia menjadikan tubuhnya sebagai tameng bagi Rasulullah SAW pada perang Uhud. Ketika orang-orang sedang kocar-kacir, hingga beberapa anak panah menembus tubuhnya. 


Selanjutnya al-Qurthubi juga mengutip pendapat Ibnu Abbas ra bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang takut kepada Tuhannya adalah “مَنْ خَافَ عِنْدَ الْمَعْصِيَةِ مَقَامَهُ بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ، فَانْتَهَى عَنْهَا” yaitu orang yang takut keberadaannya dihadapan Allah, ketika akan melakukan kemaksiatan, maka dia pun berhenti melakukannya.(8) 


Penggalan ayat ini ditutup dengan  janji Allah akan surga bagi orang-orang yang takut kepada Allah dan menahan hawa nafsunya. Merupakan dorongan bagi manusia untuk berbakti kepada Allah dengan ikhlas, mengutamakan kehidupan akhirat, serta menginsafi diri sebagai mahluk yang tidak berhak memiliki kesombongan. Hasbunallah wa ni’mal wakil.


Catatan Kaki

  1. Syamsuddin al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, (Cairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1964), Juz 19, hlm 206
  2. Ibnu Darid, Zamharatu al-Lughah, (Beirut: Dar al’Ilm, cet pertama 1987), Juz 1, hlm 151
  3. Abu Manshur al-Azhari, Tahdzib al-Lughah, (Beirut: Dar Ihyau Turats al-‘Arabi, 2001), juz 13, hlm 209.
  4. al-Qurthubi, op.cit, Juz 19, hlm 207.
  5. Mutawalli asy-Sya’rawi, Tafsir asy-Sya’rawi, (Medan: Duta Azhar, 2016), Juz 15, hlm 98
  6. Ibid, hlm 100.
  7. Hamka, Tafsir al-Azhar, (Singapura: Pustaka Nasional, 1989) Juz 10, hlm 7883
  8. al-Qurthubi, Op.cit, Juz 19, hlm 208.


Taubat Menurut Imam Abu Hamid al-Ghazali



Pendahuluan

Kehadiran Al-Ghazali di abad kelima Hijriah diterima oleh sebagian Muslim, memberikan kontribusi besar untuk mengembalikan tasawuf kepada pendekatan yang sesuai dengan syariah. Kemurnian pemikiran dan idenya meletakkan dasar-dasar epistemologi dan jalan spiritual mendorong komunitas Muslim untuk mendekati syariah dan menjauh dari mistisisme filosofis.


Namanya adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thusi, Abu Hamid Al-Ghazali yang diberi gelar Hujjatul Islam, ahli fiqih mazhab Syafi'i, pemikir kalam As’ariyah dan sufi.(1)  


Ia lahir di kota Iran pada tahun 450 H. Kota ini penuh dengan konflik dimensi agama, karena banyaknya pemeluk Kristen dan pendukung Syiah. Al-Ghazali lahir dari keluarga pemintal wol. Orang tuanya sering mendoakan Ghazali kecil - dengan air mata berlinang - untuk menjadi seorang yang faqih. Di bawah bimbingan seorang guru sufi yang menerima wasiat dari ayahnya, Al-Ghazali mengenyam pendidikan dan masuk ke sekolah tinggi Madrasah Nizamiyyah.(2)  Madrasah yang terletak di Naisabur ini juga tercatat menjadi tempat Shalahuddin al-Ayyubi menimba ilmu.


Pernah ada peristiwa bersejarah yang menjadi momentum bagi Al-Ghazali memujahadah dirinya dalam belajar. Seperti yang ditulis al-Subki, dalam perjalanan dari Gorgia ke Thus, Al-Ghazali dicegat oleh perampok dan semua miliknya termasuk catatannya dicuri. Sejak itu, Al-Ghazali mendisiplinkan diri menghafal semua ilmu yang dia catat.(3) 


Diantara guru yang berpengaruh kepadanya adalah Imamul Haramain Dhiyauddin al-Juwaini, Guru Besar Pimpinan Madrasah Nizamiyah pada masa itu. Di madrasah ini pula Ia menemukan banyak guru yang mumpuni di bidangnya; fiqih, ushul fiqih, manthiq, ilmu kalam, dan lain-lain. Di Naisabur, Al-Ghazali mencapai masa paling produktif dalam menulis buku dan berbagai kehidupan ilmiahnya.


Sepeninggal Imam Al-Juwayni pada 478 H, Al-Ghazali pergi ke markas militer untuk bertemu dengan menteri Nizam al-Muluk. Saat itu, usia Al-Ghazali belum genap 18 tahun. Istana Menteri Nizam al-Muluk saat itu menjadi tempat berkumpulnya para ulama untuk berdiskusi dan berdebat di bidang fiqih dan Kalam. Dalam berbagai diskusi ilmiah Al-Ghazali menunjukkan kecerdasan dan membuatnya terkenal. Al-Ghazali kemudian ditugaskan untuk mengajar di Madrasah Nizamiyah cabang Baghdad. Madrasah ini adalah sekolah elit yang menjadi acuan para ilmuan masa itu untuk dapat mengajar disana.


Kegemilangan al-Ghazali mencapai puncaknya, para pencari ilmu dari berbagai belahan dunia datang kepadanya. Namun setelah masa-masa itu pula hidupnya diliputi kegelisahan, sehingga kemudian ia mundur dari jabatannya dan menjalani hidup sederhana dan banyak melakukan uzlah. Al-Ghazali meninggalkan Baghdad menuju Mekah, Madinah dan kemudian menetap di Syam beberapa tahun dengan beri’tikaf di menara Masjid. Pada tahun 429 H ia kembali ke Baghdad dan akhirnya pulang ke tanah kelahirannya Thus. Ia banyak melakukan muhasabah dan kembali mengajar hingga wafatnya pada tahun 505 H.


Al-Ghazali banyak meninggalkan karya ilmiah yang berharga, diantara karyanya adalah; dalam bidang tasawuf, Ihya Ulumiddin, Asnaful Maghrurin, al-Munqid minad dholal,  Bidayatul Hidayah, kimiya as-sa’adah,  Misykatul Anwar, dll. Karyanya Dalam bidang aqidah adalah; al-Iqtishad fil I’tiqad, al-Maqsudul Asna, Fadhaihul Bathiniyah, Qawa’idul ‘Aqa’id, dll. Karyanya dalam bidang Fiqh dan Ushul Fiqh; al-Mustasyfa, al-Mankhul min Ta’liqatil Ushul, dan al-Wasith fil Mazhab. Dan masih banyak lagi karyanya yang meliputi berbagai bidang termasuk dalam bidang ilmu-ilmu al-Qur’an hingga siyasah syar’iyah.


Makna Taubat 

Taubat menurut bahasa adalah (الرّجوع) yaitu kembali. Dalam kamus ash-shohah disebutkan bahwa taubat adalah (الرّجوع من الذّنب) kembali dari sesuatu yang tercela.(4)  Hal ini dimaksudkan seseorang yang menyesali perbuatannya yang tercela dan kembali kepada perbuatan yang terpuji.


Menurut mayoritas ulama, taubat adalah anak tangga pertama yang harus dilalui oleh para salik.(5)  Imam Al-Ghazali berkata, "Taubat dari dosa dengan meletakkan penghalang yang menutupi dosa serta kembali kepada Zat yang Mengetahui alam gaib adalah prinsip pertama jalan seorang salik. Taubat adalah modal utama orang yang beruntung; Iangkah pertama seorang murid; dan kunci keistiqamahan seorang yang hatinya cenderung kepada Allah”.(6) 


Imam Al-Ghazali mengatakan "Ketahuilah, taubat adalah sebuah ungkapan tentang makna yang disusun secara berurutan di atas tiga pilar: ilmu, hal, dan perbuatan. Ilmu mewujudkan keberadaan hal, dan hal meniscayakan keberadaan perbuatan.”(7) 


Menurut al-Ghazali taubat bisa dilakukan jika syaratnya telah dipenuhi, yaitu pengetahuan tentang taubat. Jika pengetahuan tersebut telah dimiliki, maka dibutuhkan hal. Jika hal telah ada, maka diperlukan tindakan nyata sebagai wujud pelaksanaan taubat. 


Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh orang yang hendak bertaubat adalah memiliki pengetahuan. Menurut al-Ghazali pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan tentang bahaya yang ditimbulkan dosa secara umum. Dan secara khusus bahaya atas perbuatan tercela yang dilakukannya. Dosa adalah penghalang antara seorang hamba dengan Tuhannya dan segala sesuatu yang dicintainya. Kesadaran akan bahaya dosa bagi dunia dan akhiratnya akan menimbulkan penyesalan (الندم). Penyesalan sejati ditandai dengan hati yang merasa sedih karena merasa jauh dan ditinggalkan Allah. 


Selanjutnya adalah niat. Jika penyesalan itu telah begitu mendalam dalam hatinya, maka penyesalan itu akan membangkitkan sebuah hal (keadaan) yang disebut dengan iradah  dan niat (القصد) untuk melakukan sesuatu yang mempunyai keterikatan dengan masa kini, masa lalu, dan masa mendatang. ]ika seorang hamba telah mencapai maqam penyesalan ini, ia harus meninggalkan dosa dan tidak akan kembali melakukannya lagi. Hamba itu harus bertekad menjauhi dosanya di masa mendatang hingga akhir hayatnya. Jika ia menilai dosa-dosanya pada masa lalu bisa ditebus, maka ia harus menebusnya. Misalnya, jika ia berdosa karena meninggalkan shalat, maka ia harus mengganti sejumlah shalat yang ditinggalkannya. ]ika ia telah merampas hak orang lain, maka ia harus mengembalikan hak itu. 


Imam Al-Ghazali mengatakan, "Penyesalan pasti didahului oleh pengetahuan tentang akibat dari apa yang telah diperbuat. Lalu penyesalan ini diikuti oleh tekad-kuat untuk meninggalkan perbuatan yang membawa akibat buruk. Adapun batasan taubat adalah “melepaskan busana kesombongan dan merentangkan permadani kesetiaan”.(8)  


Dapat disimpulkan bahwa makna taubat menurut al-Ghazali adalah kembalinya seorang pendosa kepada Allah ta’ala. Setelah ia menjauh dari Allah akibat perbuatan tercela yang dikerjakannya, kemudian ia kembali mendekatkan dirinya kepada Allah dengan menyesali dan mengganti perbuatan tercelanya dengan  perbuatan terpuji. Pemaknaan al-Ghazali tentang taubat ini melingkupi proses pertaubatan seorang hamba.


Ungkapan al-Ghazali tentang batasan taubat adalah melepaskan busana kesombongan dan merentangkan permadani kesetiaan mendefinisikan kondisi jiwa orang-orang yang bertaubat yang senantiasa merendahkan nafs dihadapan Allah dan berupaya keras untuk tidak mengulangi perbuatan dosanya. Inilah wujud kesetiaan kepada Allah.


Hukum Taubat 

Menurut Imam Al-Ghazali, taubat hukumnya wajib dan harus segera dilaksanakan. Taubat wajib bagi semua orang tanpa membedakan tingkatan keadaan-nya. Al-Ghazali mengatakan "Ketahuilah, bahwa hukum wajibnya taubat didasarkan pada Al-Qur'an dan As-Sunnah”(9)  


Al-Ghazali melihat bahwa taubat wajib dilaksanakan secepat mungkin. Dan hukum wajib ini berlaku bagi semua orang tanpa pengecualian. Pendapat ini dikuatkan oleh Al-Qur'an. Allah berfirman, 

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (An-Nur: 31) 


Perintah taubat dalam ayat ini ditujukan kepada semua orang beriman tanpa terkecuali. Dalam surat lain, Allah mengatakan, 

غَافِرِ الذَّنْبِ وَقَابِلِ التَّوْبِ شَدِيدِ الْعِقَابِ ذِي الطَّوْلِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ إِلَيْهِ الْمَصِيرُ

"Yang Mengampuni dosa dan Menerima tobat lagi keras hukuman-Nya; Yang mempunyai karunia. Tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Hanya kepada-Nya lah kembali (semua makhluk)." (Al-Mukmin: 3)


Dapat disimpulkan bahwa hukum taubat adalah wajib bagi setiap Muslim tanpa terkecuali, bagaimanapun keadaan mereka dalam keimanan, serta besar maupun kecil dosa yang diperbuat. 


Berdasarkan dalil ayat yang dikemukakan secara berurutan, menunjukkan taubat tidak hanya berupa anjuran agar mendapatkan keberuntungan dalam hidup. Taubat juga merupakan kewajiban, karena Allah mensifati diri-Nya sebagai Maha Mengampuni dosa dan Menerima Taubat.


Persyaratan Taubat 

Al-Ghazali telah menetapkan syarat-syarat taubat sebagaimana terdapat dalam pembahasan makna. Ia mengatakan, taubat adalah rasa penyesalan yang diikuti dengan tekad dan maksud untuk meninggal-kan dosa. Kemudian Al-Ghazali menjelaskan tanda-tanda sahnya penyesalan. Ia mengatakan, "Tanda-tanda sahnya penyesalan adalah: lembutnya hati, derasnya air mata, dosa yang semula dirasa manis berubah menjadi pahit. sikapnya yang semula menyenangi perbuatan dosa itu berubah menjadi membenci."(10)  


Syarat sah taubat ada yang berkaitan dengan masa lalu, yaitu introspeksi diri. Ia harus mengingat apa yang diperbuatnya tahun demi tahun bulan demi bulan hari demi hari. Ia harus memeriksa kembali amal ketaatan mana yang pernah dilalaikannya, dan juga perbuatan maksiat mana yang pernah dilakukannya."(11)  


Adapun syarat taubat yang berkaitan dengan masa mendatang adalah tekad untuk meninggalkan dosa. Ia harus mengikat janji setia dengan Allah untuk tidak mengulangi dosanya dan dosa yang sejenis. Al-Ghazali menegaskan bahwa tekad untuk meninggalkan dosa harus muncul segera setelah seseorang berniat taubat. Karena ia tidak disebut sebagai orang yang taubat jika tidak menguatkan tekadnya pada waktu itu juga. Agar taubatnya diterima Allah, seseorang harus: (1) menghentikan perbuatan dosa pada waktu itu juga, (2). menyesali dosanya, (3) bertekad untuk tidak mengulangi dosanya, (4) mencari kebaikan yang hilang akibat dosa itu, (5) memperbaiki perbuatan di masa datang, (6) mengganti kewajiban yang pernah dilalaikannya, dan (7) mengembalikan hak orang lain yang pernah dirampasnya. |ika semua syarat ini telah dipenuhi, maka taubatnya diterima Allah Ta'ala. 


Allah ta’ala berfirman,

إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِنْ قَرِيبٍ فَأُولَئِكَ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

Sesungguhnya tobat di sisi Allah hanyalah tobat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertobat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah tobatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Hasbunallah wa ni’mal wakil


Catatan Kaki

  1. Farid Wajdi, Da’irah Ma’arif Qarni al-‘Isyrin, (Beirut: Dar al-Fikr), vol 7, hlm 65.
  2. Abdul Wahab as-Subki, Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth), vol 6, hlm 193-194.
  3. Ibid, hlm 195.
  4. Abu Nashr al-Jauhari, Ash-Shohah, (Beirut: Dar al-‘Ilm, 1987), vol 1, hlm 92.
  5. Salik adalah orang-orang yang meniti jalan spiritual untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala.
  6. Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-din, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tth) vol 4, hlm 2.
  7. Ibid, vol 4, hlm 3
  8. Ibid. vol 4, hlm 4.
  9. Ibid.
  10. Ibid, vol 4, hlm 34.
  11. Ibid, vol 4, hlm 34-35


Perbedaan Pendapat Fiqih Karena Dalil-Dalil Yang Diperselisihkan



Sigit Suhandoyo. Perbedaan pendapat fiqih dikalangan ulama juga bisa terjadi dikarenakan perbedaan penggunaan dalil-dalil yang diperselisihkan. Para imam mazhab sepakat akan penggunaan al-Qur’an, Hadits, Ijma dan Qiyas sebagai dalil, dan mereka berbeda pendapat tentang penggunaan dalil selain hal tersebut. Secara global yang akan dibahas dalam naskah makalahi ini adalah mafhum mukhalafah, al-mashalih mursalah, istihab dan amal penduduk madinah.


Mafhum Mukhalafah


Suatu nash sekaligus dapat menunjukkan dua hukum, yaitu; hukum yang langsung ditunjukkan oleh bunyi (manthuq) dan suatu nash dan hukum yang difahami dari kebalikan nash tersebut, atau mafhum mukhalafah. Jika lafadh nash menunjukkan pada hukum halal dengan adanya batasan (qayyid), maka nash tersebut juga dapat dipahami sebagai hukum yang mengharamkan, ini terjadi apabila qayyidnya tidak ada. Sebagai contoh adalah firman Allah ta’ala dalam surat al-Nisa ayat 25,


وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ 

Artinya: “Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki” (QS. Al-Nisa’: 25).


Secara manthuq, ayat tersebut menunjukkan adanya hukum halal (diperbolehkan) bagi seorang yang merdeka menikahi hamba sahaya dengan batas (qayid): orang tersebut tidak mampu menikah dengan wanita yang merdeka. Di samping itu, ayat tersebut dapat difahami secara kebalikan (mafhum mukhalafah) dari bunyinya, yakni pertama: haramnya seseorang yang merdeka menikahi hamba sahaya, bila orang tersebut mampu menikah dengan wanita yang merdeka. Kedua, orang yang mampu menikahi wanita merdeka yang beriman, diharamkan menikahi budak wanita ahli kitab.


Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan mafhum mukhalafah sebagai dalil. Mazhab Hanafiyah menolah penggunaan mafhum mukhalafah sebagai dalil. Mereka berpendapat bahwa tetap dibolehkan dua kondisi tersebut, karena tidak ada penafian atas suatu hukum yang asalnya adalah halal.(1) 


Mayoritas ulama berpendapat bahwa orang yang memiliki kecukupan menikahi wanita merdeka yang beriman, tidak boleh menikahi budak perempuan secara mutlak, juga tidak dibolehkan menikahi budak perempuan ahli kitab.(2)  Sebab mafhum mukhalafah menurut mereka adalah hujjah yang bisa diterima hingga ada nash yang bersifat eksplisit (sharahah).


Mashalih Mursalah


Penetapan hukum atas suatu perkara dalam Islam bertujuan untuk mendapatkan kemaslahatan dan menghapuskan kemudharatan dalam masyarakat. Demikian pula yang dimaksudkan dengan mashalih mursalah. Menurut Khalaf, mashalih mursalah adalah, “المصلحة التي لم يشرع الشارع حكما لتحقيقها، ولم يدل دليل شرعي على اعتبارها أو إلغائها”(3)  yaitu kemaslahatan yang tidak disyari’atkan penetapannya oleh hukum syari’at, dan tidak pula terdapat dalil yang menunjukkan pertimbangan atau pembatalannya.


Sebagai contoh dalam hal ini adalah, ketika dalam suatu peperangan orang-orang kafir menjadikan sebagian kaum muslimin sebagai tameng, sehingga untuk mengalahkan pasukan kafir tidak bisa dilakukan kecuali dengan mengorbankan kaum muslimin yang menjadi tameng tersebut, maka menurut Imam Malik berdasarkan mashalih mursalah dibolehkan menyerang mereka. Sedang selain Imam Malik berbeda pendapat tentang hal tersebut.(4) 


Contoh lain tentang mashalih mursalah sebagaimana dikemukakan oleh al-Zuhaili adalah hak jurnalistik. Menurutnya hak penulis untuk mendapatkan keuntungan dari karya ilmiahnya, serta mewariskan hak cetak karya ilmiahnya kepada keturunannya, adalah sejalan dengan prinsip-prinsip tujuan syari’at dan tidak ada dalil khusus untuk dijadikan pegangan maupun untuk membatalkannya.(5) 


Istishab al-Ashl


Istishab adalah menghukumi sesuatu yang akan datang dengan melihat hukum pada masa lalu. Khalaf mengemukakan bahwa istishab adalah,


الحكم على الشيء بالحال التي كان عليها من قبل، حتى يقوم دليل على تغير تلك الحال، أو هو جعل الحكم الذي كان ثابتا في الماضي باقيا في الحال حتى يقوم دليل على تغيره  (6)

Yaitu hukum terhadap sesuatu berdasarkan keadaan yang sebelumnya, sampai ada dalil untuk mengubah keadaan tersebut. Atau menjadikan hukum yang tetap dimasa lalu, dipakai saat ini hingga ada dalil untuk mengubahnya.


Sebagai contoh dalam kasus ini adalah pendapat mazhab Hanafi dan Syafi’i tentang iddah wanita yang suaminya hilang, dan kondisinya belum diketahui secara pasti. Menurut kedua mazhab, sang istri tidak dibenarkan membatalkan pernikahan, tidak menjalani masa iddah dan tidak menikah lagi dengan laki-laki lain hingga terbukti kematian suaminya, berdasarkan prinsip istishab. Bahwa suaminya dihukumi masih hidup sebagaimana ia masih hidup saat sebelum hilangnya.(7) 


Mazhab Maliki dan Hanbali berpendapat, si istri menunggu suami yang hilang selama 4 tahun, kemudian dia jalani iddah selama 4 bulan 10 hari berdasarkan riwayat dari Umar ibn Khattab ra. Bahwa beliau memerintahkan hal tersebut kepada seorang wanita dan setelah masa itu lewat, Umar memerintahkan wali laki-laki yang hilang tersebut untuk mentalak wanita tersebut. Dan mengatakan kepada wanita itu bahwa ia bisa menikah dengan laki-laki lain. Adapun riwayat dalam kitab al-Muwatha adalah sebagai berikut:


حَدَّثَنِي يحيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ: «أَيُّمَا امْرَأَةٍ فَقَدَتْ زَوْجَهَا فَلَمْ تَدْرِ أَيْنَ هُوَ؟ فَإِنَّهَا تَنْتَظِرُ أَرْبَعَ سِنِينَ، ثُمَّ تَعْتَدُّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ثُمَّ تَحِلُّ»(8) 

Meriwayatkan kepadaku Yahya dari Malik dari yahya bin Sa’id dari Sa’id ibn al-Musayyab, bahwasanya ‘Umar ibn Khattab berkata, “adalah seorang wanita yang kehilangan suaminya dan ia tidak mengetahui keberadaanya, maka ia meninggu 4 tahun kemudian menunggu lagi 4 bulan 10 hari, setelah itu selesai” 


Amalan Penduduk Madinah


Maksud dari penduduk Madinah adalah masyarakat Muslim yang hidup di Madinah pada zaman sahabat Rasulullah saw, dan masa tabi’in yang di jumpai oleh Imam Malik. Imam Malik menjadikan amalan yang biasa dilakukan penduduk Madinah, yang tidak bertentangan dengan sebagai dalil untuk suatu hukum fiqh. Hal ini menjadikan perbedaan dengan mazhab fiqih selain Maliki yang berkembang di kota selain Madinah. Contoh dalam kasus ini adalah berbaring dengan sisi kanan setelah shalat sunnah sebelum subuh adalah makruh, karena menurut Malikiyah, hal ini tidak sebagaimana amal yang dilakukan penduduk Madinah.(9)  Mazhab Hanafiyah mengemukakan pendapat yang serupa dengan mengambil pendapat Abdullah bin Umar yang tidak melakukan berbaring miring sebagai pemisah shalat sunnah dan Wajib.(10)  


Contoh lain adalah sujud syukur, menurut ulama Malikiyah, sujud syukur ketika mendengar kabar baik yang membahagiakan, atau sujud syukur karena selamat dari keadaan yang buruk hukumnya adalah makruh. Disunnahkan dalam kondisi demikian adalah sholat sunnah 2 raka’at, karena hal ini adalah amalan ahli madinah.(11)  Pendapat ini berbeda dengan pendapat ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah yang mensunahkan sujud syukur jika mendapat kebahagiaan dan terhindar dari kesulitan. Pendapat ini didasari atas hadits yang dikemukakan oleh Abdurahman bin ‘Auf,


خرج النبي صلّى الله عليه وسلم، فتوجه نحو صَدَفَته فدخل، فاستقبل القبلة، فخر ساجداً، فأطال السجود، ثم رفع رأسه، وقال: إن جبريل أتاني، فبشرني، فقال: إن الله عز وجل يقول لك: «من صلى عليك صليت عليه، ومن سلّم عليك سلمت عليه، فسجدت شكراً لله.(12) 


Nabi saw keluar menuju bangunan tinggi lalu masuk ke dalam, menghadap kiblat dan bersujud. Beliau memanjangkan sujudnya lalu mengangkat kepalanya, beliau bersabda, “Jibril telah mendatangiku dengan membawa kabar gembira, sesungguhnya Allah telah bersabda untukmu, siapa saja yang bershalawat kepadamu, maka Ia akan memaafkannya dan siapa saja yang bersalam kepadamu, maka Ia akan menyelamatkannya,” maka aku bersujud sebagai ungkapan syukurku kepada-Nya.


Demikianlah perbedaan pendapat yang terjadi karena perbedaan penggunaan dalil yang diperselisihkan sebagai landasan penentuan hukum fiqh. Pembahasan ringkas yang terbatas ini semoga memadai sebagai contoh untuk menginspirasi untuk melakukan kajian yang lebih baik. Wallahu a’lam


Catatan Kaki

  1. Alauddin al-Kasani al-Hanafi, Bada’i ash-Shana’I fi Tartib asy-Syara’i, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet ke 2, 1406 H), Juz 2, hlm 267
  2. Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, (Mesir: Maktabah al-Qahirah, tth), juz 7, hlm 136
  3. Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh,(Cairo: Maktabah al-Dakwah, tth), hlm 84  
  4. Abdus Sami’ Ahmad Imam, Minhaj al-Thalib fi Al-Muqaranah Baina al-Mazahib, (Kuwait: Al-Wa’yu al-Islami, 2012), Hlm 100-101
  5. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Suriah: Dar al-Fikr, tth), Juz 4, hlm 386.
  6. Abdul Wahab Khalaf, op.cit, hlm 91.
  7. Wahbah al-Zuhaili, op.cit, Juz 9, hlm 608
  8. Malik bin Anas, al-Muwatho, (Beirut: Dar Ihyau al-Turats, 1985), Juz 2, hlm 575, riwayat no 52
  9. Wahbah al-Zuhaili, op.cit, Juz 2, hlm 238
  10. Ibid
  11. Ahmad al-Shawi, Hasiyatu al-Shawi ‘ala Syarh al-Shagir, (beirut: Dar al-Ma’arif, tth), Juz 1, hlm 422
  12. Muhammad ibn Ali al-Syaukani, Nail al-Authar, (Mesir: Dar al-hadits, 1993), Juz 3, hlm 126.

Urgensi Tarbiyah Dalam Al-Qur’an Dan Hadits


Sigit Suhandoyo

A. PENDAHULUAN


Diutusnya Nabi Muhammad saw menandai permulaan perubahan besar dalam peradaban manusia akhir zaman. Sejak turunnya wahyu pertama --permulaan surat al-‘Alaq(1) --, agama Islam telah menyerukan pembebasan akal dari belenggu-belenggu khurafat, taqlid dan kebekuan proses berfikir. Abul Hasan an Nadawi mengemukakan,


و قد انسحب رجال الدين من ميدان الحياة، و لا ذوا إلى الأديرة و الكنائس و الخلوات، فرارا بدينهم من الفتن وضناً بأنفسهم، أو رغبة إلى الدعة و السكون، و فراراً من تكاليف الحياة و جدها، أو فشلاً في كفاح الدين و السياسة و الروح و المادة، و من بقى منهم في تيار الحياة اصطلح مع الملوك و أهل الدنيا، و عاونهم على إثمهم و عدوانهم، و أكل أموال الناس بالباطل(2) 


Dalam pengertian lain an-Nadawi menggambarkan bahwa pada masa sebelum diutusnya nabi Muhammad saw, sebagian pemuka agama mengasingkan diri dari kehidupan sosial, bersembunyi dalam tempat-tempat ibadah dan sebagainya untuk menjauhkan iman mereka dari gangguan dan penindasan. Mereka mengasingkan diri karena merasa apatis terhadap diri mereka sendiri, mencari ketenangan dengan melarikan diri dari tugas-tugas hidup, ataupun karena merasa gagal berjuang dalam agama, politik, kehidupan spiritual maupun materi. Sedangkan sebagian lain yang ingin hidup senang, bergaul dengan kelas borjuis dan bekerjasama dengan para penguasa tersebut dalam kejahatan, kezaliman dan memakan harta dengan cara yang batil.


Kemudian turunlah wahyu pertama kepada Nabi Muhammad saw melalui perintah “bacalah!” Perintah Allah kepada Nabi Muhammad saw untuk membaca namun tidak disertai teks, memberikan makna yang sangat luas.


Ibnu ‘Asyūr mengemukakan pendapat bahwa, perintah ini merupakan isyarat bagi ummat Muhammad saw agar membaca, menulis dan berilmu pengetahuan. Talqīn (bimbingan) Jibril kepada Nabi Muhammad saw memberikan arti otoritas keilmuan serta motivasi akan mudahnya penguasaan terhadap ilmu.(3)  Demikian pula pendapat Az-Zuhaylī, ayat-ayat ini merupakan perintah belajar membaca dan menulis karena itu adalah sarana bagi penguasaan agama dan dunia,  dasar bagi tegaknya ilmu pengetahuan dan moral estetika, serta terbinanya kebudayaan dan peradaban ummat Islam.(4)  Tema tarbiyyah pada ayat-ayat yang mula diturunkan ini menurut al-Biqā’ī menegaskan makna bahwa al-Qur’an adalah kumpulan seluruh kebaikan dunia dan akhirat yang kemudian Allah jadikan Rasulullah saw fasih dengannya. Ketentuan ini merupakan karunia bagi seluruh ummat manusia karena Allah mendidik Rasul dengan sebaik baik pendidikan serta mengajarnya dengan sebaik-baik pengajaran.(5) Hingga Muhammad Abduh menuliskan, 


“و إن لم يسترشدوا بفاتحة هذا المكتاب المبين و لم يستضيئوا بهذا لبضياء الساطع فلا أرشدهم الله أبدا”(6). 


Seandainya ayat-ayat pembukaan wahyu ini tidak menggetarkan, menggugah semangat ummat Islam, niscaya tidaklah mereka akan bangkit lagi (mencapai kejayaan) selama-lamanya. Hingga pada saatnya gerakan yang dipelopori seorang nabi yang ummi dan sekelompok kecil sahabatnya yang miskin dan tertindas pada masa itu berhasil mencatatkan kegemilangan pembangunan peradaban dunia modern dan dinaungi oleh nilai-nilai spiritual. Keberhasilan yang tak lepas dari peran Nabi mendidik para sahabatnya ini memberikan argumen akan urgensi pendidikan bagi manusia. Pendidikan selain sebagai sebuah kewajiban syari’at, juga merupakan kebutuhan individu dan tuntutan sosial.


B. PEMBAHASAN


1. Pendidikan Merupakan Kewajiban Agama


Pendidikan merupakan kewajiban yang disyari’atkan. Kewajiban ini tertera dalam perintah Allah kepada orang-orang beriman agar tidak mengabaikan belajar dan mengajarkan ilmu pengetahuan meskipun ada perintah berjihad,


وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ.

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (at taubah 122)


Kewajiban memperdalam pengetahuan dalam ayat ini menurut al-Syafi’i bersifat kifayah.(7)  Meski demikian, sejajarnya perintah jihad perang dan pendidikan dalam ayat ini menjelaskan akan tegasnya misi Islam dalam hal penyebaran pengetahuan mengiringi penaklukan wilayah. Hal ini menunjukkan, kebutuhan suatu bangsa terhadap jihad dan para mujahid sama seperti kebutuhan terhadap ilmu dan para ulama.(8)  Menurut Ibnu ‘Asyūr penyebaran keilmuan, etika Islam dan mencerdaskan akal fikiran adalah manifestasi dari tujuan Islam dalam pengelolaan ummat berdasarkan agama dan penjagaan agama dengan kekuatan ummat.(9)   


Wajibnya pendidikan juga tertera dalam hadits perintah menuntut ilmu serta mengajarkannya. Dari Anas bin Mālik ra, Rasulullah saw telah bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ، وَوَاضِعُ الْعِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ أَهْلِهِ كَمُقَلِّدِ الْخَنَازِيرِ الْجَوْهَرَ وَاللُّؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ(10).

 

“Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim dan orang yang meletakkan (mengajarkan) ilmu kepada orang yang bukan ahlinya ibarat orang yang mengalungkan beberapa ekor babi dengan mutiara, permata dan emas.”


Ḫadīṡ ini merupakan perintah agar setiap muslim yang balig dan berakal membebaskan dirinya dari kebodohan. Para ulama ḥadīṡ berbeda pendapat tentang tingkatannya, antara farḍu ‘ain dengan farḍu kifāyah. Sebagian berpendapat ilmu agama dengan ilmu keduniaan. Adapula yang berpendapat ‘ilmu ikhlāṣ merupakan farḍu ‘ain, demikian pula ada yang berpendapat ilmu tauḥīd merupakan farḍu ‘ain, dsb.(11)  Pendapat-pendapat tersebut pada dasarnya bersumber pada pemikiran bahwa setiap muslim selain harus memiliki keilmuan yang memadai bagi dirinya untuk beribadah kepada Allah, juga memiliki spesialisasi keilmuan tertentu yang mendalam.


Ḥadīṡ ini juga berisi perintah agar orang-orang berilmu mengajarkan ilmunya kepada ahli ilmu. Para ulama ḥadīṡ berbeda pendapat tentang ahli ilmu yang dimaksudkan, ada yang berpendapat orang yang memiliki kecenderungan terhadap ilmu, memiliki kefahaman, menuntut ilmu bukan untuk sekedar tujuan dunia, menuntut ilmu karena Allah, dsb.(12)  Dengan demikian para pendidik berkewajiban untuk menumbuhkan motivasi belajar peserta didiknya, mengembangkan bakat, memberikan kefahaman serta menjadikan keikhlasan sebagai landasan atas segala amaliahnya.


Kewajiban pendidikan juga tertera dalam surat al Baqarah ayat 159 tentang larangan menyembunyikan ilmu,

إن الذين يكتمون ما أنزلنا من البينات والهدى من بعد ما بيناه للناس في الكتاب أولئك يلعنهم الله ويلعنهم اللاعنون


“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati,”


Menurut Ibnu ‘Āsyūr pengertian “البينات” dalam ayat ini adalah pokok-pokok syari’ah yang menjadi landasan atas berbagai hukum dalam kehidupan manusia termasuk perkara aqidah, fiqh maupun etika. Sedangkan pengertian “الهدى” adalah penerangan untuk kehidupan yang lebih baik bagi kemashalatan individu dan masyarakat.(13)  Serupa dengan pendapat tersebut, menurut az-Zuhailī, Ilmu-ilmu yang dilarang untuk disembunyikan dalam ayat ini bermakna umum, bisa berupa hukum syari’ah, ilmu yang bermanfaat maupun ide-ide, pandangan, gagasan serta solusi yang benar dan bermanfaat bagi masyarakat.(14)  Selanjutnya menurut Ibnu ‘Āsyūr ayat ini menunjukkan argumen akan wajibnya penjagaan terhadap ilmu, pendidikan, pengajaran dan penyebarluasan pengetahuan.(15)  Seorang berilmu yang dengan sengaja bermaksud menyembunyikan pengetahuannya kepada masyarakat sungguh telah berbuat dosa.(16)  


Firman Allah tersebut di atas sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 174 berikut,

إن الذين يكتمون ما أنزل الله من الكتاب ويشترون به ثمنا قليلا أولئك ما يأكلون في بطونهم إلا النار ولا يكلمهم الله يوم القيامة ولا يزكيهم ولهم عذاب أليم

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak akan menyucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih.”


Larangan menyembunyikan ilmu pengetahuan juga dijelaskan dalam beberapa riwayat hadits. Dari Abdullah bin ‘Amr ra, bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda,

مَنْ كَتَمَ عِلْمًا أَلْجَمَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ.(17)  

“Barangsiapa yang menyembunyikan ilmu, niscaya Allah akan mengekangnya dengan kekang dari api pada hari kiamat.”


Demikian pula hadits dari Abu Sa’id al Khudry ra, Rasulullah saw telah bersabda,

مَنْ كَتَمَ عِلْمًا مِمَّا يَنْفَعُ اللَّهُ بِهِ فِي أَمْرِ النَّاسِ أَمْرِ الدِّينِ، أَلْجَمَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنَ النَّارِ.(18) 


“Barang-siapa yang menyembunyikan ilmu yang dengannya Allah memberikan manfaat kepadanya dalam perkara manusia dan agama, kelak Allah akan mengekangnya dengan kekang dari api pada hari kiamat.


2. Pendidikan Merupakan Kebutuhan Manusia


Meskipun manusia Allah ciptakan dengan sebaik-baik bentuk dengan berbagai potensi akal, fisik, indera, nafsu dan hati namun manusia terlahir dalam keadaan lemah. Dengan demikian manusia membutuhkan pengasuhan dan pendidikan bagi dirinya guna mengembangkan dan mengarahkan potensi-potensi tersebut. Allah ta’ala berfirman dalam surat an-nahl ayat 78,


“والله أخرجكم من بطون أمهاتكم لا تعلمون شيئا وجعل لكم السمع والأبصار والأفئدة لعلكم تشكرون”


“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”


Melalui ayat ini Allah menjelaskan bahwa manusia terlahir dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, kemudian Allah memberikan manusia berbagai perangkat yang akan menyampaikannya kepada ilmu pengetahuan.(19)  Manusia diciptakan dengan potensi akal  yang dapat berkembang dengan pendengaran, penglihatan dan hati. Melalui hal tersebut akal manusia dapat berfikir, berpendapat, mendefinisikan sesuatu serta membangun pengetahuan.(20)  Demikianlah pendidikan dibutuhkan oleh manusia dikarenakan manusia memiliki kepribadian yang unik, memiliki tingkah laku, memiliki kecerdasan dan daya pikir, serta memiliki kebutuhan untuk mengembangkan kepribadian.


Sebagai mahluk psikologis manusia pada hakikatnya merupakan mahluk yang berfikir, merasa dan berkehendak serta menciptakan dinamisme. Selain terkait pengembangan berbagai potensi, menurut al-Maraghi manusia membutuhkan pendidikan untuk memahami sesuatu dengan mendalam, menimbang antara kebaikan dan keburukan serta menimbang antara petunjuk dan kesesatan.(21)  Dalam sebuah riwayat hadits qudsi dari ‘Iyadh bin Himar ra, pada khutbahnya Rasulullah saw menyampaikan,


وَإِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ، وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ(22) 


“Sesungguh Aku (Allah) menciptakan hamba-Ku seluruhnya hanif (berada dalam kebaikan), kemudian datang kepada mereka syaitan yang memalingkan mereka dari agama ”


Menurut Ibnu Abdil Bar, Allah telah menciptakan manusia seluruhnya hanif, yaitu muslim, bersaksi akan keesaan Allah dan menghadapkan dirinya dalam ketundukan kepada Allah semata(23) . Kemudian syaitan memalingkan manusia dari kebenaran agama. Menurut an-Nawawi, pertama-tama syaitan menjadikan manusia meremehkan urusan agama kemudian menjauhkannya, hingga akhirnya manusia menyingkirkan agama dari kehidupannya. Kemudian Syaitan menjadikan manusia terpikat dengan keburukan yang mengasikkan baginya.(24)  Keberhasilan syaitan memalingkan manusia dari kebenaran adalah dikarenakan ia datang kepada manusia dengan “الوسوسة”(25)  hasutan, godaan dan ajakan yang bersifat halus yang dibisikkan kedalam hati manusia.


Pendidikan juga dibutuhkan agar manusia dapat mengambil keputusan dengan benar. Diriwayatkan dari Abu Malik a-Asy’ari ra, bahwasanya Rasulullah saw bersaba,

 

كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَبَايِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوبِقُهَا(26) 

“Setiap manusia berbuat, maka ada manusia yang menjual dirinya kemudian memerdekakannya adapula yang membinasakannya.”


Menurut an-nawawi hadits ini menerangkan bahwa, setiap manusia berbuat atas kehendak dirinya dan diantara manusia ada yang menjual dirinya kepada Allah melalui keta’atannya dan memerdekakan dirinya dari siksaan. Dan diantara mereka pula ada yang menjual dirinya kepada syaitan dan  nafsunya dan hal tersebut mencelakakannya.(27) 


3.Pendidikan Merupakan Kebutuhan Sosial


Pendidikan adalah kebutuhan masyarakat. Menurut kodratnya manusia adalah makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat. Manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain. Diriwayatkan dari Nu’man bin Basyir ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda,


مَثَلُ القَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالوَاقِعِ فِيهَا، كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ، فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلاَهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا، فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ المَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ، فَقَالُوا: لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا، فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا، وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا، وَنَجَوْا جَمِيعًا.(28) 


“Perumpamaan orang-orang yang senantiasa melaksanakan hukum-hukum Allah dan orang yang terperosok di dalamnya adalah laksana orang-orang yang membagi tempat dalam suatu bahtera, sebagian orang diatasnya dan sebagian dibawahnya. ketika orang-orang yang berada dibawah memerlukan air, tentu mereka harus melintasi orang-orang yang dibagian atas. kemudian mereka berkata, “kami akan lubangi saja bagian bawah ini.” jika mereka membiarkan apa yang diinginkan oleh orang-orang yang dibagian bawah, niscaya akan binasalah semua. Namun bila mereka mencegah perbuatan tersebut, maka akan selamat dan selamatlah semuanya”


Melalui hadits ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memberikan sebuah perumpaan yang indah tentang pendidikan sebagai sebuah kebutuhan sosial. Sebab sebuah kesalahan sebagian pihak tidak hanya berdampak negatif pada lingkup individu semata melainkan juga pada lingkup sosial yang lebih luas. Terlaksananya tugas pendidikan bagi masyarakat berbanding lurus dengan keselamatan dan eksistensi masyarakat tersebut. 


Sebagai kebutuhan social, pendidikan juga merupakan sarana bagi membangkitkan kemuliaan dan menjaga keselamatan masyarakat.Diriwayatkan dari Tsauban ra bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda,


يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا» ، فَقَالَ قَائِلٌ: وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ: «بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ، وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ، وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ، وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمُ الْوَهْنَ» ، فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا الْوَهْنُ؟ قَالَ: «حُبُّ الدُّنْيَا، وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ»(29) 


“Nyaris sudah bangsa-bangsa (selain Islam) bersekongkol menghadapi kalian sebagaimana berkumpulnya orang-orang yang makan menghadapi bejana makanannya.” Lalu bertanya seseorang, “Apakah kami pada saat itu sedikit?” Beliau menjawab, “Tidak, bahkan kalian pada saat itu banyak, akan tetapi kalian itu buih seperti buih banjir, dan Allah akan menghilangkan dari diri musuh-musuh kalian rasa takut terhadap kalian dan menimpakan ke dalam hati-hati kalian wahn (kelemahan).” Maka seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah wahn itu?”. Kata beliau, “Cinta dunia dan takut mati.”


Menurut al-Qari, pengibaratan ummat Islam bagaikan buih adalah dikarenakan, Kondisi ummat Islam yang berpecah belah, lemah kemauan, malas berfikir dan tak punya cita-cita yang kokoh.(30)  Makna kata wahn dalam hadits di atas adalah “الضَّعْف” atau lemah, sehingga pertanyaan para sabahat adalah, “apakah yang menyebabkan kelemahan (wahn) ummat Islam pada masa itu?”


Nilai penting hadits ini adalah sebagai peringatan agar ummat Islam memperhatikan pendidikan bagi kemajuan dan keselamatan ummat Islam. Sebagaimana perkataan al Qaradhawi,


الدولة القومية لن تستعيد قوتها، مالم تستعد الأمة ذاتها قوتها. فإنها قوة الدولة بقوة شعوبها، فالشعوب الميتة لا تقيم دولة حية، و الشعوب الضعيفة لا تبني دولة قوية، كما في الأثر المشهور "كما تكونوا يولّ عليكم"(31) 


Sebuah bangsa tidak dapat mengembalikan kekuatannya selama rakyatnya sendiri tidak mengembalikannya. Kekuatan sebuah bangsa terletak pada kekuatan rakyat. Rakyat yang mati tidak bisa menghidupkan bangsa. Rakyat yang lemah tidak bisa menguatkan bangsa, sebagaimana sebuah pepatah, “sebagaimana adanya kalian begitulah kuasa kalian”.

 

C. KESIMPULAN


Dari kajian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam merupakan sebuah kewajiban syari’at, Allah mewajibkan aktifitas belajar mengajar sebagaimana Ia wajibkan berjihad menegakkan agama-Nya. Demikian pula perintah menuntut ilmu dan larangan menyembunyikannya bagi kemaslahatan bersama. Selain perintah syari’at, pendidikan juga merupakan kebutuhan manusia dan kebutuhan sosial. Pendidikan merupakan sarana pengembangan pribadi dan masyarakat untuk mencapai keberhasilan dunia dan akhirat. 


Catatan Kaki

  1. Pendapat ini adalah pendapat yang paling kuat, sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah ra, bahwa wahyu yang pertama ditunjukkan kepada Nabi saw adalah ru’ya shadiqah (mimpi yang benar) datangnya malaikat kepada beliau dan membacakan 5 ayat awal surat al Alaq. Lihat Al Bukhari : Shahih al Bukhari, Daar Thuwaiq an Najah, 1422 H, Juz 1, hlm 7 Lihat pula Muslim : Shahih Muslim, Beirut: Daar Ihya at Turats al ‘Arabi, tt, Juz 1, hlm 139.
  2. Abu al-Hasan al-Nadawi, Mādza Khasir al -Alam bi Inkhithāt al-Muslimīn, (Mesir: Maktabah al Imān, tth), hlm 29.
  3. Muhammad Thâhir bin ‘Asyûr, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, (Tunisia: Dâr at-Tunisiyah li an-Nasyr, 1984), Juz 30, hlm 434.
  4. Wahbah bin Musthofâ az-Zuhaylî,  Tafsir al-Munîr, (Damaskus: Dâr al-Fikr al-Mu’âshir, 1418 H), Juz 30, hlm 319.
  5. Burhânuddîn al-Biqâ’î, Nadzmu ad-Durar, (Cairo: Dâr al-Kitâb al-Islâmî, tt), Juz 22, hlm 152-153.
  6. Muhammad Abduh, Tafsir al-Qur’an al-Karim Juz ‘amma,( Mesir : Mathba’atu Mishr, 1341 H), hlm 124.
  7. Muhammad bin Idris al-Syāfi’ī, Tafsīr al-Imām al-Syāfi’ī, (Saudi Arabia: Dar al-Tadmiriyah, cet. pertama 1427 H), Juz 2, hlm 962. Pendapat semacam ini juga dikemukakan oleh al-Qurthubī dari kalangan Malikiyah. Lihat Syamsuddîn al Qurthûbî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an, (Cairo: Dâr al Kutub al Mishriyah, 1384 H), Juz 8, hlm 294.
  8. Anwar al-Baz, al-Tafsīr al-Tarbawī lil Qur’an al Karīm, (Cairo: Dār an Nashr lil Jami’at, 2007) Juz1, hlm 618.
  9. Muhammad Thâhir bin ‘Asyûr, op.cit,  Juz 11, hlm 59.
  10. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dār ihyā`u al-Kutub al-‘Arabiyah, tth), Juz 1, hlm 81, no. 224. Menurut al Haiṡami ḥadīṡ ini ḍa’īf, lihat majma’u az-zawā`id Juz 1, hlm 120. 
  11. Lihat Nūruddīn al-Malā ‘ali al-Qāriy, Muraqātu al-Mafātīh, (Beirut: Dār al Fikr, 1422 H), Juz 1, hlm 301. Lihat pula Zainuddīn al Munāwiy, Faiḍul Qadīr, (Mesir: al-Maktabah al-Tijāriyah, 1356 H), Juz 4, hlm 267.
  12. Ibid.
  13. Muhammad Thâhir bin ‘Asyûr, op.cit, Juz 2, hlm 66-67.
  14. Wahbah bin Musthofâ az-Zuhaylî,  op.cit, , Juz 2, hlm 54.
  15. Muhammad Thâhir bin ‘Asyûr, loc.cit,. Lihat juga az-Zuhaylî,Ibid.
  16. Syamsuddîn al Qurthûbî, op.cit, Juz 2, hlm 185. Lihat juga az-Zuhaylî,Ibid.
  17. Abu ‘Abdullah al Ḥākim, al Mustadrak ‘ala aṣ-ṣaḥiḥain, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1411 H), Juz 1, hlm 182, no 346. ḥadīṡ ini ṣaḥīḥ.
  18. Ibnu Majah, op.cit, Juz 1, hlm 97, ḥadīṡ no 265. ḥadīṡ ini ḍa’īf.
  19. Jamāluddīn Ibn al-Jawzī, Zād al-Masīr fī ‘Ilmi at-Tafsīr, (Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1422 H), Juz 2, hlm 575.
  20. Muhammad Thâhir bin ‘Āsyūr, op.cit, Juz 14, hlm 231.
  21. Ahmad bin Musthofā al Marāghī, Tafsir al Marāghī, (Mesir : Perusahaan Penerbitan Musthofa al-Halby, 1365 H), Juz 14, hlm 118.
  22. Muslim bin al Hajjaj Abu al hasan al Qusyairy an Naisabury, Shahih Muslim, (Beirut: Daar ihyau At Turats al Araby, tt ), vol 4, h. 2197, hadits no 2865.
  23. Lihat Ibnu ‘Abdil Bar, at-Tamhid lima Fil Muwatho,, (Maroko: Kementrian Wakaf, 1387 H), vol 18,hlm 74-76
  24. Abu Zakaria Muhyiddin Yahya an Nawawi, al Minhaj Syarh Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihyau Turats al ‘Arabiy, 1392 H), vol 17, hlm 197. 
  25. Nūruddīn al-Malā ‘alî al-Qāriy, op.cit, vol  8, hlm 3367.
  26. Muslim bin al Hajjaj, Op.cit, vol 1, hlm 203, hadits no 223.
  27. An Nawawi, Op.cit, vol 3, hlm 102.
  28. Bukhari, Op.cit, vol 3. Hlm 139, hadits no 2493.
  29. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Maktabah al ‘Ashriyah, tth), vol 4, hlm 111, hadits no 4297. Shahih menurut al Albani.
  30. Nuruddin al Qari, Op.cit, vol 8, hlm 3366.
  31. Yusuf al Qaradhawi,Ummatuna Baina Qarnain, (Beirut: Daar asy Syuruq, 1421 H), hlm 240.