Sigit Suhandoyo, Pembahasan tentang al-muḫkam (ayat-ayat dengan makna yang lugas) dan al-mutasyābih (ayat-ayat dengan makna yang saling menyerupai) dalam al-Qur’ān bersumber pada tiga ayat berikut. Pertama, surat Hud ayat 1 yang menegaskan bahwa semua ayat al-Qur’ān adalah muḫkam,
الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ
“Alif Laam Raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu,”
Kedua, surat al-Zumar ayat 23, yang menegaskan bahwa semua ayat al-Qur’ān adalah mutasyābih,
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Qur'an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pun pemberi petunjuk baginya.”
Ketiga, surat Āli ‘Imrān ayat 7 yang mengemukakan bahwa ayat al-Qur’ān sebagiannya muḫkam dan sebagiannya mutasyābih,
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”
Dalam ayat ini Allah menjelaskan pokok-pokok isi al-Qur’ān sebagai ayat-ayat muḫkam. Sedangkan yang mutasyābih merupakan ayat yang hanya Allah semata yang mengetahui takwilnya. Pemahaman terhadap tafsir ayat tersebut di atas --khususnya dalam hal waqaf dan kajian tentang teks al-Qur’ān yang bersambung secara lafadz dan terpisah secara makna-- kemudian menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Apakah ayat-ayat mutasyābih itu hanya diketahui maksudnya oleh Allah ta’ala atau dapat pula diketahui oleh “الرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ” orang yang mendalam ilmunya? Sebagaimana teks ayat “وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ”. Demikian pula apakah pengertian muḫkam dan mutasyābih secara khusus? Lalu apakah hikmah adanya ayat-ayat mutasyābih dalam al-Qur’ān?
Nilai penting pembahasan tentang muḫkam dan mutasyābih ini sebagaimana pernah ditanyakan kepada Sahl al-Tustarī (1),
مَتَى يَجُوزُ لِلْعَالِمِ أَنْ يُعَلِّمَ النَّاسَ؟ فَقَالَ: إِذَا عَرَفَ الْمُحْكَمَاتِ مِنَ الْمُتَشَابِهَاتِ.(2)
“Kapan seorang berilmu diperbolehkan mengajarkan ilmunya kepada manusia? maka Ia (Sahl al-Tustarī) menjawab, jika orang tersebut telah mengetahui ayat-ayat muḫkamāt dan mutasyābihāt”
Demikianlah naskah ringkas ini akan memaparkan tentang pengertian muḫkam dan mutasyābih secara bahasa dan istilah, pendapat para ulama dalam menjelaskan maksud muḫkam dan mutasyābih dalam al-Qur’ān, asal tasyābuh, jenis dan contohnya serta hikmah adanya ayat-ayat mutasyābih dalam al-Qur’ān.
PEMBAHASAN
A. DEFINISI BAHASA AL-MUḪKAM DAN AL-MUTASYĀBIH
Secara bahasa pengertian al-iḫkām adalah “المنع” yaitu mencegah. Pengertian ini tidak bersifat umum, melainkan dikhususkan pada pencegahan kepada kerusakan dan memperbaiki sesuatu. Sebagaimana riwayat dari Ibrāhīm al-najja’īy “حَكّم اليَتِيمَ كَما تُحَكَّمُ وَلَدَك” maksudnya adalah “امْنَعْه من الفَسادِ وَأَصْلِحْه كَمَا تُصْلِحُ وَلَدَك”(3) yaitu cegahlah ia dari kerusakan dan baguskanlah sebagaimana engkau membaguskan anakmu. Pakar bahasa dan hadits Ibnu al-Atsīr mengemukakan bahwa “المُحْكَم الَّذِي لَا اخْتِلَافَ فِيهِ وَلَا اضْطِراب”(4) al-muḫkam adalah yang tidak ada perselisihan dan kebingungan terhadap maknanya. Dikatakan pula oleh al-Munawi (w. 1031 H), bahwa al-muḫkam adalah “الذي أبرم حكمه فلم ينتشر”(5) sesuatu yang dikokohkan dan dikuatkan hukumnya sehingga tidak berserakan. al-Muḫkam dapat pula diartikan dengan “المتقن”(6) dikerjakan dengan sempurna. Dengan demikian secara bahasa dapatlah dikatakan bahwa al-muḫkam adalah sesuatu yang dikokohkan dan dikuatkan sehingga sempurna kebaikannya dari kerusakan, perselisihan dan kebingungan terhadap hakikatnya.
Adapun pengertian mutasyābih secara bahasa adalah, “المماثلة” persamaan, keserupaan dan analogi. Dalam Mu’jam al-Wasīth disebutkan bahwa tasyābuh adalah, “الشيئان أشبه كل مِنْهُمَا الآخر حَتَّى التبسا”(7) dua hal yang saling menyerupai satu dengan lainnya hingga menjadi samar. Menurut pakar bahasa dan sastra Arab Ibnu Fāris (w. 395 H), kata Syabaha menunjukkan makna “تَشَابُه الشَّيْءِ وَتَشَاكُلِه لَوْنًا وَوَصْفًا”(8) menyerupai sesuatu dan menyamainya dalam hal jenis maupun karakteristiknya. Dengan demikian mutasyābih adalah adanya kesamaan dan keserupaan terhadap sesuatu hal baik dalam jenis (konkrit) maupun karakteristiknya (abstrak) sehingga menjadi samar perbedaan antara keduanya.
B. DEFINISI ISTILAH AL-MUḪKAM DAN AL-MUTASYĀBIH
Mannā al-Qathan (w.1420 H) mengemukakan bahwa maksud dari al-Qur’ān itu muḫkam adalah, “إنه كلام متقن فصيح يميز بين الحق والباطل، والصدق والكذب”(9) sesungguhnya kata-kata al-Qur’ān itu sempurna, fasih dan membedakan antara yang hak dan batil dan antara kebenaran dan dusta. Pendapat semacam ini juga dikemukakan oleh al-Suyuthi, bahwa yang dimaksud kemuḫkaman ayat al-Qur’ān adalah “إِتْقَانُهُ وَعَدَمُ تَطَرُّقِ النَّقْصِ وَالِاخْتِلَافِ إِلَيْهِ”(10) kesempurnaannya dengan tiadanya kekurangan dan perselisihan terhadapnya. Al-muḫkam juga menunjukkan arti kejelasan makna al-Qur’ān, pengertian ini sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Sayyid Jibril, “ما ورد من نصوص الكتاب و السنة دالا على معناه بوضوح لا خفاء فيه على تفصيل”(11) semua kandungan dari dalil-dalil al-Qur’an dan al-sunnah yang menunjukkan kejelasan makna. Tidak ada hal yang tersamar atas setiap rinciannya.
Sedangkan yang dimaksud bahwa al-Qur’ān adalah mutasyābih, menurut Mannā al-Qathan yaitu, “إنه يشبه بعضه بعضًا في الكمال والجودة، ويُصدِّق بعضه بعضًا في المعنى ويماثله”(12) bahwa sesungguhnya al-Qur’an itu sebagian kandungannya serupa dengan sebagian yang lain dalam hal kesempurnaan dan keindahannya. Sebagiannya membenarkan sebagian yang lain serta sesuai pula maknanya. Pengertian serupa juga dikemukakan oleh al-Suyuti, bahwa yang dimaksud al-Qur’ān adalah mutasyābih yaitu, “يُشْبِهُ بَعْضُهُ بَعْضًا فِي الْحَقِّ وَالصِّدْقِ وَالْإِعْجَازِ”(13) keadaannya saling menyerupai satu dengan lainnya dalam hal kebenaran, kejujuran dan kemu’jizatannya. Muhammad Sayyid Jibril mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan al-mutasyābih “ما كان من نصوص الكتاب و السنة خفي المعنى، لا يدرك المراد به بسهولة، و لكن بتمعن و تعمق و بحث”(14) Semua kandungan dari al-Qur’an dan al-sunnah yang maknanya samar, tidak diketahui maksudnya dengan mudah, melainkan memerlukan pengkajian, pendalaman makna dan penelitian.
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa al-muḫkam dalam al-Qur’ān adalah ayat-ayat yang maknanya dapat difahami dan al-mutasyābih adalah ayat-ayat dalam al-Qur’ān yang memiliki makna yang samar bahkan sebagiannya tidak diketahui.
C. PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG PENA’WILAN AYAT-AYAT MUTASYĀBIH
Para ulama berbeda pendapat, tentang apakah ayat-ayat mutasyābih itu dapat diketahui maksudnya atau hanya diketahui oleh Allah. Perbedaan pendapat ini bersumber dari perbedaan pemahaman terhadap surat Āli ‘Imrān ayat 7,
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”
Ada dua pendapat terkait penafsiran ayat ini. Pertama, kalimat “وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ” orang-orang yang mendalam ilmunya. Apakah teks ini diathafkan (disetarakan) kepada kalimat sebelumnya? Dan kalimat “يَقُولُونَ” mereka berkata kedudukannya sebagai hal (keterangan). Sehingga ayat ini berarti, ayat-ayat mutasyabihāt tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Kedua, wawu pada teks “وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ” adalah wawu isti’naf (untuk memulai kalimat baru) dan kedudukannya sebagai mubtada’ (awal kalimat) dan teks “يَقُولُونَ” merupakan khabar (keterangan kalimat awal). Sehingga waqafnya pada “وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ” padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah.
Pendapat pertama diikuti oleh sebagian kecil ulama. Diantaranya adalah Mujāhid bin Jabr.(15) Al-Thobari (w.310 H) meriwayatkan dari jalur Mujāhid dari Ibnu ‘Abbas ra, bahwa ia berkata tentang surat Āli ‘Imrān ayat 7 “أنا ممن يعلم تأويله”(16) aku termasuk orang-orang yang mengetahui ta’wilnya. Pakar ḫadīts Ibn Abī Ḫātim (w.327 H) meriwayatkan dari al-dhahāk bahwa ia berkata,
الرَّاسِخُونَ يَعْلَمُونَ تَأْوِيلَهُ، لَوْ لَمْ يَعْلَمُوا تَأْوِيلَهُ لَمْ يَعْلَمُوا نَاسِخَهُ مِنْ مَنْسُوخِهِ، وَلَمْ يَعْلَمُوا حَلالَهُ مِنْ حَرَامِهِ، وَلا مُحْكَمَهُ مِنْ مُتَشَابِهِهِ.(17)
“orang-orang yang mendalam ilmunya mengetahui ta’wilnya. Jika mereka tidak mengetahuinya, maka bagaimana mereka membedakan antara nāsikh dan mansūkh, halal dan haram serta muḫkam dan mutasyābih”
Pendapat ini juga dipilih oleh imam al-Nawawi (w. 676 H) dari kalangan syafi’iyyah. Ia mengatakan,
وَأَنَّ الرَّاسِخِينَ يَعْلَمُونَهُ لِأَنَّهُ يَبْعُدُ أَنْ يُخَاطِبَ اللَّهُ عِبَادَهُ بِمَا لَا سَبِيلَ لِأَحَدٍ مِنَ الْخَلْقِ إِلَى مَعْرِفَتِهِ.(18)
“bahwasanya orang-orang yang mendalam ilmunya mengetahui ta’wil. Karena tidak mungkin Allah berbicara kepada makhluknya dengan sesuatu yang tidak mungkin untuk diketahui maknanya.”
Adapun kebanyakan para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan para ulama sesudahnya memilih pendapat yang kedua. Al-Suyuthi mengemukakan bahwa kebenaran pendapat dari kebanyakan ulama adalah berdasarkan sebuah riwayat dari ‘Abdu al-Razāq (w.211 H) dan al-Ḫākim, bahwa Ibnu ‘Abbas ra membaca, “وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَ يَقُولُ الرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ آمَنَّا بِهِ”(19) dan tidak mengetahui ta’wilnya kecuali Allah dan berkata orang-orang yang mendalam ilmunya kami mengimaninya.
Menurut Mannā al-Qathan, perbedaan pendapat ini pada hakikatnya dapat dikompromikan agar tidak saling bertentangan. Yaitu dengan cara mendefinisikan makna ta’wil. Karena lafaz ta’wil dapat digunakan untuk menunjukkan tiga makna,(20) yaitu, Pertama, memalingkan sebuah lafaz dari makna yang kuat kepada yang lemah karena ada suatu dalil yang menghendakinya. Sebagai contoh adalah surat al-Isra ayat 24,
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh perlindungan kasih sayang dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".”
Lafaz “جَنَاحَ” diartikan dengan perlindungan dan tidak diartikan dengan sayap, karena mustahil manusia mempunyai sayap.
Kedua, ta’wil dengan makna tafsir untuk menerangkan dan menjelaskan sebuah lafaz agar difahami maknanya. Sebagai contoh surat al-fatihah ayat 6-7,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ(6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ(7)
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
Apakah maksud teks “صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ” jalan orang-orang yang Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka? Para ulama menafsirkan teks ini dengan teks pada surat al-nisa ayat 68-69,
وَلَهَدَيْنَاهُمْ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا (68) وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا (69)
“dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus. Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddīqīn, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”
Demikian pula teks, “غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ” bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. Para ulama menafsirkan teks ini diantaranya dengan mengemukakan hadits yang diriwayatkan oleh Adi bin Hatim, ketika ia bertanya kepada Nabi saw tentang maknanya. “إِنَّ الْمَغْضُوبَ عَلَيْهِمُ الْيَهُودُ، وإنَّ الضَّالِّينَ النَّصَارَى”(21) sesungguhnya orang-orang yang dimurkai adalah yahudi dan yang sesat adalah nashrani.
Ketiga, ta’wil adalah substansi yang kepadanya makna sebuah lafadz dikembalikan. Sebagai contoh adalah permulaan surat yang terdiri dari huruf-huruf yang terpisah, seperti “الم، الر، كهيعص” dan sebagainya. Sayyid Thantawi mengemukakan bahwa, pembukaan ayat maknanya dikembalikan kepada Allah ta’ala. “أن المعنى المقصود منها غير معروف، فهي من المتشابه الذي استأثر الله بعلمه”(22) bahwasanya arti yang dimaksudkan dari pembukaan surat tersebut tidak diketahui, merupakan lafadz mustasyābih yang merupakan prerogratif Allah dengan segala keagungan-Nya.
Meskipun demikian dalam hal ini adapula ulama yang berusaha mengkaji maknanya. Sebut saja Ibnu Abī Ḫātim. Ia meriwayatkan dari Anas al-dhuha dari ibnu ‘Abbas bahwa makna “الم” maksudnya adalah, “أَنَا اللَّه أَعْلَمُ” Aku Allah lebih mengetahui. Demikian pula ia meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa makna “ق” adalah gunung qaf yang mengelilingi bumi.(23) Terkait kajian serupa, al-Suyuti mengemukakan bahwa dari begitu banyak pendapat yang ia kumpulkan terhadap permasalahan ini, ia tidak menemukan seseorangpun yang mengetahui sampai kepada pemahaman yang sebenarnya. Meski demikian ia menegaskan bahwa permasalahan ini merupakan sesuatu yang dikenal dikalangan bangsa Arab pada masa lampau, mengingat kaum kafir Quraisy yang senantiasa mencari-cari kelemahan al-Qur’an tidak mengingkarinya. Melainkan mengakui ketinggian, kefasihan dan balaghah yang terkandung di dalamnya.(24)
Demikian pula termasuk didalamnya adalah ayat-ayat tentang sifat. Seperti firman Allah ta’ala, dalam surat thaha ayat 5 “الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى” Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy. Surat al-Rahman ayat 27, “ويبقى وجه ربك ذو الجلال والإكرام” Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. Atau surat al-Fath ayat 10 “يد الله فوق أيديهم” tangan Allah di atas tangan mereka. Jumhur ulama ahlu al-sunnah berpendapat untuk mengimaninya dan mengembalikan maknanya kepada Allah ta’ala dan tidak berupaya unruk menafsirkannya dengan disertai sikap menyucikan Allah tentang hakikatnya.
D. JENIS DAN CONTOH AL-MUTASYĀBIH
Secara umum ayat-ayat al-mutasyābih terbagi menjadi tiga macam. Yaitu mutasyābih dari sisi lafadz saja, mutasyābih dari sisi makna dan mutasyābih dari lafadz dan makna.
1. Mutasyābih dari sisi lafadz saja.
Pembahasan pada jenis ini terbagi dalam beberapa contoh. Pertama, lafadz mufrad yang asing. Sebagai contoh adalah teks “الأب” pada firman Allah dalam surat ‘Abasa ayat 31, “وفاكهة وأبا” yang berarti dan buah-buahan serta rumput-rumputan. Lafadz “الأب” sebenarnya kata yang asing. Mengartikan “الأب” dengan rumput-rumputan adalah dengan kedekatan urutan arti dalam ayat-ayat lain, seperti dalam ayat ke 32, “متاعا لكم ولأنعامكم” untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu. Hal ini sebagaimana juga yang diartikan oleh al-thabari, “الأبّ: نبت الأرض مما تأكله الدوابّ، ولا يأكله الناس”(25) bahwa al-abb adalah tumbuhan yang dimakan oleh ternak dan tidak dimakan oleh manusia.
Kedua, lafadz mufrad karena lafadz itu musytarak atau memiliki banyak arti. Seperti teks “اليمين” dalam firman Allah ta’ala pada surat al-shāffāt ayat 93, “فراغ عليهم ضربا باليمين” yang artinya, Lalu dihadapinya berhala-berhala itu sambil memukulnya dengan tangan kanannya (dengan kuat). Teks “اليمين” bisa berarti sebenarnya yaitu tangan kanan, bukan tangan kiri. Tetapi dapat pula berarti dengan kekuatan. Sementara jika merujuk pada firman Allah ta’ala dalam surat al-Anbiya ayat 57, “وَتَاللَّهِ لَأَكِيدَنَّ أَصْنَامَكُمْ بَعْدَ أَنْ تُوَلُّوا مُدْبِرِينَ” yang artinya, Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya. Maka teks “اليمين” bisa berarti sumpah sebagaimana yang disebutkan “وَتَاللَّهِ”.
Ketiga, lafadz berupa susunan kalimat untuk meringkas pembicaraan. Seperti firman Allah ta’ala dalam surat al-Nisa ayat 3,” وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ...” yang artinya, Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.”
Susunan kalimat dalam ayat di atas merupakan ringkasan pembicaraan dari, “وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي شَأْنِ الْيَتَامَى عِنْدَ زَوَجِكُم مِنْهُنَّ فَانْكِحُوا مِنْ غَيْرِهِنَّ مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ” yang artinya, Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (selain mereka) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Keempat, lafadz berupa susunan kalimat yang memanjangkan pembicaraan. Seperti firman Allah ta’ala dalam surat al-Syura ayat 11, “لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ” Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Jika tidak ada pemanjangan pembicaraan maka teksnya adalah, “لَيْسَ مِثْلِهِ شَيْءٌ”. Keberadaan “ك” adalah untuk menafikan permisalan Allah ta’ala baik membandingkan maupun menyerupakan.
Kelima, lafadz berupa susunan kalimat yang muncul karena tuntutan dari susunan suatu pembicaraan. Seperti firman Allah ta’ala dalam surat al-Kahfi ayat 2, “الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا (1) قَيِّمًا لِيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا...” artinya, Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al Qur'an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya;(1) sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan akan siksaan yang sangat pedih…
Perkiraan pemaknaan ayat ini dari lafadznya adalah, “الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ قَيِّمًا وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا (1) لِيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا...” artinya menjadi, Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al Qur'an) sebagai bimbingan yang lurus, dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya;(1) untuk memperingatkan akan siksaan yang sangat pedih…
2. Mutasyābih dari sisi makna saja.
Sebagai contoh adalah ayat-ayat tentang sifat-sifat Allah ta’ala, sifat-sifat hari akhir dan peristiwanya, kenikmatan surga dan azab neraka, dan sebagainya. Kesemuanya merupakan mutasyābihat dari sisi makna, yaitu penyerupaan dengan sesuatu yang sampai pada pemikiran manusia namun sebenarnya, manusia tidak akan dapat memahami hakikat yang sesungguhnya. Dalam hal ini manusia memiliki kewajiban mengimani dan menyucikan Allah atas hakikatnya.
3. Mutasyābih dari sisi lafadz dan makna
Sebagai contoh adalah surat al-Baqarah ayat 189,
...وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
… Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.
Membaca ayat ini tidak akan difahami maknanya jika tidak mencari artinya melalui pendekatan makna dan pendekatan lafadz. Pendekatan makna dapat dilakukan dengan merujuk pada sebab turunnya ayat. Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Ishaq, bahwa ia mendengar al-Bara ra, berkata,
نَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ فِينَا، كَانَتِ الأَنْصَارُ إِذَا حَجُّوا فَجَاءُوا، لَمْ يَدْخُلُوا مِنْ قِبَلِ أَبْوَابِ بُيُوتِهِمْ، وَلَكِنْ مِنْ ظُهُورِهَا، فَجَاءَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ، فَدَخَلَ مِنْ قِبَلِ بَابِهِ، فَكَأَنَّهُ عُيِّرَ بِذَلِكَ، فَنَزَلَتْ.(26)
“Ayat ini diturunkan bagi kami, bahwasanya kaum Anshar jika berhaji, maka mereka pergi dan tidak masuk dari pintu depan rumah mereka. Melainkan dari belakangnya. Kemudian datang seorang pemuda dari Anshar yang masuk dari bagian depan rumahnya, sehingga ia dihinakan karena perbuatannya tersebut. Kemudian turunlah ayat ini. Secara makna ayat ini tidak difahami jika tidak merujuk kepada sebab turunnya ayat yang menerangkan kebiasaan orang Arab pada masa itu.
Adapun pendekatan lafadz, dapat difahami bahwa susunan kalimat ini meringkas pembicaraan. Dalam bentuk yang utuh setelah memahami makna tersebut, maka artinya menjadi seperti berikut,
...وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا إذَا كُنْتُم مُحْرِمِيْنَ بِحَج أو عُمْرَة......
… Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, jika kalian sedang ihram dalam haji atau ‘umrah…..
E. HIKMAH AL-MUḪKAM DAN AL-MUTASYĀBIH DALAM AL-QUR’ĀN
Bahwa al-Qur’an diperuntukkan bagi seluruh manusia, mencakup masyarakat yang umum hingga yang khusus memiliki keilmuan yang memadai untuk memahaminya. Merupakan hikmah yang dapat diterima bagi manusia. Pokok-pokok agama yang merupakan al-muḫkamat, menjadi hal yang mudah untuk difahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Sedangkan ayat-ayat mutasyabihāt yang memungkinkan untuk difahami maknanya adalah wilayah orang-orang berilmu untuk senantiasa mengembangkan keilmuannya.
Jika ayat-ayat mutasyābih itu memungkinkan untuk diketahui oleh manusia, maka hal tersebut setidaknya mengandung dua hikmah berikut, yaitu; (1). Pahala dari Allah ta’ala dalam upaya mengungkapkan makna melalui penelitian dan pengkajian yang mendalam. (2). Allah membuka jalan bagi manusia untuk senantiasa belajar menguasai berbagai ilmu yang dibutuhkan untuk dapat memahami ayat-ayat mutasyābih dalam al-Qur’ān.
Adapun pelajaran dari ayat-ayat mutasyābih yang tidak memungkinkan untuk diketahui oleh manusia adalah, sebagai ujian bagi manusia untuk menahan diri dan berhenti, seraya mengakui kelemahan diri dihadapan Allah ta’ala dengan mengimani al-Qur’ān secara utuh.
CATATAN KAKI
- Abū Muhammad Sahl al-Tustarī adalah salah satu pemimpin kaum sufi pada masanya. Tafsīr al-Tustari merupakan penafsirannya terhadap al-Qur’ān itu, dihimpun dan disusun oleh Abu Bakar Muhammad al-Balady. Sahl al-Tustarī dikebumikan di Basrah pada tahun 283 H pada usia yang ke 83.
- Ibn ‘Abd al-Bar, Jāmi’ Bayān al-‘Ilm wa Fadhlih, (Saudi Arabia: Dār Ibn al-Jauzi, cet. Pertama 1414 H), Jilid 1, hlm 500
- Murtadho al-Zubaidi, Tāj al-‘Arūs min Jawāhir al-Qāmūs, (Beirut: Dār al-Hidāyah, tth), Jilid 31, hlm 514.
- Abū Sa’ādāt Ibnu al-Atsīr, al-Nihāyatu Fī Gharīb al-Hadīts wa al-Ātsar, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, tth), Jilid 1, hlm 419.
- Zain al-Dīn al-Munāwi, al-Tauqif ‘ala Muhimati al-Ta’rif, (Cairo: ‘Alim al-Kutub, cet. pertama 1410 H), Jilid 1, hlm 299.
- Ibrāhīm Musthafā, et.al, al-Mu’jam al-Wasīth, (Cairo: Dar al-Da’wah, tth), Jilid 1, hlm 190.
- Ibid, Jilid 1, hlm 471.
- Ibnu Fāris, Mu’jam Maqāyis al-Lughah, (Beirut: Dār al-Fikr, 1399 H), Jilid 3, hlm 243.
- Mannā’ al-Qathan, Mabāhits Fi Ulūm al-Qur’ān, (Saudi Arabia: Maktabah al-Ma’ārif, cet. ke3 1421 H), Hlm 220.
- Jalāl al-Dīn al-Suyūthī, al-Itqān Fi ‘Ulūm al-Qur’ān, (Cairo: al-Hay-ah al-Mishriyah al-‘Āmmah li al-Kitāb), Jilid 3, hlm 3.
- Muhammad al-Sayyid Jibrīl, al-Manhaj al-Qawīm Ila ‘Ulūm al-Qur’ān al-Karīm, (Cairo: Muassasatu al-Falāh, 2007), hlm 188
- Mannā’ al-Qathan, Loc.cit.
- Jalāl al-Dīn al-Suyūthī, Loc.cit.
- Muhammad al-Sayyid Jibrīl, Loc.cit.
- Mujāhid bin Jabr lahir pada tahun 21 H dan wafat 104 H, seorang pakar dalam qiraat, tafsir al-Qur’ān dan hadits. Ia mengulang bacaan al-Qur’an kepada Ibnu ‘Abbas ra, sebanyak 3 kali dan berhenti pada setiap ayatnya untuk memahami sebab dan kandungan ayat tersebut. Ibnu Katsir al-Maki, Abu ‘Amr al-Bashri dan Ibnu Muhisin adalah imam-imam qiraat yang belajar kepadanya. Ikrimah, Thawus dan ‘Atha juga meriwayatkan hadits darinya.
- Abū Ja’far al-Thabarī, Jāmi’ al-Bayān Fī Ta’wīl al-Qur’ān, (Beirut: Muasasatu al-Risālah, cet. pertama, 1420 H), Jilid 6, hlm 203
- Ibn Abī Ḫātim al-Rāzī,Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm, (Saudi Arabia: Maktabah Musthofa al-Baz, cet. ketiga 1419 H), Jilid 2, hlm 600.
- Abū Zakariyā al-Nawawī, al-Minhāj Syarḫ Shaḫīḫ Muslim, (Beirut: Dār Iḫyāu al-Turāts al-‘Arabī, cet. ke 2, 1392 H), Jilid 16, hlm 218.
- Jalāl al-Dīn al-Suyūthī, op.cit. Jilid 3, hlm 6. Lihat juga ‘Abd al-Razaq al-Shan’ani, Tafsir ‘Abd al-Razaq, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. pertama 1419 H), jilid 1, hlm 314.
- Lihat Mannā’ al-Qathan, Op.cit. hlm 223.
- Aḫmad bin Ḫanbal al-Syaibānī, Musnad al-Imām Aḫmad bin Ḫanbal, (Beirut: Muassasatu al-Risalah, cet. pertama 1421 H), Jilid 32, hlm 124.
- Muhammad Sayyid Thanthawi, al-Tafsīr al-Wasīth, (Cairo: Dar Nahdhah Mishr, Cet. pertama 1998), Jilid 1, hlm 38.
- Lihat Ibn Abī Ḫātim al-Rāzī,Op.cit, Jilid 1, hlm 32 dan Jilid 10, hlm 3307.
- Lihat Jalāl al-Dīn al-Suyūthī, op.cit. Jilid 3, hlm 30-31.
- Abū Ja’far al-Thabarī, op.cit, Jilid 24, hlm 30.
- Muhammad bin Ismā’īl al-Bukhārī, Shahīh al-Bukhārī, (Saudi Arabia: Dār Thuwaiq al-Najah, cet pertama, 1422 H), Jilid 3, hlm 83, no 1803.
DAFTAR PUSTAKA
- Ibn ‘Abd al-Bar, Jāmi’ Bayān al-‘Ilm wa Fadhlih, (Saudi Arabia: Dār Ibn al-Jauzi, cet. Pertama 1414 H).
- Murtadho al-Zubaidi, Tāj al-‘Arūs min Jawāhir al-Qāmūs, (Beirut: Dār al-Hidāyah, tth).
- Abū Sa’ādāt Ibnu al-Atsīr, al-Nihāyatu Fī Gharīb al-Hadīts wa al-Ātsar, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, tth).
- Zain al-Dīn al-Munāwi, al-Tauqif ‘ala Muhimati al-Ta’rif, (Cairo: ‘Alim al-Kutub, cet. pertama 1410 H).
- Ibrāhīm Musthafā, et.al, al-Mu’jam al-Wasīth, (Cairo: Dar al-Da’wah, tth)
- Ibnu Fāris, Mu’jam Maqāyis al-Lughah, (Beirut: Dār al-Fikr, 1399 H)
- Mannā’ al-Qathan, Mabāhits Fi Ulūm al-Qur’ān, (Saudi Arabia: Maktabah al-Ma’ārif, cet. ke3 1421 H)
- Jalāl al-Dīn al-Suyūthī, al-Itqān Fi ‘Ulūm al-Qur’ān, (Cairo: al-Hay-ah al-Mishriyah al-‘Āmmah li al-Kitāb, tth).
- Muhammad al-Sayyid Jibrīl, al-Manhaj al-Qawīm Ila ‘Ulūm al-Qur’ān al-Karīm, (Cairo: Muassasatu al-Falāh, 2007)
- Abū Ja’far al-Thabarī, Jāmi’ al-Bayān Fī Ta’wīl al-Qur’ān, (Beirut: Muasasatu al-Risālah, cet. pertama, 1420 H)
- Ibn Abī Ḫātim al-Rāzī,Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm, (Saudi Arabia: Maktabah Musthofa al-Baz, cet. ketiga 1419 H).
- Abū Zakariyā al-Nawawī, al-Minhāj Syarḫ Shaḫīḫ Muslim, (Beirut: Dār Iḫyāu al-Turāts al-‘Arabī, cet. ke 2, 1392 H).
- ‘Abd al-Razaq al-Shan’ani, Tafsir ‘Abd al-Razaq, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. pertama 1419 H).
- Aḫmad bin Ḫanbal al-Syaibānī, Musnad al-Imām Aḫmad bin Ḫanbal, (Beirut: Muassasatu al-Risalah, cet. pertama 1421 H).
- Muhammad Sayyid Thanthawi, al-Tafsīr al-Wasīth, (Cairo: Dar Nahdhah Mishr, Cet. pertama 1998).
- Muhammad bin Ismā’īl al-Bukhārī, Shahīh al-Bukhārī, (Saudi Arabia: Dār Thuwaiq al-Najah, cet pertama, 1422 H).