Pengertian dan Keutamaan Al-Qur'an



Sigit Suhandoyo. Al-Qur’ān adalah kitab seluruh ilmu pengetahuan, Allah menyusun padanya seluruh petunjuk bagi kebaikan hidup di dunia dan akhirat. Manusia yang mengambil pelajaran darinya dan menerapkan dalam kehidupan akan mendapatkan keselamatan.

Al-Qur’ān sebagai kitab terakhir dimaksudkan untuk menjadi petunjuk bagi seluruh umat manusia  sampai akhir zaman. Di dalamnya terkandung nilai-nilai yang luhur yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dalam berhubungan dengan Allah maupun hubungan manusia dengan sesama makhluk-Nya. Oleh karena itu Al-Qur’ān harus senantiasa dibaca, dipelajari, diamalkan dalam kehidupan. 

Kajian naskah pada bab ini akan membahas pengertian, nama-nama dan keutamaan-keutamaan al-Qur’ān. Hal ini dimaksudkan agar lebih mengenal, memuliakan dan memenuhi kewajiban-kewajiban terhadap al-Qur’ān


PEMBAHASAN

A. Pengertian al-Qur’ān

Jika merujuk kepada aspek kebahasaan dan pendapat dalam berbagai ulama tafsir, maka terdapat dua pendapat terkait pengertian al-Qur’ān. Pendapat pertama mengatakan bahwa al-Qur’ān adalah sebuah nama yang dikhususkan bagi kitab suci yang Allah wahyukan kepada Nabi Muhammad saw bagi ummatnya (al-Itqan 1/181-182).

Pendapat kedua mengatakan bahwa pengertian al-Qur’ān terbentuk dari beberapa bentukan kata kerja. Pakar susatra Arab Abū Bakr al-Anbārī (w 328 H), mengemukakan bahwa al-Qur’ān berasal dari kata “قَرَأت الشَّيْء قُرْآنًا”, yang berarti menggabungkan (al-Zāhir Fī Ma’ānī al-Kalmāti al-Nās, 1/71). Al-Qur’ān menggabungkan surat-surat, ayat-ayat dan kata-kata didalamnya. Pendapat ini sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al-Qiyāmah ayat 17 “إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ” Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.

Dikatakan juga al-Qur’ān  berasal dari kata  “قرأ” yang berarti membaca (al-Zāhir Fī Ma’ānī al-Kalmāti al-Nās, 1/71). Para pembaca al-Qur’ān menerangkan, menjelaskan dan mengeluarkan bacaan al-Qur’ān dari dalam mulutnya. Pendapat ini sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al-A’rāf ayat 204, “وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ” Dan apabila dibacakan Al Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.

Dikatakan juga al-Qur’ān berasal dari kata “القِرى” yang secara bahasa berarti jamuan. Pendapat ini diperkuat oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Mas’ūd, bahwasanya Nabi saw telah bersabda, “إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ مَأْدُبَةُ اللَّهِ فَتَعَلَّمُوا مِنْ مَأْدُبَتِهِ مَا اسْتَطَعْتُمْ” Sesungguhnya al-Qur’ān adalah jamuan Allah, maka pelajarilah dari jamuan itu sekemampuan kalian (al-Sunan al-Shagīr, 1/ 333, hadits no 943).

Adapun secara terminologis, al-Qur’ān adalah kalam Allah ta’ala yang diturunkan melalui malaikat Jibril, kepada penutup para nabi dan rasul Muhammad untuk menjadi petunjuk bagi seluruh manusia (Al-Qur’ān wa I’jāzuhu al-‘Ilm, hlm.2) Pakar  al-Qur’ān Fahd al-Rūmī mengatakan bahwa al-Qur’ān adalah,

كلام الله تعالى المنزل على محمد -صلى الله عليه وسلم- المتعبد بتلاوته 

“Firman Allah ta’ala yang diturunkan kepada Muhammad saw, dan membacanya merupakan Ibadah.” (Dirāsat Fi ‘Ulūm al-Qur’ān, 21)

Definisi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut, Pertama: Al-Qur’ān adalah Kalāmullah, Firman Allah ta’ala yang diturunkan kepada Muhammad saw. Hal ini menjelaskan bahwa Al-Qur’ān benar-benar mutlak dari Allah ta’ala, bukan perkataan Jibril as, bukan pula perkataan Muhammad saw. Dengan kekuasaan dan penjagaan-Nya, Al-Qur’ān itu diturunkan kepada Muhammad saw. Dalam surat al-Kahfi ayat 109, Allah memberikan perumpamaan tentang kedahsyatan kalam-Nya yang tak terjangkau oleh manusia.

قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا 

“Katakanlah: "Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).”

Sayyid Thantāwī penulis tafsir al-Wasīth mengemukakan, bahwa ayat ini mengemukakan gambaran yang menakjubkan tentang ilmu Allah yang sangat luas, yang tidak akan habis untuk dituliskan (Tafsir al-Wasīth, 8/587). Demikian pula al-Qur’ān, sebagaimana dituturkan oleh Sahl, penafsir dari abad ke 3 hijriah, Seandainya seorang hamba diberikan pemahaman dari setiap huruf al-Qur’ān, niscaya ia tidak akan mampu mencapai batas dari ilmu Allah ta’ala. Al-Qur’ān menggambarkan kualitas yang tidak akan ada habisnya, tak bertepi. Al-Qur’ān difahami sebatas Allah membuka hati hamba-Nya untuk memahaminya (Tafsir al-Tustārī, 98.).

Perumpamaan serupa tertera juga dalam surat Luqman ayat 27,

وَلَوْ أَنَّمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلَامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering) nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Kedua: membaca Al-Qur’ān merupakan ibadah, hal ini dikarenakan Al-Qur’ān wajib dibaca di dalam sholat dan menjadi syarat sahnya. Pernyataan ini sebagaimana sebuah riwayat yang dikemukakan oleh ‘Ubādah bin al-Shāmit bahwasanya Nabi saw bersabda, 

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ.

“tidak sah sholat bagi siapa yang tidak membaca surat al-fatihah” (Shahīh al-Bukhārī, Juz 1/151, hadits no. 756.)

Balasan bagi pembaca Al-Qur’ān demikian mulia, dan tidak ada pahala membaca yang bisa melebihi membaca Al-Qur’ān. Rasulullah saw bersabda,

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ، وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ، وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ.

“Siapapun yang membaca satu huruf dari Al-Qur’ān maka baginya kebaikan, dan kebaikan dibalasi dengan 10 kali lipat, tidaklah alim lam mim itu satu huruf, akan tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf.”( Sunan al-Tirmidzī, 5/175, hadits no. 2910)

B. Nama-Nama & Kemuliaan Al-Qur’ān

Al-Qur’ān adalah sebuah nama yang mulia, menurut Jalāl al-dīn al-Suyuthī Al-Qur’ān memiliki 55 nama (al-Itqan 1/178) Berikut beberapa nama Al-Qur’ān dan kamuliaannya

Al-Kalam. Nama ini tertera dalam surat al-taubah ayat 6,

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ...

“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah.”

Menurut pakar tafsir dari abad ke 5 hijriah al Wāḫidī, yang dimaksud kata kalām pada ayat tersebut adalah Al-Qur’ān, karena ia adalah argumen akan keberadaan Allah dan menjelaskan aturan-aturan-Nya (al-Wajīz Fī Tafsīr al-Kitāb al-‘Azīz, 454). Kata al-Kalam dalam bahasa Arab yang mempunyai arti (التأثير), yaitu mempengaruhi. Al-Qur’ān adalah bacaan yang kuat mempengaruhi hati orang-orang yang mendengarkannya, senantiasa meningkatkan pemahaman bagi pembacanya, dan memberi berbagai faidah.

Dalam buku tafsirnya, Ibnu Bādīs, pembaharu dari Aljazair ini mengemukakan bahwa, Al-Qur’ān adalah perkataan Allah yang keluar dari ayat-ayatnya pokok-pokok keilmuan yang memberikan petunjuk kepada ummat manusia untuk beriman dan beramal.(Tafsir Ibnu Bādīs, 155)  

Rūḫ. Nama ini tertera dalam surat al-Syurā ayat 52,

وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu Rūḫ (Al Qur'an) dengan perintah Kami.”

Al-Qur’ān adalah Rūh, karena dengan membacanya hati yang mati akan hidup kembali. Dengan membaca al-Qur’ān, hati yang mati karena kekufuran akan hidup kembali dengan keimanan. Al-Qur’ān menerangi hati dari gelapnya kebodohan dengan cahaya ilmu. Malik bin Dinar berkata,

يا أصحاب القرآن ماذا زرع القرآن في قلوبكم فإنّ القرآن ربيع القلوب كما الغيث ربيع الأرض

“wahai sahabat-sahabat al-Qur’ān, apa yang telah ditanam al-Qur’ān dalam hati-hati kalian, sesungguhnya al-Qur’ān itu menyuburkan hati sebagaimana hujan menyuburkan bumi” (al-Kasyfu wa al-Bayān, Juz 8/326)

Gagasan yang menarik dikemukakan oleh Raghīb dari Isfahan, menurutnya Al-Qur’ān adalah Rūh dikarenakan ia menghidupkan jasad. Al-Qur’ān memberi manfaat dan pengetahuan yang akan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang abadi dalam surga Allah subhanahu wa ta’ala (Tafsir al-Rāghib al-Asfihānī, 1/255). Demikianlah Al-Qur’ān diberinama Rūḫ karena ia menghasilkan kehidupan yang baik, ilmu dan kekuatan.

‘Azīz. Nama ini tertera pada surat Fushilat ayat 41,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالذِّكْرِ لَمَّا جَاءَهُمْ وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Al Qur'an ketika Al Qur'an itu datang kepada mereka, (mereka itu pasti akan celaka), dan sesungguhnya Al Qur'an itu adalah kitab yang perkasa.”

Al-Qur’ān adalah kitab perkasa, yang tiada sesuatupun yang serupa dengannya. Al-Qur’ān adalah kitab perkasa yang menghinakan para penentang yang mengingkarinya. Al-Qur’ān itu perkasa, karena tidak ada seorangpun yang akan sanggup menandinginya. Al-Qur’ān itu perkasa, karena merupakan firman Allah yang Maha Perkasa, diturunkan kepada utusan yang perkasa, melalui perantaraan malaikat yang perkasa dan ditujukan untuk membangun sebuah ummat yang perkasa.  

Demikianlah beberapa nama al-Qur’ān. Banyaknya penamaan bagi al-Qur’ān merupakan sebuah keutamaan.  Pakar susastera Arab, al-Fayrūz Ābadī mengemukakan bahwa banyaknya nama yang diperuntukkan bagi Al-Qur’ān menjadi bukti atas kemuliaan dan kesempurnaannya (Bashāiru Dzawī al-Tamyīz, 1/88.).


C. Keutamaan al-Qur’ān

1) Keutamaan mendengarkan bacaan al-Qur’ān.

Mendengarkan Al-Qur’ān adalah penyabab turunnya rahmat Allah ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: 

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Dan apabila dibacakan Al Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat”.

Allah telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk mendengarkan bacaan Al-Qur’ān dengan baik dan memperhatikan, agar mereka dapat mengambil manfaat dari padanya, merenungi hikmah dan kebaikan yang ada di dalamnya serta dapat rahmat dari Allah.

Tidak ada manusia yang paling merugi melainkan mereka yag berpaling dari Al-Qur’ān. Mendengarkan dengan penuh perhatian akan membuat hati seorang dipenuhi kebahagiaan. Karena ia bisa menembus ke dalam hati, memberikan kesan yang membekas, memberikan ketenangan, kelapangan dan penerimaan yang baik, terlebih lagi bagi orang yang bisa memahami maknanya

Nabi saw telah memberitahukan bahwa berkumpulnya manusia untuk mendengarkan Al-Qur’ān dan mempelajarinya, mempunyai manfaat yang sangat besar dan mulia. Di antaranya akan mendapatkan rahmat dari Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah saw,

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ، يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ، وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ، إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمِ السَّكِينَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَه.

“Tidaklah berkumpul suatu kaum di sebuah rumah Allah (masjid), mereka membaca kitab Allah dan mempelajarinya di antara mereka, terkecuali akan turun ketentraman kepada mereka, hati-hati mereka dipenuhi rahmat, dipayungi oleh para malaikat dan Allah menyebut mereka di hadapan makhluk-Nya” (Shaḫīḫ Muslim, 4/2074, hadits no.2699.)


2) Keutamaan membaca al-Qur’ān. 

Allah menjelaskan bahwa membaca al-Qur’an adalah perniagaan yang menguntungkan. Sebagaimana tertera dalam surat fāthir ayat 29 & 30. 

إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ (29) لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ (30)

Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.

Al-Qurthubī, pakar tafsir hukum dari abad ke 7 h mengemukakan bahwa, ayat ini menunjukkan tentang keutamaan para pembaca al-Qur’ān yang memahami makna dan mengamalkan isinya (al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān, 14/345). Allah menyempurnakan pahala dan karunianya kepada mereka. 

Menurut al-Māwardī, karunia yang Allah tambahkan kepada para pembaca al-Qur’ān meliputi, menolong mereka di dunia, dilapangkan kuburnya agar mereka merasa senang, melipatgandakan balasan bagi amal mereka, dan memberi ampunan atas dosa-dosa yang banyak dan memberi balasan atas amal yang sedikit (al-Nukat wa al-‘Uyūn, 4/472)

Sesungguhnya membaca Al-Qurān merupakan  perniagaan yang sangat menguntungkan dan simpanannya yang tak akan hilang di sisi Allah. Bahkan Dia menambahkan untuk mereka keutamaan dan kemuliaannya, dengan tambahan itu tiada yang mengetahui kadarnya kecuali Allah Subhanahu wa Taāla, Dzat yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.


3) Keutamaan Menghafalkan al-Qur’ān. 

Para pembaca dan penghafal al-Qur’ān akan mendapatkan kedudukan yang tinggi di akhirat. Rasulullah saw telah bersabda,

عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَثَلُ الَّذِي يَقْرَأُ القُرْآنَ، وَهُوَ حَافِظٌ لَهُ مَعَ السَّفَرَةِ الكِرَامِ البَرَرَةِ، وَمَثَلُ الَّذِي يَقْرَأُ، وَهُوَ يَتَعَاهَدُهُ، وَهُوَ عَلَيْهِ شَدِيدٌ فَلَهُ أَجْرَانِ»

“perumpamaan orang yang membaca al-Qur’ān dan dia menghafalnya (menjaganya), dia bersama para malaikat yang mulia. sementara orang yang membaca al-Qur’ān dan menjaganya sedang dia bersusah payah untuk itu, baginya dia pahala.”(shahih al-Bukhari 6/66, hadits no 4937)

Badru al-Dīn al-‘Ainī mengemukakan bahwa maksud dari para pembaca dan penghafal al-Qur’ān bersama para malaikat yang mulia adalah; pertama, menunjukkan kedudukan mereka yang mulia dengan mensifatinya sebagaimana kedudukan para malaikat. Kedua, bahwa para pembaca dan penghafal al-Qur’ān itu mulia karena telah beramal sebagaimana amal para malaikat dan menempuh jalan kemuliaan sebagaimana yang ditempuh oleh para malaikat (‘Umdah al-Qari, 19/280). 

Di dalam hadits ini terkandung satu keutamaan yang bagi pembaca dan penghafal Al-Qurān, tentu dengan hanya mengharap keridhaan Allah Ta’āla. Mereka disejajarkan dengan para malaikat yang mulia, karena Al-Qurān  adalah tasbih bagi para malaikat, di mana mereka tidak disibukkan oleh berbagai macam kelezatan lain selain al-Qurān.


4) Keutamaan Mengajarkan dan mempelajari al-Qur’ān. 

Sesungguhnya mempelajari dan mengajarkan Al-Qurān, serta menerangkan makna dan hukum-hukumnya kepada manusia, termasuk dalam kategori amalan yang paling baik dan mulia. Orang-orang yang mempelajari dan mengajarkan akan mendapatkan bagian kebaikan dan keutamaannya di dunia dan akhirat. Rasulullah saw bersabda:

عَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَعَلَّمَهُ»

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qurān dan mengajarkannya.” (shahih al-Bukhari 6,/192, hadits no 5027)

Pakar hadits Ibnu Bathāl menuturkan bahwa hadits ini menjadi argumen bahwa belajar dan mengajarkan al-Qur’ān merupakan amal yang paling utama dari seluruh amal-amal kebaikan yang Allah perintahkan (Syarḫ Shaḫīḫ al-Bukhārī, 10/265). Hal ini dikarenakan semua kebaikan tidak akan diketahui oleh manusia tanpa mereka belajar dan mengajarkan al-Qur’ān terlebih dahulu. 

Menurut pemikir kenamaan Irak al-hāfidz Ibnu al-Jawzī, al-Qur’ān adalah dasar dari segala ilmu pengetahuan yang merupakan kalam Allah. Al-Qur’ān adalah sebaik-baik ilmu pengetahuan (Kasyf al-Musykil min Ḫadīts al-Shahīhain, 1/170), maka belajar dan mengajar al-Qur’an sudah pasti merupakan amal yang terbaik.

Hadits di atas merupakan persaksian yang benar dari Nabi saw terhadap Ahli Al-Qurān. Sesungguhnya mereka adalah manusia terbaik dan paling utama. Mereka bersungguh-sungguh dalam mempelajari Al-Qurān dan mensucikan jiwa mereka dengannya. Sama seperti kesungguhna mereka dalam mengajarkan Al-Qurān kepada orang lain, membimbing serta berdakwah kepada manusia. 


5) Keutamaan Mengamalkan al-Qur’ān. 

Sesungguhnya tujuan terbesar dari diturunkannya Al-Qurān adalah untuk diamalkan isi kandungannya, dipatuhi perintahnya dan dijauhi larangannya, dijalankan petunjuknya serta menahan diri pada batasan-batasan yang ditetapkannya. Lalu hukum-hukumnya diterapkan dalam kehidupan individu, masyarakat, maupun negara. Seorang pengemban Al-Qurān tidaklah mendapatkan balasan yang sempurna sebagaimana yang telah dijanjikan Allah, melainkan setelah dia mengamalkan ajarannya dalam kehidupan, mengikuti petunjuknya yang penuh berkah. Allah berfirman dalam surat al-baqarah 121:

الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أُولَئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

“Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barang siapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.”

Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa, membaca al-Qur’ān dengan bacaan yang sebenarnya adalah bukti keimanan seseorang. Seperti apakah pengertiannya? Pakar tafsir dari kalangan tabi’in yang merupakan guru dari imam-imam qira’āt, Mujāhid bin Jabr mengemukakan bahwa makna dari membaca al-Qur’ān dengan bacaan yang sebenarnya adalah beramal dengan amal yang benar (Tafsīr Mujāhid, 212. ) Pendapat semacam ini juga dikemukakan oleh Sufyān al-Tsawrī. Menurutnya maksud ayat tersebut adalah mengikuti al-Qur’ān dengan sebaik-baiknya (Tafsīr al-Tsawrī, 48)

Beriman terhadap al-Qur’ān, diukur berdasarkan pengamalan manusia terhadap kitab Allah, menerapkan petunjuknya dalam kehidupannya secara lahiriyah dan batiniyah. Sebagaimana teladan dari Nabi Muhammad saw yang berakhlaq al-Qur’ān..

Al-Qurān yang mulia itu tidak akan mendatangkan manfaat kecuali bagi orang yang mengamalkannya dan berusaha untuk melaksanakan petunjuknya di dalam kehidupan. Bukan untuk orang yang hanya membacanya dalam khasanah keilmuan semata, ataupun sekadar mengkaji keindahan sastranya.


KESIMPULAN

Al-Qur’ān adalah kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Muhammad saw, dan membacanya merupakan Ibadah. Al-Qur’ān tak tertandingi dan tak ada yang serupa dengannya. Dan kemuliaanya terbuktikan diantaranya dengan banyaknya nama yang disematkan bagi al-Qur’ān. Mengamalkan isi al-Qur’ān dan menerapkannya dalam kehidupan pribadi dan sosial adalah tujuan yang utama dari diturunkannya al-Qur’ān. Wallahu a’lam bisshowab


DAFTAR PUSTAKA

  • Jalāl al-din al-Suyūthī. Lihat al-Itqān Fī ‘Ulūm al-Qur’ān, (Mesir: Lembaga Penerbitan Umum Mesir, 1974)
  • Abū Bakr al-Anbārī, al-Zāhir Fī Ma’ānī al-Kalmāti al-Nās, (Beirut: Muassasatu al-Risālah, 1992)
  • Abū Bakr al-Bayhaqī, al-Sunan al-Shagīr, (Pakistan: Univ Islam Pakistan, 1989)
  • Muhammad Ismā’īl Ibrāhīm, Al-Qur’ān wa I’jāzuhu al-‘Ilm, (Beirut: Dār al-Fikr al-‘Arabī, tth) 
  • Fahd al-Rūmī, Dirāsat Fi ‘Ulūm al-Qur’ān, (Riyadh: Hak Cetak Pribadi, 2003) 
  • Muhammad Sayyid Thantāwī,  Tafsir al-Wasīth, (Cairo: Dār al-Nahdhah, 1998)
  • Sahl al-Tustārī, Tafsir al-Tustārī, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1423 H)
  • Muhammad bin Ismā’īl  al-Bukhārī, Shahīh al-Bukhārī, (Saudi Arabia: Dār Thuqa al-Najh,1422 H )
  • Muhammad bin ‘īsa al-Tirmidzī, Sunan al-Tirmidzī, (Mesir: Perpustakaan dan Perusahaan Percetakan Musthafa, 1975)
  • Abū al-Ḫasan al-Wāhidī, al-Wajīz Fī Tafsīr al-Kitāb al-‘Azīz, (Beirut: Dār al-Qalam, 1415 H)
  • ‘Abd al-Ḫamīd ibnu Bādīs, Tafsir Ibnu Bādīs, (Beirut: Dār al-Kutub, 1995)
  • Abu Ishāq al-Tsa’labī, al-Kasyfu wa al-Bayān, (Beirut: Dār Ihya,2002)
  • al-Rāghib al-Asfihānī, Tafsir al-Rāghib al-Asfihānī, (Mesir: Univ. Thanta, 1999)
  • al-Fayrūz Ābadī, Bashāiru Dzawī al-Tamyīz, (Cairo: Lajnah Ihyāu Turats, 1973)
  • Muslim bin al-Hajjaj, Shaḫīḫ Muslim, (Beirut: Dār Ihya, tth)
  • Syamsu al-Dīn al-Qurthubī, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān, (Cairo: Dār al Kutub, 1964)
  • Abū al-Ḫasan al-Māwardī, al-Nukat wa al-‘Uyūn, (Beirut: Dār al-Kutub, tth)
  • Badru al-Dīn al-‘Ainī, ‘Umdah al-Qari, (Beirut: Dār Ihya, tth)
  • Ibnu Bathāl, Syarḫ Shaḫīḫ al-Bukhārī, (Riyadh: Maktaba al-Rusyd, 2003)
  • Ibnu al-Jawzi, Kasyf al-Musykil min Ḫadīts al-Shahīhain, (Riyadh: Dār al-Wathan,tth)
  • Mujāhid bin Jabr, Tafsīr Mujāhid, (Mesir: Dār al-Fikr, 1989) 
  • Sufyān al-Tsawrī, Tafsīr al-Tsawrī, (Beirut: Dār al-Kutub, 1983)


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »
Give us your opinion