Suatu hari berkatalah seorang istri kepada suaminya,[1] “مَا رَأَيْت قَوْمًا أَلْأَمَ مِنْ إخْوَانِك، قَالَ مَهْ وَلِمَ ذَلِكَ؟ قَالَتْ: أَرَاهُمْ إذَا أَيْسَرْت لَزِمُوك، وَإِذَا أَعْسَرْت تَرَكُوك” Tidak pernah aku melihat kaum yang keterlaluan melebihi kawan-kawanmu. Mereka mendekatimu ketika kamu berkecukupan, tetapi meninggalkanmu ketika kamu kesulitan. Pernyataan negatif tersebut dijawab oleh suaminya dengan bijaksana “هَذَا وَاَللَّهِ مِنْ كَرَمِهِمْ، يَأْتُونَنَا فِي حَالِ الْقُوَّةِ بِنَا عَلَيْهِمْ،وَيَتْرُكُونَنَا فِي حَالِ الضَّعْفِ بِنَا عَنْهُمْ” Demi Allah hal itu adalah kemuliaan mereka, Mereka mendatangiku saat aku kuat dan mampu beramal membantu mereka jika mereka membutuhkan, mereka tidak mendatangiku saat aku lemah dan tidak mampu karena semata-mata tak ingin membebaniku.
Ialah Thalhah bin Ubaidillah bin Abdurrahman bin Auf az Zuhry, jawaban demikian tidaklah muncul melainkan dari mereka yang menginginkan tersebarnya ikatan persaudaraan yang penuh kasih sayang dan ketentraman hidup berjama’ah.
Hati yang selamat dari prasangka buruk adalah prasyarat terendah bagi mereka yang mengaku dirinya pengawal ukhuwwah dan penjaga kehidupan berjama’ah. Baik sangka adalah jaminan kekekalan sebuah hubungan dan pondasi bagi kekuatan jama’ah. Allah ta’ala telah mengingatkan,
لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ
Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” (an Nuur 12)
وَظَنَنْتُمْ ظَنَّ السَّوْءِ وَكُنْتُمْ قَوْمًا بُورًا
“…dan kamu telah menyangka dengan sangkaan yang buruk dan kamu menjadi kaum yang binasa” (al Fath 12)
Dzhan ; antara yang terpuji dan tercela
Muhammad Mahmud al Hijazi[2] mengemukakan pengertian dzhan secara umum, yaitu “حد وسط بين العلم والوهم” ruang antara ilmu dan keraguan. Dalam pengertian ini maka prasangka tidak bernilai sebuah kesalahan. Lintasan fikiran yang mengandung keraguan atau kecurigaan terhadap suatu peristiwa merupakan hal yang dima’afkan. Sebagaimana sebuah hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda[3],
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ لِي عَنْ أُمَّتِي مَا وَسْوَسَتْ بِهِ صُدُورُهَا، مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَكَلَّمْ
Sesungguhnya Allah mema’afkan hamba-Nya atas apa yang terlintas dari hatinya, selama ia tidak mengerjakan atau mengatakannya.
Prasangka akan menjadi sebuah dosa jika ia terlahir menjadi sebuah proses menghakimi tanpa bukti, tuduhan (at tuhmah) dan pengkhianatan (at takhawwun), sebagaimana pendapat-pendapat berikut. Menurut Ash Shon’ani[4] prasangka adalah “مَا يَخْطِرُ بِالنَّفْسِ مِنْ التَّجْوِيزِ الْمُحْتَمِلِ لِلصِّحَّةِ، وَالْبُطْلَانِ فَيَحْكُمُ بِهِ يَعْتَمِلُ عَلَيْهِ” sesuatu yang terbetik di dalam fikiran yang memiliki kemungkinan benar atau salah, namun dijadikan dalil dan pegangan untuk menghukumi. Ibnu Katsir[5] berpendapat bahwa prasangka adalah “وَهُوَ التُّهْمَةُ وَالتَّخَوُّنُ لِلْأَهْلِ وَالْأَقَارِبِ وَالنَّاسِ فِي غَيْرِ مَحَلِّهِ” Tuduhan dan pengkhianatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap keluarga dan kerabat (saudara sesama muslim) serta kepada manusia secara umum.
Dr. Ali Abdul Halim Mahmud[6] membagi prasangka menjadi dua, yaitu prasangka yang terpuji dan tercela. Prasangka menjadi terpuji ketika dengan prasangka tersebut agama orang yang memiliki prasangka dan agama obyek prasangka tersebut menjadi selamat. Misalkan terhadap seseorang yang berlaku maksiat secara terbuka atau orang menyebarkan keburukan dirinya sendiri. Berprasangka terhadap orang yang demikian akan menyelamatkan agama karena akan muncul sikap berhati-hati dalam berhubungan dengan orang tersebut. Sikap ini juga akan menyelamatkan agama pelaku keburukan karena akan muncul dari diri kita keinginan untuk menasihatinya.
Sedangkan prasangka yang tercela adalah prasangka yang menimbulkan kerusakan pada agama orang yang berprasangka dan objeknya. Allah ta’ala telah mengingatkan,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang” (al Hujurat 12).
Dalam ayat ini bentuk menghakimi, tuduhan dan pengkhianatan itu Allah sifati dengan perilaku mencari-cari kesalahan orang lain dan menghibahnya. Dalam skala pribadi prilaku ini merusak agama karena merusak akhlaq individu. Fokusnya seseorang pada kesalahan dan kekurangan orang lain akan menyebabkannya lalai akan kekurangan dirinya sendiri. Dalam skala kelompok prilaku ini merusak agama karena menyebarkan keresahan, kebencian dan dendam dalam kehidupan berjama’ah.
Kiat berprasangka baik.
Sebagaimana semua akhlaq Islam, berprasangka baik dapat dilatih hingga tertanam kokoh dan menjadi karakter khas, berikut beberapa kiat menumbuhkan prasangka baik,
Pertama, Fokuslah pada kekurangan diri sendiri dan tidak meremehkan orang lain. Ini adalah diantara adab persaudaraan dalam Islam. Sesungguhnya diantara sebab munculnya prasangka buruk terhadap orang lain adalah karena perasaan lebih baik dan mulia dari orang lain. Demikianlah Iblis yang berprasangka buruk atas Adam as dengan perkataannya, “ana khairum minhu”. Maka terjadilah dalam realitas, buruk sangka terjadi antara pimpinan dengan bawahannya, orang tua dengan anak, suami dengan istri, dst. Jika sudah demikian maka rusaklah hubungan cinta dan kasih sayang atas sesama manusia. Seyogyanya setiap Muslim itu melihat kekurangan pada dirinya kemudian memperbaikinya serta menghormati dan mema’afkan orang lain sebagaimana ia menginginkan orang lain mema’afkan kekurangan dirinya.
Kedua, Menginginkan kebaikan bagi saudaranya, sebagaimana ia menginginkan pula kebaikan itu bagi dirinya. Perhatikanlah perkataan Abu Mu’awiyyah al Aswad[7], “إخواني كُلُّهُم خَير منى، قيل كيف ذالك؟ قال كلهم يرى لى الفضل عليه، و من فضلنى على نفسه فهو خير منى” wahai saudaraku kalian semua lebih baik dariku, mereka bertanya kenapa demikian? Karena kalian semua memandangku memiliki kemuliaan, maka barangsiapa memuliakanku dalam jiwanya pastilah ia lebih baik dariku”
‘Uthbah bin Ghulam jika ingin berbuka puasa, ia akan berkata kepada orang yang melihat perbuatannya[8], “أَخْرِجْ إِلَيَّ شَرْبَةً مِنْ مَاءٍ أَوْ تَمَرَاتٍ أُفْطِرُ عَلَيْهِمَا فَيَكُونُ لَكَ مِثْلُ أَجْرِي” keluarkanlah bagiku air minum atau kurma untuk berbuka puasa, aku ingin engkau mendapakan kebaikan pahala sebagaimana yang kudapatkan.
Ketiga, Memandang orang lain pada karakter baik yang dimilikinya. Dengan demikian pandangan kita akan tertutup dari keburukannya hingga akhirnya kita mencintainya karena Allah.
Keempat, Mendengarkan orang lain ketika berbicara, menghargainya dan menghendaki kebaikan datang darinya. Etika ini akan menguatkan jalinan kasih sayang serta menumbuhkan ketawadhu’an pada diri kita.
Beberapa peringatan tentang su’udzhan
Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “إيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ” jauhilah prasangka karena prasangka adalah perkataan yang paling dusta.[9]
al Qurthubi berkata[10], “أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ عَلَى أَنَّ الظَّنَّ الْقَبِيحَ بِمَنْ ظَاهِرُهُ الْخَيْرُ لَا يَجُوزُ، وَأَنَّهُ لَا حَرَجَ فِي الظن القبيح بمن ظاهره القبح” Sebagian besar ulama tidak membolehkan prasangka buruk meskipun secara lahiriyah terlihat baik, sebab tidaklah didapati dari prasangka buruk itu melainkan keburukan pula.
Al Hasan berkata[11], “كُنَّا فِي زَمَنٍ الظَّنُّ بِالنَّاسِ فِيهِ حَرَامٌ، وَأَنْتَ الْيَوْمَ فِي زَمَنِ اعْمَلْ وَاسْكُتْ وَظُنَّ فِي النَّاسِ مَا شِئْتَ” kami hidup pada masa dimana berprasangka kepada manusia itu haram, dan hari ini kalian hidup pada masa ketika beramal dan diam berprasangka atas manusia sekehendak kalian.
Hasbunallah wa Ni’mal Wakiil
[1] Al mawardi : Adabud Dunya wa ad Diin, Daar Maktabah al Hayat, 1986, hlm 180
[2] Muhammad Mahmud al Hijazy : Tafsir al Wadhih, Beirut : Daar al Jaliil al Jadiid, 1413 H, Juz 3, hlm 506
[3] Al Bukhari : Shahih al Bukhari, Daar Thuuq an Najah, 1422 H, Juz 3, hlm 165.
[4] Ash Shon’ani : Subul as Salam, Daar al Hadits tt, Juz 2, hlm 664.
[5] Ibnu Katsir : Tafsir al Qur’an al Adzhim, Daar Thayyiban li An Nushr wa at Tauzi’, 1420 H, Juz 7, hlm 377.
[6] Ali Abdul Halim Mahmud : Fiqh Ukhuwwah fil Islam, Qahirah : Daar at Tauzi’ wa an Nusyr al Islamiyyah, 1413 H, hlm 110.
[7] ibid, hlm 111.
[8] Abu Nu’aim al Ashbahani : Hilyah al Auliya wa Thabaqot al Ashfiya, Beirut : Daar al Fikr, 1394 H, Juz 6, hlm 235.
[9] Shahih al Bukhari Juz 4 hlm 4.
[10] Al Qurthubi : al Jami’ li Ahkam al Qur’an, Qahirah : Daar al Kutub al Mishriyah, 1384 H, Juz 16, hlm 332.
[11] Ibid.