Sigit Suhandoyo
Pendahuluan
Da’wah merupakan sebuah konsep ilahiyah,(1) aktifitasnya berlangsung sejak keberadaan manusia di muka bumi. Da’wah diwariskan dari generasi kegenerasi, melalui para nabi Allah dan kemudian para pengikutnya hingga saat ini. Aktivitas yang bersentuhan dengan manusia dan kehidupannya ini seringkali menyajikan serangkaian permasalahan yang unik. Hal ini terjadi karena manusia sebagai pelaku da’wah (dā’i) dan mitra da’wah (mad’ū) memiliki karakteristik kepribadian yang unik. Manusia adalah makhluk individual sekaligus makhluk sosial serta makhluk budaya.(2) Dinamika kepribadian manusia, kehidupan dan peradabannya menjadi tantangan bagi keberhasilan da’wah.
Da’wah merupakan upaya melakukan perbaikan dalam kehidupan seorang individu, keselamatan masyarakat dan kemajuan bangsa dan negara. Kegiatan mulia yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan dunia dan akhirat ini,(3) tentu saja membutuhkan bekal yang memadai. Kurangnya pemahaman pelaku da’wah terhadap hakikat-hakikat da’wah dapat menyebabkan penolakan, bukan hanya terhadap pribadi seorang da’i semata namun dapat juga menyebabkan penolakan terhadap Islam. Hal ini menjelaskan bahwa pembahasan pengertian da’wah secara etimologi dan terminologi sangat diperlukan sebagai sebuah upaya awal menjelaskan hakikat-hakikat da’wah.
Pembahasan
A. Kata Da’wah Secara Kebahasaan
Kata da’wah berasal dari “دعا – يدعو – دعواً – دَعوة - دعاء”. Dalam kamus modern al-mu’jam al-wasīth disebutkan kata da’wah memiliki beberapa pengertian, yaitu menuntut kehadiran, membutuhkan, meminta pertolongan, dan mengharapkan kebaikan darinya.(4) Di dalam al-Qur’an kata da’wah dan berbagai jenis kata bentukannya tertulis sebanyak 215 kali,(5) dan memiliki 7 makna sebagai berikut;
Pertama, da’wah yang berarti “قولا و الادِّعاء” yaitu perkataan atau tuntutan. Pengertian ini sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al-anbiya ayat 15,
فَمَا زَالَتْ تِلْكَ دَعْوَاهُمْ حَتَّى جَعَلْنَاهُمْ حَصِيدًا خَامِدِينَ
“Maka tetaplah demikian keluhan mereka, sehingga Kami jadikan mereka sebagai tanaman yang telah dituai, yang tidak dapat hidup lagi.” Pada ayat tersebut di atas, maksud dari teks “دَعْوَاهُمْ” berarti keluhan. Maksudnya adalah orang-orang dzalim pada ayat ini mengemukakan tuntutan kepada Allah.(6) Teks da’wah pada ayat ini digunakan untuk menjelaskan perkataan dan tuntutan orang-orang dzalim atas ketidaksesuaian antara harapan dengan realita yang terjadi.
Kedua, da’wah yang berarti “عبادة” yaitu penyembahan. Pengertian ini sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al Yunus ayat 106,
وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudarat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang dzalim".”
Maksudnya kata “تدع” penyembahan.(7) Ayat berisi larangan untuk berda’wah (melakukan penyembahan) kepada selain Allah. Teks da’wah pada ayat ini digunakan untuk menjelaskan ibadah dalam pengertian kebaikan atau keburukan. Menyembah Allah atau berbuat syirik.
Ketiga, da’wah yang berarti “النداء” panggilan atau seruan. Pengertian ini sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al-Qomar ayat 10,
فَدَعَا رَبَّهُ أَنِّي مَغْلُوبٌ فَانْتَصِرْ
“Maka dia mengadu kepada Tuhannya: "bahwasanya aku ini adalah orang yang dikalahkan, oleh sebab itu tolonglah (aku)".”
Maksudnya adalah mereka menyeru Rabnya untuk meminta pertolongan.(8) Demikian pula dalam surat al Kahfi ayat 52,
وَيَوْمَ يَقُولُ نَادُوا شُرَكَائِيَ الَّذِينَ زَعَمْتُمْ فَدَعَوْهُمْ فَلَمْ يَسْتَجِيبُوا لَهُمْ وَجَعَلْنَا بَيْنَهُمْ مَوْبِقًا
“Dan (ingatlah) akan hari (yang ketika itu) Dia berfirman: "Panggillah olehmu sekalian sekutu-sekutu-Ku yang kamu katakan itu". Mereka lalu memanggilnya tetapi sekutu-sekutu itu tidak membalas seruan mereka dan Kami adakan untuk mereka tempat kebinasaan (neraka).”
Pakar tafsir Ibnu Asyur (w. 1973 M) menuliskan makna da’wah dalam teks ayat ini adalah “طَلَبُ الْإِقْبَالِ لِلنُّصْرَةِ وَ الشَّفَاعَةِ”(9) yaitu seruan untuk memohonan syafa’at dan pertolongan. Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada orang-orang kafir agar melakukan seruan da’wah atau panggilan kepada sekutu-sekutu mereka di dunia (iblis) akan tetapi sekutu-sekutu mereka itu tidak menjawab panggilan tersebut.
Keempat, da’wah yang berarti “الإستعانة أو الاستغاثة” permintaan bantuan atau pertolongan. Pengertian ini sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al An’am ayat 40,
قُلْ أَرَأَيْتَكُمْ إِنْ أَتَاكُمْ عَذَابُ اللَّهِ أَوْ أَتَتْكُمُ السَّاعَةُ أَغَيْرَ اللَّهِ تَدْعُونَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku jika datang siksaan Allah kepadamu, atau datang kepadamu hari kiamat, apakah kamu menyeru (tuhan) selain Allah; jika kamu orang-orang yang benar!" ”
Maksudnya adalah apabila telah datang siksaan Allah atau hari kiamat kepada siapakah orang-orang musyrik itu akan meminta pertolongan. Makna semacam ini disampaikan ath-thobari (w. 923 M) dalam tafsirnya,
أغير الله هناك تدعون لكشف ما نزل بكم من البلاء، أو إلى غيره من آلهتكم تفزعون لينجيكم مما نزل بكم من عظيم البلاء(10)”
Apakah kepada selain Allah kalian meminta pertolongan untuk menghilangkan bencana yang diturunkan kepada kalian, ataukah kepada yang lainnya dari sesembahan kalian menolong kalian dengan menyelamatkan kalian dari apa yang diturunkan kepada kalian berupa bencana yang besar.
Demikian juga firman Allah dalam surat al Baqarah ayat 23,
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.”
Maksudnya adalah mintalah pertolongan kepada sekutu-sekutumu selain Allah.(11) Dalam teks ayat-ayat tersebut da’wah digunakan untuk menjelaskan arti permintaan bantuan dan pertolongan dalam keadaan yang sulit serta ketika menghadapi sebuah tantangan.
Kelima, da’wah yang berarti “السؤال” yaitu pertanyaan. Pengertian ini sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al Baqarah ayat 69,
قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا لَوْنُهَا قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ صَفْرَاءُ فَاقِعٌ لَوْنُهَا تَسُرُّ النَّاظِرِينَ
“Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami apa warnanya". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya."”
Maksudnya adalah tanyakanlah bagi kami kepada tuhanmu.(12) Teks da’wah dalam ayat ini digunakan untuk menjelaskan arti pertanyaan kepada Allah tentang hakikat warna dan jenis sapi yang diperintahkan bagi bani Isrāīl mereka untuk menyembelihnya.
Keenam, da’wah yang berarti “الحثّ على قصده” ajakan kepada sesuatu tujuan. Pengertian ini sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al Yusuf ayat 33,
قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِينَ
“Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh."”
Teks da’wah dalam ayat ini menjelaskan makna ajakan kepada sesuatu yang ingin dicapai bisa berupa kebenaran maupun kepada kebatilan, (13) dan Yusuf menolak ajakan kepada kebatilan.
Ketujuh, da’wah yang berarti “الطلب” meminta atau mengharap. Pengertian ini sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al Furqan ayat 14,
لَا تَدْعُوا الْيَوْمَ ثُبُورًا وَاحِدًا وَادْعُوا ثُبُورًا كَثِيرًا
“(Akan dikatakan kepada mereka): "Jangan kamu sekalian mengharapkan satu kebinasaan, melainkan harapkanlah kebinasaan yang banyak.”
Dalam ayat ini orang-orang kafir ketika dilempar keneraka meminta kepada Allah satu kebinasaan saja, tapi Allah tidak mengabulkan permintaan mereka melainkan dengan melipatgandakan. Pengertian da’wah sebagai bentuk harapan juga terdapat pada surat al Fushilat ayat 31 tentang permintaan orang-orang beriman,
نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ
“Kamilah Pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta.”
Demikian pula firman Allah ta’ala dalam surat al A’raf ayat 55,
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Pengertian da’wah dari teks ayat-ayat di atas berarti berharap kepada sesuatu.(14) Allah menerangkan bahwa pada akhirnya Ia lah satu-satunya zat yang menjadi tempat menggantungkan harapan.
Demikianlah kata ad-da’wah dalam al Qur’an memiliki 7 pengertian yaitu “perkataan, ibadah, panggilan, permintaan tolong, pertanyaan, ajakan kepada sesuatu tujuan dan harapan. Menurut Muhammad Amin Hasan lafadz kata dakwah dalam al Qur’an bermuara pada dua makna yaitu “at-tablīgh wal bayān dan hidāyatullahi ilā an-nās” atau dalam pengertian lain da’wah adalah penyampaian dan penjelasan serta petunjuk Allah kepada manusia.
Dalam wazan fa’ala kata “دَعَوَ” dalam bahasa Arab berarti “أَنْ تُمِيلَ الشَّيْءَ إِلَيْكَ بِصَوْتٍ وَكَلَامٍ يَكُونُ مِنْكَ” menjadikan sesuatu cenderung kepadamu dengan suara dan perkataan.(16) Kata da’wah juga diartikan dengan “إذَا طَلَبْتَهُمْ لِيَأْكُلُوا عِنْدَكَ طَعَامًا” yaitu mengundang atau mengajak makan bersama. Dikatakan pula “الصِيَاحُ أو النِدَاء” teriakan atau panggilan. Da’wah juga berarti “تَجَمَّعُ” menghimpun atau mengumpulkan.(17)
Menurut pakar bahasa Ibnu Mandzhūr (w. 711 H), kata da’wah berarti seruan dan tuntutan. Seorang dā’i adalah seorang yang menyeru atau menuntut orang lain. ad-du’āt adalah kaum yang mengajak kepada petunjuk maupun kesesatan. Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al Furqan ayat 46, “wa dā’iyan ilāallahi bi idznihi wa sirājan munīrān” yang bermakna seorang penyeru yang mengajak kepada mengesakan Allah ta’ala dengan menggunakan metode tertentu.(18) Makna semacam ini juga tertera pada sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda,
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ، وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، وَابْنُ حُجْرٍ، قَالُوا: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ يَعْنُونَ ابْنَ جَعْفَرٍ، عَنِ الْعَلَاءِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى، كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ، كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا» (19)
“Barangsiapa mengajak kepada petunjuk, ia berhak mendapat pahala seperti pahala orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun, dan barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, ia berhak mendapat dosanya seperti dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi sedikitpun”
Pengertian-pengertian dakwah tersebut menunjukkan bahwa penggunaan kata da’wah bisa dimaknai secara positif maupun negatif. Dalam pengertian bahwa jika da’wah adalah penyampaian pesan dengan berbagai bentuknya--bisa berupa panggilan, ajakan, tuntutan, pertanyaan maupun permohonan dan harapan, maka setiap aktifitas penyampaian pesan berupa kebaikan maupun keburukan dapat dikategorikan aktifitas da’wah. Sehingga para ulama biasanya mendefinisikan da’wah yang dimaksud dengan termin da’wah ilaallah. Dalam perspektif ini maka relevan dengan pengertian Muhammad Amin Hasan di atas bahwa da’wah adalah upaya manusia menyeru kepada hidayah dan Allah memberikan hidayahnya kepada manusia.
Dari pengertian tersebut di atas dapat juga dikatakan bahwa da’wah adalah kebutuhan dasar manusia, terutama kebutuhan fisiologi dan sosial. Terutama jika merujuk kepada pengertian da’wah sebagai jamuan makan, da’wah sebagai upaya mendekatkan sesama manusia, dan da’wah sebagai aktifitas menghimpun manusia.
C. Da’wah Upaya Rekonstruksi Sosial
Menurut sementara ulama, dakwah didefinisikan pula sebagai sebuah proses rekonstruksi sosial ummat Islam. Pakar ilmu dakwah Abūl Fath al-Bayanūnī mengemukakannya, “تَبْليغُ الإسلامِ للنّاس، وَ تَعْلِيمُه إيَّاهم، وَ تَطْبيقُه في وَاقِعِ الحياة”. (20) Menurutnya da’wah adalah menyampaikan Islam kepada manusia, mengajarkannya kepada mereka serta menerapkannya dalam realita kehidupan”. Pengertian ini menunjukkan bahwa aktifitas dakwah bukan hanya “tablīgh” atau penyampaian semata melainkan berbentuk pengajaran dan pendampingan. Dalam tataran ideal semestinya seorang da’i adalah orang yang hidup bersama objek dakwahnya dalam keseharian sehingga mad’ū dapat meneladaninya dalam merealisasikan ajaran Islam dalam kehidupannya.
Pendapat semacam ini juga dikemukakan oleh al-Wakīl (w. 2002 M). Menurutnya dakwah adalah “جمع الناس إلى الخير،ودلالتهم على الرشد، بأمرهم بالمعروف ونهيهم عن المنكر”(21) yaitu mengumpulkan manusia dalam kebaikan, memberikan petunjuk untuk membangun kesadaran melalui cara menyeru berbuat kebaikan dan mencegah dari kemungkaran. Dalam konteks ini al-Wakīl memandang dakwah dari sudut pandang mitra dakwah sebagai mahluk sosial yang memiliki kecenderungan bermasyarakat. Keberhasilan da’wah dengan demikian terukur dengan perubahan nilai-nilai komunal dalam kehidupan mitra da’wah. Perubahan ini bersifat mendasar, karena muncul dari kesadaran dan keyakinan untuk mengikuti petunjuk da’wah sebagai nilai bersama.
Pengertian da’wah sebagai sebuah upaya rekonstruksi sosial juga dikemukakan oleh al-Bahy al-Khuly (w. 1977 M). Menurutnya da’wah adalah, “عملية إحياء لنظام ما لتنتقل الأمة به من محيط إلى محيط”(22) yaitu suatu gerakan kebangkitan yang sistematis memindahkan sebuah ummat dari sebuah keadaan ke keadaan lain (yang lebih baik). Lebih rinci lagi, Sayyid Quthb mengemukakan bahwa dakwah adalah usaha sekelompok orang beriman mewujudkan sistem (ajaran) Islam dalam realitas kehidupan atau usaha orang beriman mengokohkan sistem Allah dalam kehidupan manusia baik pada tataran individu (fardiyyah), keluarga (usrah), masyarakat (mujtama’) dan umat (ummah).(23) Demi keberhasilan da’wah Muhammad Abu Zahrah menjelaskan dakwah terkait kedudukan hukum dan aktifitasnya. Pertama, adanya organisasi (sistem) dakwah untuk menunaikan fardhu kifayah dan kedua, pelaksanaan dakwah perorangan.(24) Dalam pengertian ini Abu Zahrah memandang bahwa secara professional da’wah harus dikerjakan oleh sekelompok pelaku da’wah yang kompeten dibidangnya untuk menjamin tercapainya tujuan-tujuan da’wah secara relevan. Sedangkan dalam lingkup pribadi da’wah juga merupakan kewajiban setiap muslim sesuai kadar kesanggupannya, setidaknya dalam hal pencegahan kemungkaran yang diketahuinya.
Berdasarkan pembahasan tentang ragam pengertian dakwah tersebut di atas maka pengertian da’wah yang pertama adalah agama (al-dīn) itu sendiri, pengertian ini boleh jadi didasari pemikiran bahwa isi da’wah adalah agama, para da’i juga mencontohkannya dalam keseharian dan tujuan da’wah adalah kemaslahatan dunia dan akhirat sebagaimana tujuan agama. Da’wah juga dipandang sebagai sebuah keilmuan, hal ini karena secara filosofis berkembang sebagaimana dinamika kehidupan manusia. Selain sebagai sebuah aktifitas menyeru kepada Allah da’wah juga diharapkan dapat merekonstruksi ummat Islam sebagaimana seharusnya fungsi yang Allah tetapkan bagi ummat Islam.
Kesimpulan
Berdasarkan kajian makna da’wah tersebut di atas maka dapat kita simpulkan bahwa pengertian da’wah secara bahasa relevan dengan pengertiannya secara terminologi.
Secara bahasa da’wah berarti tuntutan kepada sebuah tujuan tertentu melalui berbagai metode. Jika merujuk kepada pengertian da’wah sebagai jamuan makan dan proses menghimpun manusia, maka idealnya da’wah adalah aktifitas yang menyenangkan bagi da’i maupun mad’u. Da’wah adalah proses mendekatkan antara ummat manusia --khususnya ummat Islam-- dan bukan sebaliknya menjadi sarana perpecahan ummat.
Secara terminologis pengertian da’wah bukan sekedar aktivitas seruan saja, melainkan menginginkan terjadinya perubahan pada mad’u. Da’wah merupakan manifestasi dari keimanan dan keislaman yang tersusun dalam suatu sistem kegiatan guna menumbuhkan kesadaran, mempengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap, dan bertindak dari mitra dakwah dalam mewujudkan nilai-nilai Islam dalam semua segi kehidupan. Proses ini dilakukan baik dengan lisan, tulisan, keteladanan maupun dengan perbuatan dalam kehidupan perorangan, keluarga, kelompok, masyarakat dan negara secara berjama’ah, hingga terwujud masyarakat yang berkualitas, sehingga Islam menjadi rahmat seluruh alam dan tercapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat dalam ridha Allah.
Keberadaan da’wah Islam dengan demikian senantiasa relevan terhadap realitas sosial yang mengitarinya. Dakwah bukan hanya bersifat rutinitas dan artifisial, tanpa memberikan pengaruh dalam penyelesaian problematika ummat. Dengan demikian aktifitas da’wah memerlukan manajemen dengan segala unsurnya, dari perencanaan hingga evaluasi yang matang agar dakwah yang dilakukan dapat mencapai tujuannya.
Catatan Kaki
- Para ulama mengemukakan bahwa diantara pengertian da’wah terkait langsung dengan pengertian agama “ad-dīn” Islam. Pendapat ini boleh jadi merupakan generalisasi normatif integralnya nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan para nabi. Lihat ’Abdullāh al-Matū’u, ad-Da’watu al-Ishlāḫiyyah, (Saudi Arabia: Dār at-Tadmiriyah, cet. ke3, 1424 H), hlm 20.
- Menurut Sayyid Quthb (w. 1966 M) manusia memiliki potensi kepribadian yang khas untuk membangun dan mengelola peradabannya, baik aspek dirinya, lingkungan maupun sosialnya dalam rangka merealisasikan undang-undang ilahiyyah. Keniscayaan ini merupakan jaminan keselamatan kehidupan manusia dengan sesama serta lingkungannya. Lihat Sayyid Quthb, Fī Dzilāl a-Qur’ān, (Beirut: Dār Asy-Syurūq, 1412 H), hlm. 56.
- Menurut pakar tafsir dan bahasa Yahya Ibnu Salām (w. 200 H), seruan dakwah adalah seruan kepada petunjuk kehidupan dunia (al-hudā) dan jalan menuju surga Allah (tharīq ila al-jannah). Yahya Ibn Salām ibn Aby Sya’labah, Tafsīr Yahya Ibn Salām, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. Pertama, 2004), jilid 1, hlm 99.
- Ibrahīm Musthofā et.al, Al Mu’jam al Wasīth, (Turki: al Maktabah al Islāmiyyah li at thibā’ah wa an-nusyr wa at-tauji’, tth), hlm 286.
- Lihat Muhammad Fūad Abdul Baqi, Mu’jam Mufahras li Alfazh al-Qur’an, (Beirut : Dār al-Fikr, 1407 H), hlm. 257-260.
- Yahya Ibnu Salām bin Aby Sya’labah, at Tasharifu litafsir al Qur’an mimma Istabahat asmaih wa tasharifat ma’ānih, (Tunisia : Syirkatu Tunisiah lit Tauzi’, 1979), hlm. 352. Lihat juga, Raghib al Ashfihaniy, al Mufradat fi Gharibil Qur’an, (Damaskus: Dār al Qalam, 1412 H), hlm 315.
- Yahya Ibnu Salam, ibid.
- Ibid, hlm.326.
- Muhammad ath Thahir bin Muhammad bin Muhammad ath Thahir bin ‘Asyur at Tunisiy, at Tahrir wa at Tanwir, (Tunisia : Daar at Tunisiah li an Nusyr, 1984), Jilid 15, hlm 345.
- Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir Abu Ja’far ath Thobariy, Jami’ul Bayan fi Ta’wil al Qur’an, (Beirut : Muassasatu ar Risalah, 1420 H), Jilid 11, hlm 353.
- Yahya Ibnu Salam, loc.cit.
- Ibid, hlm. 327.
- Raghib al-Ashfihaniy, al Mufradat fi Gharibil Qur’an, (Damaskus: Dār al Qalam, 1412 H), hlm 315
- Lihat Raghib al Ashfihaniy, op.cit, hlm 316.
- Muhammad Amin Hasan, Khasāishu ad-Dakwah ila Allah, (Yordania: Dār ats-Tsaqofah al Islamiyyah, 2000), cet 1, hlm 16
- Abul Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria al Qazwini ar Razy, Mu’jam Maqāyis al Lughah, (Beirut: Dār al Fikr, 1399 H), jilid 2, hlm 279.
- Abū al-abbās al-fayūmī, al-Misbāh al-Munīr, (Beirut: al-Maktabatu al-‘Ilmiyyah, tth), Jilid 1, hlm 194. Lihat juga Murtadhā az-Zubaīdī, Tāj al-‘Arūs min Jawāhir al-Qāmūs, (Beirut: Dār al-Hidāyah, tth), Jilid 38, hlm 46-47.
- Muhammad Abu Fadhl Ibnul Mandzhur, Lisān al-Arab, (Beirut: Dār Shadr, 1414 H), Cet 3, Jilid 14, hlm 257.
- Muslim bin Hajjaj an Naisabūry, Shahīh Muslim, (Beirut: Daar Ihyāu Turats al-‘Arabiy, tth), Jilid 4, hlm 2060, hadits no 2674.
- Muhammad Abul Fath al Bayanūnī, al Madkhal ilā Ilmi ad-Dakwah, (Beirut: Muassasatu ar-Risalah, cet 2, 1993), hlm 17.
- Muhammad Sayyid al Wakīl, Asāsu ad-Dakwah wa Adābu ad-Du’āt, (Dār al-Wafā, 1998), cet 1, hlm 9.
- Al-Bahī al-Khulī, Tadzkiratu ad-Du’āt , (Kuwait: Maktabah al-Falāh, 1979), hlm 5.
- Lihat Sayyid Quthub, Fī Dzilālil Qur’ān, (Beirut: Dār al-Syuruq, 1982), jilid 1, hlm 187.
- Muhammad Abu Zahrah, Buhūts Fî Ad-Da’wah, (Kairo: Majma’ Al-Buhuts Al-Islâmiyyah, 1983) hlm 27.