Tafsir Surat An-Nazi’at ayat 15-19



Sigit Suhandoyo. Fragmen kisah Musa as dalam surat ini, adalah sebagaimana gambaran umum tentang kisah-kisah dalam al-Qur’an yang syarat akan hikmah dan inspirasi. Dengan penuh kelembutan ayat ini turun kepada Rasulullah saw untuk menghibur dan mendukungnya dalam jalan dakwah. Sebagaimana dituturkan oleh Penafsir kontemporer Mesir, Asy-Sya’rawi. Menurutnya jika merujuk alur cerita sebelumnya, bahwa kaum kafir mengingkari hari kebangkitan, mendustakan dan menyengsarakan Nabi Muhammad saw, maka ayat-ayat ini merupakan ayat yang memotivasi Rasulullah dan tentu saja, juga kepada para pewaris nabi, untuk tidak mudah berputus asa, bersabar dan meyakini pertolongan Allah. Sebagaimana Musa as, yang berdakwah dengan lemah lembut kepada Fir’aun, seorang manusia yang mengaku dirinya Tuhan. (lihat tafsir asy-Sya’rawi 15/89-90) 


هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ مُوسَى (15) إِذْ نَادَاهُ رَبُّهُ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى (16) اذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى (17) فَقُلْ هَلْ لَكَ إِلَى أَنْ تَزَكَّى (18) وَأَهْدِيَكَ إِلَى رَبِّكَ فَتَخْشَى (19)


Sudahkah sampai kepadamu (ya Muhammad) kisah Musa. Tatkala Tuhannya memanggilnya di lembah suci ialah Lembah Thuwa; "Pergilah kamu kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas, dan katakanlah (kepada Fir'aun): "Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)" Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu takut kepada-Nya?"


Lembah Suci; Thuwa. Al-Muqaddas berarti (المطهر المبارك) yaitu yang disucikan dan diberkahi, yaitu lembah Thuwa. Di lembah inilah Nabi Musa as berdialog, menerima wahyu secara langsung dari Allah ta’ala, tanpa perantaraan malaikat. Pakar tafsir Ath-Thabari mengemukakan sebuah riwayat bahwa nama Thuwa dimungkinkan memiliki arti (طَأَ الأَرْضِ حَافِيًا) yaitu injaklah tanah ini tanpa alas kaki. (Jami’ul Bayan 24/200). 


Allah ta’ala berfirman, “Maka ketika ia datang ke tempat api itu ia dipanggil: "Hai Musa. Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa.” (thaha 11-12)

Para ulama tafsir mengemukakan bahwa lembah ini berada di gunung Sinai, antara Ailah dan Mesir, di wilayah Palestina.


Fir’aun yang Melampaui Batas. Buya Hamka mengemukakan bahwa kata Thagha berarti, berbuat sekehendak hati, tidak perduli kepada fikiran orang lain, adikara, diktator dan merasa diri sudah seperti Tuhan. Sebab itu maka berhala yang dipertuhan oleh manusia dinamai juga Thaghut. Kesewenang-wenangan memerintah dinamai juga Thughyan. Rumpun bahasa semuanya itu satu. (tafsir al-alzhar 10/7876)


Dalam tafsirnya, Quraish Shihab menuliskan bahwa, Fir'aun yang dimaksud di atas bernama Maneftah, memerintah di Mesir antara 1224-1214 SM. Maneftah ditemukan muminya di Wadi al-Muluk (Lembah Raja-raja) daerah Thaba-Luxor, Mesir, pada tahun 1896 M dan dibuka pembalut-pembalutnya oleh Eliot Smith seorang ahli purbakala Inggris pada tanggal 8 Juli 1907. (tafsir al-Misbah 15/40)


Berdakwah Secara Lemah Lembut. Sementara penafsir mengemukakan bahwa dalam penggalan ayat-ayat ini memberikan hikmah yang penting tentang berdakwah secara lemah lembut. 

Pakar tafsir Asy-Sya’rawi mengemukakan bahwa, perkataan lembut dibutuhkan, karena dakwah kepada jalan Allah itu, dengan hikmah dan pengajaran yang baik. Dakwah itu memberi petunjuk dan mengajak kebaikan, bukan memerintahkan sesuatu dengan sikap keras dan penuh paksaan. Lihatlah penggunaan kata “Hal laka” yang berarti "adakah kehendak bagimu”, merupakan pertanyaan dan pengharapan bukan suatu perintah. (tafsir Asy-Sya’rawi 15/93)

Hal ini sebagaimana hikmah yang juga dituliskan oleh Buya Hamka bahwa, berdakwah dengan kekerasan tak akan menggeser seseorang dari kesombongannya. (tafsir al-Azhar 10/7876). 


Tahapan Dakwah Kepada Allah. Jika merujuk dalam tafir Fi Dzilal maka akan ditemukan sebuah runtutan tahap-tahap dakwah dalam misi dakwah Musa as kepada Fir’aun. Pertama, dakwah Musa as dimulai dengan liqa (pertemuan), muwajahah (bertatap muka), dan tabligh (penyampaian). Pada tahapan ini Allah ta’ala mengajari Musa as untuk berbicara memaparkan pesan-pesan dakwah dengan cara-cara yang paling menyenangkan dan menarik hati, sehingga diharapkan objek dakwah tertarik untuk menghentikan kesalahannya. Kedua, adalah tahapan taklif yaitu seruan dan pemberian tugas. (Fi Dzilal 13/68-69) Adapun jika kita merujuk kepada tafsir al-Qurthubi, maka yang dimaksud dengan taklif pemberian tugas adalah membimbing objek dakwah dalam keta’atan kepada Allah. (al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an 19/201).


Sementara penafsir juga menyampaikan, bahwa diantara prinsip dakwah dalam ayat-ayat ini adalah bahwa da’wah adalah mengajak manusia kepada Allah, bukan kepada kelompok maupun diri sendiri. Dakwah adalah kegiatan mengajak manusia untuk menyucikan jiwa, menasihati kepada hidayah (petunjuk) Allah dan menumbuhkan rasa takut kepada Allah. 


Semakin banyak ilmu keislaman yang dimiliki para pelaku dan objek dakwah, maka semakin bersih jiwanya dari berbagai penyakit hati, jauh dari kesombongan dan merasa benar sendiri. Semakin tekun dalam menjalankan berbagai ibadah, serta semakin beradab dan takut melanggar berbagai larangan Allah ta’ala. Wallahu a’lam bis showab.


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »
Give us your opinion