Allah ta’ala menurunkan al Qur’an kepada manusia dengan sebuah tujuan mendidik dan mengarahkan manusia agar berhasil menjalankan fungsi utama keberadaan mereka dimuka bumi. Sebagai khalifah Allah dan hamba-Nya, seluruh potensi kecerdasan yang Allah karuniakan untuk membangun peradaban kelak harus dipertanggung-jawabkan, dan al Qur’an merupakan jawaban atas seluruh permasalahan itu “إن القرآن نزل كله للتربية و التوجيه لبناء الأمة الراشدة التى تقوم بمهمة الخلافة الراشدة في الأرض، و يربي النفس البشرية من جميع جوانبها، مهما كانت مستوياتها النفسية و الروحية و الإجتماعية و الحضارية.”[1] Sesungguhnya al Qur’an seluruhnya berisi pendidikan dan pengarahan untuk membangun sebuah bangsa yang mulia yang tegak sebagai khilafah ar Rasyidah di dunia, dan mendidik jiwa kemanusiaan dalam seluruh aspeknya, sehingga terbangun integralitas manusia dalam aspek pribadi, spiritual, sosial dan peradaban.
Dengan demikian tujuan pendidikan yang paling mendasar adalah terciptanya perubahan yang diharapkan dalam seluruh perubahan pada dunia kehidupan manusia. Dan Allah menginginkan seluruh perubahan itu terjadi dibawah naungan al Qur’an, dibawah inspirasinya, sehingga perubahan itu tercipta ke arah yang baik, sebagaimana sifat al Qur’an itu sendiri. Ali bin Abi Thalib ra, pernah berkata, “القرآنُ جديدٌ لا تُبلى جِدّتُه”[2] al Qur’an itu baru dan tak kan usang inovasinya.
Pendapat serupa tentang tujuan pendidikan dalam al Qur’an dikemukakan Asy syaibani yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah, “adanya perubahan yang positif yang ingin dicapai melalui sebuah proses atau upaya-upaya pendidikan, baik perubahan itu terjadi pada aspek tingkah laku, kehidupan pribadi dan masyarakat, dan lingkungan luas dimana pribadi itu hidup.”[3]
Atas dasar inilah al Qur’an tidak memandang bahwa pencarian pengetahuan adalah demi pengetahuan itu sendiri tanpa merujuk kepada idealisme spiritual yang harus diraihnya yaitu kemaslahatan di dunia dan kebahagiaan di akhirat, atau dengan kata lain sukses sebagai khalifah dan sukses sebagai seorang hamba yang mengabdi Allah.
KAJIAN TAFSIR TENTANG TUJUAN PENDIDIKAN
Surat at Taubah ayat 122 Allah ta’ala menyampaikan sebuah arti penting kedudukan pendidikan bagi manusia,
وما كان المؤمنون لينفروا كآفة فلولا نفر من كل فرقة منهم طآئفة ليتفقهوا في الدين ولينذروا قومهم إذا رجعوا إليهم لعلهم يحذرون
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Pada ayat ini Allah ta’ala memerintahkan agar senantiasa ada sekelompok manusia yang memperdalam ilmu pengetahuan meski sedang ada perintah jihad. Hal ini menunjukkan, “kebutuhan suatu bangsa terhadap jihad dan para mujahid sama seperti kebutuhan bangsa terhadap ilmu dan para ulama.”[4]
Al Mawardi, memberikan sebuah pengertian bahwa tujuan atas seluruh peristiwa apapun dalam kehidupan orang beriman adalah untuk mengambil pelajaran dalam rangka meningkatkan keimanan mereka dan meraih kedudukan yang lebih baik dalam ketaqwaan kepada Allah ta’ala. Dalam ayat ini peristiwa pergi berperang / sariyah maupun memperdalam pengetahuan adalah untuk tujuan tersebut. Al Mawardi menyebutkan makna “liyatafaqqahu fid diin “ sbb,
ليتفقهوا في أحكام الدين ومعالم الشرع ويتحملوا عنه ما يقع به البلاغ وينذروا به قومهم إذا رجعوا إليهم. وليتفقهوا فيما يشاهدونه من نصر الله لرسوله وتأييده لدينه وتصديق وعده ومشاهدة معجزاته ليقوى إيمانهم ويخبروا به قومهم.[5]
Pertama, memperdalam pemahaman terhadap hukum-hukum agama dan pengetahuan syari’at dan menjaga dan membawa risalah tersebut serta memberikan peringatan kepada kelompok yang ikut berperang ketika mereka kembali. Dan kedua adalah Agar mereka memahami bahwa apa yang mereka saksikan adalah pertolongan Allah terhadap Rosul-Nya dan menguatkan agama mereka, membenarkan janji Allah atas mereka, serta memberikan kesaksian atas mu’jizat Allah atas mereka untuk menguatkan keimanan dan hal-hal tersebut mereka kabarkan kepada kelompok mereka.
Pendapat ini serupa dengan pendapat Ibnu ‘Ajibah yang mengatakan bahwa dalam ayat ini terdapat 2 perjalanan yang menggambarkan tujuan pendidikan, yaitu perjalanan mendidik diri melalui proses mempelajari hukum-hukum agama dan proses melatih kekuatan kepribadian. Kedua perjalanan memberikan tujuan yang berbeda yaitu “فمن رجع عن سياحة الأحكام قام بلسانه يدعو الخلق إلى ربه، ومن رجع من سياحة الأدب والرياضة قام في الخلق يهديهم لأخلاقه وشمائله”[6] Mereka yang kembali dari perjalanan hukum-hukum menegakkan dengan lisannya mengajak manusia kembali kepada Allah, dan mereka yang kembali dari perjalanan adab dan riyadhoh menegakkan pada manusia dengan memberikan petunjuk dengan kesempurnaan akhlaq.
Atas pendapat tersebut dapat kita simpulkan bahwa ibnu ‘Ajibah berpendapat bahwa bentuk pendidikan tidak hanya proses pengajaran ataupun penerangan dalam forum talaqqi melainkan pula dalam bentuk latihan dan praktek dalam lapangan-lapangan amal. Masing-masing dari model pendidikan ini mempunyai tujuan yang berbeda namun saling melengkapi. Satu sisi menekankan pada penguasaan konseptual dan pengajaran kembali dan sisi lain menekankan pada aspek praktek, internalisasi dan keteladanan atau model.
Pendidikan juga bertujuan membina seluruh potensi manusia baik aspek pemikiran, mentalitas dan fisik. Pendapat ini dikemukakan oleh al Qasimy, menurutnya tujuan pendidikan adalah tafaqquh, dan barang siapa yang menginginkannya maka berjalanlah dijalan Allah, carilah jalan untuk menyucikan dan membersihkan jiwa, hingga nampak dengan jelas ilmu dari hatinya atas perkataannya. Menurut al Qasimy tafaqquh adalah “علم راسخ في القلب، ضارب بعروقه في النفس، ظاهر أثره على الجوارح”[7] ilmu yang tertanam kuat di hati, menggerakkan jiwa, dan nampak dengan jelas dampak ilmu atas anggota badannya. Dengan demikian keberhasilan tujuan pendidikan tampak dalam semua aspek potensi dasar manusia dan dapat terlihat dalam aspek amaliahnya.
As Shobuni dalam tafsirnya memerincikan tujuan pendidikan dari segi pelaku proses pendidikan yaitu pendidik dan peserta didik, menurutnya, tujuan pendidikan terbagi dua yaitu “أن يكون غرض المعلم: الإِرشاد والإِنذار، وغرض المتعلم: اكتساب الخشية لا التبسط والاستكبار” bagi seorang pendidik, pendidikan bertujuan sebagai sarana penerangan bagi orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan dan sarana peringatan bagi mereka yang lalai. Sedangkan bagi peserta didik, pendidikan bertujuan menumbuhkan rasa takut kepada Allah dengan tidak lupa diri dan sombong atas penguasaan pengetahuan maupun prestasi yang diraih.
Pendidikan mempunyai tujuan yang mulia, yaitu menjadikan peserta didik memiliki integritas antara aspek perkataan, perbuatan dan kebaikan niat atau motivasi. Pendapat ini dikemukakan oleh al biqa’i. ia mengatakan “أي بما يسمعونه من أقواله ويرونه من جميل أفعاله ويصل إلى قلوبهم من مستنير أحواله”[8] agar mereka mendengarkan penuturan lisannya, mencontoh dan melihat kebaikan perbuatannya dan sampai kepada hati mereka segala perbuatan mereka yang berkesan.
Dengan demikian al Biqa’iy memandang bahwa pendidikan bertujuan mengembangkan potensi kemanusiaan secara utuh aspek jasmani dan ruhaninya. Peserta didik juga dibentuk menjadi manusia yang memiliki integritas kepribadian antara aspek perkataan, perbuatan dan kebaikan hati mereka. Lebih jauh lagi tujuan pendidikan selain menjelma dalam bentuk kebaikan individu juga menjadi contoh dan menginspirasi sesamanya.
Ayat ke 122 surat at Taubah ini juga mengisyaratkan bahwa teknik pertahanan dan keamanan serta ekspansi dan penguasaan wilayah selain melalui jihad peperangan juga membutuhkan kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi. az Zuhailiy mengemukakan pendapatnya tentang pentingnya memperdalam ilmu pengetahuan sebagai berikut “الاسهام في إقامة صرح المدنية والحضارة، من طريق تنمية العلوم والمعارف، وازدهار الحقل العلمي بالمتابعة والتأمل والتجربة والتجديد”[9] pendidikan adalah kontribusi dalam menegakkan negara dan peradaban melalui jalan pengembangan ilmu dan pengetahuan, evaluasi pengembangan bidang ilmiah, penelitian, eksperimen, dan inovasi.
Dalam perspektif az Zuhailiy tujuan pendidikan bersifat ekspansif. Kemaslahatan sebagai tujuan dari pendidikan adalah kesejahteraan dan kemakmuran yang luas dalam lingkup sebuah bangsa atau negara. Jika menggunakan pendekatan langkah-langkah da’wah, menegakkan Islam atas negara itu terjadi setelah tegaknya Islam atas pribadi, keluarga dan masyarakat. Dengan demikian semakin luas kemaslahatan hasil sebuah pendidikan semakin baik pula tujuan yang tercapai. Hal in sebagaimana sabda Nabi saw, yang diriwayatkan oleh jabir ra,
الْمُؤْمِنُ يَأْلَفُ وَيُؤْلَفُ، وَلَا خَيْرَ فِيمَنْ لَا يَأْلَفُ، وَلَا يُؤْلَفُ، وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ[10]
“orang beriman itu bersatu dan menyatukan. Tak akan ada kebaikan bagi orang yang tidak bersatu dan menyatukan, dan sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”
Pendapat lain tentang tujuan pendidikan dikemukakan oleh at Tastariy, menurutnya tujuan pendidikan dalam ayat ini adalah untuk menjadikan objek didik “الفقيه الزاهد في الدنيا، الراغب في الآخرة، البصير في أمر دينه”[11] Ilmuwan yang sederhana terhadap dunia, merindui kehidupan akhirat, dan bijaksana dalam perkara-perkara agamanya. Hal ini sebagaimana perkataan Imam Malik,” إِنَّ الْعِلْمَ لَيْسَ بِكَثْرَةِ الرِّوَايَةِ وَلَكِنَّهُ نُورٌ يَجْعَلُهُ اللَّهُ فِي الْقُلُوبِ”[12] sesungguhnya ilmu bukanlah banyaknya riwayat melainkan cahaya yang Allah turunkan pada hati.
Dalam perspektif imam at Tastariy, tercapainya sebuah tujuan pendidikan adalah bukan sekedar mendengar secara lahiriah ucapan yang keluar dari lisan seorang objek didik, atau tulisan yang tertulis, maupun perbuatan yang dilakukan, melainkan aspek yang terpenting menurut at Tastariy adalah “kemampuan melakukan evaluasi dan secara mandiri atas seluruh amaliahnya ”.[13] istilah ini ia sebutkan sebagai “al muhasabah ”.
Dalam proses pendidikan, evaluasi merupakan proses yang tegak diatas di atas proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan. Evaluasi juga merupakan proses yang memungkinkan terjadinya pengembangan selanjutnya. Dengan demikian pendapat ini merupakan pendapat yang formatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan potensi manusia.
KESIMPULAN
Penjelasan para ulama tafsir klasik maupun kontemporer terhadap tema tujuan pendidikan dalam Islam, khususnya tafsir pada ayat ke 122 surat at Taubah ini memberikan sebuah kesimpulan dasar kokoh bahwa seluruh aspek yang diharapkan terlahir dari proses pendidikan mengarah kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Tujuan pendidikan dalam Islam juga menginginkan terbentuknya manusia muslim yang memiliki integritas pada kepribadiannya, kebaikan ucapannya menjelma pula dalam kebaikan prilaku yang semuanya merupakan cermin atas kebersihan hatinya. Selain wujud dalam bentuk manfaat bagi pribadi peserta didik hasil pendidikan juga diharapkan wujud manfaatnya secara luas dalam keluarga, masyarakat dan negara. Semakin luas manfaat yang dirasakan dari sebuah pendidikan maka semakin baik proses pendidikan tersebut.
Tujuan pendidikan dalam Islam juga menghasilkan pribadi yang mandiri serta terus menerus berkembang dalam kebaikan pada semua potensi dasar yang dimilikinya, karena kemampuan melakukan evaluasi, pengembangan bidang keilmuan, dan inovasi.
Hasbunallah wa ni’mal wakil
CATATAN PUSTAKA
[1] Anwar al Baz, 2007, at Tafsiir at Tarbawi lil Qur’an al Kariim, Cairo : Daar an Nashr lil Jami’at, 1/ب.
[2] Ahmad bin Musthafa al Maraghiy, 1365 H, Tafsiir al Maraghiy, Mesir : Syirkatu Maktabatu wa Mathba’atu Musthafa al Baabiy al Halabiy, 17/27
[3] Umar Muhammad at Tuumiy asy Syaibani, 1975, Falsafah at Tarbiyyah al Islamiyyah, Tripoli: al Syarikah al ‘Ammah li an Nasyr wa Tauzi’ wal al I’lan, h 282.
[4] Anwar al Baz, op.cit, 1/618.
[5] Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Muhammad bin habib al Bashariy al Baghdady al Mawardy, tt, an Nukat wal Uyun, Beirut-Libanon : Daar al Kutub al Ilmiyyah, 2/145.
[6] Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin al Mahdiy bin ‘Ajibah al Hasany, 1419 H, Bahrul Madiid fi Tafsiir al Qur’an al Majid, Cairo : Maktabah Hasan Abbas Zaky, 2/442.
[7] Muhammad Jamaluddin bin Muhammad Sa’id bin Qasim al halaq al Qasimy, 1418 H, Mahasin at Ta’wil, Beirut : Daar al Kutub al Ilmiyyah, 5/530.
[8] Ibrahim bin ‘Amru bin Hasan ar Ribath bin Ali bin Abi Bakr al Biqa’iy, tt, Nidzham ad Dharar fi Tanasubi Ayat wa Suwar, Cairo: Daar al Kitab al Islamy, 9/48
[9] Wahbah bin Musthofa az Zuhailiy, 1422H, at Tafsir al Wasith li az Zuhaily, Damaskus: Daar al Fikr, 1/930
[10] Sulaiman bin Ahmad Abu al Qasim ath Thabraniy, tt, al Mu’jam al Awsath, Cairo: Daar al Haramain, 6/58 hadits ke 5787.
[11] Abu Muhammad Sahl bin Abdillah bin Yunus bin Rofi’ at Tastariy, 1423 H, Tafsiir at Tastariy, Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyyah, 1/75.
[12] Abu ‘Amr bin Abdillah bin Muhammad bin Abdil Bar, 1414H, Jami’ Bayan al Ilmi al Fadhlihi, Saudi Arabia: Daar Ibnul Jauziy, 1/758. Dalam hilyatul Aulia disebutkan “لَيْسَ الْعِلْمُ بِكَثْرَةِ الرِّوَايَةِ، وَلَكِنَّ الْعِلْمَ الْخَشْيَةُ”
[13] Ibid.