أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ (1) أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ (2) وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ (3) تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ مِنْ سِجِّيلٍ (4) فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَأْكُولٍ (5)
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Rabbmu telah bertindak terhadap tentara bergajah (1) Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan ka’bah) itu sia-sia? (2) dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong (3) Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar (4) Lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan ulat (5).
Sebab Turunnya Ayat
Abul Hasan al Wahidiy meriwayatkan bahwa surat ini diturunkan terkait dengan kisah pasukan gajah yang hendak menghancurkan ka’bah,
نَزَلَتْ فِي قِصَّةِ أَصْحَابِ الْفِيلِ وَقَصْدِهِمْ تَخْرِيبَ الْكَعْبَةِ، وَمَا فَعَلَ اللَّهُ تَعَالَى بِهِمْ مِنْ إِهْلَاكِهِمْ وَصَرْفِهِمْ عَنِ الْبَيْتِ وَهِيَ مَعْرُوفَةٌ.
Diturunkannya ayat ini terkait kisah pasukan gajah yang bertujuan menghancurkan ka’bah, dan perbuatan Allah kepada mereka dengan membinasakan dan menjauhkan mereka dari ka’bah. [1]
Latar Belakang Peristiwa Ashabul Fiil
Sayyid Quthb menuliskan dalam tafsirnya bahwa peristiwa ini terjadi karena keinginan memindahkan kunjungan bangsa Arab dari Mekah ke Gereja Yaman, proyek ini dipelopori oleh Abrahah al Asyram.
كاَنَ قَدْ بُنِىَ كَنِيسَةٌ فِي اليَمَنِ بِاسْمِ مَلِكِ الحَبَشَةِ وَجَمَعَ لَهَا كُلُّ أَسْبَابِ الفَخَامَةِ، عَلَى نِيَّةٍ أَنْ يُصْرَفَ بِهَا العَرَبُ عَنِ البَيْتِ الحَرَامِ فيِ مَكَّةَ، وَقَدْ رَأَى مَبْلَغُ اِنْجِذَابِ أَهْلِ اليَمَنِ الذِينَ يَحْكُمُهُمْ إِلَى هَذَا البَيْتِ، شَأْنُهُمْ شَأْنُ بَقِيَّةِ العَرَبِ.
Abrahah telah membangun sebuah gereja di Yaman atas nama Raja Habasyah. Gereja ini dibangun sangat megah dengan tujuan mengalihkan perhatian dan kunjungan bangsa arab dari baitul haram di Mekah. Karena Abrahah melihat minat yang sangat kuat di kalangan penduduk Yaman untuk berkunjung ke Mekah, sebagaimana bangsa arab lainnya.[2]
Demikian pula pendapat Ibnu Katsir, ia menambahkan begitu megahnya bangunan gereja tersebut, hingga orang arab mengatakan peci mereka hampir terjatuh jika mereka melihat puncak bangunan tersebut. [3] Imam al Qurthubi menuliskan (وَهِيَ كَنِيسَةٌ لَمْ يُرَ مِثْلُهَا فِي زَمَانِهَا بِشَيْءٍ مِنَ الْأَرْضِ) itu merupakan tempat ibadah orang nashrani yang belum pernah diketahui yang semisal dengannya pada masa itu dengan sesuatupun di dunia.[4] Abrahah bersumpah kepada Najasyi tentang hal ini (إنِّي قَدْ بَنَيْتُ لَكَ أَيُّهَا الْمَلِكُ كَنِيسَةً لَمْ يُبْنَ مِثْلُهَا لِمَلِكِ كَانَ قَبْلَكَ، وَلَسْتُ بِمُنْتَهٍ حَتَّى أَصْرِفَ إلَيْهَا حَجَّ الْعَرَبِ) sesungguhnya aku benar-benar akan membangunkan bagimu wahai raja sebuah gereja yang belum pernah dibangun sebelumnya yang seperti itu untuk raja-raja sebelum kamu, dan aku tidak akan pernah puas hingga memalingkan para haji arab.[5]
Ketidak berhasilan Abrahah memalingkan pusat ziarah bangsa arab ke gereja yaman tersebut menyebabkannya murka dan berinisiatif menghancurkan ka’bah.
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Rabbmu telah bertindak terhadap tentara bergajah?
Kalimat ini adalah kalimat tanya akan tetapi bermakna penetapan (taqrir), pesan pada ayat ini ditujukan khusus kepada Rasulullah saw namun bermakna umum. Maksudnya, bukankah kalian telah melihat hal itu? Dan setelah melihatnya apakah kalian belum menyadari anugerah yang Aku berikan kepada kalian? Mengapa kebanyakan kalian tetap saja tidak beriman kepada-Ku?[6]
Sayyid Quthb berpendapat, “وَهُوُ سُؤَالُ لِلتَعْجِيبِ مِنَ الحَادِثِ، وَالتَّنْبِيهِ إِلَى دَلَالَتِهِ العَظِيمَةٌ” pertanyaan ini disampaikan untuk mengungkapkan keta’juban terhadap sebuah peristiwa yang pernah terjadi dan mengingatkan kepada tanda-tandanya yang sangat agung.[7]
Demikian pula pendapat an Nasafi “عَجَّبَ اللهُ نَبِيَّهُ مِنْ كُفْرِ العَرَبِ وَقَدْ شَاهَدْتُ هَذِهِ العَظَمَةِ مِنْ آيَاتِ اللهِ” Allah membuat heran nabi-Nya dari kekafiran orang-orang yang benar-benar telah menyaksikan keagungan dari tanda-tanda keberadaan Allah.[8]
Sehingga dapat disimpulkan ayat ini tidak bermaksud menguji pengetahuan, melainkan menegaskan akan adanya sebuah perkara besar yang seharusnya menjadi pelajaran bagi manusia tentang keimanan kepada Allah.
أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ
Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan ka’bah) itu sia-sia?
Serupa dengan ayat sebelumnya, ayat ini juga merupakan pertanyaan yang bertujuan menetapkan (الاستفهام التقريري). Sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik pembuat makar. Seluruh upaya menentang Allah pasti sia-sia belaka.
Sayyid Quthb berpendapat, selain berupa peringatan kepada penentang-Nya ayat ini juga berisi peringatan kepada kaum Quraisy bahwa Allah telah menolong mereka ketika mereka tidak berdaya. “لَعَلَّهُمْ بِهَذِهِ الذِكْرى يَسْتَحُونَ مِنْ جُحُودِ اللهِ الذي تَقَدَمَتْ يَدُهُ عَلَيْهِمْ فِي ضَعْفِهِمْ وَعَجْزِهِمْ” bahwa seharusnya mereka merasa malu mengingkari Allah yang telah mengulurkan pertolongannya kepada mereka pada saat mereka lemah dan tidak berdaya.[9]
وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيل
dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong
Ya’kub menceritakan dari Ibnu Ulayyah dari Ibnu Aun dari Muhammad bin Sirrin dari Ibnu Abbas bahwa, “وَكَانَتْ طَيْرًا لَهَا خَرَاطِيمَ كَخَرَاطِيمِ الطَيْرِ، وَأَكَفَّ كَأَكَفِّ الِكلَابِ” burung-burung itu memiliki paruh seperti paruh burung dan bertelapak seperti telapak anjing. Ikrimah berkata “كَانَتْ لَهَا رُؤُوسٌ كَرُؤوسِ السِبَاعِ” kepalanya seperti kepala binatang buas.[10] “Aisyah mengatakan bahwa burung-burung itu menyerupai dengan burung laut (الخطاطيف) namun ada juga yang mengatakan lebih mirip dengan kelelawar yang berwarna merah dan hitam.[11]
Ath thobari mengatakan bahwa maksud ababil adalah “طَيْرًا مُتَفَرِّقَةٌ، يَتْبَعُ بَعْضُهَا بَعْضًا مِنْ نَوَاحٍ شَتَّي” burung yang berbondong-bondong, saling beriringan dari berbagai penjuru.[12]
تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ مِنْ سِجِّيلٍ
Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar
Al Qurthubi berpendapat bahwa maksudnya adalah “حِجَارَةٌ مِنْ طِينٍ،طُبِخَتْ بِنَارِ جَهَنَّمَ، مَكْتُوبٌ فِيهَا أَسْمَاءُ الْقَوْمِ”batu yang terbuat dari tanah liat yang di bakar di atas api neraka, dan pada batu-batu itu tertuliskan nama setiap orang yang berhak atasnya. Makna ini sama seperti yang disebutkan pada firman Allah, “agar kami timpakan kepada mereka batu-batu dari tanah yang (keras), yang ditandai di sisi Tuhanmu untuk (membinasakan) orang-orang yang melampaui batas” (adz dzariyat 33-34)[13]
Muhammad bin Amru menceritakan dari Abu ‘Ashim dari ‘isa dari Abi Najih dari Mujahid bahwa sijjil berasal dari bahasa persia yang terdiri dari dua kata yaitu batu dan tanah.[14] Ikrimah meriwayatkan batu-batu tersebut hanya sebesar kacang humush dan sedikit lebih besar dari kacang ‘adas.[15]
فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَأْكُولٍ
Lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan ulat
Ath Thobari menjelaskan makna ayat ini adalah, Allah menjadikan pasukan gajah itu seperti tanaman yang dimakan ulat sehingga berserakan, rontok dan berguguran anggota tubuhnya.[16] sendi-sendi mereka terputus[17] kemudian berserakan dengan lembut seolah-olah habis terkunyah-kunyah.[18]
Hikmah[19]
a. Allah ta’ala tidak ingin menyerahkan perlindungan rumah-Nya kepada orang-orang musyrik (أَنَّ اللهَ- سُبْحَانَهُ- لَمْ يُرِدْ أَنْ يَكُونَ حِمَايَةُ بَيْتِهِ إِلَى الْمُشْرِكِينَ)
b. Perencanaan Allah untuk memelihara rumah dan agama-Nya sebelum ada yang mengetahui bahwa Nabi agama ini telah dilahirkan pada tahun ini. (تَدْبِيرُ اللهِ لِبَيْتِهِ وَلِدِيْنِهِ قَبْلَ أَنْ يَعْلَمَ أَحَدٌ أَنَّ نَبِيَ هَذَا الدِينِ قَدْ وُلِدَ فِي هَذَا العَامِ)
c. Dibawah panji Islam – serta untuk pertama kalinya – dalam sejarah bangsa Arab, mereka punya peran internasional (تَحْتَ رَايَةِ الإِسْلاَمِ وَلِأَوَّلِ مَرَّةٍ فِي تَارِيخِ العَرَبِ أَصْبَحَ لَهُمْ دَوْرٌ عَالَمِيٌ)
sigit suhandoyo
Catatan Pustaka
[1]Abul Hasan Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Ali al Wahidiy an Naisabury asy Syafi’i: Asbab an Nuzul al Qur’an. Ad Damam : Daar al Ishlah, 1412 H, 464.
[2] Sayyid Quthb: Fii Dzilal al Qur'an, Beirut: Daar Asy Syuruq. 1412 H. 6/3947.
[3] Imaduddin Ibnu Katsir: Tafsir al Qur’an al Adzhim. Daar Thayibah li an Nashr wa at Tauzi’. 8/484.
[4] Imam al Qurthubi: al Jami’ li Ahkam al Qur’an, Qahirah: Daar al Kutub al Mishriyah, 1384 H, 20/187.
[5] Abdul Malik Ibnu Hisyam: Sirah Nabawiyah li Ibn Hisyam, Mesir: Syirkatu maktabah wa mathba’ah musthofa al baby al halby, 1375 H, 43.
[6] Al Jami’ li Ahkam al Qur’an, 20/187.
[7] Fii Dzilal al Qur’an 6/3979
[8] Hafidhuddin an Nasafi: Madarik at Tanzil wa Haqaaiq at Ta’wil, Beirut: Daar al kalam ath thoyyib, 1419 H, 3/680.
[9] Fii Dzilal al Qur’an 6/3979.
[10] Ibnul Jauzi: Zad al Maisir fi ilmi at tafsiir, Beirut: Daar al kitab al ‘araby, 1422 H, 4/491
[11] Al Jami’ li Ahkam al Qur’an, 20/196.
[12] Ibnu Jarir ath Thobari: Jami’ al Bayan an Ta’wil Ayi al Qur’an. Beirut: Muassasah ar Risalah, 1420 H, 24/605.
[13] Al Jami’ li Ahkam al Qur’an, 20/198.
[14] Jami’ al Bayan an Ta’wil Ayi al Qur’an, 15/433.
[15] Al Jami’ li Ahkam al Qur’an, 20/198.
[16] Jami’ al Bayan an Ta’wil Ayi al Qur’an, 24/615
[17] Al Jami’ li Ahkam al Qur’an, 20/199.
[18] Fi Dzilal al Qur’an 6/3979.
[19] Fi Dzilal al Qur’an 6/3940.