قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)
Katakanlah: "Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku
Sebab Turunnya Ayat
Al Wahidy[1] menuliskan bahwa surat ini diturunkan terkait dengan sekelompok orang quraisy, mereka berkata:
يَا مُحَمَّدُ هَلُمَّ فَاتَّبِعْ دِينَنَا وَنَتَّبِعُ دِينَكَ، تَعْبُدُ آلِهَتَنَا سَنَةً وَنَعْبُدُ إِلَهَكَ سَنَةً، فَإِنْ كَانَ الَّذِي جِئْتَ بِهِ خَيْرًا مِمَّا بِأَيْدِينَا كُنَّا قَدْ شَرَكْنَاكَ فِيهِ وَأَخَذْنَا بِحَظِّنَا مِنْهُ، وَإِنْ كَانَ الَّذِي بِأَيْدِينَا خَيْرًا مِمَّا فِي يَدِكَ كُنْتَ قَدْ شَرَكْتَنَا فِي أَمْرِنَا وَأَخَذْتَ بِحَظِّكَ، فَقَالَ: "مَعَاذَ اللَّهِ أَنَّ أُشْرِكَ بِهِ غَيْرَهُ"، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ} إِلَى آخِرِ السُّورَةِ، فَغَدَا رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - إِلَى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَفِيهِ الْمَلَأُ مِنْ قُرَيْشٍ، فَقَرَأَهَا عَلَيْهِمْ حَتَّى فَرَغَ مِنَ السُّورَةِ، فَأَيِسُوا مِنْهُ عِنْدَ ذَلِكَ
Ya Muhammad marilah mengikuti agama kami dan kami akan mengikuti agamamu, kamu sembah agama kami setahun dan kami sembah agamamu setahun, maka jika ajaran yang kamu bawa lebih baik dari pada yang kami percayai maka kami sudah berusaha untuk mengikutimu dan kami pasti akan mendapatkan apa yang kami usahakan itu, dan apabila yang kami percayai ini lebih baik dari ajaran yang kamu bawa, maka kamu sudah berusaha untuk ikut bersama kami dan kamu pasti akan menerima hasil dari usahamu itu. Maka rasulullah saw, menjawab: aku berlindung kepada Allah atas segala yang kamu bersekutu dengannya selain Allah, kemudian Allah ta’ala menurunkan surat al kafirun hingga akhir surat. Maka Rasulullah saw berangkat ke masjid al haram dan di dalamnya ada orang-orang penting dari quraisy, maka ia membacakan surat ini kepada mereka hingga akhir surat. Maka mereka berputus asa setelah itu.
Munasabah
Keterkaitan surat al kautsar dengan al kafirun adalah, bahwa setelah Allah menegaskan bahwa orang-orang kafir itulah yang terputus, Allah menyusulkannya dengan penjelasan yang terinci dan tertulis. Allah berfirman, “katakanlah hai orang-orang kafir” dengan tujuan menjelaskan bahwa orang-orang yang terputus itu ialah siapa saja yang mengikuti kekafiran dan setia dengan kekafirannya maka tidak ada jalan keluar dari kekafirannya dan tidaklah akan tetap keimanan padanya selamanya. Sebagaimana firman Allah,
وَلَوْ أَنَّنَا نَزَّلْنَا إِلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةَ وَكَلَّمَهُمُ الْمَوْتَى وَحَشَرْنَا عَلَيْهِمْ كُلَّ شَيْءٍ قُبُلًا مَا كَانُوا لِيُؤْمِنُوا إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ يَجْهَلُونَ
Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui (al an’am 111)[2]
Menurut as suyuti keterkaitan surat ini dengan surat sebelumnya adalah, bahwa Allah ta'ala berfirman, fasholli li rabbika" kemudian Allah memerintahkan menyampaikan kepada orang-orang kafir bahwa tidak ada yang pantas disembah kecuali Allah, dan bukanlah yang disembah itu seperti apa yang mereka sembah, penyampaian seperti ini terulang dan dilengkapi dengan bahwa bagi mereka agama mereka.[3]
Keutamaan
Imam at tirmidzi meriwayatkan Menceritakan kepada kami ’ali bin hujrin berkata, mengabarkan kepada kami yazid bin harun ia berkata, mengabarkan kepada kami yaman bin al mughirah al anaziy, ia berkata, menceritakan kepada kami atha’ dari ibnu abbas ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
إِذَا زُلْزِلَتْ تَعْدِلُ نِصْفَ القُرْآنِ، وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ تَعْدِلُ ثُلُثَ القُرْآنِ، وَقُلْ يَا أَيُّهَا الكَافِرُونَ تَعْدِلُ رُبُعَ القُرْآنِ
Idza zulzilat sebanding dengan setengah al Qur’an, dan qul huwallahu ahad sebanding dengan sepertiga al Qur’an dan qul yaa ayyuhal kafirun sebanding dengan seperempat al Qur’an.[4]
Menceritakan kepadaku malku bin isma’il, menceritakan kepada kami mundal bin ali dari ja’far bin abi ja’far al asyja’i dari ayahnya dari ibnu umar berkata,
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- بِأَصْحَابِهِ فِي سَفَرٍ صَلَاةَ الْفَجْرِ، فَقَرَأَ: {قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُون} ، وَ {قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَد}، وَقَالَ: "قَرَأْتُ بِكُمْ ثُلُثَ الْقُرْآنِ، وَرُبُعَهُ"
Rasulullah saw sholat fajar bersama para sahabatnya dalam sebuah perjalanan, kemudia membaca surat al kafirun dan al ikhlas, setelah itu beliau bersabda “telah kubacakan bagi kalian sepertiga al Qur’an dan seperempat dari al Qur’an.”[5]
Menceritakan kepada kami abu hisyam Muhammad bin sulaiman bin alhakam alqudaydiyy, menceritakan kepadaku ayahku, dari isma’il bin kholid al khuza’i, bahwa Muhammad bin jubair bin muth’im mendengar dan ia berkata: berkata kepadaku Rasulullah saw berkata kepadaku,
أَتُحِبُّ يَا جُبَيْرُ إِذَا خَرَجْتَ سَفَرًا أَنْ تَكُونَ مِنْ أَمْثَلِ أَصْحَابِكَ هَيْئَةً , وَأَكْثَرِهِمْ زَادًا؟» فَقُلْتُ: نَعَمْ، بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي، قَالَ: «فَاقْرَأْ هَذِهِ السُّوَرَ الْخَمْسَ، قُلْ يَأَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَإِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ، وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، وَقُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ، وَقُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ، وَافْتَحْ كُلَّ سُورَةٍ بِبِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، وَاخْتِمْ قِرَاءَتَكَ بِبِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Wahai jubair apakah kamu ingin menjadi seseorang yang paling rupawan dalam perjalanan dan yang paling banyak membawa bekal dibandingkan dengan yang lain? Aku menjawab, tentu demi ayahku anda dan ibuku. Rasulullah saw bersabda: maka bacalah olehmu lima surat ini, al kafirun, annashr, al ikhlas, al falaq dan annaas, dan bukalah setiap surat dengan bismillahi arrahmanni arrahim dan tutuplah bacaanmu dengan bismillahi arrahmanni arrahim.
Jubair berkata, sebelumnya aku adalah seorang yang tidak memiliki banyak harta, dan jika aku sedang bepergian maka aku adalah orang yang paling kumuh dan tidak membawa banyak bekal, namun semenjak aku membaca surat-surat tersebut aku menjadi orang yang paling gagah dan yang paling banyak membawa bekal diantara kawan-kawan seperjalananku bahkan hingga kami semua pulang dari perjalanan tersebut[6]
Menceritakan kepada kami annufail, mencaritakan kepada kami zuhair, menceritakan kepada kami abu ishaq, dari farwah bin naufal, dari ayahnya, bahwa Rasulullah saw bersabda kepada naufal,
اقْرَأْ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ ثُمَّ نَمْ، عَلَى خَاتِمَتِهَا، فَإِنَّهَا بَرَاءَةٌ مِنَ الشِّرْكِ
Bacalah surat al kafirun setiap engkau hendak berangkat tidur, sesungguhnya surat itu adalah pembebasan dari kemusyrikan.[7]
Ibnu Abbas pernah berkata
لَيْسَ فِي الْقُرْآنِ أَشَدُّ غَيْظًا لِإِبْلِيسَ مِنْهَا، لِأَنَّهَا تَوْحِيدٌ وَبَرَاءَةٌ مِنَ الشِّرْكِ
Tidak ada yang lebih dibenci iblis dari al Qur’an kecuali surat al kafirun, karena surat ini berisikan tentang tauhid dan pembebasan diri dari kemusyrikan.[8]
Al ashma’i berkata
كَانَ يقال ل (- قل يا أيها الكافرون) ، و (قل هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ) الْمُقَشْقِشَتَانِ، أَيْ أَنَّهُمَا تُبَرِّئَانِ مِنَ النِّفَاقِ
surat al kafirun dan al ikhlas adalah dua obat, maksudnya kedua surat tersebut adalah pembebas dari kemusyrikan.[9]
-- قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ --
Katakanlah hai orang-orang kafir
Ibnu Katsir berpendapat bahwa surat ini berisi perintah Allah ta’ala kepada rasul-Nya Muhammad saw, untuk berlepas diri atas kemusyrikan orang-orang kafir dan menjalankan ibadah dengan ikhlas. (هَذِهِ السُّورَةُ سُورَةُ الْبَرَاءَةِ مِنَ الْعَمَلِ الَّذِي يَعْمَلُهُ الْمُشْرِكُونَ، وَهِيَ آمِرَةٌ بِالْإِخْلَاصِ فِيهِ) Meskipun khitab ini khusus bagi orang kafir quraisy namun mencakup seluruh orang kafir di muka bumi.[10]
Sayyid Quthb berpendapat bahwa ayat ini adalah sebuah bentuk penegasan dari Allah ta’ala,
فهو الأمر الإلهي الحاسم الموحي بأن أمر هذه العقيدة أمر الله وحده. ليس لمحمد فيه شيء. إنما هو الله الآمر الذي لا مرد لأمره، الحاكم الذي لا راد لحكمه
Ini merupakan perintah Ilahi yang tegas dan mengisyaratkan bahwa aqidah ini adalah perintah Allah semata, Rasulullah hanyalah penyampai risalah-Nya. Sesungguhnya hanya Allah lah pemberi perintah yang tidak ada seorangpun yang mampu menolak, Yang Maha Menentukan Hukum yang tiada seorangpun mampu menolak hukum-Nya.[11] Kemudian Allah memanggil mereka dengan hakikat yang ada pada diri mereka dan memberi sifat kepada mereka dengan sifat diri mereka yaitu kekafiran yang tidak ada titik temu antara keimanan dan kekafiran.
Ibnul Qayyim juga menegaskan pendapat tersebut bahwa penetapan kalimat (يا أَيُّهَا الْكافِرُونَ) dan tidak dikatakan (يا أيها الذين كفروا) adalah untuk menunjukkan bahwa orang yang sifatnya kafir dengan kekafiran yang tetap dan pasti dan tidak berpisah darinya, maka dia lebih layak bagi Allah untuk membebaskan Diri darinya yang berarti dia juga terbebas dari Allah. Seakan-akan Rasulullah bersabda,
كما أن الكفر لازم لكم ثابت لا تنتقلون عنه فمجانبتكم والبراءة منكم ثابتة لي دائما أبدا
Karena kekafiran sudah menjadi keharusan bagi kalian dan sudah tetap pada diri kalian, maka kalian tidak dapat beralih dari keadaan itu. Maka menjauhi kalian dan memungkiri kalian sudah merupakan sesuatu yang pasti dan berlaku untuk selama-lamanya.[12]
--لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ. وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ . وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ . وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ--
Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
Menurut ath thobari pengulangan yang disebutkan dalam surat ini merupakan bentuk penegasan sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al insyirah dan surat at takatsur 6-7.[13]
(فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا) ، وكقوله: (لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ)
“karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulian itu ada kemudahan.” “Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka jahannam dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ainul yaqin.
Al Qurthubi juga mengemukakan pendapat serupa bahwa pengulangan tersebut adalah penegasan makna bahwa yang mereka lakukan adalah sia-sia belaka.
نَزَلَ الْقُرْآنُ بِلِسَانِ الْعَرَب، وَمِنْ مَذَاهِبِهِمُ التَّكْرَارُ إِرَادَةَ التَّأْكِيدِ وَالْإِفْهَامِ
Al Qur’an itu diturunkan menurut lisan orang Arab, dan kebiasaan mereka adalah mengulang perkataan untuk mempertegas ucapan mereka dan lebih dapat difahami.[14]
Selain makna tersebut al Qurthubi juga mengemukakan bahwa ada yang berpendapat bahwa pengulangan tersebut bermakna (التَّغْلِيظِ) ancaman.[15]
Ibnu Katsir menjelaskan makna ayat ini adalah sebuah ketegasan akan penetapan Allah sebagai satu-satunya Ilah dan penafian akan tata cara orang-orang kafir dalam beribadah
لَا أَسْلُكُهَا وَلَا أَقْتَدِي بِهَا، وَإِنَّمَا أَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي يُحِبُّهُ وَيَرْضَاهُ؛ وَ لَا تَقْتَدُونَ بِأَوَامِرَ اللَّهِ وَشَرْعِهِ فِي عِبَادَتِهِ، بَلْ قَدِ اخْتَرَعْتُمْ شَيْئًا مِنْ تِلْقَاءِ أَنْفُسِكُمْ لَا أَسْلُكُهَا وَلَا أَقْتَدِي بِهَا، وَإِنَّمَا أَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي يُحِبُّهُ وَيَرْضَاهُ؛ وَ لَا تَقْتَدُونَ بِأَوَامِرَ اللَّهِ وَشَرْعِهِ فِي عِبَادَتِهِ، بَلْ قَدِ اخْتَرَعْتُمْ شَيْئًا مِنْ تِلْقَاءِ أَنْفُسِكُمْ
Aku tidak akan menempuh jalan kalian dan tidak juga mengikutinya. Melainkan aku akan senantiasa beribadah kepada Allah dengan cara yang Dia sukai dan ridhai. Dan kalian tidak akan mengikuti perintah-perintah dari Allah dan syari’atn-Nya dalam menyembah-Nya, tetapi kalian telah memilih sesuatu dari diri kalian sendiri.[16]
Pemahaman seperti ini sangat jelas, sebagaimana pendapat beberapa ulama tafsir bahwa kebiasaan orang-orang kafir Quraisy pada masa itu adalah mereka senang berganti-ganti berhala, jika mereka merasa bosan maka mereka akan membuang berhala tersebut dan menggantikannya dengan berhala baru yang mereka sukai – bahkan jika berhala baru itu berupa potongan kayu atau belahan batu – dan kemudian mengagunggung-agungkannya serta menyejajarkannya dengan berhala-berhala yang masih mereka sukai.
Penafsiran seperti ini berdasarkan fakta bahwa orang-orang kafir Quraisy menyembah berhala adalah untuk mendapatkan visualisasi tentang tuhan. Mereka meyakini bahwa ada kekuasaan ghaib yang menciptakan semesta namun mereka menyekutukannya.
Makna demikian juga dikemukakan Sayyid Quthb secara global sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat az zumar ayat 3 dan al ankabut ayat 61.
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى -- وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. – Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, “siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan? Tentu mereka akan menjawab Allah.
Bercampur aduknya persepsi mereka dan pengakuan mereka tentang Allah selain penyembahan tuhan-tuhan lain bersama-Nya, bisa jadi mengesankan bahwa mereka bisa berbagi dengan Rasulullah sebagaiman Rasulullah juga bisa berbagi dengan mereka dalam hal penyembahan.
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku
Al Qurthubi berpendapat bahwa pada ayat ini terdapat makna ancaman, sama seperti yang terdapat pada firman Allah ta’ala dalam surat al Qashash ayat 55.
لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ
Bagi kami amal-amal kami dan bagi kalian amal-amal kalian. Dengan demikian ayat ini bermakna, kalian telah ridha dengan agama kalian dan kami juga ridho dengan agama yang kami anut. Sehingga kalian akan mendapat balasan atas perbuatan kalian demikian pula kami akan mendapatkan balasan atas perbuatan kami.[17]
Sayyid Quthb menegaskan bahwa sesungguhnya da’wah Islam hanya tegak di atas landasan ketegasan, transparansi, keberanian dan kejelasan akan perbedaan aqidah tauhid dan kemusyrikan
التوحيد الخالص الذي يتلقى تصوراته وقيمه، وعقيدته وشريعته.. كلها من الله.. دون شريك.. كلها.. في كل نواحي الحياة والسلوك
Inilah agamaku, tauhid murni yang menerima semua persepsi, nilai, aqidah dan syari’atnya dari Allah tanpa sekutu, secara utuh dalam seluruh aspek kehidupan dan perilaku.[18]
Demikian pula ibnul qayyim menjelaskan dalam tafsirnya,
فتضمنت الآية أن هذه البراءة اقتضت أنا اقتسمنا خطتنا بيننا ، فأصابنا التوحيد والإيمان ، فهو نصيبنا وقسمنا الذي نختص به لا تشركونا فيه ، وأصابكم الشرك باللّه والكفر به ، فهو نصيبكم وقسمكم الذي تختصون به لا نشرككم فيه
Ayat ini mengandung pengertian bahwa ayat ini mengharuskan kita untuk memilih bagian di antara kita. Kami mendapatkan bagian tauhid dan iman. Inilah bagian kami yang khusus bagi kamu dan kalian tidak boleh bersekutu di dalamnya. Sementara kalian mendapatkan bagian syirik dan kufur kepada Allah. Itulah bagian kalian yang dikhususkan bagi kalian dan kami tidak akan bersekutu dengan kalian di dalamnya.[19]
Wallahu a’lam.
Sigit Suhandoyo
Catatan Pustaka
[1] Abul Hasan Ali bin Ahmad al Wahidiy: Asbab an Nuzul al Qur’an. Ad Damam : Daar al Ishlah, 1412 H, 467. Riwayat semakna juga dikemukakan oleh imam ats tsa’labi dalam al kasyfu wal bayan an tafsir al qur’an 10/315, imam al baghawi dalam ma’alim at tanzil fi tafsir al qur’an 5/317 & imam az zamakhsyari dalam al Kasyaf an haqaaiqi ghawamidu at tanzil 4/808. Ibnu Hajar mendhoifkannya dalam fathul bari 8/733 karena pada sanadnya terdapat abu khalaf abdullah bin isa.
[2] Abu Ja'far al Gharnaty: al Burhan fi Tanasubi Suwari al Qur'an. Al maghribi: wizaratu al awqaaf wa syu’uni islamiyyah. 1410 H, 381
[3] Jalaluddin as suyuthi: asrar at tartib al qur’an. Daar al fadhilah li annashr wa attauzi’, tt. 169
[4] Abu Isa at Tirmidzi: Sunan At Tirmidzi. Mesir: Syirkatu maktabatu wa mathba’atu musthofa al baby al halby, 1395 H, 5/166. At Tirmidzi mengomentari hadits ini gharib para ulama hadits tidak mengenalnya kecuali dari hadits yaman ibnul mughirah. Menurut Muhammad Nashirudin al Albani hadits ini shahih kecuali keutamaan al zalzalah.
[5] Abu Muhammad Abdul hamiid : al muntahob min musnad abdu bin hamid. Daar balansiyah linnashr wattauji’. 1423 H, 2/61. Sanadnya sangat lemah, padanya terdapat mundal bin ali ia seorang yang lemah, demikian pula ja’far bin abi ja’far al asyja’i. al bukhari mengatakan hadits ini mungkar.
[6] Abu Ya’la Ahmad bin Ali: Musnad Abi Ya’la. Damaskus: Daar al Ma’mun litturats. 1404 H, 13/414.
[7] Abu Dawud Sulaiman bin al Asy’ats: Sunan Abi Dawud. Beirut: Maktabah al ‘asyriyah. tt, 4/313. Menurut Muhammad nashirudin al albani hadits ini shahih.
[8] Imam al Qurthubi: al Jami’ li Ahkam al Qur’an, Qahirah: Daar al Kutub al Mishriyah, 1384 H, 20/225.
[9] Idem.
[10] Imaduddin Ibnu Katsir: Tafsir al Qur-an al Adzhim. Daar thoyyibah li an nashr wa at tauzi’, 1420 H, 8/507
[11] Sayyid Quthb: Fii Dzilal al Qur'an, Beirut: Daar Asy Syuruq. 1412 H. 6/3991.
[12] Ibnul Qayyim al Jauziyah: at tafsir al Qur’an al Karim. Beirut: Daar wa maktabah al Hilal, 1410 H, 595.
[13] Ibnu Jarir ath Thobari: Jami’ al Bayan an Ta’wil Ayi al Qur’an. Beirut: Muassasah ar Risalah, 1420 H, 24/623.
[14] Al Jami’ li ahkam al Qur’an, 20/226.
[15] ibid
[16] Tafsir al Qur'an al Adzhim, 8/507.
[17] Al jami’ li ahkam al Qur’an 20/229.
[18] Fi Dzilal al Qur’an, 6/3993.
[19] Tafsir al Qur'an al Karim, 595.