إِنَّ يَوْمَ الْفَصْلِ كَانَ مِيقَاتًا (17) يَوْمَ يُنْفَخُ فِي الصُّورِ فَتَأْتُونَ أَفْوَاجًا (18) وَفُتِحَتِ السَّمَاءُ فَكَانَتْ أَبْوَابًا (19) وَسُيِّرَتِ الْجِبَالُ فَكَانَتْ سَرَابًا (20)
(17)Sesungguhnya Hari Keputusan adalah suatu waktu yang ditetapkan, (18) yaitu hari (yang pada waktu itu) ditiup sangkakala lalu kamu datang berkelompok-kelompok, (19) dan dibukalah langit, maka terdapatlah beberapa pintu, (20) dan dijalankanlah gunung-gunung maka menjadi fatamorganalah ia.
Hari Keputusan yang Ditetapkan Menurut Mahaguru Susatera dari Abad 5 Hijriah, Ibnu Sidah, kata (الْفَصْلِ) al-fashl adalah (الحاجزُ بين الشيئين) yaitu pemisah antara dua hal (al-Muhkam wal-Muhith al-A’dham 8/329). Sehingga jika dikaitkan dengan kajian pada awal surat, dapatlah dikatakan bahwa (يَوْمَ الْفَصْلِ) adalah hari yang memisahkan dua belah pihak yang berselisih, tentang kebenaran hari berbangkit. Orang-orang yang mengimani hari berbangkit akan bahagia dan orang-orang yang mengingkarinya akan sengsara.
Penulis Lisan al-Arab mengutip pendapat an-Nakha’i, bahwa al-Fashl adalah (الْقَضَاءُ بَيْنَ الْحَقِّ وَالْبَاطِلِ) yaitu keputusan antara kebenaran dan kebathilan (Lisan al-Arab 11/521). Pengertian secara kebahasaan ini menjadi dasar penafsiran sebagian besar penafsir. Sebagaimana dikemukakan Mahaguru Tafsir, Abu Ja’far dari Thabaristan. Disebut (يَوْمَ الْفَصْلِ), karena pada hari itu Allah memutuskan perkara seluruh manusia, berdasarkan amal perbuatan mereka (Jami’ al-Bayan 24/157). Semuanya akan menerima apa yang Allah janjikan, pahala atau siksa, kebahagiaan atau kesengsaraan.
Adapun kata (مِيقَاتًا) miqata, berasal dari kata (وقت) waqt, yang menurut Ibnu Sidah berarti (الْمِقْدَار من الدَّهْر) yaitu ukuran dari masa. Waktu lebih banyak yang terpakai dimasa lampau dan akan ditempuh dimasa depan (al-Muhkam wal-Muhith al-A’dham 6/542). Para penafsir mengartikan kata miqata dengan batas akhir dari waktu. Sebagaimana dikemukakan oleh mujtahid kenamaan dari Yaman, Muhammad Ali Asy-Syaukani. Menurutnya miqata adalah batas akhir keberlangsungan kehidupan dunia. Miqata dapat pula diartikan sebagai batas akhir perjalanan waktu makhluk hidup. (Fath al-Qadir 5/441)
Hari Keputusan itu ialah suatu hari yang waktunya telah ditetapkan, tidak dikurangi dan tidak ditambah dan tidak ada yang mengetahui kapan terjadinya, selain Allah. Sekalipun orang-orang kafir itu mendustakannya,
وَيَقُولُونَ مَتى هذَا الْوَعْدُ إِنْ كُنْتُمْ صادِقِينَ (29) قُلْ لَكُمْ مِيعادُ يَوْمٍ لَا تَسْتَأْخِرُونَ عَنْهُ ساعَةً وَلا تَسْتَقْدِمُونَ (30)
(29)Dan mereka berkata: "Kapankah (datangnya) janji ini, jika kamu adalah orang-orang yang benar?". (30) Katakanlah: "Bagimu ada hari yang telah dijanjikan (hari kiamat) yang tiada dapat kamu minta mundur daripadanya barang sesaat pun dan tidak (pula) kamu dapat meminta supaya diajukan". (al-Ahzab 29-30)
Peniupan sangkakala dan manusia datang berkelompok-kelompok Menurut Asy-Syaukani, peniupan sangkakala yang dimaksud pada ayat ini adalah peniupan yang kedua (Fath al-Qadir 5/441). Keterangan tentang berulangnya peniupan sangkakala sebanyak 2 kali terdapat dalam surat Az-Zumar ayat 68:
وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَصَعِقَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ إِلَّا مَنْ شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ نُفِخَ فِيهِ أُخْرَى فَإِذَا هُمْ قِيَامٌ يَنْظُرُونَ
Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing).
Saat peniupan yang kedua ini, seluruh manusia akan dibangkitkan dan menjadi berkelompok-kelompok. Ada yang berpendapat bahwa manusia akan dikelompokkan ummat perummat dengan imam mereka, sebagaimana surat al-Isra ayat 71. Namun ada juga yang berpendapat lain. Pakar Tafsir Syamsuddin al-Qurthubi menuliskan sebuah riwayat dari Ibnu Mardawaih tentang pertanyaan Mu’adz bin Jabal kepada Rasulullah saw, bahwa manusia berkelompok berdasarkan amal mereka di dunia, ada kelompok yang seperti babi, ada yang seperti kera, dll (al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an 19/175-176)
Langit dibuka dan terlihatlah pintu-pintu. Menurut Mahaguru Tafsir dari Tabaristan, maksud langit dibuka adalah dan terbelah, retak-retak, sehingga membentuk jalan-jalan. (Jami’ al-Bayan 24/158). Jika merujuk kepada surat al-Furqan ayat 25, maka pintu-pintu itulah yang dilalui oleh para malaikat yang turun.
وَيَوْمَ تَشَقَّقُ السَّمَاءُ بِالْغَمَامِ وَنُزِّلَ الْمَلَائِكَةُ تَنْزِيلًا
Dan (ingatlah) hari (ketika) langit pecah belah mengeluarkan kabut putih dan diturunkanlah malaikat bergelombang-gelombang.
Buya Hamka mengemukakan bahwa keadaan terbelahnya langit belum dapat diketahui oleh manusia, sebagaimana halnya lapisan-lapisan langit yang tujuh itupun belum dapat diketahui seperti apa batasannya (Tafsir al-Azhar 10/7857-8). Adapun penggunaan kata dibuka (dalam bentuk pasif) menurut Shihab menunjukkan betapa mudahnya hal semacam itu dilakukan oleh Allah ta’ala. (Tafsir al-Misbah 15/15)
Gunung-gunung dijalankan dan menjadi fatamorgana Menurut Asy-Sya’rawi, penggunaan kata gunung terdapat sebanyak 29 tempat dalam Al-Qur’an. 11 diantaranya membicarakan keadaan gunung pada hari kiamat (Tafsir Asy-Sya’rawi 15/41). Jika merujuk pada Tafsir Fath al-Qadir, maka akan kita dapati penjelasan Asy-Syaukani sebagai berikut: Gunung itu dibenturkan dengan bumi dalam sekali benturan. Menjadi butiran debu yang tertiup angin dan jadilah ia fatamorgana. (Fath al-Qadir 5/442)
Sesungguhnya Hari Keputusan adalah suatu waktu yang telah ditetapkan Allah ta’ala. Jika Allah memberikan gambaran tentang guncangan dahsyat yang menimpa alam, maka setelah guncangan dahsyat tersebut berakhir, kelompok ayat berikutnya membahas tentang pemberian balasan. wallahu a'lam