Sigit Suhandoyo. Bersalam-salaman seusai shalat berjama’ah merupakan salah satu tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat Muslim Indonesia. Biasanya dilakukan seusai sholat dan wirid berjama’ah. Seluruh jama’ah berdiri untuk bersalam-salaman diiringi lantunan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam istilah fiqih bersalaman disebut dengan (المُصَافَحَةُ), dalam bukunya al-Nihayatu Fi Gharib al-Hadits, Ibnu al-Atsir (w 606 H) mengemukakan pengertian (المُصَافَحَةُ) dalam hadits (المُصَافَحَة عِنْدَ اللِّقاء), yaitu:
مُفَاعَلَةٌ مِنْ إِلْصَاقِ صَفْحِ الْكَفِّ بِالْكَفِّ وَإِقْبَال الْوَجْهِ عَلَى الْوَجْهِ.(1)
Saling menempelkan (menggenggam) telapak tangan dengan telapak tangan serta saling menatapkan wajah.
Tradisi bersalaman-salaman seusai shalat berjama’ah ini merupakan suatu tradisi yang baik dan memiliki argumen yang kuat dalam agama (dalam hal ini bersalaman dengan yang diperbolehkan, bukan dengan lawan jenis yang diharamkan). Dengan merujuk kepada hadits-hadits Nabi saw, kita akan membahas hal ini dalam 2 bagian.
Pertama, Tradisi dan Keutamaan Bersalaman Tangan
Bersalaman tangan merupakan tradisi yang biasa dilakukan oleh para sahabat Nabi saw, sebagaimana pertanyaan salah satu tabi’in kepada sahabat Nabi saw berikut,
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَاصِمٍ، حَدَّثَنَا هَمَّامٌ، عَنْ قَتَادَةَ، قَالَ: قُلْتُ لِأَنَسٍ: أَكَانَتِ المُصَافَحَةُ فِي أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: «نَعَمْ»(2)
Artinya, dari Qatadah aku bertanya kepada Anas bin Malik ra, apakah para sahabat Nabi saw saling bersalaman? Anas menjawab, iya.
Selain tradisi para sahabat, bersalaman juga menunjukkah sempurnanya penghormatan seorang Muslim kepada saudaranya. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam al-Tirmidzi (w 279 H), dengan sanad yang menurutnya lemah dari Abu Umamah secara marfu’,
تَمَامُ تَحِيَّتِكُمْ بَيْنَكُمُ المُصَافَحَةُ.(3)
Kesempurnaan ucapan penghormatan (salam) diantara kalian adalah dengan bersalaman tangan.
Bersalaman tangan juga merupakan amalan mulia yang dapat menghapus kesalahan. Rasulullah saw mengatakan bahwa Allah mengampuni dua orang muslin yang bersalaman tangan. Hal ini dapat dirujuk kepada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud (w 275 H) dari al-Bara,
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ، وَابْنُ نُمَيْرٍ عَنِ الْأَجْلَحِ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الْبَرَاءِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ، فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا»(4)
Artinya, tidaklah dua orang Muslim bertemu lalu berjabat tangan melainkan keduanya pasti diampuni sebelum mereka berpisah.
Hadits berikutnya tentang keutamaan bersalaman tangan adalah, bahwa hal tersebut pernah dicontohkan oleh para sahabat yang menyalami dan mencium tangan Nabi saw seusai melaksanakan shalat. Hal ini dapat dirujuk kepada hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (w 256 H) dari Abu Juhaifah
حَدَّثَنَا الحَسَنُ بْنُ مَنْصُورٍ أَبُو عَلِيٍّ، حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مُحَمَّدٍ الأَعْوَرُ، بِالْمَصِّيصَةِ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنِ الحَكَمِ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا جُحَيْفَةَ، قَالَ: «خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالهَاجِرَةِ إِلَى البَطْحَاءِ، فَتَوَضَّأَ ثُمَّ صَلَّى الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ، وَالعَصْرَ رَكْعَتَيْنِ، وَبَيْنَ يَدَيْهِ عَنَزَةٌ» قَالَ شُعْبَةُ وَزَادَ فِيهِ عَوْنٌ، عَنْ أَبِيهِ أَبِي جُحَيْفَةَ، قَالَ: «كَانَ يَمُرُّ مِنْ وَرَائِهَا المَرْأَةُ، وَقَامَ النَّاسُ فَجَعَلُوا يَأْخُذُونَ يَدَيْهِ فَيَمْسَحُونَ بِهَا وُجُوهَهُمْ، قَالَ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ فَوَضَعْتُهَا عَلَى وَجْهِي فَإِذَا هِيَ أَبْرَدُ مِنَ الثَّلْجِ وَأَطْيَبُ رَائِحَةً مِنَ المِسْكِ»(5)
Dari Abu Juhaifah, ia berkata: bahwa Rasulullah saw keluar pada siang hari yang sangat panas menuju Batha, kemudian ia berwudhu, shalat zuhur 2 raka’at dan ashar 2 raka’at dan dihadapan beliau ada tongkat. Syu’bah berkata dan Aun menambahkan periwayatan yang diterima dari ayahnya Abu Juhaifah. Ia berkata para wanita berlalu di belakang tongkat itu, Kemudian orang-orang serentak bangun dan memegang tangan nabi lalu meletakkan tangan Beliau ke wajah mereka. Saya (abu Juhaifah) juga melakukannya. Ternyata tangan beliau lebih sejuk daripada salju dan lebih harum dari minyak misik.
Hadits di atas menceritakan bagaimana Abu Juhafah dan para sahabat bergegas menyalami dan mencium tangan Nabi Muhammad saw, seusai mengerjakan shalat berjama’ah dzuhur dan ashar. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi bersalaman sudah pernah dipraktekkan pada zaman Nabi saw.
Pakar hadits Ibnu Bathal (w 449 H) memberikan penjelasan tentang hadits ini sebagai berikut:
المصافحة حسنة عند عامة العلماء، وقد استحبها مالك بعد كراهة، وهى مما تنبت الود وتؤد المحبة. وقد قال أنس: إن المصافحة كانت فى أصحاب رسول الله، وهم الحجة والقدوة الذين يلزم اتباعهم، وقد ورد فى المصافحة أثار حسان.(6)
Menurut pendapat umum para ulama, bersalaman tangan merupakan suatu bentuk kebajikan. Imam Malik berpendapat bahwa hal tersebut adalah hal yang disukai, setelah sebelumnya memakruhkan. Bersalaman tangan menumbuhkan persahabatan dan rasa cinta. Sebagaimana telah dikatakan oleh Anas ra, bahwa para sahabat Rasul saling bersalaman tangan. Perbuatan mereka merupakan argumen, teladan yang harus diikuti. Bersalaman tangan merupakan atsar yang baik.
Kedua, Hukum Bersalaman Seusai Shalat Berjama’ah
Para ulama mazhab fiqih berbeda pendapat tentang hukum bersalaman tangan seusai shalat berjama’ah. Ada yang mengatakannya mustahab (dicintai), ada yang membolehkan, dan ada pula yang melarangnya.
Ibnu Hajar al-Asqalani (w 852 H) dari kalangan ulama Syafi’iyyah menuliskan dalam Fath al-Bari, bahwa Imam al-Nawawi mengutip pendapat Ibnu ‘Abdul Salam bahwa mengkhususkan waktu bersalaman seusai shalat subuh dan ashar merupakan bid’ah yang dibolehkan.(7) Selanjutnya Ibnu Hajar mengutip pendapat Imam al-Nawawi (w 676 H),
وَأَصْلُ الْمُصَافَحَةِ سُنَّةٌ وَكَوْنُهُمْ حَافَظُوا عَلَيْهَا فِي بَعْضِ الْأَحْوَالِ لَا يُخْرِجُ ذَلِكَ عَن أصل السّنة.(8)
Hukum asal jabat tangan adalah sunah, dan kebiasaan mereka melakukannya dalam sebagian kondisi (termasuk seusai sholat) tidak mengeluarkannya dari hukum asalnya (yaitu sunah).
Dari kalangan ulama Hanafiyah, Mula Khasru (w 885 H), menguatkan pendapat bahwa bersalaman tangan seusai shalat tidaklah mengapa dan bahkan hal tersebut adalah mandub (sunah).(9)
Ulama dari kalangan Hanafiyah lainnya, Ibnu ‘Abidin (w 1252 H) mengemukakan pendapat yang serupa,
أَنَّ الْمُصَافَحَةَ مُسْتَحَبَّةٌ عِنْدَ كُلِّ لِقَاءٍ، وَأَمَّا مَا اعْتَادَهُ النَّاسُ مِنْ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ صَلَاةِ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ، فَلَا أَصْلَ لَهُ فِي الشَّرْعِ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ وَلَكِنْ لَا بَأْسَ بِهِ فَإِنَّ أَصْلَ الْمُصَافَحَةِ سُنَّةٌ وَكَوْنُهُمْ حَافَظُوا عَلَيْهَا فِي بَعْضِ الْأَحْوَالِ.(10)
Bersalaman tangan merupakan hal yang disukai dilakukan dalam setiap pertemuan. Adapun kebiasaan masyarakat mengkhususkan bersalaman tangan seusai sholat subuh dan ashar, adalah perkara yang tidak ada dasarnya dalam syari’at. Akan tetapi hal tersebut tidak mengapa, karena hukum asal bersalaman tangan adalah sunnah, sehingga mereka menjaga hal tersebut (bersalaman tangan) dalam berbagai keadaan.
Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Ibnu al-Hajj (w 737 H), seorang ulama dari kalangan ulama Malikiyah,
وَمَوْضِعُ الْمُصَافَحَةِ فِي الشَّرْعِ إنَّمَا هُوَ عِنْدَ لِقَاءِ الْمُسْلِمِ لِأَخِيهِ لَا فِي أَدْبَارِ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ، وَذَلِكَ كُلُّهُ مِنْ الْبِدَعِ فَحَيْثُ وَضَعَهَا الشَّرْعُ نَضَعُهَا فَيُنْهَى عَنْ ذَلِكَ.(11)
Berjabat tangan dalam hukum Islam hanya ketika seorang Muslim bertemu saudaranya, bukan setelah shalat 5 waktu berakhir. Dan semua itu dari bid'ah, apapun yang ditetapkan syariah kami menetapkannya, maka dari itu kami melarang hal tersebut dilakukan.
Dari berbagai pendapat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pendapat para ulama tentang hukum bersalaman seusai sholat, masing-masing memiliki argumen yang dapat dipertanggungjawabkan. Hendaknya sesama Muslim menghargai perbedaan pendapat para ulama tersebut. Meski demikian, menurut kami memilih pendapat mayoritas ulama yang membolehkannya adalah lebih baik. Wallahu a’lam bishowab.
Catatan Kaki
- Majiduddin Abu Sa’adat Ibn al-Atsir, al-Nihayatu Fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyah, 1979), juz 3, hlm 43.
- Muhammad bin Ismail al-Bukhari, shahih al-Bukhari, (Riyadh: Dar Thouq al-Najah, cet pertama 1422 H), Juz 8, hlm 59 hadits no 6263.
- Muhammad bin Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Mesir: Penerbit Musthafa al-Baabi al-Halabi, cet kedua 1975), Juz 5, hlm 76, hadits no 2731.
- Abu Dawud al-Sijjistani, Sunan Abu Dawud, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyah, tth), Juz 4, hlm 354, hadits no 5212.
- Muhammad bin Ismail al-Bukhari, shahih al-Bukhari, (Riyadh: Dar Thouq al-Najah, cet pertama 1422 H), Juz 4, hlm 188 hadits no 3553
- Ibnu Bathal, Syarh Shahih al-Bukhari, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, cet kedua 2003), Juz 6, hlm 44
- Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, (Beirut: Dar al-ma’rifah, 1379 H), Juz 11, hlm 55.
- Ibid.
- Mula Khasru, Dhurar al-Hukkam Syarh Ghurar al-Ahkam, (Cairo: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, tth) Juz 1, hlm 318
- Ibnu ‘Abidin al-Hanafi, Radd al-Muhtar wa Dar al-mukhtar, (Beirut: Dar al-fikr, cet kedua 1412 H), Juz 6, hlm 381
- Ibnu al-Hajj al-Maliki, al-Madkhal li Ibn al-Hajj, (Dar al-turats, tth) Juz 2, hlm 219.