Sigit Suhandoyo. Da’wah yang benar adalah aktifitas menyeru manusia kepada Allah ta’ala. Allah menjadi pusat atas aktifitas da’wah. Da’wah bukan seruan yang bersifat ananiyah, yakni da’wah demi kepentingan pribadi seorang da’i. Dakwah bukan pula seruan kepada firqah, yakni da’wah demi kepentingan kelompok dan golongan tertentu. Apalagi bersifat inhiraf, yakni da’wah demi kepentingan musuh-musuh Allah.
Selain keikhlasannya, dituntut pula dari para da’i kemurnian pemikirannya, akhlaqnya, ibadahnya, mu’amalahnya dan seluruh aktifitas kehidupannya ia murnikan sesuai dengan perintah Allah dan tuntunan Nabi-Nya. Dengan demikian dapat diharapkan seruan da’wah seorang da’i berjalan dengan benar. Sebagaimana makna yang terkandung dalam surat ali Imran ayat 52,
فَلَمَّا أَحَسَّ عِيسى مِنْهُمُ الْكُفْرَ قالَ مَنْ أَنْصارِي إِلَى اللَّهِ قالَ الْحَوارِيُّونَ نَحْنُ أَنْصارُ اللَّهِ آمَنَّا بِاللَّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
“Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Israel) berkatalah dia: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?" Para hawariyyun (sahabat-sahabat setia) menjawab: "Kami lah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri.”
Al-Qusyairī, seorang da’i dari kalangan ulama Naisabur abad ke 5 H, menafsirkan bahwa makna pertanyaan Nabi ‘Isa “من أنصارى إلى الله ليساعدونى على التجرد لحقّه والخلوص فى قصده؟” adalah siapakah diantara kalian yang akan menolongku menegakkan agama Allah dengan bertajarrud terhadap hak-hak Allah dan tujuan yang ikhlas karena Allah.(1) Pendapat semacam ini didukung pula oleh an-Nadawi. Menurutnya, diantara keutamaan para Nabi dan para da’i ilallah adalah “التجرد للدعوة والتفرغ لها” kemurnian da’wah dan kesungguhan mencurahkan tenaga, waktu dan fikirannya dalam da’wah.(2)
Dalam mu’jam bahasa Arab kata tajarrud dapat ditemukan dalam bab jarada. Menurut pakar bahasa Ibnu Manzhur kata jarada berarti “قشر” yaitu menguliti.(3) Tajarrud juga berarti “تعرّى” yaitu melepaskan pakaian. Sesuatu yang terbuka sehingga tampak jelas hal-hal yang sebelumnya disembunyikan juga dimaknai dengan tajarrud.(4) Seorang yang bertajarrud dalam suatu amal ibadah berarti ia mengerjakannya dengan seksama dan sungguh-sungguh.(5) Dalam sebuah riwayat tentang sifat-sifat Nabi saw digambarkan bahwa Rasulullah, “أَنْوَرَ الْمُتَجَرَّدِ مَوْصُولَ مَا بَيْنَ اللَّبَّةِ وَالسُّرَّةِ بِشَعْر”(6) menampakkan cahaya antara leher hingga kepalanya dengan rambut yang berombak. Al-Baghawi, seorang pakar tafsir dan hadits dari kalangan syafi’iyyah mengemukakan bahwa makna kata “أَنْوَرَ الْمُتَجَرَّدِ” adalah terpancar dari tubuhnya cahaya, pada bagian yang terbuka maupun ketika tersingkap pakaiannya.(7) Penggunaan teks tajarrud dalam hadits ini menjelaskan makna tajarrud sebagai kemurnian, cahaya yang terpancar itu memaknai kemurnian tubuh Nabi saw.
Penggunaan teks tajarrud juga terdapat dalam sebuah hadits tentang sifat hati manusia, yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu Sa’id, ra. Bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda,
الْقُلُوبُ أَرْبَعَةٌ: قَلْبٌ أَجْرَدُ فِيهِ مِثْلُ السِّرَاجِ يَزْهَرُ، وَقَلْبٌ أَغْلَفُ مَرْبُوطٌ عَلَى غِلَافِهِ، وَقَلْبٌ مَنْكُوسٌ، وَقَلْبٌ مُصْفَحٌ، فَأَمَّا الْقَلْبُ الْأَجْرَدُ: فَقَلْبُ الْمُؤْمِنِ سِرَاجُهُ فِيهِ نُورُهُ، وَأَمَّا الْقَلْبُ الْأَغْلَفُ: فَقَلْبُ الْكَافِرِ، وَأَمَّا الْقَلْبُ الْمَنْكُوسُ: فَقَلْبُ الْمُنَافِقِ عَرَفَ، ثُمَّ أَنْكَرَ، وَأَمَّا الْقَلْبُ الْمُصْفَحُ: فَقَلْبٌ فِيهِ إِيمَانٌ وَنِفَاقٌ، فَمَثَلُ الْإِيمَانِ فِيهِ كَمَثَلِ الْبَقْلَةِ يَمُدُّهَا الْمَاءُ الطَّيِّبُ، وَمَثَلُ النِّفَاقِ فِيهِ كَمَثَلِ الْقُرْحَةِ يَمُدُّهَا الْقَيْحُ وَالدَّمُ، فَأَيُّ الْمَدَّتَيْنِ غَلَبَتْ عَلَى الْأُخْرَى غَلَبَتْ عَلَيْهِ.(8)
“Hati itu ada empat macam: hati yang bersih ia seperti lentera yang bercahaya, hati yang tertutup yang terikat dengan tutupnya, hati yang sakit dan hati yang terbalik. Adapun hati yang bersih adalah hati orang beriman, ia seperti lentera yang bercahaya. Sedangkan hati yang tertutup adalah hatinya orang kafir. Hati yang sakit adalah hati orang munafik, ia mengetahui (kebenaran) tapi ingkar. Dan hati yang terbalik adala hati orang di dalamnya ada iman dan nifaq. Perumpamaan iman disini seperti tanah yang memberikan air bersih, sedangkan perumpamaan nifaq adalah seperti bisul didalamnya hanya nanah dan darah, maka yang paling kuat diantara keduanya akan mengalahkan yang lainnya”
Menurut al-makkī, hati orang beriman itu bersih karena dimurnikan dengan zuhud kepada dunia dan dimurnikan dari nafsu yang mengajak pada keburukan.(9) Tidak ada pada hatinya khianat dan dusta, sebagaimana kemurnian fitrah, padanya ada keimanan yang bercahaya.(10)
Dapat disimpulkan bahwa penggunaan kata tajarrud secara bahasa bisa dimaknai dengan kemurnian atau genuin. Sesuatu yang murni digambarkan dengan cahaya yang memancar karena menunjukkan keindahan. Pada fisik menunjukkan keaslian bentuk, sedang pada psikis menggambarkan ketulusan pada kebaikan. Orang yang bertajarrud adalah orang yang bekerja dengan teliti dan sungguh-sungguh karena menginginkan hasil pekerjaannya tidak bercela.
Salah seorang pemikir Muslim mengemukakan bahwa tajarrud adalah, “أن تتخلص لفكرتك مما سواها من المبادئ والأشخاص، لأنها أسمى الفكر وأجمعها و أعلاها”(11) membersihkan pemikiran dari pengaruh prinsip-prinsip dan orang lain, sebab ia adalah pemikiran yang paling utama, paling lengkap dan paling tinggi.
Dapat dikemukakan, secara istilah tajarrud dalam da’wah adalah tuntunan bagi para da’i untuk memurnikan aktifitas da’wah dari berbagai nafsu tercela. Membebaskan diri dari pengaruh-pengaruh berbagai aliran, organisasi maupun ideologi yang tidak sejalan atau bertentangan dengan syari’at Allah. Menegakkan segala perbuatan karena Allah ta’ala dan berdasarkan aturan Allah ta’ala. Serta mengkhususkan seluruh sumber daya yang dimiliki untuk secara sungguh-sungguh menda’wahkan agama Allah.
Meskipun dimaknai sebagai kemurnian, tajarrud bukanlah aktifitas yang bertentangan dengan fitrah manusia. Sebagaimana sebuah kisah yang terjadi pada zaman Nabi saw yang dituturkan oleh Anas bin Malik ra. Ketika salah satu dari tiga orang sahabat berniat untuk tidak tidur dimalam hari dengan sholat sepanjang malam. Yang lain berniat menjauhi wanita dan tidak menikah seumur hidupnya. Adapula yang berniat berpuasa dan takkan pernah berbuka. Maka Nabi saw bersabda kepada mereka,
أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنّي.(12)
“Demi Allah aku adalah orang yang paling takut dan paling bertaqwa kepada Allah diantara kalian, akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku sholat dan aku tidur dan aku menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku bukanlah golonganku”
Wallahu a’lam bishowwab
Catatan Kaki
- ‘Abdul Karim al-Qusayiri, Lathāif al-Isyarat, (Mesir: Haiah al-Mishriyah al-‘Ammah lil-Kitab, cet.ketiga, tth), Jilid 1, hlm 245.
- Abu al-Hasan an-Nadawi, Uridu an Atuhaditsa Ila al-Ikhwan, (Makalah Seminar, disampaikan di Cairo pada 9 Jumadil Akhir 1370 H), hlm 8.
- Ibnu Manzhur al-Anshari, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadr, cet. ketiga 1414 H), Jilid 3, hlm 115.
- Abu Bakar al-Anbarī, al-Zāhid fi Ma’ānī Kalimāt al-Nās, (Beirut: Muassasatu ar-Risalah, cet. Pertama 1412 H), Jilid 2, hlm 208.
- Zainuddin ar-Razy, Mukhtār ash-Shohāh, (Beirut: Maktabatu al-‘Ashriyah, cet. kelima 1420 H), hlm 56.
- Abū al-Qāsim ath-Thabrānī, al-Mu’jam al Kabir, (Cairo: Maktabah Ibnu Taimiyah, cet.ke2 1415 H), Jilid 22, hlm 155.
- Abu Muhammad al-Bagawi, Syarhu as-Sunnah, (Beirut: al-Maktab al-Islāmī, cet. kedua 1403 H), Jilid 13, hlm 278.
- Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, (Beirut: Muassasatu ar-Risalah, cet.pertama 1421 H), Jilid 17, hlm 208, no.11129. Menurut Syu’aib al-Arnauth hadits ini dhaif.
- Abu Thalib al-Makki, Qūt al-Qulūb Fi Mu’āmalati al-Mahbūb, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Cet. kedua 1426 H), Jilid 1, hlm 170-171.
- Abu Sa’adat Ibnu al-Atsir, an-Nihayatu Fi Garib al-Hadits wa al-Atsar, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1399 H), Jilid 1, hlm 256.
- Hasan al-Banna, Kumpulan Risalah Da’wah, (Jakarta: I’tishom, cet. kesepuluh, 2012), Jilid 1, hlm 313.
- Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Saudi Arabia: Dar Thuwaiq an-Najah, cet. pertama 1422 H), Jilid 7, hlm 2, hadits no 5063.