Melazimkan Istighfar



حَدَّثَنَا أَبُو اليَمَانِ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ: قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «وَاللَّهِ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي اليَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً»  (1

Menyampaikan kepada kami Abu al-Yaman, mengabarkan kepada kamu Syu’aib, dari al-Zuhri, ia berkata: Mengabarkan kepadaku Abu Salamah ibn Abdurrahan, ia Berkata: Abu Hurairah ra telah berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda, "Demi Allah, aku memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya lebih dari tujuh puluh kali dalam sehari.“


Para Perawi Hadits

al-Hakim bin Nafi‘ Abu al-Yaman. Masa hidupnya antara 138-220 H, tinggal di Suriah. Merupakan perawi yang tsiqah. Meriwayatkan hadits dari Shu'aib bin Abi Hamzah, Huraiz bin 'Utsman bin Jabir, dll. Meriwayatkan darinya, diantaranya adalah al-Bukhari, dll.

Shu'aib bin Abi Hamzah. Merupakan tabi’ al-Tabi’in yang tsiqah, tinggal di Suriah, ia wafat pada 162 H. meriwayatkan hadits dari: al-Zuhri, Abu al-Zanad, Muhammad bin al-Munkadir, Nafie', Hisham bin 'Urwa, dll. Meriwayatkan darinya: al-Walid bin Muslim al-Quraishi, al-Hakim bin Nafi', Abu al-Yaman, 'Ali bin 'Ayyash, dll

Al Zuhri. merupakan tabi’in yang tsiqah, tinggal di Madinah dan Suriah, masa hidupnya antara 51-124 H. Meriwayatkan hadits dari : ibn Umar, Anas bin Malik, Nafid Jabir ibn 'Abdullah, Abu Salama bin Abdurrahman bin Auf. Meriwayatkan darinya: 'Ata' bin Abi Rabah, 'Umar bin ‘Abdul-‘Aziz, Ibn Juraij, Sufyan bin 'Uyaynah, Yazid bin Abi Habib, dll.  

Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf. Merupakan tabi’in yang tsiqah, tinggal di Madinah, wafat pada 94 H. Meriwayatkan hadits dari: Abu Hurairah, ibn Abbas, ibn Umar, 'Abdur Rahman Ibn 'Auf, 'Usman ibn 'Affaan, dll. Meriwayatkan darinya: 'Urwa h ibn Zubair, al-Zuhri, Muhammad bin Ibrahim bin al-Harith, dll.

Abu Hurairah. Adalah Abdurrahman ibn Sakhr, sahabat Nabi saw yang paling banyak meriwayatkan hadits. Tinggal di Yaman, Mekah dan Madinah, masa hidupnya antara 12 sebelum hijrah hingga 59 H. Meriwayatkan hadits dari: Rasulullah saw, Abu Bakr As-Siddiq, 'Umar ibn al-Khattab, Ubayy ibn Ka'b, Usamah ibn Zayd, 'Aisha bint Abi Bakr dll. Meriwayatkan darinya: ibn Abbas, ibn Umar, Anas bin Malik, Abu Salamah, dll


Penjelasan Hadits

a. Pengertian Taubat

Menurut Nuruddin al Qari taubat adalah,

وَالتَّوْبَةُ فِي الشَّرْعِ تَرْكُ الذَّنْبِ لِقُبْحِهِ، وَالنَّدَمُ عَلَى مَا فَرَطَ مِنْهُ، وَالْعَزِيمَةُ عَلَى تَرْكِ الْمُعَاوَدَةِ وَتَدَارُكِ مَا أَمْكَنَهُ أَنْ يَتَدَارَكَ مِنَ الْأَعْمَالِ بِالْإِعَادَةِ.(2)

Taubat menurut syari’at berarti meninggalkan dosa karena keburukannya, menyesali perbuatan yang lalai, dan bertekad untuk tidak mengulanginya serta memperbaiki kesalahan apa pun yang dapat diperbaiki. 


b. Taubat dan istighfar adalah wujud kerendah-hatian kepada Allah.

Ibnu Bathal mengatakan, hamba yang paling bersungguh-sungguh beribadah kepada Allah adalah para nabi, karena ilmu yang dianugerahkan Allah kepada mereka. Mereka senantiasa mengucap syukur kepada Tuhannya, mengakui kekurangan-Nya, & tidak membanggakan amalnya. Taubat & istighfar adalah wujud kepatuhan & kerendah-hatian mereka pada Allah. (3)


c. Taubat dan istighfar merupakan jalan mendekatkan diri kepada Allah.

Nuruddin al-Qari mengemukakan 

الِاسْتِغْفَارُ بِاللِّسَانِ، وَالتَّوْبَةُ بِالْجَنَانِ، وَهِيَ الرُّجُوعُ عَنِ الْمَعْصِيَةِ إِلَى الطَّاعَةِ، أَوْ مِنَ الْغَفْلَةِ إِلَى الذِّكْرِ، وَمِنَ الْغَيْبَةِ إِلَى الْحُضُورِ، ثُمَّ هِيَ أَهَمُّ مَقَاصِدِ الشَّرِيعَةِ، وَأَوَّلُ مَقَامَاتِ سَالِكِي الْآخِرَةِ (4) 

Memohon ampun dengan lisan, dan bertaubat dengan hati, yaitu mengubah kemaksiatan menjadi ketaatan, kelalaian menjadi zikir, dan dari kealpaan menjadi keberadaan. Inilah tujuan hukum syariat yang penting, dan maqam pertama bagi mereka yang mencari akhirat.

Ibnu Rajab al-Hanbali mengemukakan,

فمن عجز عن مسابقة المحبين في ميدان مضمارهم فلا يعجز عن مشاركة المذنبين في استغفارهم (5)

Jika tak mampu berlomba dengan mereka para pecinta Allah dalam ibadah maka berlombalah dengan para pendosa dalam istighfar mereka


d. Istighfar adalah kebiasaan Nabi Muhammad saw 

Hamzah Muhammad Qasim mengemukakan, Hendaknya setiap Mukmin mencintai untuk beristighfar, dalam kondisi baik maupun buruk. Karena Rasulullah saw, yang merupakan imam orang-orang bertaqwa, banyak beristighfar.

Nabi Muhammad saw banyak beristighfar, padahal ia telah diampuni. Hal ini dilakukan untuk mendidik umatnya, meninggikan derajatnya, memperbanyak amal shalehnya, dan memenuhi kebutuhannya. Karena istighfar adalah zikir, ibadah, dan mendekatkan diri kepada Allah. Istighfar digunakan untuk berbagai tujuan, mengangkkat kesusahan, menghilangkan kekhawatiran, menambah rezeki, dan sebagainya. (6)


Hasbunallah wa ni'mal wakil
Sigit Suhandoyo


Catatan Kaki

(1). Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Riyadh: Dar Thuqa al-Najah), vol 8, hlm 67, hadits no 6307.
(2). Abu al-Hasan Nuruddin al-Qari, Mirqat al-Mafatih, (Beirut: Dar al-Fikr, 2002), Vol 4, hlm 1609.
(3). Ibnu Bathaal, Syarh Shahih al-Bukhari li Ibn Bathaal, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 2003), Vol 10, hlm 77.
(4). Abu al-Hasan Nuruddin al-Qari, Mirqat al-Mafatih, (Beirut: Dar al-Fikr, 2002), Vol 4, hlm 1609.
(5). Ibnu Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2004), hlm 45.
(6). Hamzah Muhammad Qasim, Manar al-Qari, (Damaskus: Maktaba Dar al-Bayan, 1990),  vol 5, hlm 272.


 


Definisi Zakat



Menurut pakar susastra Ibnu Faris (W.1004) Zakat  berasal dari kata zakā (زكا). Kata ini memiliki arti berkembang dan bertambah. Selain itu kata zakat juga berarti bersih.  Masyarakat Muslim meyakini bahwa zakat akan mengembangkan dan menambahkan harta di dunia dan pahala di akhirat. Zakat juga membersihkan harta dan jiwa orang yang menunaikannya. 


Zakat dalam pengertian syari’at menunjukkan suatu kewajiban yang harus dikeluarkan atas harta  seseorang untuk tujuan yang ditetapkan. Menurut al-Maydānī (W.1881), seorang faqih dari kalangan Hanafiyah, zakat adalah,

تمليك جزء مخصوص من مال مخصوص لشخص مخصوث لله تعالى. 

yaitu, pemberian hak kepemilikan atas sebagian harta tertentu dari harta tertentu kepada orang-orang tertentu yang dtetapkan, demi mencari ridho Allah Ta’ala.


Dari kalangan Malikiyah mengemukakan bahwa zakat adalah,

إخْرَاجُ جُزْءٍ مَخْصُوصٍ مِنْ مَالٍ مَخْصُوصٍ بَلَغَ نِصَابًا لِمُسْتَحِقِّهِ إنْ تَمَّ الْمِلْكُ وَحَوْلُ غَيْرِ مَعْدِنٍ وَحَرْثٍ. 

Yaitu, mengeluarkan sebagian tertentu dari harta tertentu yang telah mencapai nishab kepada orang yang  berhak menerimanya. Harta merupakan kepemilikan sempurna, genap satu tahun hijriah, selain barang tambang dan tanaman. 


Menurut al Māwardī, salah seorang fuqaha dari kalangan Syafi’iyyah, zakat adalah

اسْمٌ صَرِيحٌ لِأَخْذِ شَيْءٍ مَخْصُوصٍ، مِنْ مال مخصوص، على أوصافه مَخْصُوصَةٍ لِطَائِفَةٍ مَخْصُوصَةٍ. 

Penamaan yang jelas untuk mengambil sesuatu yang spesifik, dari harta tertentu, sesuai sifatnya, khusus untuk golongan tertentu.


Menurut Ibnu Qudamah, fuqaha dari kalangan Hanabilah zakat adalah

حَقٌّ يَجِبُ فِي الْمَالِ، فَعِنْدَ إطْلَاقِ لَفْظِهَا فِي مَوَارِدِ الشَّرِيعَةِ يَنْصَرِفُ إلَى ذَلِكَ. 

Ini adalah hak wajib atas uang, dan jika digunakan sebagai kata dalam sumber-sumber syariah, maka merujuk pada hal tersebut.

KAJIAN HADITS TENTANG UPAH


Upah dalam bahasa Arab disebut dengan kata (إجارة) yang berarti menjual manfaat. Kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa ijarah adalah “عقد على المنافع بعوض” (1)   yaitu akad atas suatu kemanfaatan yang disertai dengan imbalan. Menurut kalangan Syafi’iyyah ijarah adalah “عقد على منفعة مقصودة معلومة مباحة قابلة للبذل والإباحة بعوض معلوم”(2)  yaitu akad atas suatu manfaat yang mengandung maksud tertentu, mubah, serta dapat didermakan dan kebolehan dengan pengganti tertentu. Adapun menurut pendapat kalangan Malikiyah dan Hanabilah ijarah adalah “تمليك منافع شيء مباحة مدة معلومة بعوض”(3)  yaitu memberikan hak kepemilikan manfaat sesuatu yang mubah dalam masa tertentu yang disertai dengan imbalan


Kajian terhadap hadits-hadits Nabi Muhammad saw tentang upah, menunjukkan adanya ketentuan-ketentuan yang dapat menjadi acuan hukum bagi pembayaran upah. Sebagai berikut:


a. Upah yang dibayarkan merupakan sesuatu disepakati antara pemberi dan penerima upah.

Diriwayatkan oleh Abdul Razaq al-Shan’ani, Dari Abu Sa’id al-Khudry ra berkata, Rasulullah saw bersabda:

مَنِ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَلْيُسَمِّ لَهُ إِجَارَتَه.(4)  

Barang siapa yang mempekerjakan pekerja, maka hendaklah ia menentukan upahnya.


Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudry ra dengan teks yang berbeda, bahwa Rasulullah saw bersabda;

مَنِ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا، فَلْيُعْلِمْهُ أَجْرَهُ.(5) 

Barang siapa yang memperkerjakan pekerja, maka hendaklah ia memberitahukan upahnya.


Imam Syafi’i dan Abu Yusuf berpendapat bahwa hadits tersebut di atas menunjukkan wajibnya menjelaskan ukuran atau kadar atas upah yang diberikan.(6)  Pendapat serupa dikemukakan pula oleh al-Shan’ani, bahwa hadits ini merupakan dalil wajibnya menentukan upah atas suatu pekerjaan yang dilakukan. Hal ini agar tidak menimbulkan ketidakjelasan yang bisa mengakibatkan perselisihan dan permusuhan.(7)  Al-Kasani dari fuqaha Hanafiyah mengemukakan bahwa mengetahui upah tidak sah kecuali dengan isyarat dan penentuan, maupun dengan penjelasan, terkait jenis, sifat, macam dan kadar dari upah yang dimaksud.(8)  Ibnu Qudamah dari fuqaha Hanabilah mengermukakan bahwa Upah yang maklum atau diketahui bersama merupakan syarat dari sahnya akad.(9)  


Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa upah yang dibayarkan kepada pekerja haruslah diketahui bersama secara jelas kadarnya. Jika upah bukan berupa uang, maka jenis, sifat dan macamnya harus jelas. Upah yang jelas dan disepakati mencegah terjadinya perselisihan dan permusuhan antara kedua belah pihak.


Mekanisme penetapan upah dalam konsep Islam terdapat tiga alternatif sebagai berikut: a. Mekanisme Musyawarah. Musyawarah merupakan pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah bersama. Maka upah kerja ditetapkan atas dasar keputusan bersama yang telah disepakati oleh pengusaha dan pekerja dengan syarat adanya keadilan dan kerelaan antara dua pihak yang bertransaksi. b. Mekanisme pasar. Mekanisme ini menetapkan bahwa upah yang akan diterima pekerja disesuaikan dengan upah yang berlaku di pasaran, yaitu didasarkan pada penawaran dan permintaan tenaga kerja, serta nilai kontribusi tenaga kerja terhadap produktifitas. c. Ditentukan oleh Negara. Negara (pemerintah) memainkan peranan penting dalam perekonomian, yaitu menjamin perekonomian berjalan sesuai dengan syari’ah dan menjamin agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak asasi.(10) 


b. Upah dibayarkan dalam waktu yang disepakati.

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Umar ra, Rasulullah saw bersabda:

أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ، قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ.(11) 

Bayarlah upah pekerja sebelum keringatnya mengering.


Menurut al Bassam, hadits tersebut diatas menunjukkan wajibnya menyegerakan untuk menunaikan upah pekerja setelah pekerjaan tuntas dilakukan. Penggunaan teks secara hiperbola dimaksudkan agar isi pesan menjadi penting dan diperhatikan.(12)  Imam Malik mengutip perkatan Ibnu Wahb terkait penjelasan hadits ini.

مَنْ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَلْيَسْتَأْجِرْهُ بِأَجْرٍ مَعْلُومٍ إلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ.(13) 

Barang siapa yang mempekerjakan pekerja, maka bayarkanlah besaran upah yang diketahui secara umum dalam waktu yang difahami secara umum.


Menurut al-Munawi, upah adalah harga kerja dari fisik dan psikis pekerja. Jika pekerja telah menyelesaikan pekerjaannya, maka ia berhak mendapatkan upahnya dengan segera. Oleh sebab itu haram menunda-nundanya bagi orang yang mampu membayarnya dengan segera.(14)  


Seorang pekerja hanya berhak atas upah, jika ia telah menunaikan pekerjaan dengan semestinya dan sesuai atas syarat-syarat yang mereka sepakati bersama. Terkait waktu dan rincian pekerjaan yang harus dipenuhi. Jika ia membolos kerja tanpa alasan yang benar, tidak menunaikan pekerjaan sebagaimana mestinya, maka sepatutnya hal tersebut di perhitungkan pula sebagaimana mestinya.(15) 


Adapun tetang penentuan upah, rujukannya adalah kesepakatan antara kedua belah pihak. Namun tidak dibenarkan bagi pihak yang kuat dalam akad untuk mengeksploitasi pihak lain yang lebih lemah kedudukannya. Tidak dibenarkan memberikan upah yang sangat minim hingga tidak dapat memenuhi kebutuhannya dan juga tidak dibenarkan pekerja menuntut upah di atas haknya. Kewajiban yang ditentukan oleh Islam adalah hendaknya setiap pihak diberikan haknya secara baik dan negara harus ikut campur mengayomi pihak yang lemah dan menegakkan keadilan. Termasuk akhlak mulia dalam perkara ini adalah, memberikan tambahan kepada buruh dengan sesuatu di luar upahnya sebagai hadiah, khususnya jika ia menunaikan pekerjaannya dengan baik.(16) 


Catatan Pustaka

  1. Fakhruddin al-Zayla’iy al-Hanafi, Tabyin al-Haqaiq, (Cairo: al-Mathba’atu al-Kubra al-Amiriyah, Cet pertama 1313 H), Juz 5, hlm 105
  2. Al-Khatib al-Syarbini al-Syafi’iy, Mughni al-Muhtaj, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah, cet pertama, 1415 H), Juz 2, hlm 332
  3. Muhammad bin Ahmad al-Dasuqi al-Maliki, Hasiyatu al-Dasuqi ‘Ala Al-Syarh al-Kabir, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Juz 4, hlm 2. Lihat juga Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali, al-Mughni, (Cairo: Maktabah al-al-Qahirah, tth), Juz 5, hlm 398.
  4. Abdul Razaq al-Shan’ani, al-Mushannaf, (Beirut: al-Maktab al-Islami, Cetakan ke 2 1403 H), Juz 8, hlm 235, hadits no 15024.
  5. Abu Bakar Ibn Abi Syaibah ra, al-Kitab al-Mushannaf fil Ahadits wal Atsar, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, cetakan pertama 1409 H), Juz 4, hlm 366, hadits no 21109. Dalam riwayat lain dari Utsman ra teksnya (فَلْيُبَيِّنْ لَهُ أَجْرَهُ) hendaklah ia menjelaskan upahnya, Ibid, hadits no 21110.
  6. Muhammad bin Ali al-Syaukani, Nail al-Authar, (Mesir: Dar al-Hadits, Cetakan pertama 1993), Juz 5, hlm 349.
  7. Muhammad bin Isma’il al-Shan’ani, Subul al-Salam, (Mesir: Dar al-Hadits, tth), Juz 2, hlm 118.
  8. Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani al-Hanafi, Badai’u al-Shana’i, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cetakan ke 2, 1406 H), Juz 4, hlm 193.
  9. Ibnu Qudamah al-Maqdisi al Hanbali, al-Mugni, (Mesir: Maktabah al-Qahirah, tth), Juz 5, hlm 327.
  10. Rizki Fadli dan Zainuddin, Tinjauan Fikih Ekonomi Terhadap Pengupahan Bajak Sawah, Jurnal Hukum Ekonomi Syari’ah IAIN Batu Sangkar, Volume 3 no 2, tahun 2020..
  11. Ibnu Majah al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar Ihyau Turats al-‘Arabi,tth), Juz 2, hlm 817, hadits no 2443.
  12. Abdurrahman bin Abdullah al-Bassam, Taudhikhul Ahkam Min Bulugh al-Maram (edisi terjemah), (Jakarta: Penerbit Buku Islam Rahmatan, tth) Jilid 5, hlm 73-74.
  13. Malik bin Anas, al-Mudawwanah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cetakan pertama,1994), Juz 3, hlm 420.
  14. Al-Munawi, Faidhul Qadir, Juz 1, hlm 562.
  15. Yusuf al-Qaradhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, (Jakarta: Rabbani Press, 2001), hlm 405.
  16. Ibid.