Sigit Suhandoyo. Kajian para penafsir al-Qur’an menunjukkan bahwa, citra tentang kesetaraan suami dan istri dalam hubungan pernikahan bersifat intertekstual, bertaut dari satu teks kepada teks lain, selalu bertumbuh dan mengalami pambaruan, meningkatkan kompleksitas dan terutama sekali membangun makna, membangun rasa.
Dalam praktiknya, menurut para penafsir al-Qur’an, pemaknaan ini tak serta merta dirumuskan oleh kemampuan manusia bernalar teoritis, namun lebih dari itu, membutuhkan hukum moral yang secara intrinsik berada dalam hati manusia. Sesuatu yang tak henti-hentinya membuat takjub para penafsir al-Qur’an.
Al-Qur’an menyampaikan sebuah informasi tentang kesetaraan hak suami dan istri secara umum dalam ayat 228 surat al Baqarah.
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan bagi mereka (istri) ada hak yang seimbang dengan kewajiban yang ada atas mereka (suami) dengan cara yang ma'ruf.
Sementara Penafsir al-Qur’an, menuliskan pandangan tentang lemahnya posisi wanita sebelum kedatangan Rasulullah saw. Maha Guru tafsir al-Thabari bahkan mengisahkan keterkejutan beberapa sahabat mulia tentang dukungan Rasulullah saw atas peran wanita dalam mengemukakan pendapat.
Pernikahan dalam Islam bukanlah akad perbudakan ataupun akad penyerahan kepemilikan, melainkan akad yang mengakibatkan timbulnya kesetaraan sesuai dengan maslahat umum bagi suami dan istri. Penggalan ayat tersebut diatas, segera saja memancing berbagai imajinasi aktif para Penafsir al-Qur’an, tentang visi ilahiyah dan sejarah kritis yang muncul dalam realitas.
Kesetaraan dalam pekerjaan. Menurut Shihab, meski penggalan ayat ini menunjukkan adanya kewajiban utama suami terkait nafkah, dan kewajiban utama istri terkait rumah tangga, namun tidak menafikan keduanya untuk saling membantu, juga dengan cara yang ma’ruf. Pakar tafsir kelahiran Rappang Sulawesi Selatan ini memandang, keluarga sebagai bentuk kerjasama dan interdependensi untuk mencapai tujuan bersama. Lebih lanjut ia mengemukakan beberapa riwayat tentang Rasulullah saw, membantu pekerjaan para istrinya. Demikian pula sebaliknya.
Meski dalam kondisi tertentu, istri juga diperbolehkan bekerja, menurut Wahbah Zuhaili suamilah yang diciptakan Allah dengan kesiapan untuk memikul beban, berjuang dan bekerja, dan ia diharuskan memberi nafkah kepada istri: membayar mahar dan mencukupi kebutuhan hidupnya.
Bagi suami, hal ini bukanlah bentuk ketidak adilan sosial, ini adalah proses penyucian hati untuk mengalahkan kepentingan diri sendiri, dan juga hasrat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Kesetaraan dalam Hubungan Seksual al-Bantani, penulis Tafsir Maroh Labid, mengemukakan bahwa maksud kesetaraan dalam hubungan seksual, adalah bahwa kenikmatan hubungan seks merupakan hak suami dan istri. Al-Ghazali bahkan mendahulukan tujuan hubungan seksual suami istri sebagai sarana bersenang-senang atas tujuan melakukan regenerasi.
Lebih lanjut hujjatul Islam ini menjelaskan tentang pentingnya suami melakukan pemanasan, sebelum berhubungan seksual. Beliau juga menganjurkan agar suami menahan orgasmenya, agar istripun mengalaminya. Bagi suami yang rendah gairah seksualnya, ia tak boleh mengabaikan istrinya, al-Ghazali menuliskan bahwa setidaknya 4 hari sekali ia harus mendatangi istrinya dan memenuhi kebutuhannya. Penafsir kelahiran Dayr Atiyah, Wahbah Zuhaili bahkan mengemukakan wajibnya suami untuk menempuh pendekatan medis jika mendapati kelemahan atas fungsi seksualnya.
Kesetaraan dalam Pergaulan Pendapat menarik dikemukakan oleh pemimpin para penafsir dari kalangan Sahabat, Ibnu Abbas ra. “Aku menghiasi diriku untuk istriku sebagaimana istriku menghiasi dirinya untukku. Dan aku tidak menyukai menuntut semua hakku kepadanya, sehingga mengakibatkan dia menuntut pula haknya kepadaku. Aku lebih menyukai memperindah diriku untuknya, dengan keindahan yang tiada cela.”
Menguatkan pendapat Ibnu Abbas ra, pakar tafsir Musthafa al Maraghi, mengemukakan pendapatnya. Berhias bagi suami merupakan seni pribadi, suatu kekhasan yang tak bisa ditiru, hal itu tergantung keadaan mereka, mempertimbangkan keserasian, keselarasan dengan kesukaan istri. Penafsir kelahiran tepi barat sungai Nil ini lalu mengemukakan, berhias juga harus mempertimbangkan tempat, waktu dan situasi. Termasuk berhias, adalah menjaga perawakan tubuh adalah senantiasa ideal, imbuh Wahbah Zuhaili.
Begitulah dialektika cinta, para pecinta bisa saja berangkat dari keindahan-keindahan inderawi, namun pada akhirnya mereka mendapati bahwa prinsip dari segala keindahan adalah kesucian dan kelapangan hati.
Sebagaimana dikemukakan oleh Maha Guru Tafsir, Ibnu Jarir al-Thabari tentang gambaran mental bagi suami. Memenuhi hak-hak istri tak bisa tidak, harus dimulai dengan kesabaran. Hal yang juga diamini oleh pakar tafsir Mutawalli al-Sya’rawi, dalam untaian nasihatnya kepada putranya, “Wahai anakku, gadis ini meninggalkan ayahnya, ibunya dan saudara-saudaranya, hanya untuk hidup bersamamu, Maka jadilah engkau sebagai pengganti mereka."
Ramai penafsir al-Qur’an menuliskan berbagai pandangan bagi suami untuk memenuhi hak istrinya, dan sedikit sebaliknya. Meski demikian, penulis I’jaz al-Qur’an wa al-Balaghah al-Nabawiyah, Musthafa Shadiq al-Rafi’i, mengemukakan pendapat yang tak kalah menariknya, “Wanitalah yang sebenarnya diciptakan untuk menjadi substansi kebajikan, kesabaran dan iman bagi pria, sehingga dia menjadi inspirasi, pelipur lara dan pemberi semangat dan kekuatan.”
Spiritualitas, tentu saja adalah kecerdasan jiwa tertinggi, serta rahasia terdalam yang tak terpisah dari bingkai sosialnya. Sebagaimana terungkap dalam hubungan kesetaraan hak suami istri. Kajian Para penafsir menyiratkan bahwa, kesetaraan hak dalam hubungan suami istri, tumbuh dan berkembang karena rasa ingin saling memberi, bukan saling menuntut.
Ibnul Qayyim al-Jauziyah, mengemukakan bahwa hubungan kesetaraan hak suami dan istri bukan hanya suatu hubungan yang bersifat legal dan formal, namun sebagaimana cinta, ia lebih bersifat esoteris. Pernikahan bukanlah bentuk penindasan seorang laki-laki atas perempuan. Ia adalah relasi idiologis, ketertarikan fisik inderawi, hingga intimasi dialogis.
Ilmuwan kelahiran kota kenangan ini menuliskan, “Memahami rasa cinta dari aura sang kekasih lebih menggetarkan dari perkataan yang ia ucapkan. Bahkan dari auralah kita memahami cinta. Maka bedakan, antara yang mengucapkan, “aku mencintaimu” hanya lisannya saja, dengan orang yang meski ia hanya terdiam, tapi aura dan keadaannya mengeluarkan cinta, seakan seluruh tubuhnya sedang memelukmu dengan hangat, lalu berbisik lembut: "aku lah kekasihmu".
Hasbunallah wa ni’mal wakil