Keimanan kepada Allah mengharuskan kita untuk mencintai kebenaran dan membenci kemungkaran. Hilangnya kebencian terhadap kemungkaran menunjukkan hilangnya iman dari hati seseorang. Dari Abu Sa’id al Khudry ra, Rasulullah saw bersabda,[1]
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
Barang siapa diantara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangan. Jika tidak mampu maka dengan lisannya. Jika tidak mampu maka dengan hatinya dan itulah iman yang paling lemah.
Hadits ini menunjukkan dalil yang jelas bahwa mencegah kemungkaran dengan tangan dan lisan adalah wajib sesuai dengan kesanggupan, sementara membencinya dengan hati adalah diwajibkan dalam keadaan apapun. Tidak gugur kewajiban ini dari siapapun dalam keadaan apapun. Sebab tidak ada resiko apapun atas diri seseorang yang membenci kemungkaran dengan hatinya.
Dengan demikian mengetahui kebaikan dan kemungkaran adalah modal dasar membenci kemungkaran. Sebab tidak mungkin seseorang membenci kemungkaran jika ia tidak memiliki pengetahuan akan batasan keduanya. Di atasnya pengetahuan inilah perintah berda’wah dengan hati, lisan dan tangan ditegakkan. Inilah salah satu dalil bahwa menuntut ilmu wajib bagi mukmin dan mukminat.
Mukmin yang memiliki pengetahuan dan perasaan benci terhadap kemungkaran berpotensi mengembangkan dirinya untuk dapat melakukan langkah-langkah berikutnya dalam da’wah. Itulah pertanda hati yang hidup, tumbuh dan berkembang.
Suatu ketika ditanyakan kepada Abdullah bin Mas’ud ra, “Siapakah orang hidup yang dianggap mati? Maka ia menjawab, “الذي لا يعرف معروفا ولا ينكر منكرا” yaitu orang yang tidak mengenali kebaikan dan tidak mengingkari kemungkaran.[2]
Membenci kemungkaran juga merupakan pertanda seseorang memiliki kepedulian terhadap lingkungannya. Ia merupakan karunia Allah bagi siapapun yang memilikinya. Membenci kemungkaran sejatinya muncul karena rasa cinta. Mencintai kebaikan bagi ummat manusia, menginginkan tegaknya harga diri dan kehormatan manusia sebagaimana fitrah yang telah mereka sandang.
Demikianlah pengetahuan akan kebaikan dan keburukan serta mencintai ummat ini senantiasa berada dalam kebaikan merupakan prasyarat kebencian kita pada kemungkaran. Sehingga langkah-langkah da’wah yang selanjutnya kita susun adalah da’wah dengan hikmah, keteladanan dan peringatan yang baik.
Sufyan ats tsauri berkata[3], tidak boleh melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar kecuali orang yang memiliki tiga sifat “رَفِيقٌ بِمَا يَأْمُرُ، رَفِيقٌ بِمَا يَنْهَى، عَدْلٌ بِمَا يَأْمُرُ، عَدْلٌ بِمَا يَنْهَى، عَالِمٌ بِمَا يَأْمُرُ، عَالِمٌ بِمَا يَنْهَى” kasih sayang dalam sesuatu yang ia perintahkan dan ia larang, berlaku adil dalam sesuatu yang ia perintahkan dan ia larang, dan memiliki pengetahuan tentang sesuatu yang ia perintahkan dan ia larang.
Hasbunallah wa ni’mal wakil
[1] Muslim : Shahih Muslim, Beirut: Dar Ihya at Turats al ‘Araby, tt, Juz 1, hlm 69.
[2] Ibnu Taimiyyah : al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu anil Munkar, Saudi Arabia : Wizaratu Syuun al Islamiyyah wal Auqaf wad Da’wah wal Irsyad, 1418 H, hlm 11.
[3] Ibnu Rajab al Hambali : Jaami’ al ‘Ulum wal Hikam, Beirut : Muassasah ar Risalah, 1422 H, juz 2, hlm 256.