Dalam kamus besar bahasa Indonesia evaluasi berarti penilaian. Penilaian ini diperoleh melalui perencanaan kegiatan yang terstruktur guna mendapatkan informasi yang sangat dibutuhkan untuk membuat alternatif-alternatif keputusan. Sehingga dalam pendidikan evaluasi adalah suatu proses secara sistematis yang berguna untuk menentukan atau membuat keputusan yang dapat dijadikan indikator untuk mengetahui sejauh mana pencapaian tujuan-tujuan pengajaran yang telah dijalankan.
Dalam al Qur’an Allah ta’ala menyebutkan proses evaluasi diantaranya pada surat al Ankabut ayat 2 – 3, dimana evaluasi Allah ini bertujuan mengetahui orang yang benar keimanannya dan yang dusta,
أحسب الناس أن يتركوا أن يقولوا آمنا وهم لا يفتنون. ولقد فتنا الذين من قبلهم فليعلمن الله الذين صدقوا وليعلمن الكاذبين
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?. Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.”
Demikian pula Allah ta’ala berfirman dalam surat al Baqarah ayat 155, yang menggambarkan tentang bentuk-bentuk evaluasi dan tujuan dari evaluasi tersebut,
ولنبلونكم بشيء من الخوف والجوع ونقص من الأموال والأنفس والثمرات وبشر الصابرين
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”
TERMINOLOGI EVALUASI
Ada dua terminologi evaluasi pendidikan dalam ayat-ayat tersebut diatas, yaitu al-fitnah dan al-bala. Berikut beberapa pendapat para ulama tafsir tentang makna dua terminologi tersebut,
Al-Fitnah
Secara bahasa al-fitnah adalah “الامتحان” yang berarti “الاختبار والتجريبة” pengujian dan eksperimen. Jika dikatakan “فتنت الذهب بالنار” maka itu berarti emas itu diuji kadarnya.[1] Menafsirkan maksud kata fitnah dalam surat al ankabut, ath Thobari mengatakan bahwa fitnah adalah, “اختبار و ابتلاء”[2] pengujian baik melalui hal-hal yang disukai maupun hal yang disukai dan tidak disukai. Pengertian lain dari perkataan la yuftanun adalah “لا يسألون”[3] tidak ditanya, sehingga maknanya adalah pengakuan keimanan seorang mukmin itu akan ditanyakan kebenarannya.
Al ‘Askari berpendapat bahwa, fitnah adalah “اشد الاختبار”[4] ujian yang sangat berat. Menjadikan sebuah kenikmatan itu sebagai sarana fitnah adalah bentuk hiperbola, sebagaimana emas meskipun secara lahiriyah merupakan kenikmatan perhiasan namun kualitas sebenarnya terlihat ketika dibakar.
Dalam ayat ini juga terkandung pengertian bahwa ujian memiliki sifat intensif atau terus menerus, bukan sesuatu yang baru atau tanpa perencanaan dan tujuan. Az Zuhaili mengatakan “هو سنة الله الدائمة في خلقه في الماضي والحاضر والمستقبل”[5] ujian adalah sunnah Allah yang bersifat permanen atas ciptaan-Nya sejak masa lampau hingga masa yang akan datang.
Al-Bala
Secara bahasa al bala berarti “الاختبار يكون بالخير والشر”[6] ujian yang bisa berupa kebaikan dan keburukan. Dalam pengertian lain “البَلاءُ يكونُ مِنْحَةً ويكونُ مِحْنَةً”[7] bala itu bisa berupa anugerah maupun bencana. Al bala juga berarti “الاختبار والامتحان ليعلم ما يكون من حال المختبر”[8] pengujian dan latihan untuk mengetahui hakikat sesuatu melalui pengalaman.
Raghib al Ashfihani membedakan ujian yang datang karena kehendak Allah dan musibah yang disebabkan oleh manusia itu sendiri. Menurutnya perbedaan tersebut bisa dilihat dari penggunaan kata balaa dan ibtalaa. Penggunaan kata balaa (menguji) dimaksudkan untuk sebuah ketetapan Allah atas hambanya, sedangkan penggunaan kata ibtalaa (mendapatkan ujian) bisa bermakna selain hal tersebut sebelumnya juga bisa bermakna orang tersebut memahami keadaan yang berlaku pada dirinya dan tidak memahami sesuatu diluas batasannya.[9]
Dari pengertian-pengertian evaluasi Allah atas manusia tersebut di atas baik dalam terminologi al fitnah maupun al bala memiliki tujuan untuk mengetahui hakikat dari sesuatu yang diuji, pada diri manusia berarti mengetahui respon aspek pemikiran, hati maupun sikap atau tindakan fisik atas ujian yang secara permanen diberikan baik berupa kebaikan yang disenanginya maupun keburukan yang dibencinya.
TUJUAN EVALUASI
Sebagai sebuah ketentuan permanen yang Allah tetapkan bagi manusia, evaluasi Allah atas manusia memiliki tujuan-tujuan yang mulia.
Menghapuskan Kesalahan
Dari Abu Sa’id al Khudri dan Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda,
مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ وَصَبٍ، وَلَا نَصَبٍ، وَلَا سَقَمٍ، وَلَا حَزَنٍ حَتَّى الْهَمِّ يُهَمُّهُ، إِلَّا كُفِّرَ بِهِ مِنْ سَيِّئَاتِهِ[10]
“Tidaklah diuji seorang mukmin baik dengan musibah yang menimpa keluargannya, hartanya atau tubuhnya dengan sakit hingga menyebabkan kesedihan dan kecemasan baginya, melainkan Allah menghapuskan kesalahan-kesalahannya ”
Mengangkat Derajat
Dari ‘Aisyah ra, ia berkata, aku bertanya kepada Rasulullah saw akan permasalahan penyakit pes, kemudian ia mengatakan kepadaku,
أَنَّهُ عَذَابٌ يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ، وَأَنَّ اللَّهَ جَعَلَهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ، لَيْسَ مِنْ أَحَدٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ، فَيَمْكُثُ فِي بَلَدِهِ صَابِرًا مُحْتَسِبًا، يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ يُصِيبُهُ إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ، إِلَّا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ شَهِيدٍ[11]
Sesungguhnya wabah tersebut Allah turunkan kepada siapapun yang dikehendaki-Nya dan Allah menjadikan wabah tersebut sebagai satu bentuk rahmat-Nya bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya. Tidak ada seorangpun yang menderita penyakit yang mewabah ini kemudian ia diam dinegaranya dengan penuh kesabaran dan introspeksi diri atasnya hingga ia mengetahui bahwa Allah tidak akan menimpakan sesuatu apapun pada hamba-Nya kecuali telah menjadi ketetapan-Nya, maka pada saat itu pahala baginya sebagaimana pahala orang yang mati syahid.
Sarana Pendidikan
Ujian yang Allah timpakan bagi orang beriman adalah sarana pendidikan Allah bagi mereka. Dalam ayat-ayat tersebut diatas Allah berkehendak mengetahui kesabaran dan kebenaran iman hamba-Nya melalui ujian tersebut. Az zuhaili berkata, “والله عزّ وجلّ يبلو عبده بالصنع الجميل ليمتحن شكره، ويبلوه بالبلوى التي يكرهها ليمتحن صبره”[12] Allah azza wa jallah menguji hambanya dengan menciptakan kebaikan untuk melatih rasa syukurnya dan mengudinya dengan keburukan untuk melatih kesabarannya.
Demikian pula ujian adalah bentuk keadilan yang Allah terapkan agar manusia termotivasi untuk senantiasa berbuat kebaikan. Dalam pandangan manusia ujian adalah sarana untuk memberikan balasan yang setimpal, seandainya tidak teruji seorang hamba dengan benar maka akan muncul ketidak adilan dalam hal pembalasan. Sebagaimana pendapat az zuhaili tentang tujuan ujian “ليظهرن صدقهم وكذب المكذبين، وينوط به ثوابهم وعقابهم”[13] agar nampak dengan jelas orang-orang yang shidq dan para pendusta serta pahala dan hukuman bagi mereka.
Membersihkan Barisan Orang-Orang Beriman
Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al ahzab 11-12,
هنالك ابتلي المؤمنون وزلزلوا زلزالا شديدا. وإذ يقول المنافقون والذين في قلوبهم مرض ما وعدنا الله ورسوله إلا غرورا
“Di situlah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat. Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata: "Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya".”
Ayat ini menjelaskan bahwa ujian yang keras akan memisahkan antara orang-orang beriman yang yakin akan tujuan perjuangannya serta janji Allah dan Rasul-Nya, dengan orang munafiq dan pelaku kemusyrikan yang tidak meyakini hal tersebut. Az zuhailiy berkata“فظهر المخلص من المنافق والثابت من المتزلزل”[14] maka jelaslah antara yang ikhlas dan munafiq serta antara yang kokoh pendirian dan yang bimbang.
Menjadikannya Sebagai Sebuah Keteladanan
Disaat Allah menguji hamba-Nya kemudian hamba tersebut berhasil meraih kedudukan mulia disisi-Nya maka Allah menjadikan mereka sebagai model keteladanan atas ummat manusia, serta nasihat bagi sesamanya. Allah ta’ala berfirman dalam surat al Ahqaf ayat 35,
فاصبر كما صبر أولوا العزم من الرسل ولا تستعجل لهم كأنهم يوم يرون ما يوعدون لم يلبثوا إلا ساعة من نهار بلاغ فهل يهلك إلا القوم الفاسقون
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (adzab) bagi mereka. Pada hari mereka melihat adzab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik.”
Hasbunallah wa ni’mal wakil
- [1] Ibnu Faris, 1406 H, Mujmal al Lughah li Ibni Faris, Beirut: Muassasatu ar Risalah, Hlm 711.
- [2] Abu Ja’far ath Thobari, 1420 H, Jami’ul Bayan fi Ta’wil al Qur’an, Beirut : Muassasatu ar Risalah,Vol 7, hlm 19.
- [3] Al Mawardy, tt, an Nukat wal Uyun, Beirut : Daar al Kutub al ‘Ilmiyyah,Vol 4, hlm 275.
- [4] Abu Halal al ‘Askariy, tt, Al Furuq al Lughawiyah, Mesir : Daar al ‘Ilm wa ats Tsaqafah, Hlm 217.
- [5] Wahbah bin Musthofa az Zuhailiy, 1418 H, at Tafsir al Munir fil Aqidati wasy Syari’ati wal Manhaj, Damaskus: Daar al Fikr al Muashir, Vol 20, hlm 189.
- [6] Ibnu Faris, op.cit, hlm 133.
- [7] Murtadho az Zubaidy, tt, Taaj al Arus min Jawahir al Qamus, Daar al Hidayah, Vol 37, hlm 207.
- [8] Az Zuhailiy, op.cit, vol 2, hlm 38.
- [9] Raghib al Ashfihani, 1412H, al Mufradat fi Gharib al Qur’an, Damaskus : Daar a Qalam, hlm 61-62.
- [10] Muslim, tt, Shahih Muslim, Beirut : Daar Ihyau at Turats al ‘Araby, Vol 4, hlm 1992 hadits no 2573.
- [11] Bukhari, 1422H, Shahih al Bukhari, Beirut: Daar Thuwaiq an Najah, vol 4, hlm 175 hadits no 3474.
- [12] Az Zuhailiy, op.cit, vol 2, hlm 43.
- [13] Ibid, vol 20, hlm 185.
- [14] Ibid, vol 21, hlm 259.