Syahwat adalah insting (naluri) fitrah yang
dengannya manusia cenderung dan suka kepadanya. Allah ta’ala memberikan insting
tersebut kepada manusia agar mereka dapat menunaikan tugasnya dalam kehidupan. Mewujudkan
segala hal yang dapat memberikan kebaikan baginya dan menjaga segala hal yang
dapat menyebabkan keburukan baginya serta keberlangsungan hidup mereka.
Dr. Yunasril Ali[1]
mengklasifikasikan naluri manusia itu dalam 4 bentuk. Pertama, insting egosentros
atau naluri mementingkan diri sendiri. Kedua, insting polemos atau naluri
berjuang dan mempertahankan diri. Ketiga, insting eros atau naluri seksual dan
keempat, insting religious atau naluri untuk tunduk kepada tuhan.
Lebih lanjut menurut Yunasril Ali, jika
naluri-naluri tersebut belum tertata dan dibiarkan tanpa bimbingan tuhan
niscaya hidup manusia akan hancur dan tenggelam dalam syahwat dunia sesaat dan
memalingkannya dari kebaikan akhiratnya.
Al Qur’an telah menjelaskan hal ini,
diantaranya firman Allah ta’ala surat ali imran 14-15,
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ
وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ
وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ (14) قُلْ أَؤُنَبِّئُكُمْ
بِخَيْرٍ مِنْ ذَلِكُمْ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي
مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَأَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ
وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ (15)
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada
apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari
jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang.
Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik
(surga).
Katakanlah: "Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang
lebih baik dari yang demikian itu?" Untuk orang-orang yang bertakwa
(kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) istri-istri
yang disucikan serta keridaan Allah: Dan Allah Maha Melihat akan
hamba-hamba-Nya.
Adapun
penyakit-penyakit hati karena syahwat adalah sebagai berikut,
Syahwat cinta
diri dan kedudukan
Kecintaan
manusia terhadap kelezatan dan ambisi untuk meraih kebaikan dan menolak
keburukan bagi dirinya serta mewujudkan kesempurnaan baginya merupakan syahwat
terkuat dalam diri manusia. Penyakit hati pada kasus ini adalah riya, sombong atau
merasa lebih lebat dari orang lain, Kikir dan dengki serta sering marah.
Riya
Riya adalah, “إظهار العمل للناس، ليروه، ويظنوا
به خيرا” menampakkan
amal kepada manusia, agar mereka melihatnya dan menganggap pada amal tersebut
kebaikan.[2]
Sedangkan menurut al jurjani[3]
riya itu berarti “ترك الإخلاص في العمل بملاحظة غير الله فيه” meninggalkan keikhlasan dalam beramal dan
mengharapkan perhatian dari selain Allah atas amal tersebut.
Mengenai bahaya
riya, al ghazali menjelaskan bahwa pelaku riya ini menghias dirinya di hadapan
hamba-hamba Allah, berpura-pura dan gembira dengan rasa hormat yang diraihnya
dari manusia. Karena harapannya kepada manusia maka hilanglah pahala ketaatan
dan runtuhlah seluruh amal.[4]
Muhammad Shalih
al Munajid[5]
menjelaskan tentang kedudukan niat dalam amal, pertama niat yang ikhlas karana
Allah ini adalah kedudukan niat yang tertinggi. Kedua, niat yang mendua adalah
beramal karena Allah sekaligus menginginkan hal-hal yang masih diperbolehkan
syari’at seperti berpuasa karena Allah dan juga menginginkan kesehatan. Ketiga,
menginginkan hal yang tidak dibolehkan dalam niatnya, seperti riya, amalannya
dapat diterima bila sejak awal munculnya kecendrungan tersebut sang pelaku
bermujahadah untuk melenyapkan keinginan tersebut, dan terakhir niat yang
semata-mata mengharapkan ganjaran dari selain Allah hal ini tertolak dalam
Islam.
Sombong atau
merasa lebih hebat dari orang lain
Sombong atau al
kibru adalah “العظمة، والتجبر” kebanggaan diri dan intimidasi.[6] Menurut
al Ghazali sombong adalah seseorang memandang dirinya berada di atas orang
lain, lalu timbul pada hatinya rasa lebih hebat, lebih kuat dan lebih tinggi
dari orang lain hingga menganggap orang lain tersebut hina dalam pandangannya. Selanjutnya
al Ghazali menyebutkan bahwa sombong ini dapat disebabkan karena merasa
berilmu, merasa amal ibadahnya banyak, keturunan, kecakapan fisik, harta,
kekuatan serta banyaknya pengikut.[7]
Sifat sombong
ini berbahaya bagi seorang da’i, Dr. Sayyid Muhammad Nuh[8]
mengatakan, sombong bagi seorang da’i adalah saat sang da’i tersebut
menampakkan kebanggaanya terhadap perkataan atau kegiatan da’wahnya dalam
bentuk merendahkan dan meremehkan pribadi orang lain atau penda’wah lain serta
tidak mau menerima kebenaran yang datang dari mereka.
Sombong adalah
prilaku tercela, Abdullah bin Mas’ud ra, meriwayatkan bahwasanya Rasulullah saw
bersabda,
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ
فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ» قَالَ رَجُلٌ: إِنَّ الرَّجُلَ
يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً، قَالَ: «إِنَّ اللهَ
جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ، وَغَمْطُ النَّاسِ
“Tidak akan masuk surga seseorang yang
dihatinya ada sebesar atom rasa sombong”, kemudian seorang pemuda berkata,
“laki-laki itu suka memakai pakaian dan sepatu yang bagus” Rasulullah bersabda,
“sombong itu mengingkari kebenaran dan meremehkan manusia.[9]
Kikir dan
Dengki
Menurut Ahmad
Karzuun kikir adalah “حرص النفس على جلب ما تستطيع من الخير
لها دون حدود ولا وازع و اهتمام المرء بنفسه على حساب مصالح الآخرين و حقوقهم” ketamakan jiwa untuk mendapatkan berbagai
kebaikan bagi dirinya sekuat tenaga danpa batasan dan aturan. Juga merupakan
kepedulian seseorang terhadap dirinya sendiri dengan merugikan kepentingan
orang lain dan hak-hak mereka. Sedangkan dengki adalah mengharapkan hilangnya
nikmat dari pemiliknya baik nikmat agama maupun nikmat dunia[10]
Dari Anas bin
Malik ra, bahwasanya Nabi saw bersabda,
لاَ تَبَاغَضُوا، وَلاَ تَحَاسَدُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا،
وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا، وَلاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ
أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ
“Janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian
saling mendengki, janganlah kalian saling memunggungi, jadilah kalian
hamba-hamba Allah yang bersaudara, dan tidak halal seorang muslim mendiamkan
saudaranya lebih dari 3 hari.[11]
Sering Marah
Sebenarnya
marah merupakan emosi yang penting dalam upaya pertahanan diri manusia ketika
menghadapi bahaya yang mengancam keselamatannya. Namun upaya pelampiasannya
yang berlebih-lebihan dan tidak pada tempatnya akan mengakibatkan seseorang
tidak bisa berfikir jernih dalam menghadapi persoalan hingga timbullah
perkataan atau perbuatan yang tidak terkontrol hingga akhirnya ia menyesalinya.
Allah memuji
para hamba-Nya yang mampu mengendalikan dirinya pada surat Ali Imrah 134,
وَالْكَاظِمِينَ
الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“…dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”
Syahwat cinta
harta
Syahwat cinta
harta adalah fitnah yang sangat sedikit manusia dapat bersabar terhadap fitnah
tersebut dan selamat dari penyakit-penyakitnya, karena terlampau
berlebih-lebihan dan melampaui batas. Penyakit hati pada kasus ini cinta dunia
dan takut mati serta takut dan gelisah terhadap kehidupan dunia.
Wahn (cinta
dunia dan takut mati)
Penyakit wahan
ini penyebab utama kehinaan umat Islam sehingga karenanya mereka menjadi
bulan-bulanan orang-orang yang membenci islam. Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam mengibaratkan mereka laksana makanan yang menjadi
rebutan orang-orang rakus yang kelaparan.
Dari Tsauban
ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda,
يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى
عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا» ، فَقَالَ قَائِلٌ:
وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ: «بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ،
وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ، وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ
عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ، وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمُ
الْوَهْنَ» ، فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا الْوَهْنُ؟ قَالَ:
«حُبُّ الدُّنْيَا، وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ
"Akan
datang suatu masa, di mana bangsa-bangsa akan mengeroyok kalian seperti
orang-orang rakus memperebutkan makanan di atas meja. Ada
seorang yang bertanya, ‘Apakah karena pada saat itu jumlah kami sedikit?’ Rasulullah saw menjawab: ‘Tidak, bahkan
kamu pada saat itu mayoritas, akan tetapi kamu seperti buih di atas permukaan
air laut. Sesungguhnya Allah telah mencabut rasa takut dari musuh-musuh kalian,
dan telah mencampakkan penyakit al wahan pada hati kalian’. Seorang sahabat
bertanya: ‘Ya Rasulallah, apa penyakit al wahan itu?.’ Rasulullah saw
menjawab: ‘Al Wahan adalah penyakit cinta dunia dan takut mati’[12]
Takut dan
Gelisah
Motif menuruti
syahwat cinta harta adalah mengumpulkan harta guna mewujudkan kebahagiaan,
kesenangan dan ketenangan sebagaimana yang diidamkan manusia. Sehingga dapat
kita cermati pada masa kini para pekerja keras tidak memedulikan kelelahan
fisik dan waktu. Namun bukan hanya itu yang mereka dapatkan melainkan juga
kesengsaraan, stress, depresi, ketakutan dan kecemasan. Hal ini terjadi karena
ketidak seimbangan pada hati mereka.
Penyifatan yang
paling jelas bagi orang-orang yang dikendalikan oleh syahwat cinta harta adalah
firman Allah ta’ala pada surat al Ma’arij ayat 19-25,
إِنَّ
الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا (19) إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا (20) وَإِذَا
مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا (21) إِلَّا الْمُصَلِّينَ (22) الَّذِينَ هُمْ عَلَى
صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ (23) وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ (24)
لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ (25)
“sungguh,
manusia diciptakan dalam keadaan cemas, jika ditimpa keburukan akan berkeluh
kesah, jika diberi kebaikan akan menahannya, kecuali orang-orang yang shalat.
Mereka kontinu dalam menjalankan sholatnya, dan mereka memberikan hak yang ada
pada harta mereka kepada para peminta-minta dan yang tidak meminta.”
Syahwat perut
Indikasi
pertama penyakit hati pada syahwat ini adalah perilaku memperbanyak makan dan
minum di luar kebutuhan hingga kekenyangan dan berlebihan. Penyakit yang lebih
berbahaya adalah materialistis hingga mengubah makan dari sekedar sarana
menjadi tujuan hidup.
Rasulullah saw
memperingatkan bahayanya makan dan minum secara berlebihan dan dampaknya pada
tubuh manusia. Dari Miqdam bin Ma’diy Karib, ia bercerita bahwasanya Rasulullah
saw bersabda,
مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ. بِحَسْبِ
ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ، فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ
لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
“Tidak ada
wadah yang dipenuhi oleh manusia yang lebih buruk dari perut. Maka cukuplah
makanan untuk anak Adam untuk menegakkan tulang punggungnya. Jika ia tidak
mampu menahan, maka setidaknya sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk
minumannya dan sepertiga lagi untuk nafasnya.[13]
Syahwat
kemaluan
Penyebab
munculnya penyakit pada syahwat ini adalah keinginan untuk melampiaskan syahwat
tersebut dengan berbagai cara tanpa berfikir baik dan buruknya. Penyakit hati
yang muncul pada kasus ini adalah hilangnya rasa malu yang diikuti dengan
sering terjerumus kepada kemaksiatan, hingga imanya melemah dan hatinya menjadi
keras.
Syahwat seksual
sebenarnya merupakan karunia Allah bagi manusia untuk satu tujuan yang mulia
yaitu menjaga kelestarian keturunan manusia, tanpa adanya hasrat ini maka tidak
akan ada yang memakmurkan bumi dari generasi ke generasi.
Islam menjaga
syahwat ini agar tidak terjerumus kedalam hal-hal yang tidak dinginkan,
pensyari’atan nikah, berpuasa merupakan di antara rambu-rambu dan huku yang
ditetapkan agar tercipta kebahagiaan, stabilitas mental dan ketenangan pasangan
suami dan istri.
Melampaui batas
dalam menyalurkan kecenderungan syahwat kemaluan adalah hal tercela dan menodai
kesucian fitrah manusia. Ibnul Qayyim al Jauziyah[14]
berpendapat”
فَأَمَّا مَشْهَدُ
الْحَيَوَانِيَّةِ وَقَضَاءِ الشَّهْوَةِ فَمَشْهَدُ الْجُهَّالِ الَّذِينَ لَا
فَرْقَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ سَائِرِ الْحَيَوَانِ إِلَّا فِي اعْتِدَالِ
الْقَامَةِ وَنُطْقِ اللِّسَانِ، لَيْسَ هَمُّهُمْ إِلَّا مُجَرَّدَ نَيْلِ
الشَّهْوَةِ بِأَيِّ طَرِيقٍ أَفْضَتْ إِلَيْهَا، فَهَؤُلَاءِ نُفُوسُهُمْ نُفُوسٌ
حَيَوَانِيَّةٌ لَمْ تَتَرَقَّ عَنْهَا إِلَى دَرَجَةِ الْإِنْسَانِيَّةِ فَضْلًا
عَنْ دَرَجَةِ الْمَلَائِكَةِ، فَهَؤُلَاءِ حَالُهُمْ أَخَسُّ مِنْ أَنْ تُذْكَرَ،
وَهُمْ فِي أَحْوَالِهِمْ مُتَفَاوِتُونَ بِحَسَبِ تَفَاوُتِ الْحَيَوَانَاتِ
الَّتِي هُمْ عَلَى أَخْلَاقِهَا وَطِبَاعِهَا”
adegan hewani
dan melampiaskan syahwat adalah tindakan orang-orang bodoh. Tidak berbeda
dengan hewan lain selain berdiri tegar dan kemampuan berbicara. Keinginan
mereka hanyalah melampiaskan syahwat belaka dengan segala macam cara. Nafsu
mereka adalah nafsu hewan, tidak dapat meningkat kepada derajat manusia apalagi
derajat malaikat. Keadaan mereka berbeda-beda sesuai dengan perbedaan
hewan-hewan yang setara dengan mereka dalam akhlaq dan tabi’at.
Terapi Penyakit Hati
yang disebabkan oleh Syahwat
Berjuang mengarahkan syahwat dan melakukan
muhasabah
Menurut Dr. Ahmad Karzuun manusia harus
berjihad mengarahkan jiwanya dan bermuhasabah atas segala kekurangannya secara
obyektif agar ia dapat memperbaiki dirinya. Muhasabah atau introspeksi
merupakan pekerjaan akal dalam berfikir, merenungkan serta mendiagnosa serta
mencari cara mendidik nafsu agar dapat tunduk dibawah kendalinya.
Ibnul Qayyim berkata[15],
“إذا كانت
الدولة للعقل سالمه الهوى وكان من خدمه وأتباعه كما أن الدولة إذا كانت للهوى صار
العقل أسيرا في يديه محكوما عليه” jika akal yang
berkuasa atas hawa nafsu, maka hawa nafsu akan menyerah padanya dan menjadi
pengikut dan pelayannya. Sebaliknya jika hawa nafsu yang berkuasa maka akal
akan menjadi tawanan yang dikendalikannya.
Termasuk kedalam aktifitas ini adalah
meneliti hati secara mendetail untuk mengawasi lintasan-lintasan perasaan yang
muncul ketika mengerjakan sebuah amal perbuatan, dari mana asal mula
motivasinya, penyebab rasa senang atau sedih pada dirinya dan sebagainya.
Memperbanyak amal shalih yang terus menerus
(al baaqiyat ash shaalihat)
Ibnu Taimiyyah mengingatkan kepada kita
beberapa model al baqiyatus shalihat yang dapat meningkatkan iman dan mencegah
dominasi syahwat.
Menurut beliau, melakukan wirid secara
teratur di pagi hari, petang dan ketika akan tidur serta bersabar dan istiqomah
dalam mengerjakannya akan menguatkan dan meneguhkan iman kepada Allah ta’ala.
Kemudian ibnu taimiyah berkata[16],
‘وَلْيَحْرِصْ عَلَى إكْمَالِ
الْفَرَائِضِ مِنْ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ بَاطِنَةً وَظَاهِرَةً فَإِنَّهَا عَمُودُ.
وَلَا يَسْأَمُ مِنْ الدُّعَاءِ وَالطَّلَبِ فَإِنَّ الْعَبْدَ يُسْتَجَابُ لَهُ
مَا لَمْ يُعَجِّلْ” Antusiaslah untuk menyempurnakan
shalat lima waktu lahir dan batin, karena dia adalah tiang-tiang agama. Jangan
bosan berdo’a dan meminta, karena seorang hamba akan direspon Allah ta’ala
selama ia tak tergesa-gesa.
Memberi hukuman yang mendidik diri
Menurut Ibnu Taimiyyah hukuman-hukuman syar’i
adalah obat yang bermanfaat. Dengannya Allah menyembuhkan penyakit hati.
Hukuman syar’i adalah rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya.
Metode Islam dalam mendidik diri adalah
dengan menggunakan berbagai sarana pendidikan yang memungkinkan, hingga jiwa
merespon dan menyadari kedurhakaannya. Hukuman adalah terapi efektif meski
tidak mengenakkan bagi nafsu yang selalu menyuruh keburukan, namun ia adalah
jalan terbaik untuk menjaga manusia dari keburukan jiwanya yang telah memihak
kepada keburukan.
Sebagai contoh al Ghazali menuliskan sebuah
kisah tentang Umar bin Khattab yang tertinggal shalat ashar berjama’ah
dikarenakan urusan kebunnya, karena keterlambatannya shalat Ashar berjama’ah
tersebut kemudian Umar bin Khattab ra menshadaqahkan kebunnya.[17]
[1]
Yunasril Ali, 1999, Pilar-Pilar Tasawuf, Jakarta: Kalam Mulia, h 185.
[2]
Sa’dy Abu Habib, op.cit, h. 141.
[3] Asy
Syarif al Jurzani, op.cit, h.113.
[4] Al
ghazali, op.cit, 3/275.
[5]
Muhammad Shalih al Munajid, 2006, Jagalah Hati, terjemahan Saat Mubarak
& Nur Kosim, 2006, Jakarta : Cakrawala Publishing, h.26-27.
[6] Sa’dy
Abu Habib, op.cit, h. 314.
[7] Al
Ghazali, op.cit, 3/336-368.
[8]
Sayyid Muhammad Nuh, 1995. Terapi Mental Aktivis Harakah, terjemahan
As’ad Yasin, Solo: Pustaka Mantiq, h.200.
[9]
Muslim, op.cit, 1/93 hadits no. 91.
[10]
Anas Ahmad Karzuun, op.cit, h.387.
[11] Bukhari ,op.cit, 8/19 hadits no.6065
[12] Abu
Dawud as Sijjistany,tt, Sunan Abu Dawud, Beirut: Maktabah al ‘Ashriyah,
4/111 hadits no.4297. hadits ini shahih menurut Muhammad Nashirudin al Albany
lihat silsilatu al ahadits ash shahihah 2/647 no.958.
[13]
Muhammad bin Isa at Tirmidzi, 1395 H, Sunan at Tirmidzi, Mesir :
Syirkatu Maktabatu wa Mathba’atu Musthofa al Baaby al Halaby, 4/590 hadits no
2380. At tirmidzi menshahihkan hadits ini, demikian pula al Albany dalam
Silsilatu Ahadits as Shahihah, 5/336 no.2265.
[14]
Ibnul Qayyim, 1416 H, Madarijus Salikin, Beirut: Daar al Kitab al
‘Arabiy, 1/403.
[15]
Ibnul Qayyim, 1403 H, Raudhatul Muhibbin wa Nuzhatul Mustaaqin, Beirut:
Daar al Kutub al ‘Ilmiyyah, h 13.
[16]
Ibnu Taimiyah, op.cit, 10/137.
[17] Al
Ghazali, op.cit, 4/408.