KAJIAN HADITS TENTANG UPAH


Upah dalam bahasa Arab disebut dengan kata (إجارة) yang berarti menjual manfaat. Kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa ijarah adalah “عقد على المنافع بعوض” (1)   yaitu akad atas suatu kemanfaatan yang disertai dengan imbalan. Menurut kalangan Syafi’iyyah ijarah adalah “عقد على منفعة مقصودة معلومة مباحة قابلة للبذل والإباحة بعوض معلوم”(2)  yaitu akad atas suatu manfaat yang mengandung maksud tertentu, mubah, serta dapat didermakan dan kebolehan dengan pengganti tertentu. Adapun menurut pendapat kalangan Malikiyah dan Hanabilah ijarah adalah “تمليك منافع شيء مباحة مدة معلومة بعوض”(3)  yaitu memberikan hak kepemilikan manfaat sesuatu yang mubah dalam masa tertentu yang disertai dengan imbalan


Kajian terhadap hadits-hadits Nabi Muhammad saw tentang upah, menunjukkan adanya ketentuan-ketentuan yang dapat menjadi acuan hukum bagi pembayaran upah. Sebagai berikut:


a. Upah yang dibayarkan merupakan sesuatu disepakati antara pemberi dan penerima upah.

Diriwayatkan oleh Abdul Razaq al-Shan’ani, Dari Abu Sa’id al-Khudry ra berkata, Rasulullah saw bersabda:

مَنِ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَلْيُسَمِّ لَهُ إِجَارَتَه.(4)  

Barang siapa yang mempekerjakan pekerja, maka hendaklah ia menentukan upahnya.


Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudry ra dengan teks yang berbeda, bahwa Rasulullah saw bersabda;

مَنِ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا، فَلْيُعْلِمْهُ أَجْرَهُ.(5) 

Barang siapa yang memperkerjakan pekerja, maka hendaklah ia memberitahukan upahnya.


Imam Syafi’i dan Abu Yusuf berpendapat bahwa hadits tersebut di atas menunjukkan wajibnya menjelaskan ukuran atau kadar atas upah yang diberikan.(6)  Pendapat serupa dikemukakan pula oleh al-Shan’ani, bahwa hadits ini merupakan dalil wajibnya menentukan upah atas suatu pekerjaan yang dilakukan. Hal ini agar tidak menimbulkan ketidakjelasan yang bisa mengakibatkan perselisihan dan permusuhan.(7)  Al-Kasani dari fuqaha Hanafiyah mengemukakan bahwa mengetahui upah tidak sah kecuali dengan isyarat dan penentuan, maupun dengan penjelasan, terkait jenis, sifat, macam dan kadar dari upah yang dimaksud.(8)  Ibnu Qudamah dari fuqaha Hanabilah mengermukakan bahwa Upah yang maklum atau diketahui bersama merupakan syarat dari sahnya akad.(9)  


Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa upah yang dibayarkan kepada pekerja haruslah diketahui bersama secara jelas kadarnya. Jika upah bukan berupa uang, maka jenis, sifat dan macamnya harus jelas. Upah yang jelas dan disepakati mencegah terjadinya perselisihan dan permusuhan antara kedua belah pihak.


Mekanisme penetapan upah dalam konsep Islam terdapat tiga alternatif sebagai berikut: a. Mekanisme Musyawarah. Musyawarah merupakan pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah bersama. Maka upah kerja ditetapkan atas dasar keputusan bersama yang telah disepakati oleh pengusaha dan pekerja dengan syarat adanya keadilan dan kerelaan antara dua pihak yang bertransaksi. b. Mekanisme pasar. Mekanisme ini menetapkan bahwa upah yang akan diterima pekerja disesuaikan dengan upah yang berlaku di pasaran, yaitu didasarkan pada penawaran dan permintaan tenaga kerja, serta nilai kontribusi tenaga kerja terhadap produktifitas. c. Ditentukan oleh Negara. Negara (pemerintah) memainkan peranan penting dalam perekonomian, yaitu menjamin perekonomian berjalan sesuai dengan syari’ah dan menjamin agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak asasi.(10) 


b. Upah dibayarkan dalam waktu yang disepakati.

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Umar ra, Rasulullah saw bersabda:

أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ، قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ.(11) 

Bayarlah upah pekerja sebelum keringatnya mengering.


Menurut al Bassam, hadits tersebut diatas menunjukkan wajibnya menyegerakan untuk menunaikan upah pekerja setelah pekerjaan tuntas dilakukan. Penggunaan teks secara hiperbola dimaksudkan agar isi pesan menjadi penting dan diperhatikan.(12)  Imam Malik mengutip perkatan Ibnu Wahb terkait penjelasan hadits ini.

مَنْ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَلْيَسْتَأْجِرْهُ بِأَجْرٍ مَعْلُومٍ إلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ.(13) 

Barang siapa yang mempekerjakan pekerja, maka bayarkanlah besaran upah yang diketahui secara umum dalam waktu yang difahami secara umum.


Menurut al-Munawi, upah adalah harga kerja dari fisik dan psikis pekerja. Jika pekerja telah menyelesaikan pekerjaannya, maka ia berhak mendapatkan upahnya dengan segera. Oleh sebab itu haram menunda-nundanya bagi orang yang mampu membayarnya dengan segera.(14)  


Seorang pekerja hanya berhak atas upah, jika ia telah menunaikan pekerjaan dengan semestinya dan sesuai atas syarat-syarat yang mereka sepakati bersama. Terkait waktu dan rincian pekerjaan yang harus dipenuhi. Jika ia membolos kerja tanpa alasan yang benar, tidak menunaikan pekerjaan sebagaimana mestinya, maka sepatutnya hal tersebut di perhitungkan pula sebagaimana mestinya.(15) 


Adapun tetang penentuan upah, rujukannya adalah kesepakatan antara kedua belah pihak. Namun tidak dibenarkan bagi pihak yang kuat dalam akad untuk mengeksploitasi pihak lain yang lebih lemah kedudukannya. Tidak dibenarkan memberikan upah yang sangat minim hingga tidak dapat memenuhi kebutuhannya dan juga tidak dibenarkan pekerja menuntut upah di atas haknya. Kewajiban yang ditentukan oleh Islam adalah hendaknya setiap pihak diberikan haknya secara baik dan negara harus ikut campur mengayomi pihak yang lemah dan menegakkan keadilan. Termasuk akhlak mulia dalam perkara ini adalah, memberikan tambahan kepada buruh dengan sesuatu di luar upahnya sebagai hadiah, khususnya jika ia menunaikan pekerjaannya dengan baik.(16) 


Catatan Pustaka

  1. Fakhruddin al-Zayla’iy al-Hanafi, Tabyin al-Haqaiq, (Cairo: al-Mathba’atu al-Kubra al-Amiriyah, Cet pertama 1313 H), Juz 5, hlm 105
  2. Al-Khatib al-Syarbini al-Syafi’iy, Mughni al-Muhtaj, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah, cet pertama, 1415 H), Juz 2, hlm 332
  3. Muhammad bin Ahmad al-Dasuqi al-Maliki, Hasiyatu al-Dasuqi ‘Ala Al-Syarh al-Kabir, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Juz 4, hlm 2. Lihat juga Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali, al-Mughni, (Cairo: Maktabah al-al-Qahirah, tth), Juz 5, hlm 398.
  4. Abdul Razaq al-Shan’ani, al-Mushannaf, (Beirut: al-Maktab al-Islami, Cetakan ke 2 1403 H), Juz 8, hlm 235, hadits no 15024.
  5. Abu Bakar Ibn Abi Syaibah ra, al-Kitab al-Mushannaf fil Ahadits wal Atsar, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, cetakan pertama 1409 H), Juz 4, hlm 366, hadits no 21109. Dalam riwayat lain dari Utsman ra teksnya (فَلْيُبَيِّنْ لَهُ أَجْرَهُ) hendaklah ia menjelaskan upahnya, Ibid, hadits no 21110.
  6. Muhammad bin Ali al-Syaukani, Nail al-Authar, (Mesir: Dar al-Hadits, Cetakan pertama 1993), Juz 5, hlm 349.
  7. Muhammad bin Isma’il al-Shan’ani, Subul al-Salam, (Mesir: Dar al-Hadits, tth), Juz 2, hlm 118.
  8. Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani al-Hanafi, Badai’u al-Shana’i, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cetakan ke 2, 1406 H), Juz 4, hlm 193.
  9. Ibnu Qudamah al-Maqdisi al Hanbali, al-Mugni, (Mesir: Maktabah al-Qahirah, tth), Juz 5, hlm 327.
  10. Rizki Fadli dan Zainuddin, Tinjauan Fikih Ekonomi Terhadap Pengupahan Bajak Sawah, Jurnal Hukum Ekonomi Syari’ah IAIN Batu Sangkar, Volume 3 no 2, tahun 2020..
  11. Ibnu Majah al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar Ihyau Turats al-‘Arabi,tth), Juz 2, hlm 817, hadits no 2443.
  12. Abdurrahman bin Abdullah al-Bassam, Taudhikhul Ahkam Min Bulugh al-Maram (edisi terjemah), (Jakarta: Penerbit Buku Islam Rahmatan, tth) Jilid 5, hlm 73-74.
  13. Malik bin Anas, al-Mudawwanah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cetakan pertama,1994), Juz 3, hlm 420.
  14. Al-Munawi, Faidhul Qadir, Juz 1, hlm 562.
  15. Yusuf al-Qaradhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, (Jakarta: Rabbani Press, 2001), hlm 405.
  16. Ibid.


Hari Kebangkitan Adalah Rahasia Allah

 


Tafsir Surat An-Nazi’at ayat 42-46

Sigit Suhandoyo. Setelah ayat-ayat yang lalu menjelaskan persitiwa yang terjadi pada hari kebangkitan. Dalam kelompok ayat ini Allah Ta'ala mengecam orang-orang yang durhaka, antara lain dalam sikap mereka menyangkut hari Kebangkitan, meski bukti keniscayaannya telah dipaparkan dan nasihat serta peringatan telah disampaikan. Dalam kelompok ayat ini pula, Allah ta’ala menjelaskan bahwa pengetahuan mengenai hari Kiamat itu diserahkan kepada Allah SWT. Rasulullah saw hanya diutus untuk memberi peringatan saja. Orang-orang yang mengingkari perkara (kiamat), kelak mereka akan mengalaminya, hingga seakan-akan mereka ada dalam kondisi kiamat selama-lamanya. Seakan-akan mereka tidak tinggal di dunia melainkan hanya sesaat saja di waktu siang yang lantas pergi.

 

يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا (42) فِيمَ أَنْتَ مِنْ ذِكْرَاهَا (43) إِلَى رَبِّكَ مُنْتَهَاهَا (44) إِنَّمَا أَنْتَ مُنْذِرُ مَنْ يَخْشَاهَا (45) كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا عَشِيَّةً أَوْ ضُحَاهَا (46)


(Orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari berbangkit, kapankah terjadinya? Siapakah kamu (sehingga) dapat menyebutkan (waktunya)? Kepada Tuhanmulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan waktunya). Kamu hanyalah pemberi peringatan bagi siapa yang takut kepadanya (hari berbangkit). Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari.


Waktu Kebangkitan. Allah ta’ala merahasiakan kapan tibanya waktu kebangkitan. Tidak diketahui oleh para malaikat, tidak juga diketahui oleh nabi-nabi yang diutus. Hari kiamat dan kebangkitan kembali manusia adalah rahasia Allah. Terdapat banyak penjelasan dalam al-Qur’an, bahwa pengetahuan tentang hari kebangkitan hanyalah milik Allah ta’ala. Seperti dalam surat al a’raf ayat 187,


قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي لَا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلَّا هُوَ


Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorang pun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia.


Demikian juga dalam surat Luqman ayat 34, dalam ayat ini Allah ta’ala bahkan menegaskan jangankan hari kiamat, kematian manusiapun merupakan rahasia Allah.


إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ


Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.   

Menurut Pakar Tafsir Quraish Shibab, tujuan Allah merahasiakan waktu kebangkitan adalah untuk menguji siapa yang tulus dalam beribadah dan siapa yang tidak tulus. Mengaitkan pikiran, hati dan perasaan manusia dengan kehadiran Kiamat yang tidak diketahui kapan kehadirannya itu, dapat membentengi manusia dari kedurhakaan. Ini disebabkan karena ketidaktahuan itu akan mengantar mereka selalu waspada dan mempersiapkan diri menghadapinya dengan amal-amal saleh. (1) 


Memperingatkan dan memberikan rasa takut akan hari Kiamat (kepada manusia) hanya akan memberi dampak yang sempurna jika waktu terjadinya tidak diketahui. Oleh karena itu, tidak perlu lagi dianyakan waktu terjadinya setelah diketahui bahwa waktunya sudah dekat. Kadar pengetahuan bahwa waktunya sudah dekat, seharusnya sudah cukup bagi manusia mempersiapkan diri untuk menghadapinya.


Rasulullah Hanyalah Pemberi Peringatan. Rasulullah adalah seorang Nabi yang diutus untuk seluruh manusia. Namun pada ayat ke 45 surat al-Nazi’at ini seolah Allah ta’ala menjelaskan bahwa Rasulullah hanyalah mendapat untuk memberi peringatan kepada orang-orang tertentu saja yang takut kepada datangnya hari akhir. Jika merujuk kepada pendapat pakar susatera Arab Abu Nashr al-Jauhari (w 393 H) ia mengemukakan bahwa kata peringatan (الانذار) tidak digunakan kecuali untuk hal menjadikan takut (ولايكون إلا في التخويف). (2)


Demikian pula menurut pakar tafsir al-Qurthubi bahwa peringatan memang hanya bagi orang-orang yang punya rasa takut.


وَخَصَّ الْإِنْذَارَ بِمَنْ يَخْشَى، لِأَنَّهُمُ الْمُنْتَفِعُونَ بِهِ، وَإِنْ كَانَ مُنْذِرًا لِكُلِّ مُكَلَّفٍ


Peringatan dikhususkan untuk orang yang takut, karena merekalah yang mengambil manfaat dengan peringatan itu, meski Rasulullah adalah seorang yang diutus bagi setiap mukallaf. (3) 


Menurut sementara pakar tafsir, penegasan Allah bahwa tugas para Rasul hanyalah sebagai pemberi peringatan, merupakan bentuk pemuliaan kepada mereka. Para Nabi dan Rasul maupun para penerusnya tidaklah dibebani kewajiban untuk menjadikan objek dakwah menjadi beriman atau mendapat hidayah. Bagi para da’i ilallah, penegasan ini tentulah merupakan sebuah kemaslahatan. 


Waktu Hidup di Dunia Hanyalah Sesaat. Orang-orang yang mendustakan Hari Kiamat, pada hari mereka menyaksikan Hari Kiamat itu benar-benar terjadi, karena kedahsyatan huru-haranya maka seakan-akan mereka tidak pernah tinggal di dunia kecuali sesaat pada suatu sore hari atau pagi hari. Karena pembangkangan dan kesombongannya, ketika mereka melihat kiamat, mereka merasa kehidupan dunia terlalu pendek, singkat, remeh, lenyap, tak berharga, dan tak ada bernilai.


Catatan Kaki

  1. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), Juz 15, hlm 53.
  2. Abu Nashr al-Jauhari, al-Shahah Taj al-Lughah wa Shahah al-‘Arabiyah, (Beirut: Dar al’Ilm, 1987), Juz 2 hlm 852.
  3. Syamsuddin al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Cairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1964),  Juz 19, hlm 210


Memukul Istri Bukan Sunnah Nabi


Kekerasan dalam rumah tangga merupakan permasalahan yang sensitif. Bagi sementara masyarakat Muslim, perilaku kekerasan suami terhadap istri terkadang dianggap sebagai sebuah kewajaran, karena terjadi didalam lingkup keluarga yang legal secara hukum, yang mana suami adalah pemimpin yang memiliki hak mutlak terhadap istrinya. Terlebih lagi jika hal tersebut kemudian dikaitkan dengan dalil agama yang membolehkan suami memukul istrinya, sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al-Nisa ayat 34,


الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا.


Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shaleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.


Meskipun dalam ayat tersebut terdapat keterangan tentang bolehnya memukul Istri, namun dalam penerapannya tidak serta merta dibenarkan bagi suami untuk melakukan hal tersebut. Para ulama memberikan penjelasan sebagai berikut:


Pertama, kebolehan memukul istri adalah terkait nusyuz. Nusyuz yang dimaksud pada ayat ini adalah kedurhakaan istri terhadap suaminya dari mentaatinya, dalam perkara yang diwajibkan Allah kepada mereka. 


Kedua, kalaupun istri melakukan Nusyuz, maka pemukulan boleh dilakukan setelah melalui beberapa tahapan. Sebagaimana dikemukakan oleh pakar Tafsir Wahbah al-Zuhaili, yaitu memberi nasihat, pisah ranjang dan setelah kedua tahapan tersebut dilakukan, lalu istri masih berlaku nusyuz maka barulah dibolehkan untuk memukul. Selanjutnya beliau menambahkan jika cara tersebut diatas belum bisa mengatasi masalah, maka suami tak boleh secara terus menerus memukuli istrinya, melainkan harus mengangkat hakim untuk menyelesaikan dan memutuskan permasalahan dalam keluarga tersebut.(1) 


Ketiga, memukul Istri dimaksudkan untuk mendidik dan bukan untuk menyakiti. Pakar tafsir hukum al-Imam al-Qurthubi (w 671) mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:


وَالضرْبُ فِي هَذِهِ الْآيَةِ هُوَ ضَرْبُ الْأَدَبِ غَيْرُ الْمُبَرِّحِ، وَهُوَ الَّذِي لَا يَكْسِرُ عَظْمًا وَلَا يَشِينُ جَارِحَةً كَاللَّكْزَةِ وَنَحْوِهَا، فَإِنَّ الْمَقْصُودَ مِنْهُ الصَّلَاحُ لَا غَيْرَ. (2)


Memukul istri yang dimaksud adalah pukulan untuk mendidik bukan pukulan yang menyakitkan, tidak mematahkan tulang dan tidak menyebabkan luka seperti meninju dan yang semisalnya, karena tujuannya untuk memperbaiki bukan hal yang lain yang merusak.


Kemudian beliau mengemukakan sebuah hadits riwayat Imam Muslim berikut,


فَاتَّقُوا اللهَ فِي النِّسَاءِ، فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللهِ، وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ، وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لَا يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ، فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ. (3)


Bertakwalah dalam soal wanita karena kalian mengambil mereka dengan amanat dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah dan kalian punya hak atas mereka tidak memasukkan ke tempat tidur kalian seseorang yang kalian tidak menyukainya, jika mereka melakukannya maka pukullah dengan pukulan yang tidak menyakitkan.


Pendapat Imam al-Qurthubi terkait pukulan yang bersifat mendidik dan tidak menyakitkan, adalah merupakan pendapat yang disepakati oleh mayoritas ulama fiqih. Seperti yang dikemukakan oleh al-Hatthab a-Ru’aini (w 954 H) dari kalangan fuqaha malikiyah, bahwa memukul istri adalah memukul untuk mendidik yang tidak menyakiti, tidak keras, tidak menyebabkan luka, tidak meninggalkan bekas. Memukul tidak boleh menimbulkan kesan mengintimidasi dan jika menurutnya memukul tidak akan bermanfaat, maka tidak dibolehkan baginya memukul.(4)  


Dari Fuqaha Syafi’iyyah, al-Khatib al-Syarbini mengemukakan bahwa, memukul tidak boleh pada wajah dan pada bagian tubuh yang rentan. Pemukulan dengan maksud mendidik akan membawa kemaslahatan, seorang suami memukul istrinya jika dipandang membawa kemaslahatan bagi nya dan tidak memberi kemudharatan  kepada istrinya. (5) 


Demikian pula pendapat al-Bahuty dari fuqaha Hanabilah mengemukakan, jika ingin memukul gunakanlah siwak, lipatan sapu tangan, atau dengan tangan, tak boleh memukul menggunakan kayu, cambuk ataupun tongkat. Adapun menghindari memukul adalah lebih diutamakan agar rasa cinta lebih terpelihara.(6)  


Dari berbagai pendapat tersebut di atas dapat di fahami bahwa, meskipun dalil kebolehan memukul istri terdapat dalam Al-Quran, namun dalam penerapannya para ilmuwan Muslim memberikan batasan yang sangat ketat.  


Keempat, Adapun jika kita berusaha meniru perilaku Nabi Muhammad saw, maka kita akan dapati kenyataan bahwa Beliau saw tak pernah sekalipun memukul istrinya. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra.


عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: «مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ، وَلَا امْرَأَةً، وَلَا خَادِمًا، إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَمَا نِيلَ مِنْهُ شَيْءٌ قَطُّ، فَيَنْتَقِمَ مِنْ صَاحِبِهِ، إِلَّا أَنْ يُنْتَهَكَ شَيْءٌ مِنْ مَحَارِمِ اللهِ، فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ» (7)


Rasulullah saw tidak pernah memukul apapun dengan tangannya. Ia juga tidak pernah memukul istri-istri dan pelayannya, kecuali apabila beliau berjihad di jalan Allah. Ketika beliau disakiti, beliau sama sekali tak pernah membalas orang yang menyakitinya, kecuali bila ada larangan Allah ta’ala yang dilanggar, maka beliau membalas karana Allah.


Melalui lisannya, Rasulullah pernah pula menegur para suami yang suka memukuli istrinya, beliau bersabda:


لاَ يَجْلِدُ أَحَدُكُمُ امْرَأَتَهُ جَلْدَ العَبْدِ، ثُمَّ يُجَامِعُهَا فِي آخِرِ اليَوْمِ.(8) 


“Janganlah seseorang di antara kamu memukul istri layaknya memukul hamba sahaya, padahal ia (para suami) menggauli istrinya di penghujung hari” 


Rasulullah saw pernah pula memberikan petunjuk kepada Mu’awaiyah al-Qusyairi, yang bertanya kepada beliau tentang bagaimana bersikap terhadap istri-istrinya. Beliau bersabda:


أَطْعِمُوهُنَّ مِمَّا تَأْكُلُونَ، وَاكْسُوهُنَّ مِمَّا تَكْتَسُونَ، وَلَا تَضْرِبُوهُنَّ، وَلَا تُقَبِّحُوهُنَّ.(9) 


Berilah mereka makan sebagaimana yang kalian makan, dan berilah mereka pakaian dari apa yang kalian pakai, dan janganlah kalian memukul mereka serta menjelek-jelekkan (mencaci) mereka.


Demikianlah ketentuan agama Islam dalam mengatur salah satu permasalahan dalam rumah tangga. Dapat disimpulkan bahwa meskipun dibolehkan bagi suami untuk memukul istri yang nusyuz, namun menghindari memukul adalah lebih di utamakan dan lebih mulia bagi suami. Adapun Kebolehan memukul adalah setelah upaya menasihati dan memisahkan ranjang tak membuahkan hasil yang baik. Tidak dibenarkan memukul hingga menyakitkan, meninggalkan bekas terlebih apalagi menimbulkan cedera. Adapun Nabi SAW tak pernah memukul istrinya serta melarang para suami untuk memukul istri. Wallahu a’lam  bishowab 


Catatan Pustaka

  1. Lihat wahbah Musthafa al-Zuhaili,  al-Tafsir al-Munir, (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, cetakan ke 2, 1418 H), Juz 5, hlm 56
  2. Syamsuddin al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, (Cairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1384 H), Juz 5, hlm 172.
  3. Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihyau Turast al-‘Arabiy, tth), Juz 2, hlm 886, hadits no 1218
  4. Lihat Muhammad bin Muhammad bin ‘Abdurrahman ar-Ru’aini al-Maliki, Mawahibul Jalil Fi Syarh Mukhtashar Khalil, (Beirut: Dar al-Fikr, 1412 H), Juz 4, hlm 15-16
  5. Lihat al-Khatib asy-Syarbini asy-Syafi’i, Mughni al-Muhtaj, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1415 H), juz 4, hlm 427.
  6. Manshur bin Yunus al-Bahuty al-Hanbali, Kasyaf al-Qina, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth), Juz 5, hlm 210.
  7. Muslim bin al-Hajjaj, op.cit, Juz 4, hlm 1814, hadits no 2328.
  8. Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Saudi Arabia: Dar Thouq al-Najah, 1422 H), Juz 7, hlm 32, hadits no 5204.
  9. Abu Dawud al-Sijjistani, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Maktabah al-‘Ashriyah, tth), Juz 2, hlm 245, hadits no 2144.


Fungsi Iman Dalam Menyatukan Masyarakat Muslim



Bagi komunitas Muslim, konsep keimanan seharusnya mendasari makna hidup pribadi dan sosial, tidak hanya sekedar dalam tataran pemikiran dan nilai, namun juga dalam tataran fisik dan material. Sebagaimana alam semesta, merupakan sebuah ekosistem yang tertib, teratur, dan tunduk pada hukum-hukum Allah, dan mengejawantahkan keagungan-Nya.

Iman yang bukan sekedar diiucapkan dengan lisan, Iman yang merupakan sumber kebahagiaan manusia didunia dan akhirat, merupakan suatu realitas batin dan prinsip mendasar dari seluruh aspek hidup manusia. tentang kebenaran universal tentang pencipta dan pelindung alam semesta, tentang kemanusiaan, pengetahuan dan moral serta askatologi memberikan dimensi dan arti baru dalam kehidupan manusia sebagai pribadi dan sosial.

Salah satu contoh keterkaitan pemaknaan iman pribadi dan sosial adalah sebuah hadits yang diriwayatkan al-Bukhari berikut,

حَدَّثَنَا قَتَادَةُ، عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ، حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ»(1) 

Menuturkan Qatadah dari Anas bin Malik ra, dari Rasulullah saw telah bersabda: “tidak beriman salah seorang diantara kalian hingga mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri (dalam kebaikan)”

Membahas hadits ini ibnu Bathal menuturkan, bahwa maksud hadit ini adalah tidak sempurna (cacat) iman seorang Muslim yang tidak mencintai saudara muslimnya. Selanjutnya ia mengatakan,

ظاهره التساوى وحقيقته التفضيل، لأن الإنسان يحب أن يكون أفضل الناس(2) 

Meskipun secara lahiriyah teksnya menuturkan kewajiban menyetarakan dalam hal-hal yang disukai, namun secara hakikat hadits ini mengajarkan untuk memuliakan saudaranya dari dirinya sendiri. Karena manusia menyukai dirinya dimuliakan.

Pakar hadits al-Munawi(3)  mengemukakan bahwa, kecintaan dalam hadits ini terkait berbagai kebaikan dan manfaat didunia, serta kecintaan dalam hal agama.(4)  Jadi seorang yang memiliki iman yang baik dalam hadits ini adalah selain kebaikan dalam hal dunia, orang-orang beriman juga menyukai saudaranya juga baik dalam hal-hal keagamaan.

Merujuk kepada al-Qur’an surat al Hujurat ayat 10, kita akan temukan sebuah aksioma tentang iman yang menyatukan. Ragam kajian para ulama menunjukkan bahwa persaudaraan dalam Islam itu dilandasi Iman yang kemudian membentuk persaudaraan secara lahiriyah dan batiniyah.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.

Muhammad Ali Ash-Shabuni menyatakan bahwa Ukhuwah Imaniyah direfleksikan menjadi Ukhuwah Islamiyah karena didasarkan pada ikatan iman, atau karena persamaan keimanan mereka kepada Allah SWT. Maka semua muslim, baik yang masih hidup, yang akan lahir dan yang sudah meninggal dunia adalah bersaudara. Oleh karena itu sangat tidak pantas jika terjadi permusuhan, pertikaian, saling membenci, saling memfitnah dan tidak pantas pula jika saling berselisih satu sama lain.(5) 

Imam An-Nasafi juga sama menerangkan bahwa imanlah yang menjadi perekat dan pengikat ukhuwah sesama muslim, baik karena keimanan  dan nasab, dan persaudaraan berlandaskan keimanan itulah yang hakiki.(6)  

Al Imam al-Maraghi menuturkan dalam tafsirnya tentang Iman yang menyatukan,

والإخوة فى النسب، والإخوان فى الصداقة، واحدهم أخ، وقد جعلت الأخوّة فى الدين كالأخوّة فى النسب وكأن الإسلام أب لهم(7). 

Persaudaraan karena nasab, dan persaudaraan karena persahabatan iman, merupakan satu saudara, karena telah dijadikan persaudaraan karena agama itu sebagaimana persaudaraan karena nasab, karena agama Islam itu adalah nenek moyang setiap Muslim.

Lebih lanjut al-Maraghi menguatkan bahwa orang-orang beriman itu bersaudara karena nasab keimanan, 

انهم منتسبون إلى أصل واحد وهو الإيمان الموجب للسعادة الأبدية(8) 

Orang-orang beriman terikat oleh sumber nasab yang satu yaitu iman yang memberikan kebahagiaan abadi.

Memerinci pendapat-pendapat di atas, Shihab melakukan analisanya terhadap penggunaan teks-teks dalam ayat tersebut, 

Kata (إِنَّمَا) digunakan untuk membatasi sesuatu. Di sini kaum beriman dibatasi hakikat hubungan mereka dengan persaudaraan. Seakan-akan tidak ada jalinan hubungan antar mereka kecuali persaudaraan itu. Kata innama biasa digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang telah diterima sebagai suatu hal yang demikian itu adanya, dan telah diketahui oleh semua pihak secara baik. Penggunaan kata innama dalam konteks penjelasan tentang persaudaraan antara sesama mukmin ini, mengisyaratkan bahwa sebenarnya semua pihak telah mengetahui secara pasti bahwa kaum beriman bersau-dara, sehingga semestinya tidak terjadi dari pihak mana pun hal-hal yang mengganggu persaudaraan itu.(9) 

Kata (أخْ) yang berbentuk tunggal itu, biasa juga dijamak dengan kata (إخون) ikhwan. Bentuk jamak ini biasanya menunjuk kepada persaudaraan yang tidak sekandung. Berbeda dengan kata (إخوة) ikhwah yang hanya terulang tujuh kali dalam al-Qur’an, kesemuanya digunakan untuk menunjuk persaudaraan seketurunan, kecuali ayat al-Hujurat di atas. Hal ini agaknya untuk mengisyaratkan bahwa persaudaraan yang terjalin antara sesama muslim, adalah persaudaraan yang dasarnya berganda. Sekali atas dasar persamaan iman, dan kali kedua adalah persaudaraan seketurunan, walaupun yang kedua ini bukan dalam pengertian hakiki. Dengan demikian tidak ada alasan untuk memutuskan hubungan persaudaraan itu. Ini lebih-lebih lagi jika masih terikat oleh persaudaraan sebangsa, secita-cita, sebahasa, senasib dan sepenanggungan.(10) 

Ayat di atas memberikan pelajaran penting tentang iman yang menyatukan, merupakan dasar hubungan sesama ummat Islam, sumber keharmonisan dan kebahagiaan. Sebaliknya perselisihan dan perpecahan merupakan sumber kehancuran dan kesengsaraan yang meruntuhkan kekuatan Islam.

Demikianlah Iman difahami sebagai sebuah pondasi bagi tegaknya bangunan Islam, atau ruh kehidupan bagi manusia. Dengan iman seluruh sistem kehidupan menjadi tegak, kokoh dan memberikan arti. Komitmen keimanan, tidak sekedar mengatur hubungan individu secara vertikal kepada Allah ta’ala, melainkan juga mencakup hubungan horizontal dengan sesama manusia dan seluruh makhluk, dan hubungan-hubungan ini harus sesuai dengan kehendak Allah. Membangun kesatuan ummat Islam melalui persaudaraan merupakan gerak konstruktif yang memindahkan unsur keyakinan kepada perilaku praktis. Tentu saja hal ini tidak akan terwujud hanya dengan penjelasan lisan atau tabligh semata melainkan juga melalui membangun kesadaran melalui pewarisan nilai-nilai, pembiasan dan pendidikan.

Wujudnya kesatuan ummat Islam berdasarkan keimanan merupakan tahapan yang progresif bagi kekuatan masyarakat Islam.  Berdasarkan keimanan setiap Muslim selalu melakukan penilaian terhadap kualitas kehidupannya, etika, tradisi dan faham hidupnya. Tujuan hidupnya sangat jelas, ibadah, kerja keras dan bahkan jiwanya ditujukan kepada Allah. Sehingga setiap individu dalam masyarakat Islam tidak akan pernah terjerat pada nilai-nilai palsu atau bekerja tanpa nilai yang hakiki yaitu mencari keridhaan Allah. Maka hubungan dalam masyarakat Islam adalah hubungan bangsa berlandasakan keimanan, masyarakat terbentuk di atas satu pijakan yang sama dalam hubungan kasih sayang dimana ikatan tersebut terbentuk karena kekuatan hubungan mereka kepada Allah.


Catatan Kaki

  1. Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Riyadh: Dar Thuwaiq al-Najh, cet pertama, 1422 H), Jilid 1, hlm 12, hadits no 13.
  2. Ibnu Bathal, Syarh Shahih al-Bukhari il Ibn Bathal, (Riyadh: Maktabatu al-Rusyd, cet ke2, 1423 H), Jilid 1, hlm 65.
  3. Ia adalah Muhammad Abdurrauf al-Munawi, ulama keanamaan dari abad ke 11 H. Pernah menjadi guru di madrasah shalihiyah Mesir, Madrasah ini merupakan sebuah sekolah elit yang mengampu pewarisan keilmuan fiqh dalam 4 mazhab. banyak meninggalkan karya diantaranya yang paling popular adalah Faidh al-Qadir syarh al-Jami’ al-Shagir. 
  4. Zain al-din al-Munawi, al-itihafat al-saniyah bi al-Ahadits al-Qudsiyah, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, tth), jilid 1, hlm 34.
  5. Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwah At-Tafasir, (Kairo: Dar Ash-Shabuni, tt), Jilid 3, hlm. 234 – 235.
  6. Abu al-Barkat al-Nasafi, Madariku al-Tanzil wa Haqaiqu al-Ta’wil, (Beirut: Dar Kalam al-Thayib, cet pertama 1998) ,Jilid 3, hlm 353.
  7. Ahmad bin Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Mesir: Perusahaan penerbitan Musthafa al-halabi, cet pertama 1946), Jilid 26, hlm 130
  8. Ibid, hlm 131.
  9. Quraish Sihab, Tafsir al Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, Cet ketiga, 2005), Jilid 13, hlm 247
  10. Ibid, hlm 248.