أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ _ فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ _ وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ_ فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ _ الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ _ وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat. (yaitu) orang-orang yang lalai dari sholatnya. Orang-orang yang berbuat riya. Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.
Sebab Turunnya Ayat
Al Wahidy[1] menuliskan dua pendapat mengenai siapakah orang yang dimaksud dalam ayat ini (1-2), muqatil dan al kalby berpendapat bahwa yang dimaksud adalah al ash bin wail as sahmy. menurut ibnu juraiz yang dimaksud adalah abu sufyan, “كَانَ أَبُو سُفْيَانَ بْنُ حَرْبٍ يَنْحَرُ كُلَّ أُسْبُوعٍ جَزُورَيْنِ، فَأَتَاهُمْ يَتِيمٌ فَسَأَلَهُ شَيْئًا فَقَرَعَهُ بِعَصَا”karena ia selalu menyembelih kambing atau unta setiap pekannya, tetapi ketika anak-anak yatim itu meminta kepadanya ia mengetuk kepala mereka dengan tongkatnya.
Riwayat lainnya dari ibnu abbas ra, yang disampaikan oleh adh dhahhak bahwa yang dimaksud adalah salah seorang dari kaum munafik. As suddi mengatakan bahwa maksudnya adalah al walid bin al mughirah, ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah abu jahal. [2]
Mengenai sebab turunnya ayat 4, az zuhaili menuliskan dalam tafsirnya sebagai berikut, diriwayatkan oleh ibnul mundzir dari ibnu abbas ra, bahwa (نُزِلَتْ فِي المُنَافِقِينَ كانُوا يُرَاءُونَ المُؤْمِنِينَ بِصَلاَتِهِمْ إِذَا حَضَرُوا، وَيَتْرَكُونَهَا إِذَا غَابُوا، وَيَمْنَعُونَهُمُ العَارِيَّةَ، أَيْ الشَّيءُ الْمُسْتَعَارُ) ayat ini turun terkait dengan orang munafiq yang mengerjakan sholat jika orang mukmin melihatnya, namun mereka meninggalkannya ketika sendirian, serta menahan meminjamkan sesuatu secara sukarela. [3]
Munasabah
Keterkaitan surat ini dengan surat sebelumnya (al quraisy) menurut as suyuti adalah (ذكر الله تعالى في سورة قريش: الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ، ذَكَرَ هُنَا ذَمَّ مَنْ لَمْ يَحُضْ عَلَى طَعَامِ المِسْكِينَ) jika pada surat al quraisy Allah mengingatkan kaum quraisy bahwa Ia lah yang memberi mereka makan untuk menghilangkan rasa lapar, maka pada surat ini Allah mengingatkan dengan mencela mereka yang tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Kemudian (فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ ذَكَرَ هُنَا مَنْ سَهَا عَنْ صَلاتِهِ) perintah menyembah Rabb ka’bah mengingatkan tentang mereka yang lalai dengan sholatnya.[4]
Al alusi menambahkan bahwa keterkaitan surat ini ialah (ذَمَّ سُبْحَانَهُ هُنَا لَمَّا عَدَدَ نِعْمَةَ تَعَالَى عَلَى قُرَيشٍ وَكَانُوا لَا يُؤْمِنُونَ باِلبَعْثِ وَالْجَزَاءِ) Allah mencela kaum quraisy dengan menyebutkan kenikmatan yang Ia limpahkan kepada mereka namun mereka tidak beriman kepada hari kebangkitan dan pembalasan.[5]
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
Ibnu Katsir menuliskan (أَرَأَيْتَ -يَا مُحَمَّدُ- الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ؟ وَهُوَ: الْمَعَادُ وَالْجَزَاءُ وَالثَّوَابُ) Apakah kamu mengetahui hai Muhammad, orang yang mendustakan ad diin, yaitu hari kebangkitan serta pemberian balasan dan pahala?[6]
Demikian pula pendapat Ibnu Jarir ath thobari, pertanyaan yang ditujukan kepada Rasulullah saw ini berisi informasi para pendusta agama (أَرَأَيْتَ يَا مُحَمَّد الَّذِي يُكَذِّبُ بِثَوَابِ اللهِ وَعِقَابِهِ، فَلَا يُطِيعُهُ فِي أَمْرِهِ وَنَهْيِهِ) tahukah kamu hai Muhammad, orang yang mendustakan pahala dan siksa Allah, sehingga tidak mematuhi-Nya dalam hal perintah dan larangan-Nya.[7]
Ibnu abi hatim meriwayatkan dari ibnu abbas bahwa maksudnya ayat ini adalah (الَّذِي يُكَذِّبُ بِحُكْمِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ) yaitu yang mendustakan hukum Allah. Sedangkan al hasan mengartikan bahwa maksudnya adalah orang kafir.[8]
Al mawardi menuliskan tiga pendapat tentang pendusta agama yaitu (أحدها: يعني بالحساب , قاله عكرمة ومجاهد. الثاني: بحكم الله تعالى , قاله ابن عباس. الثالث: بالجزاء الثواب والعقاب) mereka yang mendustakan hisab, hukum Allah serta pahala dan hukuman.[9]
Sayyid quthb menuliskan bahwa (هَذَا الاِسْتِفْهَامُ الَّذِي يُوَجِّهُ كُلَّ مَنْ تَتَأَتَّى مِنْهُ الرُؤْيَةُ لِيَرَى وَيَنْتَظِرُ مَنْ يَسْمَعُ هَذَا الاِسْتِفْهَامِ لِيَرَى إِلَى أَيْنَ تَتَّجِهُ الإِشَارَةُ وَإِلَى مَنْ تَتَّجِهُ؟ وَمَنْ هُوَ هَذَا الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ، وَالَّذِي يُقَرِّرُ القُرْآنَ أَنَّهُ يُكَذِّبُ بِالدِّينِ) ini adalah pertanyaan yang ditujukan kepada setiap orang yang bisa melihat agar menyaksikan dan menantikan orang yang mendengar pertanyaan ini untuk melihat kemana isyarat ini di arahkan dan kepada siapa ditujukan? Siapakah orang yang mendustakan agama dan siapakah orang yang ditetapkan al qur’an sebagai pendusta agama. [10] Informasi karakteristik para pendusta agama itu Allah sebutkan dalam ayat-ayat selanjutnya.
فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ
Itulah orang yang menghardik anak yatim
Makna dari kata yadu’u pada ayat ini adalah (يَدْفَعُ) mendorong, sebagaimana tertera pada firman Allah ta’ala,
يَوْمَ يُدَعُّونَ إِلَى نَارِ جَهَنَّمَ دَعًّا
“pada hari mereka didorong ke neraka jahannam dengan sekuat-kuatnya” (ath thuur 13)[11]
Ath thobari menafsirkan maksudnya adalah (هُوَ الَّذِي يَدْفَعُ اليَتِيمَ عَنْ حَقِّهِ، وَيَظْلِمُهُ) mereka yang mencegah anak yatim dari haknya dan menzhaliminya,[12] ibnu katsir mengatakan (هُوَ الَّذِي يَقْهَرُ الْيَتِيمَ وَيَظْلِمُهُ حَقَّهُ، وَلَا يُطْعِمُهُ وَلَا يُحْسِنُ إِلَيْهِ) mereka adalah orang yang berbuat sewenang-wenang kepada anak yatim dan menzhalimi haknya, tidak memberinya makan serta tidak berbuat baik pula kepadanya.[13]
Pengertian-pengertian tersebut di atas dapat kita temukan dalam riwayat-riwayat berikut,
Dari Ibnu Abbas ra, maksud ayat ini adalah (يَدْفَعُ حَقَّ اليَتِيمِ) mencegah anak yatim dari haknya.[14] Mujahid berkata (يَدْفَعُ الْيَتِيمَ، عَنْ حَقِّهِ وَيَظْلِمُهُ) menahan anak yatim dari haknya serta menzhaliminya.[15] Muhammad bin amru menceritakan dari mujahid bahwa maksudnya adalah (يَدْفَعُ اليَتِيمَ فَلَا يُطعِمْهُ) mencegah anak yatim sehingga tidak memberinya makan.[16]
Pengertian-pengertian tersebut diatas saling terkait, al qurthubi mendefiniskan pengertiannya dengan lebih praktis yang dimaksud adalah (أَنَّهُمْ كَانُوا لَا يُوَرِّثُونَ النِّسَاءَ وَلَا الصِّغَارَ) mereka yang tidak memberikan harta warisan kepada wanita dan anak-anak kecil (yatim) apa yang sudah menjadi haknya.[17]
Hamka berpendapat pemakaian kata yadu’u yang berarti menolak maksudnya adalah menolakkannya dengan tangan apabila ia mendekat. Hal ini mencerminkan kebencian yang sangat, rasa tidak senang, rasa jijik dan tidak boleh mendekat. Sehingga benarlah mereka yang membenci anak yatim itu pendusta agama.[18]
Dari Malik bin Amru, Rasulullah saw pernah bersabda,
وَمَنْ ضَمَّ يَتِيمًا بَيْنَ أَبَوَيْنِ مُسْلِمَيْنِ إِلَى طَعَامِهِ وَشَرَابِهِ حَتَّى يُغْنِيَهُ اللَّهُ، وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ
Barangsiapa yang merangkul (memelihara) seorang anak yatim yang berasal dari keluarga muslim dengan memberinya makan dan minum hingga Allah menjadikan anak tersebut berkecukupan, maka orang tersebut berhak untuk masuk kedalam surga.[19]
وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ
Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin
Maksudnya adalah (وَلَا يَحُثُّ غَيْرُهُ عَلَى إِطْعَامِ المُحْتَاجِ مِنَ الطَعَامِ) tidak mendorong orang lain untuk memberikan makanan kepada orang yang membutuhkan.[20] Al qurthubi berpendapat (لَا يَفْعَلُونَهُ إِنْ قَدَرُوا، وَلَا يَحُثُّونَ عَلَيْهِ إِنْ عَسِرُوا) mereka tidak mau berbagi meski mereka mampu dan apabila mereka tidak mampu mereka tidak menganjurkan orang lain untuk berbagi.[21]
Ibnu katsir menuliskan bahwa ayat ini semisal dengan firman Allah ta’ala dalam surat al fajr 17-18:
كَلا بَل لَا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ وَلا تَحَاضُّونَ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin”
Hamka berpendapat dalam tafsirnya bahwa semestinyalah seorang ayah mendidik anak dan istrinya untuk menyediakan makanan bagi yang membutuhkan. Serta menjadikan kegiatan ajak mengajak, galak menggalakkan dalam rangka menolong anak yatim dan fakir miskin menjadi perasaan bersama dan budi pekerti yang umum.[22]
Makna yang demikian juga dikemukakan sayyid quthb dengan tegas (إِنَّ حَقِيْقَةَ التَّصْدِيقِ بِالدِّينِ لَيْسَتَ كَلِمَةً تُقَالُ بِاللِسَانِ إِنَّمَا هِيَ تُحَوِّلُ فِي الْقَلْبِ يَدْفَعُهُ إِلىَ الخَيْرِ وَالبِرِّ بِإِخْوَانِهِ فِي البَشَرِيَّةِ، اَلْمُحْتَاجِينَ إِلَى الرِعَايَةِ وُالْحِمَايَةِ) sesungguhnya hakikat membenarkan agama itu tidak sekedar ucapan lisan semata, melainkan berproses dalam hati hingga mendorongnya untuk melakukan kebaikan dan kebenaran kepada saudaranya sesama ummat manusia yang membutuhkan perlindungan dan perawatan.[23]
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ _ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat. (yaitu) orang-orang yang lalai dari sholatnya
Al wail adalah (الوَادِي الَّذِي يَسِيلُ مِنْ صَدِيدِ أَهْلِ جَهَنَّمِ لِلْمُنَافِقِينَ الَّذِيَن يُصَلُّونَ، لَا يُرِيدُونَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ بِصَلَاتِهِمْ، وَهُمْ فِي صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ إِذَا صَلُّوهَا) lembah yang dialiri oleh nanah para penghuni jahannam, diperuntukkan bagi orang-orang munafik yang mengerjakan sholat tapi dengan sholat itu mereka tidak menginginkan Allah dan mereka lalai dalam sholatnya.[24] Al qurthubi mengatakan bahwa makna al wail adalah adzab.[25]
Ath thabari menuliskan dalam tafsirnya bahwa para ahli tafsir berbeda pendapat tentang maksud orang-orang yang lalai dari sholatnya, sebagian mengatakan bahwa maksudnya adalah (أَنَّهُمْ يَؤَخِّرُونَهَا عَنْ وَقْتِهَا، فَلاَ يُصَلُّونَهَا إِلَّا بَعْدَ خُرُوجِ وَقْتِهَا) mereka yang menunda-nunda pelaksanaan dari waktunya, sehingga mereka tidak mengerjakannya kecuali setelah keluar dari waktunya. Sedangkan yang lain berpendapat (أَنَّهُمْ يَتْرَكُونَهَا فَلَا يُصَلُّونَهَا) meninggalkannya serta tidak mengerjakan sholat. Pendapat terakhir adalah (أَنَّهُم يَتَهَاوَنُونَ بِهَا، وَيَتَغَافَلُونَ عَنْهَا وَيَلْهُونَ) mereka meremehkannya, melalaikannya dan menyia-nyiakannya.[26]
Menurut al qurthubi makna ayat ini sesuai dengan firman Allah ta’ala dalam surat an nisa 142:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk sholat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan sholat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut (mengingat) Allah kecuali sedikit.
Imam muslim meriwayatkan dari anas bin malik ra, Rasulullah saw bersabda:
تِلْكَ صَلَاةُ الْمُنَافِقِ، يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَيِ الشَّيْطَانِ، قَامَ فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا، لَا يَذْكُرُ اللهَ فِيهَا إِلَّا قَلِيلًا
Itu adalah sholat orang munafiq, ia duduk menunggu matahari hingga matahari berada diantara dua tandung syaitan, lalu ia berdiri lalu naik dan turun empat kali, tidak mengingat Allah dalam sholatnya kecuali sedikit.[27]
Lebih lanjut al qurthubi menuliskan pendapat ibnu abbas (وَلَوْ قَالَ فِي صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ لَكَانَتْ فِي الْمُؤْمِنِينَ)bahwa seandainya yang disebutkan dalam surat ini adalah fii sholatihim saahun, maka yang dimaksud adalah orang-orang beriman. Demikian pula pendapat atha,( الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي قَالَ عَنْ صَلاتِهِمْ وَلَمْ يَقُلْ فِي صَلَاتِهِمْ) Alhamdulillah bahwa yang disebutkan adalah ‘an sholatihim. Sebab jika disebutkan fii sholatihim adalah mereka yang terlupa dalam sholatnya tanpa disengaja baik karena bisikan setan maupun dari dalam dirinya sendiri, sedang hal tersebut adalah manusiawi.[28]
الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ
Orang-orang yang berbuat riya.
Makna hakiki dari kata riya adalah (طَلَبُ مَا فِي الدُّنْيَا بِالْعِبَادَةِ، وَأَصْلُهُ طَلَبُ الْمَنْزِلَةِ فِي قُلُوبِ النَّاسِ) mengharapkan sesuatu yang bersifat duniawi melalui ibadah. Dan makna awal dari kata ini adalah mencari kedudukan di hati manusia.[29] Ath thobari berpendapat bahwa mereka mengerjakan sholat bukan karena menginginkan pahala dan takut terhadap siksa melainkan agar dilihat orang beriman dan dikira termasuk kalangan mereka, sehingga darah, harta, anak-anak serta wanita-wanita mereka terlindung.[30]
Ath thabrani meriwayatkan dari ibnu abbas tentang ancaman bagi orang-orang yang riya. Rasulullah saw bersabda:
إِنَّ فِي جَهَنَّمَ لَوَادِيًا يَسْتَعِيذُ جَهَنَّمُ مِنْ ذَلِكَ الْوَادِي فِي كُلِّ يَوْمٍ أَرْبَعَمِائَةِ مَرَّةٍ أُعِدَّ ذَلِكَ الْوَادِي لِلْمُرَائِينَ مِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لِحَامِلِ كِتَابِ اللهِ، وَلِلْمُصَّدِّقِ فِي غَيْرِ ذَاتِ اللهِ، وَلِلْحُجَّاجِ إِلَى بَيْتِ اللهِ، وَلِلْخَارِجِ فِي سَبِيلِ اللهِ.
“sesungguhnya di neraka jahannam terdapat sebuah lembah, dimana jahannam itu selalu berlindung dari lembah tersebut setiap hari hinggga 400 kali. Lembah tersebut disediakan untuk orang-orang riya dari ummat Muhammad saw, bagi orang yang membawa kitabullah dan orang yang bersedekah bukan karena Allah, juga bagi orang yang beribadah haji ke baitullah serta bagi orang yang keluar di jalan Allah.[31]
وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ
Dan enggan (menolong dengan) barang berguna
Asal makna al ma’un adalah (مِنْ كُلِّ شيءٍ مَنْفَعَتِهِ) segala sesuatu yang bermanfaat.[32] Al qurthubi menuliskan bahwa makna ayat ini terdapat dua belas pendapat dari para ulama. Secara ringkas sebagai berikut, zakat, harta, peralatan rumah tangga, segala sesuatu yang ada manfaatnya, angin dingin atau hawa dingin, segala kebajikan yang dilakukan sesama manusia, air dan rerumputan, air, orang yang menolak kebenaran, seseorang yang menginvestasikan hartanya, ketaatan, sesuatu yang tidak boleh tidak diberikan apabila diminta.[33] Al mawardi berkata (وَيَحْتَمِلُ أَنَّهُ الْمَعُونَةُ بِمَا خَفَّ فِعْلُهُ وَقَدْ ثَقَّلَهُ اللَّهُ) kemungkinan besar bantuan-bantuan in sebenarnya ringan untuk dilakukan, namun disulitkan dan diberatkan Allah khusus bagi mereka (orang munafik).[34]
Al qurthubi menutup pembahasan surat ini dengan menuliskan bahwa surat ini tepat sekali jika ditujukan kepada kaum munafiq. Makna ini sesuai dengan firman Allah ta’ala dalam surat an nisa 142,
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk sholat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan sholat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut (mengingat) Allah kecuali sedikit.”
Dan surat at taubah 54,
وَلَا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَى وَلَا يُنْفِقُونَ إِلَّا وَهُمْ كَارِهُونَ
“Dan mereka tidak mengerjakan sholat melainkan dengan malas dan tidak pula menafkahkan (harta) mereka melainkan dengan rasa enggan”.
Hikmah
1. Ayat ini mencela para pendusta agama secara umum -- dengan karakteristik yang disebutkan dalam ayat -- karena tidak dibatasi oleh sebab turunnya ayat secara khusus.( اَلْعِبْرَةُ بِعُمُومِ اللَفْظِ لاَ بِخُصُوصِ السَبَبِ)
2. Islam adalah diin yang sempurna, menyatukan aspek pribadi dan sosial maupun antara amal-amal hati, fikiran, lisan dan perbuatan. Tidak cukup seseorang itu rajin beribadah secara pribadi namun buruk hubungannya dengan sesamanya. Sebagaimana tidak cukup secara lahiriyah seorang itu terlihat tunduk dan patuh kepada Allah sedangkan hatinya tidak berharap kepada Allah. Begitu pula sebaliknya.
3. Hakikat ibadah berupa perintah dan larangan adalah untuk kebaikan bagi manusia, ibnu katsir[35] berpendapat bahwa ibadah adalah sumber kebahagiaan dan ketenangan hati. Proses manusia menempuh ujian dalam menepati perintah dan larangan Allah akan menjadikannya berbahagia, karena ibadahlah hakikat kehidupan yang sesungguhnya. Sayyid quthb menegaskan makna yang serupa dalam tafsirnya ia menyebutkan,
إِنَّ اللهَ لاَ يُرِيدُ مِنْهُمْ شَيْئًا لِذَاتِهِ سُبْحَانَهُ- فَهُوَ الغَنِيُ- إِنَّمَا يُرِيدُ صَلَاحَهُم هُمْ أَنْفُسَهُمْ. يُرِيدُ الخَيْرَ لَهُم. يُرِيدُ طَهَارَةَ قُلُوبِهِمْ وَيُرِيدُ سَعَادَةَ حَيَاتِهِم. يُرِيدُ لَهُمْ حَيَاةَ رَفِيعَةِ قَائِمَةٍ عَلَى الشُعُورِ النَظِيفِ، وَالتَكَافُلِ الجَمِيلِ، وَالأَرِيحِيَةِ الْكَرِيمَةِ وَالحُبِّ وَالْإِخَاءِ وَنَظَافَةِ القَلْبِ وَالسُلُوكِ
Sesungguhnya Allah tidak menghendaki sesuatu dari mereka untuk diri-Nya Yang Maha Suci – karena Dia Maha Kaya – tetapi Dia menginginkan kebaikan dan kemaslahatan manusia sendiri. Menginginkan kebaikan bagi mereka. Menginginkan kesucian hati dan kebahagiaan hidup mereka. Menginginkan bagi mereka kehidupan yang tinggi berasaskan perasaan yang bersih, saling menanggung beban dengan baik, kemurahan hati yang mulia, cinta dan persaudaraan serta kebersihan hati dan perilaku.[36]
Wallahu a’lam
sigit suhandoyo
Catatan Pustaka
[1] Abul Hasan Ali bin Ahmad al Wahidiy an Naisabury asy Syafi’i: Asbab an Nuzul al Qur’an. Ad Damam : Daar al Ishlah, 1412 H, 465.
[2] Imam al Qurthubi: al Jami’ li Ahkam al Qur’an, Qahirah: Daar al Kutub al Mishriyah, 1384 H, 20/210.
[3] Wahbah az zuhaili: Tafsir al munir fil aqidah wa asy syariat wal manhaj. Damaskus: Daar al fikr al mu’ashir, 1418 H, 30/423.
[4] Jalaluddin as suyuthi: asrar at tartib al qur’an. Daar al fadhilah li annashr wa attauzi’, tt. 168
[5] Shihabuddin al Alusi: Ruuh al ma’aani fi tafsiir al qur’an. Beirut: Daar al kutub al ilmiyyah, 1415 H, 15/474.
[6] Imaduddin Ibnu Katsir: Tafsir al Qur-an al Adzhim. Daar thoyyibah li an nashr wa at tauzi’, 1420 H, 8/493
[7] Ibnu Jarir ath Thobari: Jami’ al Bayan an Ta’wil Ayi al Qur’an. Beirut: Muassasah ar Risalah, 1420 H, 24/629
[8] Ar Razi Ibnu Abi Hatim: tafsir al qur’an al adzhim. Saudi Arabia: maktabatu an nizaari musthofa al baaz, cet 3, 1419 H. 10/3468
[9] Abul hasan ali al mawardi: an nukat wal uyun. Beirut: Daar al kutub al ilmiyyah, tt. 6/350.
[10] Sayyid Quthb: Fii Dzilal al Qur'an, Beirut: Daar Asy Syuruq. 1412 H. 6/3985.
[11] Al jami’ li ahkam al qur’an, 20/210
[12] Jami’ al Bayan an Ta’wil Ayi al Qur’an, 24/629.
[13] Tafsir al qur’an al adzhim, 8/493.
[14] Tafsir al qur’an al adzhim ibnu abi hatim, 10/3468
[15] Mujahid bin Jabr: Tafsir Mujahid. Mesir: Daar al fikr al islamy al haditsah. 1410 H, 753.
[16] Jami’ al Bayan an Ta’wil Ayi al Qur’an, 24/630.
[17] Al jami’ li ahkam al qur’an, 20/211
[18] Hamka: Tafsir al Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988 M, 30/275.
[19] Abul qasim ath thabrani: al mu’jam al kabir. Qahirah: maktabah ibnu taimiyah. 1415 H, 19/300. Al haitsami mencantumkannya dalam majmu’ az zawaid, padanya ada ali bin zaid dan ia menghasankan hadits, dan para rijalul hadits lainnya adalah shahih.
[20] Jami’ al Bayan an Ta’wil Ayi al Qur’an, 24/630
[21] Al jami’ li ahkam al qur’an, 20/211
[22] Tafsir al azhar 30/276.
[23] Fii Dzilal al qur’an 6/3985.
[24] Jami’ al Bayan an Ta’wil Ayi al Qur’an, 24/630.
[25] Al jami’ li ahkam al qur’an, 20/211
[26] Jami’ al Bayan an Ta’wil Ayi al Qur’an, 24/630-633.
[27] Muslim bin hajjaj an naisabury: al musnad ash shahih. Beirut: Daar ihya at turats al araby, tt, 1/434 hadits ke 622.
[28] Al jami’ li ahkam al qur’an, 20/212
[29] Al jami’ li ahkam al qur’an, 20/212.
[30] Jami’ al Bayan an Ta’wil Ayi al Qur’an, 24/633
[31] Al mu’jam al kabir, 12/175 hadits ke 12803. Al haitsami mencantumkannya dalam majmu’ az zawaid 10/222: hadits ini diriwayatkan oleh ath thabrani dari syaikhnya, yahya bin ‘abdawaih dari ayahnya tidak dikenal dan para rijal lainnya shahih. Almundziri menyebutkan dalam targhib wa at tarhib 1/67 hadits ini gharib.
[32] Jami’ al Bayan an Ta’wil Ayi al Qur’an, 24/634
[33] Al jami’ li ahkam al qur’an, 20/213-215. Pendapat-pendapat serupa ini juga disebutkan dalam an nukat wal uyun 6/352 dan ahkam al qur’an li ibnu al arabi 4/1984.
[34] an nukat wal uyun, 6/353.
[35] Tafsir al Qur'an al Adzhim, 7/425.
[36] Fii Dzilal al Qur’an, 6/3986.
ya syeikh, picturenya mengenaskan sekali. Kalau aja mentalitas pembesar negeri ini mau mengedepankan akhlak dan memperhatikan nasib wong cilik, tentu mereka malu jika hanya mementingkan diri sendiri.
BalasHapusiya pak de, rasa malu itu mencegah berbuat maksiat dan meningkatkan kepekaan sosial
BalasHapus