Husnul Khuluq
Kebaikan akhlak adalah asas pertama keteladanan dalam da’wah, ia adalah hujjah yang sanggup melawan keragu-raguan orang-orang yang bimbang, mematahkan serangan orang-orang yang membenci serta penentram hati mereka yang mengikuti seruan da’wah.
Jika engkau ingin menang tanpa perang, tanpa melukai, tanpa rasa sakit, tanpa dendam dan permusuhan maka ialah senjata yang harus kau produksi. Menyenangkan jika sosok muslim itu terkenal karena fitrahnya yang bersih, hatinya penyayang, jiwanya tenang, ikhlas, santun dan pembuat kebaikan.
Al mawardi mengatakan, “أَصْلِحْ نَفْسَك لِنَفْسِك يَكُنْ النَّاسُ تَبَعًا لَك”[1] perbaikilah dirimu niscaya manusia akan mengikutimu. Muhammad Mahmud al Hijazi berkata “أصلح نفسك ثم ادع غيرك، ولا شك أن مرتبة دعوة الغير إلى الهدى والخير مرتبة عالية، ولا يلقاها إلا أفراد قلائل زكت نفوسهم وطهرت أرواحهم وامتلأت إيمانا ويقينا”[2] perbaikilah dirimu kemudian serulah kepada orang lain, dan jangan ragu sesungguhnya berda’wah kepada orang lain hingga mendapatkan petunjuk dan kebaikan adalah dejarat yang tinggi, dan derajat yang mulia itu tidak diberikan Allah kecuali kepada sebagian kecil manusia yang mensucikan jiwa dan ruhnya serta memenuhi dirinya dengan iman dan keyakinan.
Demikianlah akhlaq yang baik, Ia adalah mata air, mereka yang dahaga pasti meminumnya. Ia adalah cahaya, mereka yang merasakan kegelapan pada jiwanya akan mencarinya.
Demikian pula junjungan kita Rasulullah saw memerintahkan kepada Ali ibn Abi Thalib ra,[3]
يَا عَلِيُّ، اطْلُبُوا الْمَعْرُوفَ مِنْ رُحَمَاءَ أُمَّتِي تَعِيشُوا فِي أَكْنَافِهِمْ، وَلَا تَطْلُبُوهُ مِنَ الْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ فَإِنَّ اللَّعْنَةَ تَنْزِلُ عَلَيْهِمْ
“wahai Ali carilah kebaikan dari umatku yang memiliki kasih sayang, maka engkau akan hidup dalam kemuliaan, dan janganlah mencarinya dari orang-orang yang keras hatinya, karena laknat akan turun kepada mereka.”
يَا عَلِيُّ، إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى خَلَقَ الْمَعْرُوفَ وَخَلَقَ لَهُ أَهْلًا فَحَبَّبَهُ إِلَيْهِمْ وَحَبِّبْ إِلَيْهِمْ فِعَالَهُ وَوَجَّهَ إِلَيْهِمْ طُلَّابَهُ كَمَا وَجَّهَ الْمَاءَ فِي الْأَرْضِ الْجَرِيبَةِ لِتُحْيِيَ بِهِ وَيَحْيَى بِهَا أَهْلُهَا
“Wahai Ali, sesungguhnya Allah ta’ala menciptakan kebaikan dan pelaku kebaikan, Allah cintakan kebaikan itu kepada ahlinya dan pelakunya Allah cintakan kepadanya. Allah arahkan kepadanya para pencarinya, sebagaimana mengarahkan air ke sawah ladang agar tanah itu hidup dengan air itu dan penghuninya bisa hidup dengannya .”
يَا عَلِيُّ، إِنَّ أَهْلَ الْمَعْرُوفِ فِي الدُّنْيَا هُمْ أَهْلُ الْمَعْرُوفِ فِي الْآخِرَة
“Wahai Ali, sesungguhnya ahli kebaikan di dunia itu adalah ahli kebaikan di akhirat.”
Muthobaqah Amal Qaulan
Abul Hasan an Nadawi berkata, “Kata adalah sepotong hati”, hati adalah ruh dari perkataan yang bukti kebenarannya adalah amal yang selaras. Tidaklah jujur melainkan mereka yang bersih hatinya dan tidaklah lurus amal seseorang melainkan yang bersih pula hatinya.
Orang-orang terlaknat itu memberi contoh terbaik untuk kita waspadai, menjual diri pada kekafiran, menukar kebenaran dengan kebatilan, kebenaran terselimuti debu-debu nifaq dan menjadi komoditas yang bisa dipesan, dieksploitasi bagi keuntungan dunia.
Da’wah seharusnya lahir dari kebersihan hati seorang da’i, menginginkan kebaikan bagi ummat, ia bukan ambisi dan nafsu pribadi. Perbuatan da’i sesuai dengan jalan lurus yang digariskan. Gaya hidupnya merupakan aktualisasi perkataannya, yang terlihat darinya adalah cerminan hatinya. Jika ia mengajak kepada sesuatu ia berkomitmen dengan hal itu. Jika ia melarang sesuatu ia pula yang pertama meninggalkan hal tersebut.
Da’i semacam ini diberkahi cahaya, da’wahnya meninggalkan jejak kebaikan bagi diri dan sesamanya.
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَ، فَرُبَّ مُبَلِّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ
Allah menyinari orang yang telah mendengar ucapanku, lalu dia memahaminya dengan baik dan menyampaikannya kepada orang lain persis seperti apa yang didengarnya, maka betapa banyak orang yang menyampaikan itu lebih mengerti dari pada orang yang mendengar saja.[4]
Waqfah Tarbawiyah
Berhenti sejenak untuk mendidik diri, menjadi murid guru, menjadi mad’u, menjadi mutarabbi. Mempelajari al Qur’an untuk mendapatkan energi rabbaniyyah yang menyuburkan kembali jiwa mereka. Sebagaimana perintah Sang Pencipta, “Hendaklah kalian menjadi orang-orang rabbani, karena kalian selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kalian tetap mempela-jarinya” ( ali Imran 79)
Proses yang tak pernah henti, para rabbaniyyun itu “من يتعلم ، ويعمل ، ويعلم” terus menerus belajar, beramal dan mengajarkan al Qur’an[5].
Malik bin Dinar berkata,[6] “يَا أَهْلَ الْقُرْآنِ، مَاذَا زَرَعَ الْقُرْآنُ فِي قُلُوبِكُمْ؟ فَإِنَّ الْقُرْآنَ رَبِيعُ الْقُلُوبِ كَمَا أَنَّ الْغَيْثَ رَبِيعُ الْأَرْضِ” wahai para pemilik al Qur’an, apa yang ditumbuhkannya dalam hati kalian? Karena sesungguhnya al Qur’an itu membasahi hati sebagaimana hujan membasahi bumi. Al Qurthubi berkata,[7] “وَسَمَّاهُ رُوحًا لِأَنَّ فِيهِ حَيَاةً النُفُسِ مِنْ مَوْتِ الْجَهْل” al Qur’an dinamakan ruh karena ia menghidupkan jiwa yang mati karena kebodohan.
Mereka yang menginginkan lisan, hati dan amalnya hidup dan berkesan dengan al Qur’an haruslah hidup bersama al Qur’an, saling menasihati dengannya. Karena Ia adalah ruh, ia adalah kehidupan bagi jiwa yang mati, ia adalah penenang bagi jiwa yang gelisah, sumber hidayah, penumbuh iman dan penjaga orientasi.
Yazid bin Abi habib[8] pernah berkata,
إِنَّ مِنْ فِتْنَةِ الْعَالِمِ الْفَقِيهِ أَنْ يَكُونَ الْكَلَامُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنَ الِاسْتِمَاعِ وَإِنْ وَجَدَ مَنْ يَكْفِيهِ، فَإِنَّهُ فِي الِاسْتِمَاعِ سَلَامَةٌ، وَزِيَادَةٌ فِي الْعِلْمِ.
Sesungguhnya diantara ujian para ulama yang faqih adalah dijadikannya lebih menyukai berbicara daripada mendengar dan merasa apa yang dimiliki itu cukup baginya, sesungguhnya dalam mendengar itu ada keselamatan, dan tambahan atas ilmu.
Keteladanan yang utama bagi mad’u ketika sang da’i berhenti sejenak secara periodik di terminal pembelajaran bagi dirinya, terminal yang menempatkan da’i menjadi objek da’wah, tempat sang da’i mendengarkan nasihat dan taujih bagi dirinya, mengevaluasi dan mengembangkan diri.
Inilah rahasia kenapa Islam menekankan bagi penganutnya untuk selalu saling menasihati agar tak ada seorangpun dari mereka yang tertipu dan tersesat dalam hidupnya, dan menjadikan seluruh aturan itu kembali dan berputar kepada Islam. Tidak kepada pribadi da’i, karena da’i adalah penyampai risalah bukan pembuat risalah.
Rasulullah saw bersabda,[9]
الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
Ad Diin itu nasihat, kami bertanya : kepada siapa? Beliau menjawab: “Kesetiaan kepada Allah, kepada kitab-Nya, kepada Rasul-Nya, kepada pemimpin-pemimpin kaum muslimin dan kepada mereka secara keseluruhan.
Demikian pula rahasia kenapa Islam memerintahkan penganutnya untuk tolong menolong, agar mereka terjaga kehormatan agama dan diri mereka. Rasulullah saw bersabda,[10]
الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ الْمُؤْمِنِ، وَالْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ، يَكُفُّ عَلَيْهِ ضَيْعَتَهُ، وَيَحُوطُهُ مِنْ وَرَائِهِ
Mukmin itu cerminan bagi mukmin lainnya. Mukmin itu saudara mukmin lainnya, menjaga hartanya dan melindunginya dari belakang.
Para du’at yang bergerak bersama jama’ah, bercermin dari sesama mukmin, mendengarkan nasihat niscaya akan terhindar dari penyakit ‘ijab bin nafsi. Karena penyakit ini muncul dari keengganan melihat dan mengoreksi diri.
Hasbunallah wa Ni’mal Wakiil
[1] Al Mawardi: Adab ad-Dunya wa ad-Diin, Daar al Maktabah al Hayah, 1986 M, hlm 358.
[2] Muhammad Mahmud al Hijazy: at Tafsir al Wadhih, Beirut: Daar al Jaliil al Jadiid, 1413 H, jilid 3, hlm 340.
[3] Abu Abdullah Al Hakim: al Mustadrak ‘ala Shahihain, Beirut: Daar al Kutub al ‘Ilmiyyah, 1411 H, jilid 4, hlm 357 hadits ke 7908.
[4] Muhammad bin Isa at Tirmidzi : Sunan at Tirmidzi, Mesir, 1395 H, jilid 5, hlm 34 hadits ke 2657, shahih menurut al Albany
[5] Yusuf al Qaradhawi : al hayat ar Rabbaniyyah wal Ilm, Maktabah Wahbah, 1416 H, hlm 90.
[6] Al Qurthubi: al Jami’ li ahkam al Qur’an, Qahirah: Daar al Kutub al Mishriyah, 1384 H, jilid 16, hlm 55.
[7] ibid
[8] Ibnul Mubarak : az Zuhdu wa ar Raqaa-iq li Ibnu al Mubarak, Beirut : Daar al Kutub al Ilmiyah, tt, jilid 1, hlm 16.
[9] Muslim bin Hajjaj : Shahih Muslim, Beirut : Daar Ihya at Turats al Araby, tt, jilid 1, hlm 74. Hadits dari Tamim ad Dariry ra.
[10] Abu Dawud as Sijjistany : Sunan Abi Dawud, Beirut: Maktabah al ‘Ashriyah, tt, jilid 4, hlm 280, hadits ke 4918. Hadits dari Abu Hurairah ra. Hasan menurut al Albany.