Sadar, menaruh perhatian penuh, mempertimbangkan serta berada dalam fikiran hingga mendominasi fikiran adalah kondisi seseorang ketika ia mengingat sesuatu. Al Qurthubi berpendapat[1] bahwa dzikir adalah kondisi seseorang ketika senantiasa waspada, “التَّنَبُّهُ بِالْقَلْبِ لِلْمَذْكُورِ وَالتَّيَقُّظُ لَهُ” memperhatikan dengan sepenuh hati terhadap sesuatu yang diingat dan senantiasa waspada terhadapnya.
Karena itu berdzikir (mengingat) Allah dalam alQur’an Allah gambarkan sebagai sebuah amal yang melandasi seluruh aktivitas lainnya,
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ
“orang-orang yang mengingat Allah dalam sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring.” (ali Imran 191).
Begitulah karakter ahli dzikir hingga Mujahid bin Jabr[2] menjadikannya sebagai sebuah kategori,
لَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنَ الذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا، حَتَّى يَذْكُرَ اللَّهَ قَائِمًا وَقَاعِدًا وَمُضْطَجِعًا
Seorang hamba tidak termasuk dalam kategori orang-orang yang berdzikir kepada Allah sebanyak-banyaknya sehingga ia mengingat Allah baik dalam keadaan berdiri, duduk maupun berbaring.
Senantiasa mengingat Allah juga merupakan kepribadian Rasulullah saw, sebagaimana yang diriwayatkan oleh istri beliau Aisyah ra,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ
“adapun nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengingat Allah setiap saat”[3]
Senantiasa mengingat Allah adalah dalam berbagai kondisi adalah situasi ketika berfikirnya seorang hamba, berucap, bertindak maupun diam dan istirahatnya adalah dalam rangka mentaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Pengertian ini sebagaimana dikemukakan oleh Abu Ja’far ath Thobari[4] ketika menafsirkan maksud dzikir kepada Allah,
فاذكروني أيها المؤمنون بطاعتكم إياي فيما آمركم به وفيما أنهاكم عنه
Maka ingatlah Aku wahai orang-orang yang beriman dengan ketaatan kalian sepenuhnya kepada-Ku dengan mengerjakan apa yang Aku perintahkan atas kalian dan meninggalkan apa yang Aku larang atas kalian.
Allahpun memotivasi hamba-Nya dengan memberikan balasan setimpal bagi mereka yang mengingat-Nya,
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ
“karena itu ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepada kalian.” (al Baqarah 152).
Tentang balasan kemuliaan dari Allah tersebut, Sa’id bin Zubair ra berkata, [5] “اذْكُرُونِي بِالطَّاعَةِ أَذْكُرْكُمْ بِالثَّوَابِ وَالْمَغْفِرَةِ” ingatlah kepada Allah dengan keta’atan maka Allah akan mengingat kalian dengan melimpahkan pahala dan ampunan” as Sudy[6] berkata, “لَا يَذْكُرُهُ مُؤْمِنٌ إِلَّا ذَكَرَهُ اللَّهُ بِرَحْمَتِهِ” tidaklah seorang mukmin mengingat Allah melainkan Allah mengingatnya dengan melimpahkan kasih sayang-Nya.”
Ketenangan Jiwa
Diantara sikap mental yang tumbuh dari mengingat Allah adalah ketenangan jiwa. Jiwa yang meyakini seluruh hakikat wujud merupakan tanda kebesaran Allah, akan sadar bahwa seluruh fenomena yang terjadi adalah dalam genggaman-Nya.
Manusia, dunia dan seluruh ujian yang terdapat didalamnya berada dalam strata sosial yang sama yaitu ciptaan-Nya. Sehingga Maha benar Allah, yang tidak menguji manusia melainkan sebatas kemampuannya.
Biarlah kebahagiaan dan penderitaan, kesehatan dan rasa sakit datang dan pergi, silih berganti dari diri kita, asalkan Allah tetap di jiwa kita.
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram” (ar ra’du 28)
Tsiqah Kepada Allah
Lemah mental, mudah berputus asa atau tidak yakinnya manusia akan adanya jalan keluar yang baik hingga menghalalkan berbagai cara adalah pertanda lemahnya aktivitas mengingat Allah.
Pelajarilah perkataan para tukang sihir Fir’aun ketika nyawa mereka akan terenggut karena keislaman mereka,
رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَتَوَفَّنَا مُسْلِمِينَ
Ya Rabb kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafat-kanlah kami dalam keadaan berserah diri. Al A’raf 126
Kata-kata yang menggambarkan kekuatan keyakinan kepada Allah, tak gentar menegakkan kebenaran karena keyakinan bahwa Allah adalah sebaik-baik pemberi balasan.
Pelajari pula jalan yang Allah gariskan bagi para nabinya dan sebagian besar pengikutnya yang setia. Jalan perjuangan yang menguji kekuatan keyakinan para pejuang itu kepada Allah,
وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ
Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. (ali Imran 146)
Tak kalah dahsyatnya ujian bagi para sahabat Rasulullah saw ketika menghadapi ancaman musuh dan upaya pelemahan mental perjuangan dari munafikin,
الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka", maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung." (ali Imran 173)
Berubahnya cita rasa, selera, prioritas, cara berfikir, gaya hidup bahkan cita-cita dari sebuah bangsa yang hidup dalam gempuran akidah materialis dan hedonis akankah menyisakan ruang bagi Allah?
hasbunallah wa ni’mal wakil
[1] Syamsuddin al Qurthubi : al Jami’ li Ahkam al Qur’an, Qahirah : Daar al Kutub al Mishriyah, 1384 H, Jilid 2, hlm 171.
[2] Ibnu katsir : Tafsir al Qur’an al Adzhim, Beirut : Daar Thoyyibah, 1421 H, jilid 8, hlm 123
[3] Muslim : Shahih Muslim, Beirut: Daar Ihya at turats al Araby, tt,Jilid 1, hlm 282.
[4] Abu Ja’far ath Thobari : Jami’ al Bayan an Ta’wil li Ayyil Qur’an, Beirut: Muassasah ar risalah, 1420H, jilid 3, hlm 211.
[5] Al jami’ li ahkam al Qur’an, jilid 2, hlm 171.
[6] Ibid