Pengertian Akidah
Aqidah berakar dari kata “عَقَدَ”, lawan kata dari “نَقِيضُ الحَلِّ” bercerai berai, ia adalah “الشد والربط والإيثاق والثبوت والإحكام” ikatan, hubungan, perjanjian, keteguhan dan keputusan[1], kata ini juga berarti memperistri, mengikat, mengukuhkan, mengangkat dan meneguhkan[2]. Az Zamakhsary berkata “بناء معقود ومعقد” membangun perjanjian dan menyempurnakan[3]. Kata “العقيدة” sendiri berarti “الحكم الذي لا يقبل الشك فيه لدى معتقدة” Ketentuan yang tidak diragukan lagi dalam keyakinan[4]. Dikatakan juga bahwa aqidah adalah “ما عقد عليه القلب واطمأن إليه” sesuatu yang mengikat hati dan menjadikannya tenang.[5]
Secara istilah, Hasan al Banna berpendapat bahwa aqidah adalah, “الأمور التي يجب أن يصدق بها قلبك , و تطمئن إليها نفسك , و تكون يقينا عندك , لا يمازجه ريب , و لا يخالطه شك” perkara-perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati, jiwamu menjadi tentram kepadanya, menjadi keyakinan bagimu yang tidak bercampur dengan sedikitpun keragu-raguan.[6]
Sebagaimana halnya ikatan perjanjian, maka kebenaran akan komitmen kita terhadap ikatan perjanjian tersebut menuntut adanya pembuktian, semisal hak dan kewajiban. Mahmud Sait Khattab menegaskan pendekatan tersebut, “العقيدة هي مثل عليا يؤمن بها الإنسان فيضحي من أجلها بالأموال والنفس؛ لأنها عنده أغلى من الأموال والنفس” aqidah adalah gambaran tentang idealisme yang tinggi yang harus di imani oleh manusia dengan menuntut adanya semangat berkorban dengan harta dan jiwa, karena idealisme tersebut lebih utama dari harta dan jiwa[7].
Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat at taubah ayat 111,
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.
Adapun perkara-perkara yang wajib diyakini kebenarannya serta menuntut pembuktian keyakinan tersebut kita kenal dengan rukun iman. Sebagaimana pengertian aqidah yang dikemukakan oleh Abdul Aziz bin Baaz “الإيمان الجازم بالله تعالى، وبما يجب له من التوحيد، والإيمان بملائكته وكتبه، ورسله، واليوم الآخر، والقدر خيره وشرِّه، وبما يتفرع عن هذه الأصول ويلحق بها مما هو من أصول الدين” Keyakinan yang teguh kepada Allah ta’ala, dan segala hal yang wajib baginya dari ketauhidan, dan iman kepada malaikat, kitab-kitab- Nya, Rasul-Rasul-Nya, dan hari akhir, dan taqdir yang baik dan buruk, dan segala konsekuensi dari pokok-pokok ajaran agama tersebut serta mengikutinya.[8]
Dari beberapa pengertian tersebut di atas baik secara bahasa maupun istilah dapat kita simpulkan bahwa pengertian aqidah adalah ikatan yang mengukuhkan sebuah hubungan sehingga menimbulkan keyakinan serta ketenangan hati kepada mereka yang terikat dalam perjanjian tersebut. Ketenangan hati ini muncul karena keyakinan akan adanya kepastian hukum dan balasan yang akan diperoleh apabila menunaikan isi perjanjian yang tersebut. Ketenangan hati juga diperoleh karena adanya kejelasan “pasal-pasal” secara rinci dalam perjanjian tersebut. Sehingga wajar-wajar saja bagi seseorang yang akidahnya lurus, akan bersedia berkorban untuk membuktikan kebenaran janjinya kepada Allah.
Pengertian Akhlaq
Akhlaq berakar dari kata “خَلَقَ” yang berarti “قدره وقاسه على مَا يُرِيد قبل الْعَمَل” mempertimbangan dan membandingkan (baik/buruk) segala sesuatu yang akan dikerjakan[9]. Kata “الخَلْقُ” memiliki dua pengertian yaitu “الإِنشاءُ على مِثالٍ أَبْدَعَه” pembuatan sesuatu sebagaimana contoh penciptaannya dan “التَّقْدِيرُ” ketetapan.[10] Al Ghazali menjelaskan bahwa khuluq (kata tunggal dari akhlaq) adalah penciptaan pada bentuk batiniyah, sedangkan khalq adalah penciptaan pada bentuk lahiriyah.[11] Hal ini menjelaskan bahwa manusia merupakan makhluq lahir dan batin yang akan dimintai pertanggungjawaban secara lahiriyah maupun batiniyah.
Miqdad Muhammad Ali menjelaskan pengertian akhlaq secara rinci sebagai berikut, pertama “الخُلُق يدل على الصفات الطبيعية في خلقة الإنسان الفطرية على هيئة مستقيمة” kata khuluq menunjukkan sifat alami bawaan manusia yang diciptakan dalam bentuk konsisten lurus. Kedua “تدل الأخلاق أيضا على الصفات التي اكتسبت وأصبحت كأنها خلقت مع طبيعته” Akhlaq juga menunjukkan sifat yang diperoleh dan menjadi sebagaimana diciptakan sesuai dengan pembawaannya. Dengan demikian akhlak dalam Islam terdiri dari dua aspek “جانبًا نفسيًّا باطنيًّا وجانبًا سلوكيًّا ظاهريًّا” aspek psikologis batiniyah dan aspek perilaku lahiriyah.[12]
Secara istilah kata akhlaq berarti “صفة راسخة في النفس تصدر عنها الافعال”Sifat yang teguh berakar pada jiwa manusia yang melahirkan perbuatan-perbuatan[13]. Pengertian ini serupa dengan pendapat yang dikemukakan al Ghazali sebagai berikut “هَيْئَةٌ فِي النَّفْسِ رَاسِخَةٌ عَنْهَا تُصْدِرُ الْأَفْعَالَ بِسُهُولَةٍ وَيُسْرٍ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ إِلَى فِكْرٍ وَرَوِيَّةٍ” perangai yang menetap kuat dalam jiwa seseorang dan merupakan sumber munculnya perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan, tanpa perlu difikirkan atan direncanakan sebelumnya.[14]
Dari segi keilmuan akhlaq berarti perangkat pengetahuan yang menghukumi nilai-nilai suatu perbuatan lahir maupun batin yang dikerjakan seseorang apakah termasuk perbuatan baik ataupun buruk. Dalam mu’jam al wasith disebutkan “علم مَوْضُوعه أَحْكَام قيمية تتَعَلَّق بِالْأَعْمَالِ الَّتِي تُوصَف بالْحسنِ أَو الْقبْح” ilmu yang membahas hukum tentang nilai-nilai yang berhubungan dengan perilaku-perilaku baik atau buruk.[15]
Dari beberapa pengertian tersebut di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa akhlaq terbagi dalam dua aspek yaitu aspek lahiriyah dan batiniyah. Sehingga seorang muslim yang berakhlaq baik adalah yang lurus antara amal lahiriyah dengan batiniyahnya. Kebaikan hatinya terwujud dalam kebaikan perilakunya, demikian pula perilaku baik yang dikerjakan adalah cerminan dari kebersihan hatinya dan kedekatannya kepada Rabbnya.
Demikianlah akhlaq ia adalah aspek sifat atau karakter yang menetap kuat pada diri seseorang yang melahirkan aspek perilaku atau perbuatan lahiriyah, sehingga akhlaq dasar seseorang dapat diidentifikasikan dari baik atau buruknya respon yang muncul secara otomatis ketika menghadapi sebuah stimulus. Sebagai contoh seorang yang berkarakter pemurah akan memiliki kebiasaan perilaku berderma dengan hati yang lapang, sekalipun suatu saat ia tidak memiliki apapun untuk didermakan maka hatinya yang lapang akan merasakan rasa penyesalan karena tak sanggup menolong orang lain. Sebaliknya seorang yang berkarakter kikir bukan tidak mungkin berperilaku mendermakan hartanya, mungkin saja ia berderma namun apakah perilaku itu terlahir dari kelurusan niat ataukah kecenderungan lain dalam jiwanya.
Aqidah Yang Shahih Melahirkan Akhlak Yang Baik
Ada hubungan yang kuat antara akhlaq yang luhur dengan keimanan atau aqidah seorang muslim. Sebagai contoh dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir janganlah menyakiti tetangganya, barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah memuliakan tamunya, barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berkata baik atau diam.[16]
Terkait hadits ini Ibnu Rajab menjelaskan bahwa perilaku-perilaku (akhlaq) yang menunjukkan keimanan ada yang terkait dengan hak-hak Allah dan adapula yang terkait dengan hak-hak hamba Allah.[17] Dengan demikian jelaslah bahwa keimanan (aqidah) adalah dasar kebajikan perilaku manusia, baik kepada Allah maupun kepada sesama.
Hasbunallah wa ni’mal wakil
[1] Ibnu Mandzhur : Lisanul Arab, Beirut : Daar Shodar, 1414 H, 3/296.
[2] Basuni Imamuddin & Nashiroh Ishaq : Kamus Kontekstual Arab-Indonesia. Depok: Gema Insani Press, 2012, Hlm 401.
[3] Az Zamakhsary : Asas al Balaghah, Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyyah, 1419 H, 1/668.
[4] Sa’dy Abu Habib: al Qamus al Fiqhy, Suriah : Daar al Fikr, 1408 H, hlm 256.
[5] Muhammad Qala’jiy : Mu’jam Lughatu al Fuqaha, Daar an Nafais, 1408 H, hlm 318.
[6] Hasan al Banna : Majmu’at ar Rasail, Beirut : Mu’assasah ar Risalah, tt, hlm 465.
[7] Mahmud Sait Khattab : Bayna al Aqiidah wal Qiyadah, Beirut : Daar as Syaamiyah, 1419 H, hlm 41.
[8] Sebagaimana dikutip Abdullah bin Abdul Aziz alJibrin: Tasyhilul Aqidatil Islamiyyah, Darul ‘Ashim, tt, hlm 1.
[9] Ibrahim Musthofa et.al : Mu’jam al Wasith, Turki : al Maktabah al Islamiyyah, 1972, 1/252
[10] Murtadho az Zubaidy : Taajul ‘Aruus, Saudi : Daar al Hidayah, tt, 25/251
[11] Abu Hamid al Ghazali : Ihya ‘Ulumuddin, Beirut : Daar al Ma’rifah, tt, 3/53.
[12] Miqdad Muhammad Ali : Ilmu al Akhlaq al Islamiyyah, Riyadh : Daar Alim al Kutub, 1413H, hlm 33.
[13] Mu’jam Lughatu al Fuqaha, 199
[14] Ihya ‘Ulumuddin, 3/53
[15] Mu’jam al Wasith, 1/252.
[16] Al Bukhari : Shahih al Bukhari, Beirut : Daar Thuq an Najah, 1422 H, 8/11 hadits ke 6018
[17] Lihat Ibnu Rajab al Hanbali : Jami’ul Ulum wal Hikam, Beirut : Muassasah ar Risalah, 1422 H, hlm 333