Sigit Suhandoyo. Pendahuluan. Kajian seputar kehidupan akhirat merupakan hal yang menarik, karena menghadirkan dogma keagamaan dalam wilayah ilmiah manusia. Kehidupan akhirat merupakan tempat pembalasan, tempat keadilan kepada seluruh makhluk akan ditegakkan. Keyakinan akan adanya kehidupan akhirat adalah faktor koheren dengan semangat beragama dan ketahanan dalam menempuh segala ujian kehidupan dengan baik. Kehidupan beragama yang baik diyakini merupakan jalan untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Ayat-ayat al-Qur’an yang menuturkan gagasan tentang hari akhir, biasanya menuturkan pula kondisi orang-orang yang beruntung karena nikmat, serta kondisi orang-orang yang celaka karena siksa yang didapat. Interpretasi para penafsir tentang ayat-ayat yang menjelaskan kenikmatan surga inilah yang menyebabkan dialektika dalam tataran empiris manusia. Kalangan feminis menilai bahwa interpretasi para penafsir al-Qur’an dipengaruhi oleh gender. Para penafsir al-Qur’an yang didominasi oleh kaum laki-laki itu, mengakibatkan bias patriarki dalam penafsiran ayat-ayat yang terkait teks bidadari.
Menurut kalangan feminis, dalam topik mengenai bidadari, para penafsir al-Qur’an klasik tidak memasukkan perempuan sebagai subjek yang berhak memperoleh nikmat surga sebagaimana laki-laki. Padahal, perempuan masuk sebagai subjek untuk ayat-ayat keimanan, amal salih, dan ganjaran surga. Sayangnya kenyataan tersebut tidak berimbas kepada balasan di akhirat, berupa pelayan dan pendamping (bidadari) bagi para mukminah. Dalam perspektif inilah, kalangan feminis menawarkan gagasan rekonstruksi pemahaman tafsir. Bahwa perempuan sebagai subjek ayat, tidak hanya terhenti pada perintah keimanan saja, tetapi juga terus sampai pada deskripsi balasan di surga. Bahwa surga juga menjadi tempat perempuan memperoleh segala kenikmatan yang paripurna, yaitu termasuk mendapat pasangan hidup (bidadari) di surga. (1)
Kekeliruan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an tentang bidadari ini, menurut kalangan feminis, menyebabkan wanita dalam posisi lemah, rendah, serta kurang dalam berbagai bidang dibanding kaum laki-laki. Hal itu jelas bertentangan dengan tujuan yang ada di dalam al-Qur’an, yang mengajak seluruh umat manusia untuk berlomba-lomba meraih sejumlah prinsip-prinsip kemanusiaan; keadilan, persamaan, keharmonisan, tanggung-jawab moral, kesadaran spiritual, dan perkembangan, tanpa membedakan laki-laki atau perempuan.
Namun adanya gagasan kalangan feminis dengan melakukan rekonstruksi pemahaman tafsir klasik yang dianggap otorier, perlu dicermati dengan mendalam. Alih-alih dengan argumen melakukan rekonstruksi terhadap penafsiran al-Qur’an, yang terjadi justru memaksakan pemahaman terhadap makna al-Qur’an, yang justru berdampak menodai kesuciannya. Atas dasar pemikiran tersebut, makalah ringkas ini disusun sebagai upaya melakukan kajian terhadap makna bidadari dalam al-Qur’an dengan melakukan pendekatan pustaka terhadap interpretasi para penafsir al-Qur’an.
Teks Ayat Tentang Bidadari dalam al-Qur’an
Dalam al-Quran, Bidadari diungkapkan dengan kata (حُوْر) yang disandingkan dengan kata (عِين), sehingga berarti bidadari bermata jeli. kata ini disebutkan pada 3 tempat yaitu pada surat al-Dukhan (44) ayat 54, surat al-Thur (52) ayat 20, dan surat al-Waqi‘ah (56) ayat 22, sedangkan 1 kata lainnya disandingkan dengan kata (مَقْصُورَاتٌ), yang berarti bidadari jelita. Yaitu pada surat al-Rahman (55) ayat 72.
Bidadari juga diungkapkan dengan kata (أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ) atau istri-istri yang suci. Kata ini disebutkan sebanyak 4 kali, yaitu pada surat al-Baqarah (2) ayat 25, surat Ali Imran (3) ayat 15, surat al-Nisa’ (4) ayat 57, surat Yasin (36) ayat 56.
Pemaknaan bidadari juga ditunjukkan dengan (قَاصِرَاتُ الطَّرْفِ) kata kiasan yang berarti perempuan yang mencinta hanya kepada suaminya. Kata ini disebutkan pada surat al-Shaffat (37) ayat 48, Shaad (38) ayat 52 dan al-Rahman (55) ayat 56.
Terakhir pemaknaan bidadari ditunjukkan pula dengan kata (كَوَاعِبَ) pada surat al-Naba (78) ayat 33. Yang secara tekstual berarti gadis-gadis remaja.
Bidadari Bermata Jeli
Salah satu penafsir dari kalangan tabi’in, Mujahid bin Jabr (w 104 H), mengatakan (وَالْحُورُ الَّتِي يُحَارُ فِيهَا الطَّرْفُ)(2) bahwa dinamakan bidadari (حُورُ) karena membuat panas (يُحَارُ) mata yang memandangnya, karena keindahannya.
Mahaguru tafsir al-Thobari mengemukakan bahwa kata (حُورٌ) atau bidadari adalah wanita wanita yang putih bersih. Kata (حُورٌ) merupakan bentuk jamak, adapun bentuk tunggalnya adalah (حوراء) haura.(3) Pendapat semacam ini didukung pula oleh al-Qurthubi, menurutnya kata (الحُورٌ) berarti (الْبِيضُ) yang berarti putih. Bentuk tunggalnya adalah (حوراء) yang berarti (الْبَيْضَاءُ الَّتِي يُرَى سَاقُهَا مِنْ وَرَاءِ ثِيَابِهَا)(4) yaitu wanita putih yang betisnya terlihat dari balik pakaiannya. Menurutnya lagi, adapula pendapat yang mengatakan bahwa bidadari disebut hūr karena hawarnya mata mereka. Hawar adalah kontrasnya warna putih dari warna hitam pada mata.(5)
Menurut al-Zuhailiy, bidadari adalah (نساء بيض حسان واسعات الأعين)(6) yaitu perempuan-perempuan yang putih bersih dan bermata lebar. Pendapat semacam ini juga dikemukakan oleh Mujahid yang mengatakan bahwa (حُورٌ عِينٌ) adalah (سَوْدَاءَ الْحَدَقَةِ، عَظِيمَةَ الْعَيْنِ)(7) yaitu biji mata yang hitam dan mata yang besar. Adapula yang mengartikannya dengan mata yang sipit.(8)
Berdasarkan makna-makna kebahasaan yang dikemukakan oleh para ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa makhluk yang menjadi pendamping orang-orang beriman disurga, adalah makhluk yang kalau kita terjemahkan secara lahiriyah merupakan wanita berparas cantik, berkulit putih dan jelita, dengan mata yang kontras antara warna hitam dan putih pada matanya. Dengan ukuran mata yang besar atau sipit, dan memandangnya membuat mata terpesona.
Demikian sempurnanya penggambaran lahiriyah tentang sosok bidadari, sehingga ‘Abd al-Rahman al-Sa’di mengemukakan,
نساء جميلات من جمالهن وحسنهن أنه يحار الطرف في حسنهن وينبهر العقل بجمالهن وينخلب اللب لكمالهن(9)
Bidadari adalah wanita cantik, yang karena keelokannya memikat mata yang memandang, membuat kagum akal dan mengikat hati karena kesempurnaannya.
Pengertian secara kebahasaan tentang bidadari dapat pula diartikan secara maknawi. Sebagaimana dikemukakan pula oleh Ibnu al-Qayyim yang mengatakan bahwa bidadari adalah wanita yang terhimpun padanya sifat-sifat baik dan elok yang tampak pada matanya.(10) Dengan demikian bidadari adalah wanita yang suci, matanya sipit karena terbatas dari memandang mahluk lain, dan menjadi lebar dan terbuka memberi perhatian penuh pada pasangannya. Memandangnya menentramkan hati, karena tampak pada matanya kebaikan budi pekerti.
Bidadari yang Terpelihara
Selain disifati dengan keelokan paras dan kemuliaan pekertinya, para penafsir al-Qur’an juga mendeskripsikan bidadari sebagai wanita yang terpelihara pandangannya, dan dijaga pula dari pandangan maupun sentuhan mahluk lain.
Pakar tafsir al-Zuhaili mengemukakan bahwa makna kata (حُورٌ مَقْصُورَاتٌ) adalah bidadari yang dipingit (dijaga) di dalam rumah-rumah surga, tidak berkeliaran di jalanan.(11) Pemeliharaan bidadari dalam rumah-rumah surga itu menjadikan dirinya terjaga dari pandangan dan sentuhan mahluk selain pasangannya.(12) Selain pengertian tersebut, Mahaguru tafsir al-Thabari menambahkan bahwa (حُورٌ مَقْصُورَاتٌ), juga memiliki arti (قُصِر طرفهنّ وأنفسهنّ على أزواجهنّ) menjaga cinta dan jiwa hanya untuk pasangannya.(13)
Adapun menurut shihab kata (مَقْصُورَاتٌ) dapat juga berarti terpelihara dengan baik, tidak keluar masuk dari satu tempat ke tempat lain secara tidak wajar, dan dengan demikian dia benar-benar hanya milik pasangannya. Atau dapat juga diartikan bidadari itu terlayani dengan baik, sehingga tidak perlu berpayah-payah keluar rumah mencari nafkah atau mengurus apapun, karena segalanya telah diatur dan dipersiapkan.(14)
Interpretasi para penafsir yang dikemukakan diatas, menggambarkan bidadari sebagai mahluk yang suci, terpelihara dalam rumah-rumah dan terpenuhi kebutuhannya. Terjaga dirinya dari pandangan mahluk lain dan menjaga dirinya dari mencintai selain pasangannya.
Istri-Istri yang Suci
Dalam surat al-Baqarah ayat 25, teks yang digunakan untuk menunjukkan arti bidari adalah (أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ) yaitu istri-istri yang suci.
Adapun arti kata (مُطَهَّرَةٌ) menurut Ibnu Katsir adalah, suci dari kotoran dan najis. Kata ini juga bisa diartikan dengan suci dari haid, buang air, meludah dan memiliki keturunan. Selain itu muthoharah juga berarti bebas dari tugas pekerjaan.(15)
Terkait pengertian tersebut, Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir ra bahwasanya Nabi saw bersabda,
إِنَّ أَهْلَ الْجَنَّةِ يَأْكُلُونَ فِيهَا وَيَشْرَبُونَ، وَلَا يَتْفُلُونَ وَلَا يَبُولُونَ وَلَا يَتَغَوَّطُونَ وَلَا يَمْتَخِطُونَ» قَالُوا: فَمَا بَالُ الطَّعَامِ؟ قَالَ: «جُشَاءٌ وَرَشْحٌ كَرَشْحِ الْمِسْكِ، يُلْهَمُونَ التَّسْبِيحَ وَالتَّحْمِيدَ، كَمَا تُلْهَمُونَ النَّفَسَ(16)
Para penghuni surga makan dan minum di dalamnya, tetapi mereka tidak meludah dan tidak buang air dan tidak beringus. Para sahabat bertanya, Lantas bagaimana dengan makanan yang mereka telan itu? Beliau menjawab, Mereka hanya berserdawa dan berkeringat seperti resapan minyak misk. Mereka terilhami untuk bertasbih dan bertahmid seperti kalian terilhami untuk bernafas.
Gadis-Gadis yang Sebaya
Pensifatan terakhir tentang bidadari yang dikaji dalam makalah ini adalah, bidadari tercipta dalam bentuk gadis-gadis yang sebaya. Sebagaimana teks surat al-Naba ayat 33, (وَكَوَاعِبَ أَتْرَابًا).
Menurut al-Qurthubi, kata (كَوَاعِبَ) adalah bentuk jamak, kata tunggalnya adalah (كَاعِبٍ) yang berarti (النَّاهِدُ) yaitu gadis remaja. Sedangkan kata (أَتْرَابًا) berarti sebaya.(17) Jika merujuk kepada pendapat Hamka, maka usia bidadari adalah gadis remaja yang baru tumbuh daya tarik fisiknya.(18)
Menambahkan kajian di atas, Shihab mengemukakan bahwa Kata (أَتْرَابًا) adalah bentuk jamak dari kata (ترب) tirb yakni sebaya. Kata ini pada umumnya hanya digunakan terhadap wanita yang sebaya. Sementara ulama berpendapat bahwa kata tersebut terambil dari kata tara’ib yakni tulang rusuk karena ia terdiri dari banyak tulang yang serupa. Atau dari kata turab yang berarti tanah, karena seseorang yang lahir, dia lahir di tanah tumpah darahnya. Seakan-akan mereka semua lahir pada saat yang sama.(19)
Wanita Mukminah atau Bidadari
Para penafsir al-Qur’an berbeda pendapat terkait, kedudukan siapakah yang lebih mulia di surga. Apakah wanita mukminah atau bidadari. Pakar tafsir al-Qurthubi mengemukakan beberapa pendapat, yang bertentangan dan tidak memilih pendapat yang menurutnya lebih kuat. Adapun pendapat yang mengemukakan bahwa wanita mukminah lebih utama, dikutipnya dari Hibban bahwa wanita dunia yang masuk surga lebih utama dari bidadari, karena amal soleh mereka di dunia.(20)
Pendapat ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh imam al-Thabarani dari Umu Salamah ra yang bertanya kepada Nabi saw.
يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَنِسَاءُ الدُّنْيَا أَفْضَلُ أَمُ الْحُورُ الْعِينُ؟ قَالَ: «بَلْ نِسَاءُ الدُّنْيَا أَفْضَلُ مِنَ الْحُورِ الْعَيْنِ كَفَضْلِ الظَّهَارَةِ عَلَى الْبِطَانَةِ» . قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَبِمَ ذَاكَ؟ قَالَ: «بِصَلَاتِهِنَّ وَصِيَامِهِنَّ وَعِبَادِتِهِنَّ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ...(21)
Wahai Rasulullah, apakah wanita dunia (yang masuk surga) lebih utama atau bidadari? Rasulullah menjawab: Wanita dunia lebih utama dari bidadari seperti keutamaan lapisan atas permadani dari lapisan bawahnya. Aku bertanya lagi, Mengapa bisa begitu? Beliau menjawab: Berkat shalat, puasa, dan ibadah mereka kepada Allah Azza wa jalla.
Pakar tafsir al-Zuhaili juga memilih pendapat yang mengemukakan bahwa wanita beriman didunia yang masuk surga jauh lebih utama dari bidadari.(22)
Wildan al-Mukhaladun; Pasangan Wanita Beriman di Surga?
Dalam al-Qur’an terdapat teks wildān al-mukhaladūn, yang berarti anak-anak muda yang tetap muda. Apakah teks ini dimaksudkan untuk menjelaskan pasangan yang Allah tetapkan bagi para wanita beriman di surga? Teks ini tertera pada dua tempat dalam al-Qur’an yaitu surat al-Waqi’ah ayat 17 dan surat al-Insan ayat 19.
يَطُوفُ عَلَيْهِمْ وِلْدَانٌ مُخَلَّدُونَ
Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda,
وَيَطُوفُ عَلَيْهِمْ وِلْدَانٌ مُخَلَّدُونَ إِذَا رَأَيْتَهُمْ حَسِبْتَهُمْ لُؤْلُؤًا مَنْثُورًا
Dan mereka dikelilingi oleh pelayan-pelayan muda yang tetap muda. Apabila kamu melihat mereka kamu akan mengira mereka, mutiara yang bertaburan.
Para penafsir al-Qur’an memberikan ragam pendapat tentang makna wildān al-mukhaladūn. Sementara penafsir menyebutkannya sebagai para pelayan yang senantiasa muda, yang melayani para penghuni surga dengan cekatan. Mereka membedakannya dengan bidadari sebagai pasangan orang beriman.
Berbeda dengan pendapat di atas, dalam tafsir al-Azhar Buya Hamka menuturkan bahwa yang dimaksud dengan wildān al-mukhaladūn adalah pasangan bagi para wanita beriman yang ketika di dunianya belum menikah. Tugasnya sebagai pelayan melingkupi makna pasangan bagi wanita beriman. Adapun ketiadaan penyebutan sifat dan karakteristik fisiknya dalam al-Qur’an, menurut Buya Hamka adalah karena pemuliaan al-Quran terhadap para wanita, agar tetap terjaga harga dirinya.(23)
Pasangan Wanita Beriman di Surga
Para ulama tafsir tidak membahas secara terperinci tentang pasangan bagi wanita beriman di surga, yang semasa hidupnya di dunia belum menikah. Dikemukakan secara samar oleh pakar tafsir hukum al-Qurthubi tentang adanya pasangan bagi wanita beriman di surga. Ketika menafsirkan ayat 25 surat al-baqarah, (وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ) yang berarti dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci. Menurutnya kata (أَزْوَاجٌ) lebih tepat diartikan pasangan-pasangan, karena (أَزْوَاجٌ) adalah bentuk jamak dari kata (زَوْجٍ), dan (وَالْمَرْأَةُ، زَوْجُ الرَّجُلِ. وَالرَّجُلُ، زَوْجُ الْمَرْأَةِ)(24) seorang perempuan adalah (زَوْجٍ) pasangan/istri bagi seorang laki-laki. Seorang laki-laki adalah (زَوْجٍ) pasangan/suami bagi seorang perempuan. Sehingga secara kebahasaan kata zauj menunjukkan makna pasangan bagi laki-laki maupun pasangan bagi perempuan. Lebih lanjut al-Qurthubi mengutip pendapat pakar susatera al-Asma’i yang mengemukakan bahwa orang Arab hampir tidak pernah menggunakan kata zaujah untuk menunjukkan istri.(25) Kata ini lebih tepat berarti pasangan. Meski demikian al-Qurthubi tidak memberikan pembahasan yang lebih terperinci tentang sifat atau karakteristik pasangan bagi wanita beriman di surga.
Sebagaimana al-Qurthubi, Shihab juga melakukan pembahasan secara kebahasan tentang kata (حُورُ) yang sering diartikan bidadari. Menurutnya kata “hur” yang berjenis feminin adalah bentuk jamak dari kata (حَوْرَاء) haura yang berjenis maskulin.(26) Dengan demikian menurut Shihab kata “hur” atau bidadari tidak hanya menunjukkan kepada jenis wanita melainkan juga jenis laki-laki. Namun sebagaimana halnya al-Qurthubi, Shihab juga tidak melakukan pengkajian lebih lanjut tentang karakter pasangan bagi wanita beriman di surga.
Bidadari Keghaiban yang Tersembunyi
Sebagaimana halnya surga, bidadari adalah sesuatu yang ghaib yang disampaikan oleh Allah kepada manusia. Kajian terhadap penggambaran sifat-sifat balasan bagi kebaikan manusia diakhirat, berupa surga, bidadari, dan semacamnya, mengembalikan kepada manusia hal-hal yang mendasar tentangnya,
فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (17)
Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.
Ayat ini menunjukkan bahwa penggambaran yang dijelaskan Allah ta’ala -tentang surga dan termasuk bidadari- kepada manusia, sesungguhnya manusia tidak akan dapat memahami yang sesungguhnya. Sebagaimana dikemukakan oleh al-Sya’rawi, Tidak ada lafaz dalam bahasa manusia untuk menyebutkan makna-makna yang terdapat di dalam surga, oleh sebab itu Allah memberikan ilustrasi atau contoh atau permisalan atau perumpamaan dari nikmat dunia untuk menjelaskan sebagian dari arti surga yang sebenarnya.(27)
Manusia terbatas pengetahuannya pada apa yang dapat dijangkau oleh akal, pancaindra, serta imajinasinya yang terbentuk dari gabungan hal-hal yang pernah terjangkau oleh indranya. Sedangkan surga adalah sesuatu yang belum terjangkau oleh manusia. Dengan demikian termasuk halnya bidadari/ pasangan bagi orang-orang beriman laki-laki maupun perempuan di surga. Bahwa keterbatasan manusia mengetahui hakikat yang sesungguhnya tentang balasan kenikmatan yang Allah berikan kelak, selayaknya menempatkan akal manusia untuk menghindari pemaksaan dalam hal menafsirkan ayat-ayat Allah. Demikian pula menundukkan nafsu manusia untuk tunduk dan berserah kepada kehendak Allah. wallahu a’lam bishowwab. Hasbunallah wa ni’mal wakil. Sigit Suhandoyo
Catatan Kaki
- Amina Wadud, Wanita dalam al-Qur’an, terjemah oleh Yaziar Radianti, (Bandung: Pustidaka), hlm 126
- Mujahid bin Jabr, Tafsir Mujahid, (Mesir: Dar al-Fikr, 1989), Hlm 598
- Abu Ja’far al-Thabari, Jāmi’ al-Bayān Fi Ta’wil al-Qur’an, (Beirut: Muassasatu al-risalah, 1420 H), jilid 22, hlm 55
- Syamsu al-dīn al-Quthubī, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an, (Cairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, cet ke 2, 1964), Jilid 16, hlm 152.
- Ibid.
- Wahbah Musthafa al-Zuhaylī, al-Tafsir al-Munir, (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, cet ke 2, 1418 H), Juz 25, hlm 239.
- Mujahid bin Jabr, ibid, 599.
- M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Jilid 13, hlm 25.
- Abd al-Rahman al-Sa’di, Taisir al-karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan, (Beirut: Muasasah al-risalah, 2000), hlm 774.
- Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, Tafsir al-Qayim, (Beirut: Dar al-Hilal, 1410 H), hlm 473
- Wahbah Musthafa al-Zuhaylī, op.cit, Juz 27, hlm 233.
- Syamsu al-dīn al-Quthubī, op.cit, Jilid 17, hlm 189.
- Abu Ja’far al-Thabari, op,cit, jilid 23, hlm 76.
- M. Quraish Shihab, op.cit, Jilid 13, hlm 536
- Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzhim, (Mesir: Dar Thayibah, 1999), Jilid 1, hlm 203.
- Muslim bin al Hajjaj Abul Hasan al Qusyairi an Naisabury, Shahih Muslim, (Beirut : Daar Ihya al-Turats al-Arabiy, tth), Jilid 4, hlm 2180, hadits no 2835.
- Syamsu al-dīn al-Quthubī, op.cit, Jilid 19, hlm 183.
- Hamka, Tafsir al-Azhar, (Singapura: Pustaka Nasional, 1989), Juz 10, hlm 7864.
- M. Quraish Shihab, op.cit, Jilid 15, Hlm 21.
- Syamsu al-dīn al-Quthubī, op.cit, Jilid 17, hlm 190.
- Abu al-Qasim al-Thabarani, al-Mu’jam al-Kabir, (Cairo: Maktabah Ibn Taimiyah, 1994), Juz 23, hlm 367, hadits no 870.
- Wahbah Musthafa al-Zuhaylī, op.cit, Juz 1, hlm 107
- Buya Hamka, op.cit, Juz 9, hlm 7122-7123, lihat juga Juz 10, hlm 7801.
- Syamsu al-dīn al-Quthubī, op.cit, Jilid 1, hlm 240.
- Ibid.
- M. Quraish Shihab, op.cit, Jilid 13, Hlm 25.
- Mutawalli al-Sya’rawi, Tafsir al-Sya’rawi, (Kairo: Akhbar al-Yaum, tth), Vol 30, hlm 54.