Sifat Orang-Orang yang Bertaqwa



Tadabbur surat al Baqarah ayat 3

الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan sholat dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.

Pemahaman Kata

Membenarkan الإيمان : التَّصْدِيْقُ
Kebalikan dari yang jelas terlihat. الغيب  : خِلاَفُ الشَهَادَةِ
Menetap di suatu tempat dan menjadikannya tempat tinggal. أقام : لَبِثَ فِيهِ وَ اتَّخَدَهُ وَطَنًا
Permohonan dan kasih sayang. الصلاة : الدُعاءُ، الرَحمَةُ
Menyampaikan kepadanya rizki. رزق : أَوْصَلَ إِلَيْهِ رِزْقًا
berkehendak menghilangkan harta, menghabiskan & melenyapkannya. نفق: اِفْتَقَرَ وَ ذَهَبَ مالُهُ،  أَنْفَدَهُ وَ أَفْناهُ
 
Pemahaman Ayat
a. Sifat Orang Taqwa
Dalam ayat ini Allah menyebutkan diantara sifat orang bertaqwa adalah beriman, mendirikan sholat dan berinfaq. Sayyid Quthb berpendapat, inilah ciri khas pertama orang-orang bertaqwa yaitu kesatuan perasaan yang positif dan aktif. Kesatuan yang menghimpun di dalam diri mereka antara keimanan dan pelaksanaan berbagai kewajiban syari’at.
Hal ini merupakan kesempurnaan Islam yang merupakan keterpaduan antara perasaan dan amal perbuatan, keimanan dan sistem hukum.

b. Pengertian Iman
Al Qurthubi berpendapat bahwa firman Allah (يُؤْمِنُونَ) berarti (يُصَدِّقُونَ)membenarkan. Dalam bahasa Iman berarti membenarkan, makna ini sebagaimana tertera pada surat yusuf 17 { وما أنت بمؤمن لنا } “Dan sekali-kali kamu tidak akan percaya kepada kami” dan pada surat Yunus 83 { فما آمن لموسى } “Maka tidak ada yang beriman kepada Musa”. Makna kat Iman pada ayat tersebut adalah membenarkan.

Ibnu Jarir ath Thobari juga berpendapat bahwa inti pengertian iman adalah membenarkan ucapan dengan perbuatan,
وَالْأُولَى أَنْ يَكُونوُا مَوْصُوفِينَ بِالْإِيْمَانِ بِالْغَيْبِ قَوْلًا وَاِعْتِقَادًا وَعَمَلًا. وَقَدْ تَدْخُلُ الْخَشْيَةُ لِلَّهِ فِي مَعْنَى الْإِيْمَانِ، اَلَّذِي هُوَ تَصْدِيْقُ الْقَوْلُ بِالْعَمَلِ
Yang lebih utama bila mereka menggambarkan keimanan terhadap masalah yang ghaib secara ucapan, keyakinan dan perbuatan. Dan adakalanya takut kepada Allah termasuk kedalam pengertian iman yang intinya adalah membenarkan ucapan dengan perbuatan.

Al Qurthubi menuliskan sebuah riwayat tentang perkataan Qatadah tentang Mukmin,
َالْمُؤْمِنُ هو الُمَتَحَامِلُ وَالمُؤْمِنُ هُوَ الْمُتَقَوِّى وَالمُؤْمِنُ هُوَ الْمُتَشَدِّدُ وَإِنَّ الْمُؤْمِنِينَ هُمُ الْعَجَاجُونَ اِلَى اللهِ اللَّيْلَ وَالنَّهَارِ
Orang beriman adalah orang yang selalu bekerja keras, orang beriman adalah orang yang mutaqawwi (kuat) dan orang beriman adalah orang yang memiliki kemauan keras. Sesungguhnya orang-orang beriman juga adalah mereka yang senantiasa berdo’a dan memohon pertolongan kepada Allah siang dan malam.

Ibnu Katsir berpendapat tentang penggunaan iman menurut syari’at,
اَلْإِيْمَانُ الشَرْعِيُّ الْمَطْلُوبُ لَا يَكُونُ إِلَّا اِعْتِقَادًا وَقَوْلًا وَعَمَلًا
Iman yang dikehendaki syari’at ialah yang mencakup tiga unsur, yaitu keyakinan, ucapan dan perbuatan.
Menurut riwayat Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Abu Ubaidah serta ulama lainnya Ijma dengan pengertian seperti berikut:
أَنَّ الْإِيْمَانَ قَوْلً وَعَمَلً يَزِيْدُ وَيَنْقُصُ
Iman adalah ucapan dan perbuatan serta dapat berkurang dan bertambah.

c. Keimanan Kepada Yang Ghaib
Al Qurthubi berpendapat dalam bahasa arab al ghaib adalah (كُلُّ مَا غَابَ عَنْكَ) segala sesuatu yang tidak nampak. Dikatakan (وَأَغَابَتُ الْمَرْأَةُ) istri menjadi jauh, maka dia disebut (مَغِيْبَةٌ) orang yang ditinggal jauh apabila suaminya tidak berada bersamanya.
Menurut Abul Aliyah maksud beriman pada yang ghaib adalah mereka beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kemudian, surga dan neraka-Nya, bersua dengan-Nya, juga beriman kepada kehidupan sesudah mati dan hari berbangkit.

Ibnu Katsir berpendapat bahwa, sebagian ulama mengatakan bahwa mereka beriman kepada yang ghaib sebagaimana mereka beriman kepada yang terlihat, dan keadaan ini tidaklah seperti orang munafik, “Dan apabila mereka berjumpa dengan orang-orang beriman, mereka mengatakan, “kami telah beriman” dan bila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka mengatakan, “sesungguhnya kami sependirian dengan kalian, kami hanya berolok-olok. (al baqarah 14)

Pendapat ini juga dikemukakan oleh al Qurthubi bahwa ada yang berpendapat bil ghaib maknanya adalah beriman dengan sanubari dan hati mereka, berbeda dengan orang-orang munafik.

Ibnu Katsir menuliskan sebuah atsar, bahwa Ibnu Mas’ud berkata,
ِإنَّ أَمْرَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمِ كَانَ بَيِّنًا لِمَنْ رَآهُ، وَاَّلذِي لَا إِلَهَ غَيْرَهُ مَا آمَنَ أَحَدُ قَطُّ إِيْمَانًا أَفْضَلُ مِنْ إِيْمَانٍ بِغَيْبٍ
Sesungguhnya perkara Muhammad saw adalah jelas bagi orang yang melihatnya. Demi Allah yang tidak ada Ilah selain Dia, tidak seorang pun yang memiliki iman lebih afdhol daripada iman tanpa melihat.
 
Ibnu Katsir mengemukakan pula sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
تَغَدَّيْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ وَمَعَنَا أَبُو عُبَيْدَةَ بنَ الجرَّاحِ، فقال: يَا رَسُولَ اللهِ، هَلْ أَحَدٌ  خَيْرٌ مِنَّا؟ أَسْلَمْنَا مَعَكَ وَجَاهَدْنَا مَعَكَ. قال: "نَعَمْ"، قَومٌ مِنْ بَعْدِكُمْ يُؤْمِنُونَ بِي وَلَمْ يَرَوْنِي"
Kami makan siang bersama Rasulullah saw, diantara kami terdapat Abu Ubaidah Ibnul Jarrah. Ia bertanya, “Wahai Rasulullah  apakah ada seseorang yang lebih baik daripada kami? Kami masuk Islam di tanganmu dan kami berjihad bersamamu.” Rasulullah saw menjawab. “Ya suatu kaum dari kalangan orang-orang sesudah kalian, mereka beriman kepadaku padahal mereka tidak melihatku.”

al Qurthubi menyimpulkan bahwa yang dimaksud ghaib adalah dalam pandangan mata dan tidak terlihat di dunia ini namun tidaklah hal tersebut menjadi ghaib dalam pandangan akal dan dalil.
فَهُمْ يُؤْمِنُونَ أَنَّ لَهُمْ رَبًّا قَادِرًا يُجَازِي عَلَى الْأَعْمَالِ فَهُمْ يَخْشَوَنهُ فِي سَرَائِرَهُمْ وَخَلْوَاتِهِمُ الَّتِي يَغِيْبُونَ فِيهَا عَنِ النَّاسِ لَعَلَّمَهُمْ بِاطِّلَاعِهِ عَلَيْهِمْ
Orang-orang beriman percaya bahwa mereka memiliki Rabb Yang Maha Kuasa yang akan membalas semua amal perbuatan. Maka merekapun takut terhadap-Nya di dalam hati dan pada saat mereka sendirian, ketika tidak terlihat oleh manusia, karena mereka yakin dengan pengawasan Allah terhadap mereka.

Sayyid Quthb mengemukakan kedahsyatan keimanan kepada yang ghaib ini dengan penjelasannya yang indah.
لَا تَقُومُ حَوَاجَزَ الْحِسُّ دُونَ الْاِتِّصَالِ بَيْنَ أَرْوَاحِهِمْ وَالْقُوَّةِ الْكُبْرَى الَّتِي صَدَرَتْ عَنْهَا، وَصَدَرَ عَنْهَا هَذَا الْوُجُودِ؛ وَلَا تَقُومُ حَوَاجِزَ الْحِسُّ بَيْنَ أَرْوَاحَهُمْ وَسَائِرَ مَا وَرَاءَ الْحِسِّ مِنْ حَقَائِقَ وَقَوِىٌّ وَطَاقَاتٌ وَخَلَائَقَ وَمَوْجَودَاتِ     
Tidak ada hambatan-hambatan inderawi yang menghalangi hubungan antara ruh mereka dengan kekuatan maha besar yang menjadi sumber kehidupan ruh dan seluruh alam wujud. Tidak ada lagi batas-batas penghalang yang menghalangi antara ruh mereka dengan semua hakikat, kekuatan, potensi, mahluk dan segenap eksistensi yang ada dibalik alam nyata.

Keimanan kepada yang ghaib adalah jalan yang harus dilalui manusia agar martabat mereka menjadi mulia karena keluasan bashirah (pandangan hati) yang dimilikinya disamping pandangan lahiriahnya. Sungguh berbeda dengan hewan dan orang-orang kafir.

d. Mendirikan Sholat
Al Qurthubi mengemukakan yang dimaksud mendirikan sholat adalah (أَدَاؤُالصَّلاَةِ بِأَرْكَانِهَا وَسُنَنِهَا وَهَيْئَاتِهَا فِي أَوْقَاتِهِا عَلَى مَا يَأْتِي بَيَانِهِ) menunaikan sholat dengan melaksanakan rukun-rukun dan sunnah-sunnah sholat di dalam waktunya.

Dikatakan (قَامَ الشَيءُ) berarti (دَامَ وَثَبَتَ) apabila sesuatu itu langgeng dan tetap. Ada yang mengatakan (أقامه أي أدامه) menegakkan berarti melanggengkannya. Arti ini pernah diisyaratkan Umar ibn Khattab
مَنْ حَفِظَهَا وَحَافِظَ عَلَيْهَا حَفِظَ دِينَهُ وَمَنْ ضَيْعِهَا فَهُوَ لِمَا سَوَاهَا أَضْيَعُ
Barangsiapa yang memelihara dan menjaga sholat maka dia telah memelihara agamanya. Barangsiapa yang menyia-nyiakan sholat maka terhadap yang lain ia akan lebih menyia-nyiakan lagi.

Al Qurthubi mengemukakan beberapa makna sholat. Makna utama sholat dalam bahasa adalah do’a. sholat diambil dari kata shalla yushalli, apabila seseorang berdo’a. sebagai contoh sabda Rasulullah saw
إِذَا دُعِيَ اَحَدُكُمْ إِلَى طَعَامٍ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ وَ إِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ
“Apabila salah seorang dari kalian diundang untuk menyantap sebuah hidangan maka hendaklah ia memenuhinya. Jika dia sedang tidak berpuasa maka hendaklah dia memakannya dan jika dia sedang berpuasa maka hendaklah dia mendo’akannya”

Ada yang mengatajan sholat diambil dari kata ash shalaa (الصلا) yang berarti (عِرْقٌ فِي وِسَطِ الظُهْرِ)urat yang berada ditengah punggung, dimaksudkan orang karena orang sholat itu melipat punggungnya.

Pendapat lain as shalaah berarti (اللزوم) menetapi. Sebagai contoh (صَلَي بِالنَّارِ إِذَا لَزَمِهَا) apabila tetap di dalam api. Dalam firman Allah (تصلى نارا حامية) “mereka memasuki api yang sangat panas” al ghasiyah 4. Berdasarkan makna ini maka sholat itu menetapi ibadah berdasarkan apa yang telah diperintahkan Allah ta’ala. Sholat juga berarti rahmat, ibadah, tasbih, dan bacaan.

Ibnu Abbas berpendapat bahwa makna yuqimunas sholat adalah (يُقِيمُونَ الصَلَاةَ بِفُرُوضِهَا) mereka mendirikan fardhu-fardhu sholat. Ad Dhahak dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksu mendirikan sholat ialah (إِتْمَامُ الرُكُوعِ وَالسُجُودِ وِالتِلَاوَةِ وَالْخُشُوعِ وَالْإِقْبَالِ عَلَيْهَا فِيهَا) Menyempurnakan rukuk, sujud, bacaan al Qur’an, khusyuk dan menghadap sepenuh jiwa dan raganya dalam sholat.

Sa’id Hawwa mengemukakan pendapat yang serupa bahwa mendirikan sholat yaitu mengerjakan sholat secara sempurna, baik rukun, ruku’. Sujud, bacaan, khusyu’, perhatian terhadap sholat, menjaga waktunya, penyempurnaan bersuci sebelum mengerjakannya, bacaan tasyahud dan sholawat kepada Nabi saw, termasuk pula sholat wajib dan sunnah.

Sayyid Quthb mengulas sisi lain dari sholat sebagai sebuah sumber kekuatan ruhiyah bagi orang-orang yang beriman,
وَالْقَلْبِ الَّذِي يَسْجُدُ لِلَّهِ حقاً، وَيَتَّصِلُ بِهِ عَلَى مَدَارِ اللَّيلِ وَالنَهَارِ ، يَسْتًشْعُرُ أَنَّهُ مَوْصُولُ السَبَبِ بِوَاجِبِ الْوُجُودِ
Hati yang bersujud kepada Allah dengan benar dan berhubungan dengan-Nya sepanjang malam dan siang, pasti merasakan bahwa ia memiliki kaitan sebab dengan yang wajib wujud-Nya.
وَيَجِدُ لِحَيَاتِهِ غَايَةٌ أَعْلىَ مِنْ أَنْ تَسْتَغْرِقَ فِي اْلأَرْضِ وَحَاجَاتِ الْأَرْضِ ، وَيَحِسُّ أَنَّهُ أَقْوَى مِنَ الْمَخَالِيقُ لِأَنَّهُ مَوْصُولٌ بِخَالِقِ الْمَخَالِيقُ . .
Ia pasti menemukan tujuan hidup yang lebih tinggi dari sekedar tenggelam di dalam kehidupan dunia dan berbagai kebutuhan dunia. Ia pasti merasakan bahwa dirinya lebih kuat ketimbang segenap mahluk karena ia berhubungan dengan Pencipta semua mahluk.
وَهَذَا كُلُّهُ مَصْدَرُ قُوَّةٍ لِلضَمِيرِ، كَمَا أَنََهُ مَصْدَرٌ تَحْرُجُ وَتَقْوَى ، وَعَامِلٌ هَامٌ مِنْ عَوَامِلِ تَرْبِيَةِ الشَخْصِيَّةِ ، وَجَعَلَهَا رَبَّانِيَّةِ التَصَوُّرِ، رَبَّانِيَّةِ الشُعُورِ، رَبَّانِيَّةِ السُلُوكِ .
Dan ini merupakan sumber kekuatan bagi hati, sebagaimana juga merupakan sumber ketaqwaan dan salah satu factor penting dari pembinaan kepribdian yang memiliki tashawur, perasaan dan perilaku yang rabbani.

e. Menafkahkan hartanya
ar rizq adalah bentuk masdar dari razaqa, yarzuqu, razqan dan rizqan, maknanya adalah pemberian. Sedangkan yunfiqun berarti yukhrijuun (mengeluarkan). Infaq adalah mengeluarkan harta dari tangan dan munafiq adalah orang yang imannya keluar dari hatinya.

Mengeluarkan nafkah yang paling utama adalah kepada istri sebagaimana Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra,
دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي  سَبِيلِ اللهِ، دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي  رَقَبَةٍ، دِيْنَارٌ تَصَدَقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِيْنٍ، وَ دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ، أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِي أَنْفَقْتُهُ عَلَى أَهْلِكَ.
Satu dinar yang kamu nafkahkan di jalan Allah, satu dinar yang kamu nafkahkan dalam memerdekakan budak, satu dinar yang kamu sedekahkan kepada orang miskin dan satu dinar yang kamu nafkahkan kepada istrimu, lebih besar pahala satu dinar yang kamu nafkahkan kepada istrimu. (HR Muslim bab pembahasan zakat 2/693 no.595)

Al Qurthubi mengemukakan sebuah pengertian lain, bahwa sebagian ulama mutaqaddimin berkata, maksud menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan adalah segala sesuatu yang telah kami ajarkan kepada mereka dan merekapun mengajarkan kepada yang lain.

Dari berbagai pendapat di atas dapat kita simpulkan bahwa hikmahnya adalah pembersihan jiwa dari kekikiran dan pensucian jiwa dengan melakukan kebajikan baik dengan harta maupun tenaga dan fikiran. Serta menumbuhkan kelembutan hati dalam hidup bermasyarakat. Wallahu a’lam.

Di adaptasi secara bebas dari,
Al Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad. Al Jami' li Ahkamil Qur'an wal Mubayyin lima Tadhamanahu minas Sunnah wa ayil Qur'an. Daarul Hadits, Kairo-Mesir.
Ibnu Katsir, Imaduddin, Tafsir al Qur'anul Adzhim, Daarul Alim al Kutub, Riyadh.tt.
Hawwa, Sa'id. Al Asas fi Tafsir, Daarus Salam, Yordania, Cet 1. 1985
Quthb, Sayyid, Fii Dzilalil Qur'an, Darus Syuruq, Mesir, Cet 10 1982M.
Ath Thobari, ibnu Jarir.Jami’ul Bayan an Ta’wil li ayil Qur’an. Maktabah syamilah.
Musthofa, Ibrahim etc, al Mu’jamul Wasith, Maktabah Islamiyah, Turki, tt.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »
Give us your opinion