Tadabbur surat an Naas 1-6
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ (1) مَلِكِ النَّاسِ (2) إِلَهِ النَّاسِ (3) مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ (4) الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ (5) مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ (6)
Katakanlah: "Aku berlindung kepada Rabb (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia. Dari (golongan) jin dan manusia.
Pemahaman Ayat
Rabb
Rabb berarti al murabbi (yang membina), al muwajjih (yang mengarahkan), ar raa’iy (yang memelihara) al manmiyhim (yang menumbuhkan, al haamiy (yang melindungi), al mashlahihim (yang memberikan kebaikan) atas segala urusan-urusan manusia (1)
Muhammad Ali ash Shobuni menuliskan bahwa rabb adalah,
خَالِقُ النَّاسِ وَمُرَبِيْهِمْ وَمُدَبِّرُ شُئوُنِهِمْ، اَلّذِي أَحْيَاهُمْ وَأَوْجَدَهُمْ مِنَ الْعَدَمِ، وَأَنْعَمَ عَلَيْهِمْ بِأَنْوَاعِ النِعَمِ
pencipta manusia, yang memelihara dan yang mengatur perihal mereka, dzat yang menghidupkan dan yang mewujudkan mereka dari ketiadaannya, dan dzat yang telah memberi bermacam-macam kenikmatan kepada manusia.(2)
Ibnul Qayyim berpendapat makna rububiyah bagi manusia adalah mencakup hak-hak manusia sebagai berikut,
تَدْبِيْرُهُم ، وَتَرْبِيَتُهُمْ ، وَإِصْلَاحُهُمْ ، وَجَلْبِ مَصَالِحَهُمْ ، وَمَا يَحْتَاجُونَ إِلَيْهِ ، وَدَفْعُ الشَّرِّ عَنْهُمْ ، وَحَفِظَهُمْ مِمَا يُفْسِدُهُمْ، هَذَا مَعْنَى رُبُوبِيَّتِهِ لَهُمْ. وَذَلِكَ يَتَضَمَّنُ قُدْرَتَهُ التَامَّةِ. وَرَحْمَتُهُ الْوَاسِعَةُ ، وَإِحْسَانُهُ ، وَعِلْمُهُ بِتَفَاصِيْلِ أَحْوَالِهِمْ ، وَإِجَابَةِ دَعْوَاتِهِمْ ، وَكَشْفُ كُرْباَتِهِمْ (3)
pengaturan, pendidikan, mendatangkan kemaslahatan yang mereka harapkan, menolak kejahatan atas mereka dan menjaga diri mereka dari segala yang merusak. Inilah makna rububiyah Allah bagi manusia. Hal ini mengharuskan cakupan kekuasaannya secara sempurna, kasih sayang-Nya yang luas, kebaikan-Nya, Pengetahuan-Nya secara terperinci atas perkara mereka, Pemenuhan atas permohonan mereka dan menyelesaikan segala kesulitan mereka.
Malik
Malik berarti al maalik (yang memiliki), al haakim (yang menguasai) dan al mutasarrif (yang mengambil tindakan). Ia juga bermakna pencipta dan pemilik manusia yang menjadi sumber segala pelaksanaan perintah.(4)
مَالِكُ جَمِيعَ الْخَلْقِ حَاكِمِيْنَ وَمَحْكُومِيْنَ، ملكاً تاماً شاملاً كاملاً، يَحْكُمَهُمْ، وَيَضْبِطَ أَعْمَالَهُمْ، وَيُدَبِّرَ شُئوُنَهُمْ. (5)
Penguasa semua semua makhluq, hakim dari segala hakim yang berkuasa dan membuat hukum, kekuasaan yang sempurna lengkap dan utuh, menghakimi mereka dan mengatur perbuatan manusia
Al Maraghi berpendapat bahwa pengertian al Malik adalah,
َمالِكُهُمْ وَمُدَبِّرُ أُمُورَهُمْ، وَوَاضِعَ الشَرَائِعَ وَالْأَحْكَامِ الَّتِي فِيهَا سَعَادَتِهِمْ فِى مَعَاشِهِمْ وَمَعَادِهِمْ.(6)
Memerintah mereka dan mengatur segala urusan mereka, menetapkan aturan-aturan dan hukum-hukum untuk mewujudkan kebahagiaan bagi mereka dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Menurut Ibnul Qayim makna kalimat al Malik pada surat ini adalah,
فَهُوَ مَلِكُهُمْ الْمُتَصَرِّفُ فِيهِمْ : وَهُمْ عَبِيدُهُ وَ مَمَالِيْكُهُ ، وَهُوَ الْمُتَصَرِّفُ لَهُمُ الْمُدَبِّرُ لَهُمْ كَمَا يَشَاءُ ، اَلنَّافِذُ الْقُدْرَةِ فِيْهِمْ ، اَلَّذِي لَهُ السُلْطَانُ التَامُ عَلَيْهِمْ ، فَهُوَ مَلِكُهُمُ الْحَقَّ : اَلَّذِي إِلَيْهِ مُفَزَّعُهُمْ عِنْدَ الشَدَائِدَ وَالنَوَائِبَ ، وَهُوَ مُسْتَغَاثَهُمْ وَمَعَاذُهُمْ وَمَلْجَأُهُمْ. فَلاَ صَلاَحَ لَهُمْ وَلاَ قِياَمَ إِلاَّ بِهِ وَبِتَدْبِيْرِهِ فَلَيْسَ لَهُمْ مَلِكٌ غَيْرُهُ يُهْرَبوُنَ إِلَيْهِ إِذَا دَهَّمُهُمُ الْعَدُوِّ ، وَيَسْتَصْرِخُونَ بِهِ إِذَا نَزَلَ الْعَدُوُّ بِسَاحَتِهِمْ.(7)
Ia adalah raja bagi mereka yang dapat berbuat apapun terhadap mereka: manusia adalah hamba dan mahluk yang ada di bawah kekuasaan-Nya. Dia dapat berbuat apapun terhadap mereka menurut kehendak-Nya, yang memiliki kekuasaan yang menyeluruh terhadap mereka. Dialah Raja yang sesungguhnya, yang menjadi tempat kembali ketika kesulitan, yang menjaga dan melindungi mereka. Tidak ada kemaslahatan yang mereka dapatkan kecuali berasal dari-Nya, dan mereka tidak memiliki kekuasaan apapun yang dapat diandalkan jika mereka dibuat takut oleh musuh, sehingga mereka berseru kepada-Nya jika benar-benar sudah berhadapan dengan musuh.
Ilah
Ilah berarti al musta’aliy (yang mengungguli), al mustawali (yang maha menguasai), al mutasalith (yang mendominasi),(8) ia adalah pencipta yang memberi kenikmatan dan menjaga,(9) ia adalah yang disembah yang tiada lagi selain-Nya.(10)
Menurut al Maraghi kalimat ilah bermakna,
اَلْمُسْتَوْلَى عَلَى قُلُوبِهِمْ بِعِظَمَتِهِ، وَهُمْ لاَ يُحِيطُونَ بِكَنِّهِ سُلْطَانِهِ بَلْ يَخْضَعُونَ بِمَا يُحِيطُ مِنْهَا بِنَوَاحِيَ قُلوُبِهِمْ.(11)
Ia adalah Yang Maha Menguasai hati manusia dengan keagungan-Nya, dan mereka tidak mengetahui dari segala sisi dengan hakikat kekuasaan-Nya akan tetapi mereka tunduk dengan pengetahuan yang ada padanya dengan segala sisi hati mereka.
Ibnul Qayyim berpendapat makna sifat ilahiyyah pada ayat surat ini menegaskan bahwa,
فَهُوَ إَلَهُهُمُ الْحَقّ ، وَمَعْبُودِهِمُ الَّذِي لاَ إِلَهَ لَهُمْ سِوَاهُ وَلاَ مَعْبُودَ لَهُمْ غَيْرُهُ. فَكَمَا أَنَّهُ وَحْدَهُ هُوَ رَبُّهُمْ وَمَلِيكُهُمْ لِمَ يُشْرِكُهُ فِي رُبوُبِيَتِهِ وَلَا فِي مُلْكِهِ أَحَدٌ ، فَكَذَلِكَ هُوَ وَحْدَهُ إِلَهَهُمْ وَمَعْبُودَهُمْ. فَلَا يَنْبَغِي أَنْ يَجْعَلُوا مَعَهُ شَرِيْكًا فِي إِلَهِيَتِهِ ، كَمَا لَا شَرِيْكَ مَعَهُ فِي رُبُوبِيَّتِهِ وَمُلْكِهِ.(12)
Dia adalah Ilah mereka, sesembahan yang tiada ilah bagi mereka melainkan Dia semata. Sebagaimana Dia adalah Rabb dan Raja mereka satu-satunya, yang tak seorangpun bersekutu dengan-Nya dalam Rububiyah dan kerajaan-Nya, maka Dia juga Ilah dan sesembahan mereka satu-satunya. Maka tidak sepatutnya mereka menjadikan sekutu bersama-Nya dalam ilahiyah-Nya begitupula Rububiyah-Nya dan Kerajaan-Nya.
An Naas
An naas atau al insu berasal dari kata al iinaas ( الإيناس ) yang berarti penglihatan dan perasaan sebagaimana firman Allah dalam surat al qashas 29 (آنَسَ مِنْ جَانِبِ الطُّورِ نَارًا) “dilihatnya api di lereng gunung” dan surat an Nisa 6 (فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا ) “Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas” maksudnya engkau merasa dan melihat bawa mereka telah cerdas. Disebut sebagai manusia karena dapat dilihat dengan mata dan dirasakan kehadirannya.(13)
An naas juga berasal dari kata an nawaas, yang berarti gerakan secara berkelanjutan. Menurut ibnul qayyim ini adalah pendapat yang benar sebab manusia harus memiliki gerakan lahir dan batin.(14)
Bisikan Setan yang Bersembunyi
Menurut Sayyid Quthb waswasah adalah (الصوت الخفي ) suara yang tersembunyi, khanus adalah (الاختباء والرجوع )bersembunyi dan kembali. Dan khannas adalah (هو الذي من طبعه كثرة الخنوس ) makhluk yang diantara tabi’atnya adalah banyak bersembunyi.(15)
Ibnul Qayyim berpendapat bahwa al waswasah adalah gerakan atau suara yang amat lirih yang hampir tak dapat ditangkap indera, sehingga perlu perhatian kepadanya. Al waswaas artinya penyusupan secara sembunyi-sembunyi ke dalam jiwa, bisa berupa suara lirih yang tidak dapat didengar kecuali oleh orang-orang yang benar-benar menyimaknya maupun tanpa suara.(16)
Hamka berpendapat bahwa disebut khannas karena ia merupakan pengintai peluang, ketika manusia lengah maka ia akan kembali membujuk dan merayu kepada kemaksiatan.(17)
Menurut Qatadah makna al Khannas adalah,
الْخَنَّاسُ لَهُ خُرْطُومٌ كَخُرْطُومِ الْكَلْبِ فِي صَدْرِ الْإِنْسَانِ فَإِذَا ذَكَرَ الْعَبْدُ رَبَّهُ خَنَسَ، وَيُقَالُ: رَأْسُهُ
كَرَأْسِ الْحَيَّةِ وَاضِعٌ رَأْسَهُ عل ثَمَرَةِ الْقَلْبِ يُمَنِّيهِ وَيُحَدِّثُهُ، فَإِذَا ذُكِرَ اللَّهُ خَنَسَ وَإِذَا لَمْ يذكر يرجع ويضع رَأْسَه(18)
Setan yang memiliki lidah seperti lidah seekor anjing di dalam dada manusia. Jika seorang hamba mengingat Rabbnya maka syetan itu beresembutnyi. Maka dikatakan kepadanya “kepalanya seperti ular” ia meletakkan kepalanya di dalam hati untuk membisikinya. Jika hamba mengingat Allah, maka setan itupun bersembunyi. Jika tidak mengingat-Nya maka ia kembali muncul dan meletakkan kepalanya di hati manusia untuk mebisikkan kejahatan.
Seperti itulah sifat setan jika manusia ingat kepada Allah maka ia bersembunyi dan jika manusia lengah ia akan membisikkan kejahatan. Sebagaimana hadits Rasulullah saw dari Ibnu Abbas ra,
الشَّيْطَانُ جَاثِمٌ عَلَى قَلْبِ ابْنِ آدَمَ، فَإِذَا سَهَا وَغَفَلَ وَسْوَسَ، وَإِذَا ذَكَرَ اللَّهَ خَنَسَ (19)
Sesungguhnya setan itu berada dalam hati anak Adam, Bila anak Adam lupa dan lalai maka dia membisikkan (kejahatan) dan jika mengingat Allah ia bersembunyi.
Ibnu Katsir berpendapat bahwa khannas adalah setan yang ditugaskan untuk menggoda manusia karena tidak ada seorangpun manusia melainkan dia memiliki satu teman yang senantiasa menjadikan segala perbuatan keji itu indah dipandang dan dia tidak akan mengenal lelah dalam menjalankannya (20).
Dari Abdullah bin Mas’ud Rasulullah saw bersabda,
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا قَدْ وُكِل بِهِ قَرِينُهُ مِنَ الجِنِّ
“Tidak seorangpun di antara kalian melainkan telah diutus kepadanya pendampingnya dari golongan jin” Para sahabat bertanya: “termasuk juga engkau wahai Rasulullah ? beliau menjawab: “ya hanya saja Allah membantuku dalam menyikapinya sehingga ia masuk Islam, karenanya dia tidak menyuruhku kecuali hal yang baik-baik.(21)
Karena sifat setan yang demikian maka manusia yang selamat dari bisikan setan adalah yang senantiasa mendapatkan perlindungan dari Allah karena memohon kepada-Nya. Karena Allah adalah Rabb sang Pencipta semesta, Malik sang Pembuat aturan dan Pemberi sanksi serta Ilah yang sepatutnya dicinta dan disembah dengan sepenuh hati.
Menurut Sayyid Quthb memohon perlindungan kepada Allah dengan ketiga makna sifat-sifat Allah harus senantiasa dilakukan manusia karena akan melemahkan syetan serta memperkuat hati manusia dalam menghadapi pertempuran yang sangat panjang dan tak pernah berhenti hingga hari kiamat.(22)
Kemudian Sayyid Quthb menyimpulkan surat ini bahwa Kebaikan bersandar kepada kekuatan Rabb, Raja dan Ilah. Sedangkan keburukan bersandar kepada bisikan yang tersembunyi, merasa tidak mampu melakukan perlawanan, bersembunyi pada saat berhadapan dan patah semangat melakukan permohonan perlindungan kepada Allah.(23)
Allah ta’ala berfirman
الَّذِينَ آمَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا
Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah. (Qs an nisa 76)
Setan dari Golongan Jin & Manusia
Makna ayat ini semisal dengan ayat 112 surat al an’am,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)….
Al Hasan berkata bahwa,
هُمَا شَيْطَانَانِ، أَمَّا شَيْطَانُ الْجِنِّ فَيُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ، وَأَمَّا شَيْطَانُ الْإِنْسِ فَيَأْتِي عَلَانِيَةً
Keduanya adalah syetan, adapun setan dari jin membisikkan kehati manusia dan setan dari manusia akan datang secara terang-terangan. Qatadah berkata,
إِنَّ مِنَ الْجِنِّ شَيَاطِينَ، وَإِنَّ مِنَ الْإِنْسِ شَيَاطِينَ، فَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ شَيَاطِينِ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ (24)
Sesungguhnya dari golongan jin itu ada syetan dan dan demikian pula dari golongan manusia, maka mohonlah perlindungan kepada Allah dari syetan manusia dan jin.
Wallahu a’lam.
Daftar Pustaka,
- Abu Bakar ibn Abi Syaibah, al Kitab al Mushannif fi al ahaadits wal atsar, Riyadh: Maktabah ar Rusyd, 1409 H.
- Abu Laits as Samarqandy, Bahrul ‘Ulum, Maktabah Syamilah, tt
- Ahmad Musthofa al Maraghi, Tafsir al Maraghi, Mishr: 1365 H
- Ahmad ibn Hanbal, Musnad al Imam Ahmad ibn Hanbal, Mu’asasah ar Risalah 1421 H.
- Al Baghawi, Ma’alim at Tanzil fi Tafsir al Qur’an, Beirut: Daar al Ihya at Turats, 1420 H.
- Al Qurthubi, al Jami’ li Ahkam al Qur’an, Qahirah : Daar al Kutub al Misriyah, 1938 H.
- an Nasafiy,Madariku at Tanzil wa Haqaaiq at Ta’wil, Beirut: Daar al Kalaam at Thoyyib, 1419 H
- Ash Shobuni, Shofwatu at Tafasir, al Qahirah: Daar ash Shobuni li at tiba’ah wa an Nashr wa at Tauzi’, 1417 H
- Hamka, Tafsir al Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988 M.
- Ibnu Katsir, Tafsir al Qur’an al Adzhim, Daar Toyibah li an Nashr wa at tauzi’, 1420 H
- Muhammad Uwaisy an Nadwi, at Tafsir al Qayyimu, Beirut : Daar wa Maktabah al Hilal, 1410 H.
- Muslim bin Hajaj, al Musnad ash Shahih, Beirut: Daar al Ihya at Turats, tt.
- Sayyid Quthb, Fi Dzilal al Qur’an. Beirut : Daar asy Syuruq, 1412 H