Waktu Subuh



Memohon Perlindungan Allah dari Kejahatan Mahluk-Nya.
Tadabbur surat Al Falaq 1-5
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ (1) مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ (2) وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ (3) وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ (4) وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ (5)
Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh, dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki".   

Sebab Turunnya Ayat
Diturunkannya surat ini sebagaimana diriwayatkan dalam as shahihain dari ‘Aisyah ra
ِفي قِصَّةِ سِحْرِ لَبِيْدِ بْنِ الأَعْصَمِ الْيَهُوْدِيِّ رَسُولَ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم. وَالنَّفَّاثَاتُ: َبنَاتُهُ الَّلوَاتِيْ كُّّنَّ سَاحِرَاتٍ، فَسَحَرْنَ النَّبِيَّ صلّى الله عليه وسلّم، وَعَقَدْنَ لَهُ إِحْدَى عَشْرَةَ عُقْدَةً، فَأَنْزَلَ اللهُ تعالى إِحْدَى عَشْرَةَ آيَةً بِعَدَدِ الْعُقَدِ، هِيَ الْمُعَوِّذَتَانِ، فَشُفِيَ النَّبِيُّ صلّى الله عليه وسلّم.(1)
Kisah ini tentang sihir seorang yahudi bernama Labid bin al A’sham kepada Rasulullah saw. Dan wanita-wanita tukang sihir (yang dimaksud pada surat ini) adalah anak-anak perempuan Labid bin Al A’sham. Mereka semua menyihir Rasulullah saw dan membuat buhul-buhul dari tali sebanyak sebelas ikatan tali. Dengan tali tersebut mereka membacakan jampi-jampi dan menghembuskan napasnya pada buhul tersebut. Lalu Allah Ta’ala menurunkan sebelas ayat sesuai jumlah buhul itu, yaitu al mu’awidzatain (dua surat perlindungan) maka dengannya Allah Ta’ala memberikan kesembuhan.  

Keutamaan Al Muawidzatain (surat al falaq & an naas)
Muslim meriwayatkan dalam shahihnya, dari hadits Uqbah bin Amir, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda,
أَلمَ ْتَرَ آياتٌ أُنْزِلَتِ الَّليْلَةَ لَمْ يَرَ مِثْلَهُنَّ قَطُّ: أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ. أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ (2)
Apakah kamu tidak melihat ayat-ayat yang diturunkan semalam, yang tidak pernah dilihat yang serupa dengan itu sama sekali yaitu ‘Audzu birabbil falaq, A’udzu birabbin naas” 
Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Aisyah ra, 
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ عَلَى نَفْسِهِ الْمُعَوِّذَاتِ، وَيَنْفُثُ "، قَالَتْ عَائِشَةُ: " فَلَمَّا اشْتَكَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، جَعَلْتُ أَقْرَأُ عَلَيْهِ، وَأَمْسَحُهُ بِكَفِّهِ، رَجَاءَ بَرَكَةِ يَدِهِ(3) 
bahwa jika Rasulullah saw merasa sakit maka beliau membacakan untuk dirinya al mu’awidzatain dan meniupkannya. Dan ketika rasa sakitnya semakin parah, maka aku membacakan kepada beliau al mu’awidzaat, lalu aku mengusapkan tangan beliau padanya dengan mengharapkan berkahnya. 
Dalam riwayat at Tirmidzi juga disebutkan dari hadits al Jariry, dari Abu Hurairah dari Abu Sa’id, ia berkata, 
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَعَوَّذُ مِنَ الجَانِّ وَعَيْنِ الإِنْسَانِ حَتَّى نَزَلَتِ المُعَوِّذَتَانِ فَلَمَّا نَزَلَتَا أَخَذَ بِهِمَا وَتَرَكَ مَا سِوَاهُمَا(4) 
Rasululah saw pernah berta’awudz dari jin dan dari pandangan manusia hingga turun al mu’awwidzatain. Maka ketika dua surat ini turun maka beliau membacanya dan meninggalkan bacaan yang lainnya. 

Memahami Makna Isti’adzah
Lafadz عَاذَ dan berbagai bentukan kata yang berasal darinya menunjukkan kewaspadaan, perlindungan dan keselamatan. Hakikat maknanya ialah,
الْهُرُوْبُ مِنْ شَيْءٍ تَخَافُهُ إِلِى مَنْ يُعْصِمُكَ مِنْهُ (5) 
Lari dari orang yang ditakuti kepada orang lain yang dapat melindunginya dari yang ditakuti tersebut. Makna أَعُوذُ ialah aku berlindung dan aku mencari penjagaan. Ada dua pendapat tentang pengertian ini yaitu berasal dari makna menutupi dan makna keharusan saling berdampingan. 
Dengan demikian orang yang memohon perlindungan kepada Allah akan menjadikan Allah sebagai penutup, tameng atau benteng penjaga yang senantiasa menjaganya dari ancaman marabahaya dimanapun ia berada, karena kebersamaan tersebut. Ibnul Qayyim berpendapat bahwa perkara yang dimintai perlindungan adalah perlindungan dari kemaksiatan diri sendiri dan kejahatan dari fihak lain selain dirinya(6).  Sebagaimana do’a Rasulullah saw sebelum tidurnya yang mengajarkan tentang permohonan perlindungan dari dua kejahatan tersebut,
اللَّهُمَّ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ والأَرْضِ، عَالِمَ الغيبِ والشهادةِ، أنتَ ربُّ كلِّ شيءٍ ومَليكُهُ، أشهد أنْ لا إله إلا أنتَ وحدَكَ لا شريكَ لكَ، والملائكةُ يشهدون، اللَّهمَّ إنِّي أعوذُ بكَ مِنَ الشَّيْطَانِ وشَرَكِهِ، وأعوذُ بكَ أن أَقْتَرِفَ عَلَى نَفسِي سُوءًا أو أَجُرَّهُ إِلَى مُسْلِمٍ (7) 
Ya Allah Pencipta langit dan bumi, Yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Rabb segala sesuatu dan Rajanya, aku bersaksi bahwa tiada ilah melainkan Engkau, dan malaikat yang senantiasa bersaksi, aku berlindung kepada Engkau dari kejahatan diriku dan kejahatan syetan serta perangkapnya, agar aku tidak berbuat keburukan atas diriku sendiri atau menimpakannya kepada seorang muslim. 
Memohon perlindungan adalah menjadi hak Allah seutuhnya sebagai Rabb, Malik dan Ilah manusia (sebagaimana surat an naas) dan tidak dibenarkan memohon perlindungan kepada selainnya dalam perkara-perkara yang tidak sanggup dilakukan oleh makhluk. Allah ta’ala berfirman dalam surat al jin ayat 6,
وَأَنَّهُ كانَ رِجالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزادُوهُمْ رَهَقاً
Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.
Surat al Falaq ini mencakup permohonan perlindungan kepada Allah atas perkara-perkara kejahatan sebagai berikut, makhluq, waktu malam, wanita-wanita tukang sihir dan orang-orang yang mendengki. 
Berlindung kepada Rabb yang menguasai al Falaq
Menurut Ibnu Jarir ath Thobari para ahli ta’wil berbeda pendapat tentang pengertian al falaq. 
Dalam riwayat Ibnu Abbas al falaq adalah سجن في جهنم penjara di neraka jahannam. Hasim mengabarkan dari al ‘Awwam bin Abdul Jabbar bahwa al falaq adalah “بيت في جهنم إذ فُتح هَرّ أهْلُ النار ” rumah di neraka jahannam yang jika dibuka melonglonglah para ahli neraka. As Sudy berkata al falaq adalah “جُب في جهنم ” sumur yang dalam (penjara) di neraka jahannam.(8)  
Sebagian lain berpendapat bahwa al falaq adalah waktu subuh, sebagaimana riwayat dari ibnu abbas, dari al hasan, sa’id bin jubair dan yang lainnya. Ibnu Zaid mengatakan hal ini sebagaimana surat al an’am ayat ke 96, “فالق الإصباح و جعل اليل سكن...” Dia yang menyingsingkan pagi dan menjadikan malam tempat beristirahat...”(9) 
Pendapat berikutnya tentang al falaq adalah makhluq (ciptaan) ini juga menurut riwayat ibnu abbas.(10) 
Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat kita simpulkan bahwa Allah memerintahkan kepada kita agar memohon perlindungan kepada Allah yang menguasai subuh, penjara di jahannam dan mahluk dari segala kejahatan yang mungkin ditimbulkan termasuk juga pada ayat-ayat berikutnya. Ath Thobari berpendapat, wajib menjadikan Allah sebagai tempat memohon pertolongan dengan segala makna al falaq karena Ia Rabb dari segala sesuatu.(11)  Sayyid Quthb mengatakan karena Allahlah yang memberikan keamanan dari segala kejahatan.(12)  Hal ini sebagaimana do’a yang diajarkan Rasulullah saw,
أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ الَّتِي لَا يُجَاوِزُهُنَّ بَرٌّ وَلَا فَاجِرٌ، مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ وَذَرَأَ وَبَرَأَ، وَمِنْ شَرِّ مَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ، وَمِنْ شَرِّ مَا يَعْرُجُ فِيهَا، وَمِنْ شَرِّ مَا ذَرَأَ فِي الْأَرْضِ، وَمِنْ شَرِّ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا، وَمِنْ شَرِّ فِتَنِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ، وَمِنْ شَرِّ كُلِّ طَارِقٍ إِلَّا طَارِقًا يَطْرُقُ بِخَيْرٍ يَا رَحْمَنُ(13) 
“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, yang tidak dapat dilampaui orang yang baik dan yang jahat, dari kejahatan makhluk-Nya, yang diciptakan dan dijadikan-Nya dari kejahatan yang diturunkan-Nya dari langit dan dari kejahatan yang kembali kepada-Nya, dari kejahatan yang diciptakan-Nya di bumi dan dari kejahatan yang keluar darinya, dari kejahatan fitnah malam dan siang, dari kejahatan melalui semua jalan kecuali jalan yang datang membawa kebaikan, wahai zat Yang Maha Pemurah.” 
Ibnu Qayyim mengibaratkan al falaq adalah waktu permulaan munculnya pasukan cahaya yang mengusir pasukan kegelapan. Allah memerintahkan agar berlindung kepada Rabb cahaya, yang menyingkirkan kegelapan yang memaksa dan mengalahkan pasukannya.(14)  Allah berfirman,
اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (al baqarah 257)

Berlindung Kepada Allah dari Kejahatan Makhluq
Kata “ما” pada ayat ini adalah isim maushul yang paling integral, sehingga bermakna dari segala jenis kejahatan yang mungkin bisa dilakukan oleh mahluk. Ath thobari mengatakan yang dimaksud adalah segala jenis kejahatan(15) , al Qurthubi mengatakan bahwa yang dimaksud adalah iblis dan keturunannya.(16)  Izzuddin bin Abdussalam mengatakan maksudnya adalah neraka jahannam, iblis dan keturunannya serta segala macam kejahatan dunia dan akhirat.(17) 
Beragam pengertian di atas perlu di batasi bahwa kejahatan yang di dalam ayat ini disandarkan kepada mahluk yang diciptakan dan bukan kepada penciptaan Allah yang merupakan perbuatan Allah. Allah adalah zat yang sempurna, tidak ada kekurangan sedikitpun pada-Nya. Ia adalah Pemilik segala keagungan dan kemuliaan. 
Allah menciptakan semua makhluknya dengan sempurna dengan berbagai sisi yang seimbang, memiliki kebaikan dan keburukan, sehingga Sayyid Quthb mengatakan permohonan perlindungan kepada Allah adalah karena Allah Maha Kuasa mengarahkan dan mengatur keadaan ciptaan-Nya agar kebaikan serta kemanfaatannya yang dirasakan ketika terjadi interaksi.(18) 

Berlindung Kepada Allah dari Kejahatan Malam apabila Gelap Gulita
Ibnu Jarir ath Thobari mengemukakan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang  “غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ” sebagian berpendapat yang dimaksud adalah matahari ketika telah terbenam dan malam ketika datang dengan kegelapannya atau kegelapan malam jika kepekatannya sudah masuk. demikian menurut riwayat Ibnu Abbas, al Hasan, al Quradhy, Muhammad bin Ka’ab dan Mujahid. Yang lain berpendapat bahwa yang dimaksud adalah bintang & bulan.(19)  
Secara bahasa al ghasiq berarti “الدافق” yang meluap dan waqab berarti “النقرة في الجبل يسيل منها الماء” lubang tempat mengalirnya air di bukit. Sehingga maknanya adalah “الليل وما فيه. الليل حين يتدفق فيغمر البسيطة” malam dan apa yang ada padanya. Malam ketika meluap lalu menggenangi dataran.(20) 
Allah memerintahkan kepada manusia untuk berlindung kepada-Nya pada waktu malam karena kekhawatiran akan bahaya dari binatang buas dan dari para pelaku keburukan, kefasikan dan fasad.(21) 

Berlindung Kepada Allah dari Kejahatan Wanita Tukang Sihir.
Az Zuhaili berpendapat bahwa an nafatsat (hembusan/semburan) adalah merupakan karakter atau sifat bagi pelaku baik laki-laki maupun perempuan.(22)  Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Ibnul Qayyim,
أن النفاثات هنا: هن الأرواح والأنفس النفاثات لا النساء النفاثات. لأن تأثير السحر إنما هو من جهة الأنفس الخبيثة . فلهذا ذكرت النفاثات هنا بلفظ التأنيث، دون التذكير
Bahwa yang dimaksud an nafatsat adalah ruh dan jiwa yang suka menghembus, bukan para wanita yang biasa menghembus. Sebab pengaruh sihir hanya berasal dari jiwa dan ruh yang jahat. Karenanya lafazh ini disebutkan dalam bentuk mua’anatas bukan mudzakkar.(23) 
Sayyid Quthb berpendapat bahwa yang dimaksud annafatsat adalah,
السَوَاحِرُ السَاعِيَاتُ بالأذى عن طريق خداع الحواس، وخداع الأعصاب، والإيحاء إلى النفوس والتأثير والمشاعر
Wanita-wanita tukang sihir yang berusaha menyakiti dengan cara mengelabuhi indra, menipu saraf dan mempengaruhi jiwa dan perasaan.(24)  Demikian pula pendapat Mujahid, bahwa nafatsat fil uqad adalah ketika wanita-wanita itu membaca mantera dan menghembus pada buhul.(25) 

Berlindung Kepada Allah dari Kejahatan Para Pendengki apabila Mendengki
Berlindung kepada Allah dari kejahatan para pendengki apabila ia dengki adalah permohonan perlindungan dari kejahatan yang mungkin muncul dari pelampiasan perasaan dengki. Sayyid Quthb menegaskan bahwa rasa dengki itu sendiri sudah merupakan kejahatan.  
والحسد انفعال نفسي إزاء نعمة الله على بعض عباده مع تمني زوالها. وسواء أتبع الحاسد هذا الانفعال بسعي منه لإزالة النعمة تحت تأثير الحقد والغيظ، أو وقف عند حد الانفعال النفسي، فإن شرا يمكن أن يعقب هذا الانفعال.(26)
Dengki adalah gejolak jiwa terhadap nikmat Allah yang diberikan kepada sebagian hamba-Nya, disertai dengan keinginan akan lenyapnya nikmat tersebut. Sama saja apakah pendengki itu mengiringi gejolak itu dengan usaha untuk melenyapkan nikmat itu dibawah pengaruh kedengkian dan kemarahan atau berhenti sampai batas gejolak jiwa saja. Sesungguhnya kejahatan dimungkinkan muncul mengiringi gejolak tersebut. 
Dalam sebuah hadits dari Abi Sa’id disebutkan bahwa Jibril pernah datang kepada Nabi saw lalu bertanya apakah engkau merasa sakit wahai Muhammad? Beliau menjawab, “ya” lalu jibril mengucapkan,
بِسْمِ اللَّهِ أَرْقِيكَ، مِنْ كُلِّ شَيْءٍ يُؤْذِيكَ، مِنْ شَرِّ كُلِّ نَفْسٍ أَوْ عَيْنٍ، أَوْ حَاسِدٍ اللَّهُ يَشْفِيكَ، بِسْمِ اللَّهِ أَرْقِيكَ(27) 
Dengan Nama Allah, aku meruqyahmu dari setiap penyakit yang mengganggumu dan dari kejahatan setiap jiwa atau mata mata yang hasad.  Allah akan menyembuhkanmu. Dengan nama Allah aku meruqyahmu” 
Dalam hadits ini terkandung permohonan kepada Allah dari mata orang yang mendengki. Sayyid Quthb menuliskan bahwa Perintah memohon perlindungan dari segala kejahatan adalah bentuk rahmat dan karunia Allah kepada hamba-Nya.(28)   Allah adalah sebaik-baik tempat memohon perlindungan. Wallahu a’lam.

Catatan Pustaka
  1. Wahbah az Zuhaili: Tafsir al wasith, Damaskus: Daar al Fikr 1422 H, 3/2962.
  2. Muslim bin al Hajjaj : Al Musnad as Shahih, Beirut: Daar al Ihya at Turats, Bab fadhlu qiraatu mu’awwidzatain, 1/558. 
  3. Ahmad bin Hanbal : Al Musnad. Beirut: Mu’assasah ar Risalah, 1421 H,  41/251. Hadits ini shahih berdasarkan syarat bukhari muslim. Imam Malik juga meriwayatkannya dalam al muwatho 2/942-943, al Bukhari 5016, Muslim 2192, Abu Dawud 3902, an Nasa’i 7544, dan Ibnu Majah 3529. 
  4. Muhammad bin Isa at Tirmidzi: Sunan at Tirmidzi, Mesir: Syirkatu Maktabatu wa mathba’atu musthofa al baaby al halbi, 1395H. 4/359 hadits ke 2058. At Tirmidzi berkata hadits ini hasan gharib. Menurut Muhammad Nashirudin al Albani hadits ini shahih.
  5. Muhammad ‘Uwais an Nadhwi: at-Tafsir al Qayyimu Beirut : Daar wa Maktabah al Hilal, 1410 H. 1/601-602
  6. at-Tafsir al Qayyimu 1/607
  7. Abul Qasim ath Thabrani: Mu’jam al Kabir.  14/45 hadits ke 14636. Al Haitsami menyebutnya dalam majmu az zawaid 10/122, Ath Thabrani meriwayatkannya dengan dua sanad, salah satu sanadnya para periwayatnya shahih selain huyay bin abdullah al mu’afiriy, telah ditsiqahkan jama’ah & sebagian lain melemahkannya.
  8. Ibnu Jarir ath Thobari : Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, Beirut: Mu’assasah ar Risalah, 1420H, 24/699-700
  9. Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, 24/701.
  10. Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, 24/701. Pendapat demikian juga dikemukakan oleh an Nasafi : Madarikut Tanzil wa Haqaiqut Ta’wil. Beirut: Daar al Kalam ath Thoyib, 1419 H. 3/697.
  11. Jami’ul Bayan Fi Ta’wilil Qur’an, 24/702
  12. Sayyid Quthb : Fii Dzilalil Qur’an. Beirut: Daar asy Syuruq, 1412 H, 6/4007.
  13. Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah : al Kitab al Mushannif fil Ahadits wal Atsar. Riyadh: Maktabah ar Rusyd, 1409H.  5/51 hadits ke 23601
  14. At Tafsir al Qayyimu 1/625
  15. Jami’ul Bayan Fi Ta’wilil Qur’an, 24/702
  16. Abu Abdullah Muhammad Syamsuddin Al Qurthubi: Al Jami’ li Ahkam al Qur’an. Qahirah: Daar al Kutub al Mishriyah. 1384 H. 20/256
  17. Abu Muhammad Izzuddin bin Abdus Salam: Tafsir al Qur’an. Beirut: Daar Ibnu Hazm. 1416 H. 3/510
  18. Fi Dzilalil Qur’an, 6/4007.
  19. Jami’ul Bayan Fi Ta’wilil Qur’an, 24/703
  20. Fi Dzilalil Qur’an 6/4007.
  21. al Wasith, 3/2963
  22. al Wasith, 3/2963
  23. At tafsir al Qayyimu 1/628
  24. Fi Dzilalil Qur’an 6/4007
  25. Imaduddin Ibn katsir : Tafsir al Qur’an al Adzhim, Daar Thoyyibah li an Nashr wa at Tauzi’, 1420 H. 8/536.
  26. Fi Dzilalil Qur’an 6/4008.
  27. Ibnu Majah: Sunan Ibnu Majah, Daar Ihya al Kitab al ‘Arabiyah, tt.  2/1164 hadits ke 3523. Menurut Muhammad Nashirudin al Albani hadits ini shahih.
  28. Fi Dzilalil Qur’an 6/4008.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »
Give us your opinion