تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ (1) مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ (2) سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (3) وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (4) فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ (5)
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang dilehernya ada tali dari sabut.
Sebab Turunnya Ayat
Al Wahidy[1] meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra ia menuturkan:
صَعِدَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - ذَاتَ يَوْمٍ الصَّفَا فَقَالَ: "يَا صَبَاحَاهُ"، فَاجْتَمَعَتْ إِلَيْهِ قُرَيْشٌ فقالوا له: مالك؟ فَقَالَ: "أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَخْبَرْتُكُمْ أَنَّ الْعَدُوَّ مُصَبِّحُكُمْ أَوْ مُمَسِّيكُمْ أَمَا كُنْتُمْ تُصَدِّقُونِي؟ " قَالُوا: بَلَى، قَالَ: "فَإِنِّي نَذِيرٌ لَكُمْ بَيْنَ يَدَيْ عَذَابٍ شَدِيدٍ"، فَقَالَ أَبُو لَهَبٍ: تَبًّا لَكَ، ألهذا دعوتنا جمعيا؟! فَأَنْزَلَ اللَّهُ - عَزَّ وَجَلَّ - {تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ} إِلَى آخِرِهَا.
Pada suatu hari Rasulullah saw naik kepuncak bukit shafa, lalu berseru, “waspadalah!” lalu berkumpullah orang-orang Quraisy kepadanya, mereka bertanya, “ada apa engkau?” Rasulullah saw berkata, “bagaimana menurut kalian jika aku beritahukan kalian bahwa musuh akan menyerang kalian secara tiba-tiba pada pagi hari atau sore hari, apakah kalian akan mempercayaiku?” mereka menjawab, “tentu” beliau berkata lagi, “sesungguhnya aku memperingatkan kalian tentang adzab yang sangat pedih”. Abu Lahab lalu berkata, “binasalah engkau, apakah untuk ini engkau mengundang dan mengumpulkan kami?” maka Allah menurunkan ayat ini hingga akhir surat.
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.
Abu Lahab adalah paman Nabi saw, nama lengkapnya adalah Abdul Uzza bin Abdul Muthalib. Ia dipanggil Abu Lahab karena wajahnya yang cerah. Ia dan istrinya Arwa binti Harb bin Umaiyyah (saudara perempuan Abu Sofyan) termasuk orang yang paling keras menyakiti Rasulullah saw.[2]
Abu Lahab senantiasa menghalang-halangi orang dari kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah saw. Ibnu Ishaq meriwayatkan, telah menceritakan kepadaku Husain bin Abdullah bin Ubaidillah bin Abbas, ia berkata, Aku mendengar Rabi’ah bin Ibad ad Daili berkata, “sesungguhnya ketika aku masih muda pernah bersama ayahku melihat Rasulullah saw mendatangi kabilah-kabilah, sedangkan dibelakangnya ada seorang laki-laki juling, bermuka cerah dan berkuncir. Rasulullah saw berdiri menghadapi kabilah lalu bersabda,
يَا بَنِي فُلَانٍ، إِنِّي رَسُولُ اللهِ إِلَيْكُمْ، آمُرُكُمْ أَنْ تَعْبُدُوا اللهَ، وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَأَنْ تُصَدِّقُونِي وَتَمْنَعُونِي (2) حَتَّى أُنْفِذَ عَنِ اللهِ مَا بَعَثَنِي بِهِ
“Wahai Banu Fulan, sesungguhnya aku adalah Rasul Allah bagi kalian. Aku memerintahkan kepada kalian agar kalian menyembah Allah, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, membenarkan aku dan membelaku hingga aku dapat melaksanakan misi yang ditugaskan Allah kepadaku.”
Setiap kali Nabi saw selesai dari perkataannya, orang lain yang ada di belakangnya itu berkata, “wahai banu fulan sesungguhnya orang ini menginginkan agar kalian meninggalkan latta, uzza dan sekutu-sekutu kalian dari bangsa jin dan banu Malik bin Aqmas, lalu kalian mengikuti bid’ah dan kesesatan yang dibawanya. Karena itu janganlah kalian mendengarnya dan mengikutinya.” Kemudian aku bertanya kepada bapakku, “siapa orang ini?” Bapakku menjawab, “pamannya, Abu Lahab.”[3]
Selain itu jika ada utusan dari daerah lain yang ingin bertemu Rasulullah saw, Abu Lahab senantiasa berusaha menemui mereka terlebih dahulu, lalu ia bertanya-tanya tentang apa yang mereka ketahui dari diri nabi saw, mereka menjawab, “tentu engkau lebih mengenalnya dibanding kami”. Lalu Abu Lahab akan berkata, “dia adalah seorang pendusta dan penyihir.” Maka para utusan tersebut pun kembali ke daerahnya dan mengurungkan niat untuk menemui nabi saw.[4]
Al Mawardi meriwayatkan bahwa setelah istri Abu Lahab mendengar apa yang terjadi dengan suaminya dan apa yang disebutkan di dalam al Qur’an ia mencari-cari Nabi saw. Pada saat itu beliau sedang duduk bersama dengan Abu Bakar. Akan tetapi ketika istri Abu Lahab yang membawa batu yang sangat keras tiba di masjid, seketika Allah mengambil penglihatannya atas Nabi saw. Ia hanya melihat Abu Bakar saja. Lalu ia berkata kepada Abu Bakar, “wahai Abu Bakar, aku mendengar sahabatmu telah menyindirku, aku bersumpah apabila aku bertemu dengannya maka akan aku pukul mulutnya dengan batu ini. Dengarkanlah syairku ini wahai Abu Bakar,
مُذَمَّمًا عَصَيْنَا وَأَمْرَهُ أَبَيْنَا ودينه قلينا
“kepada Mudzammam (orang yang tercela) kami menentang dan menolak segala perintahnya, dan kami membenci agama yang dibawanya.”
Setelah ditinggal oleh istri Abu Lahab, Abu Bakar kebingungan dan berkata kepada Nabi saw, “wahai Rasulullah, apakah engkau tidak melihat bagaimana ia tidak bisa melihatmu?” Nabi saw menjawab, “ia memang tidak dapat melihatku, Allah telah mengambil penglihatannya terhadapku.”[5]
Demikianlah beberapa peristiwa yang menggambarkan perilaku Abu Lahab menghalangi da’wah Nabi Muhammad saw, hingga ia mendapatkan kecaman dari Allah ta’ala.
Mengenai kata tabba menurut al Farra’ berarti “خسر” atau merugi. “فالأول: دعاء، والثاني: خبر” yang pertama disebutkan dalam ayat adalah do’a, sedangkan yang kedua adalah pemberitahuan.[6]
Definisi lain sebagaimana disampaikan qatadah, ia mengartikannya “خسرت” merugi, Ibnu Abbas mengartikannya “خَابَتْ” kecewa. Atha mengartikannya “ضَلَّتْ” tersesat. Dan Ibnu Jubair mengartikanya dengan “هَلَكَتْ” binasalah. Menurut al Qurthubi penyebutan tangan secara khusus adalah untuk makna celaka. Bahkan masyarakat Arab terkadang menyebutkan kata tangan untuk mewakili seluruh tubuh. Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al hajj 10 “بِما قَدَّمَتْ يَداكَ” yang demikian itu, adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tangan kamu dahulu.” Maksudnya adalah segala yang kamu lakukan terdahulu. [7]
Demikianlah ayat pertama ini merupakan pembelaan Allah terhadap Rasulullah saw atas segala makar orang-orang yang membenci beliau terutama Abu Lahab
.
Sayyid Quthb menyebutkan “ففي آية قصيرة واحدة في مطلع السورة تصدر الدعوة وتتحقق، وتنتهي المعركة ويسدل الستار!” di dalam satu ayat yang pendek di awal surat ini do’a itu muncul dan terwujudkan, sehingga pertempuran berakhir dan layar ditutup.[8]
Rasulullah saw pun pernah berkata terkait dengan hal ini, sebagaimana riwayat dari Abu Hurairah ra,
أَلاَ تَعْجَبُونَ كَيْفَ يَصْرِفُ اللَّهُ عَنِّي شَتْمَ قُرَيْشٍ وَلَعْنَهُمْ، يَشْتِمُونَ مُذَمَّمًا، وَيَلْعَنُونَ مُذَمَّمًا وَأَنَا مُحَمَّدٌ
Lihatlah bagaimana Allah telah menghilangkan cacian kaum Quraisy dariku, mereka telah mencela dan mencercaku dengan panggilan mudzammam padahal namaku adalah Muhammad.[9]
مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ
Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan
Ibnu Jarir ath Thobari menjelaskan bahwa maksud ayat ini adalah “أيّ شيء أغنى عنه ماله، ودفع من سخط الله عليه ” Harta bendanya tidak berguna baginya dan tidak dapat mencegah kemurkaan Allah terhadapnya.[10] Demikian pula pendapat al Qurthubi “أَيْ مَا دَفَعَ عَنْهُ عَذَابَ اللَّهِ مَا جَمَعَ مِنَ الْمَالِ، وَلَا مَا كَسَبَ مِنْ جَاهٍ” bahwa segala harta yang ia miliki dan semua kehormatan yang ia cari tidak akan dapat menyelamatkannya dari azab Allah.[11] Sayyid Quthb mengaitkan ayat kedua ini dengan ayat pertama, “لقد تبت يداه وهلكتا وتب هو وهلك. فلم يغن عنه ماله وسعيه ولم يدفع عنه الهلاك والدمار” sungguh kedua tangannya telah putus dan binasa dan sungguh dia telah binasa dan hancur. Sehingga harta benda dan usahanya tidak berguna baginya dan tidak bisa menolak kebinasaan dan kehancuran baginya. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa semua ini adalah balasan yang terjadi di dunia dan di akhirat kelak ia & istrinya akan masuk neraka sebagai mana ayat selanjutnya.[12]
Kalimat “كَسَبَ” menurut Mujahid berarti “وَلَدَهُ” anak-anaknya.[13] Hal ini sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Aisyah ra, bahwa Nabi saw pernah bersabda
إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ
Sesungguhnya makanan yang paling baik yang dimakan seseorang adalah makanan yang didapat dari hasil usahanya sendiri. Dan anak-anaknya juga termasuk hasil usahanya.[14]
سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ
Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak
Ayat ini menegaskan bahwa kelak Abu Lahab akan masuk kedalam api neraka yang bergejolak. Al Qurthubi menjelaskan makna al lahab sebagaimana dalam surat al mursalat ayat 31 “لَا ظَلِيلٍ وَلا يُغْنِي مِنَ اللَّهَبِ” yang tidak melindungi dan tidak pula menolak nyala api neraka. Al lahab adalah “يَعْلُو عَلَى النَّارِ إِذِ اضْطَرَمَتْ مِنْ أَحْمَرَ وَأَصْفَرَ وَأَخْضَرَ” Lidah api yang sangat panas yang berwarna merah kuning dan hijau.[15] Ibnu Katsir menjelaskan bahwa lahab adalah “ذَاتَ شَرَرٍ وَلَهِيبٍ وَإِحْرَاقٍ شَدِيدٍ” percikan dan lidah api dan pembakaran yang keras.[16]
وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ
Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar
Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai makna pembawa kayu bakar. Sebagian berpendapat istri Abu Lahab datang dengan membawa duri, lalu melemparkannya ke jalanan Rasulullah saw agar kaki beliau tertusuk duri itu ketika pergi sholat. Mereka yang berpendapat demikian menyebutkan riwayat dari Ibnu Abbas,
كانت تحمل الشوك، فتطرحه على طريق النبي صلى الله عليه وسلم، ليعقره وأصحابه
Ia (istri Abu Lahab) membawakan duri, lalu melemparkannya ke jalanan Rasulullah saw agar dapat menyakiti beliau dan para sahabatnya.[17]
Mujahid berpendapat bahwa maksud pembawa kayu bakar adalah “حَمَالَةَ النَّمِيمَةِ، تَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ” penyebar fitnah yang berjalan menyebarkan fitnah.[18] Sebagian lain berpendapat bahwa maksudnya adalah wanita yang menukil perkataan orang dan menyebarkannya kepada yang lainnya, sebagaimana riwayat dari Qatadah “كَانَت تنقل الْأَحَادِيث من بعض النَّاس إِلَى بعض” mengatakan perkataan sebagian manusia kepada sebagian yang lainnya.[19] Sa’id bin Jubair menafsirkan maknanya adalah “حَمَّالَةُ الْخَطَايَا وَالذُّنُوبِ” wanita yang selalu membawa kesalahan dan dosanya. Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al an’am ayat 31
وَهُمْ يَحْمِلُونَ أَوْزارَهُمْ عَلى ظُهُورِهِمْ
“sambil mereka memikul dosa-dosa di atas punggung mereka”[20]
Mengenai balasan atas kejahatan menyebar fitnah dan mengadu domba ini, Hudzaifah ra mendengar bahwa Rasulullah saw pernah bersabda, “لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ” “tidak akan pernah masuk surga orang yang suka mengadu domba”[21]
فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ
Yang dilehernya ada tali dari sabut
Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna masad, sebagian mereka berpendapat maksudnya adalah tali biasa yang terdapat di Mekah, sebagian lain berpendapat sabut, ada pula yang berpendapat al masad adalah besi yang terdapat pada penggulung tali dan kalung yang terbuat dari rumah siput. Ath thobari menyatakan bahwa tali itu terbuat dari berbagai macam bahan[22]
Sayyid Quthb mengatakan bahwa maksudnya adalah “” tali yang dipergunakan untuk mengikatnya dineraka. Adh dhohak mengatakan bahwa “فِي الدُّنْيَا مِنْ لِيفٍ وَفِي الْآخِرَةِ مِنْ نَارٍ” itu adalah tali yang terbuat dari sabut didunia dan diakhirat terbuat dari neraka pada lehernya.[23]
Hikmah
1. Perbuatan tercela yang Allah janjikan neraka bagi Abu Lahab dan istrinya dalam surat ini adalah menyebarkan fitnah dan adu domba untuk menghalang-halangi manusia dari da’wah kepada Allah. Allah mengabadikan peristiwa ini dengan kehancuran, kebinasaan, penghinaan dan perendahan martabat bagi mereka yang berbuat makar kepada-Nya.
2. Jalanilah kehidupan sesuai dengan syari’at Allah dan yakinlah bahwa harta kekayaan, jabatan sosial, keturunan dan semua hasil usaha yang kita bangga-banggakan tidak akan dapat menolak murka Allah.
Wallahu a’lam.
Sigit Suhandoyo
[1] Abul Hasan Ali bin Ahmad al Wahidiy: Asbab an Nuzul al Qur’an. Ad Damam : Daar al Ishlah, 1412 H, 469. Juga diriwayatkan oleh Bukhari dalam Fath al Bari 8/837, Muslim dalam shahihnya 1/193, Ahmad dalam al fath ar rabbani 18/324, at Tirmidzi dalam sunannya 5/451, dan al baihaqi dalam dalail an nubuwwah 2/181. Dalam lafadzh Imam Muslim disebutkan bahwa peristiwa tersebut setelah diturunkan firman Allah “Dan berikanlah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (at taubah 214)
[2] Sayyid Quthb: Fii Dzilal al Qur'an, Beirut: Daar Asy Syuruq. 1412 H. 6/3999. Lahab dalam bahasa arab memiliki arti menyala, lidah api dan nyala api.
[3] Ahmad bin Hanbal: al Musnad. Beirut: Muassasah ar Risalah. 1421 H. 25/407 hadits ke 16025. At Thabrani juga meriwayatkannya dalam Mu’jam al Kabir 5/53 hadits ke 4589. Sanad hadits ibnu ishaq ini lemah karena lemahnya Husain bin Abdullah bin Ubaidillah bin Abbas.
[4] Al Jami’ li Ahkam al Qur’an 20/235. Al mawardi juga menuliskannya dalam an nukat wal uyun 6/364 dan Ibnu ‘Adil dalam al lubab fi ulumil kitab 20/551.
[5] Abul hasan ali al mawardi: an nukat wal uyun. Beirut: Daar al kutub al ilmiyyah, tt. 6/368. Riwayat serupa juga terdapat dalam al Jami’ li Ahkam al Qur’an 20/234.
[6] Yahya bin Ziyad al Farra’: Ma’ani al Qur’an. Mesir: Daar al al Mishriyah li at ta-lif wa at tarjamah, tt, 3/298.
[7] Imam al Qurthubi: al Jami’ li Ahkam al Qur’an, Qahirah: Daar al Kutub al Mishriyah, 1384 H, 20/235-236.
[8] Fii Dzilal al Qur’an 6/4000.
[9] Muhammad bin Ismail al Bukhari: Shahih Bukhari. Daar at Thuuq an Najah, 1422H, 4/185 hadits ke 3533.
[10] Ibnu Jarir ath Thobari: Jami’ al Bayan an Ta’wil Ayi al Qur’an. Beirut: Muassasah ar Risalah, 1420 H, 24/677.
[11] Al Jami’ li Ahkam al Qur’an 20/238.
[12] Fi Dzilal al Qur’an 6/4000.
[13] Mujahid bin Jabr: Tafsir Mujahid. Mesir: Daar al Fikr al Islami al Haditsah, 1410 H, 759.
[14] Abu Dawud as Sajjistani: Sunan Abi Dawud. Beirut: Maktabah al ‘Ashriyah, tt. 3/288 hadits ke 3528. Hadits ini juga diriwayatkan an Nasa-i dalam sunannya 7/240. Ibnu Majah dalam sunannya 2/723. Ibnu Hibban dalam Shahihnya 10/73. Dan Imam Ahmad dalam Musnadnya 40/34. Menurut Ahmad hadits ini hasan lighairihi, sedangkan menurut Muhammad Nashirudin al Albani hadits ini shahih.
[15] Al Jami’ li Ahkam al Qur’an, 19/162
[16] Imaduddin Ibnu Katsir: Tafsir al Qur’an al Adzhim. Daar thoyyibah li an nashr wa at tauzi’, 1420 H, 8/515.
[17] Jami’ al Bayan an Ta’wil Ayi al Qur’an, 24/678.
[18] Tafsir Mujahid, 759.
[19] Jalaluddin as Suyuti: ad Duur al Mantsur. Beirut: Daar al Fikr, tt. 8/667
[20] Al Jami’ li Ahkam al Qur’an, 20/240.
[21] Muslim bin Hajjaj: Shahih Muslim. Beirut: Daar Ihya at Turats al Arabi. tt, 1/101 hadits ke 105.
[22] Lihat Jami’ al Bayan an Ta’wil Ayi al Qur’an, 24/680 – 683.
[23] Abu Muhammad al Baghawi: Ma’alim at Tanzil, Beirut: Daar Ihya at Turats al Arabi, 1420 H. 5/328