Pengertian Penyakit Hati
Secara terminologis penyakit-penyakit hati dikenal dengan istilah “أَمْرَاضُ القلوبِ”. Penggunaan kata ini sebagaimana firman Allah pada beberapa surat dalam al Qur’an yang menggambarkan hati yang berpenyakit. Misalnya tentang hati orang munafik dalam surat al Baqarah ayat 10: “فِي قُلُوبهم مرض فَزَادَهُم الله مَرضا” yang artinya Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya.
Menurut ibnu faris[1] kata al maradh adalah “كُلُّ شَيْءٍ خَرَجَ بِهِ الْإِنْسَانُ عَنْ حَدِّ الصِّحَّةِ” keadaan manusia keluar dari batas sehat (karena suatu penyakit). Al Qurthubi[2] menjelaskan bahwa al maradh adalah “عِبَارَةٌ مُسْتَعَارَةٌ لِلْفَسَادِ الَّذِي فِي عَقَائِدِهِمْ. وَذَلِكَ إِمَّا أَنْ يَكُونَ شَكًّا وَنِفَاقًا، وَإِمَّا جَحْدًا وَتَكْذِيبًا” keterangan yang dipinjam untuk menunjukkan kerusakan pada sisi keyakinan mereka (orang munafiq), berupa keraguan, kemunafikan, pengingkaran dan dusta. Lebih lanjut al qurthubi menjelaskan bahwa hati yang berpenyakit adalah “بِسُكُونِهِمْ إِلَى الدُّنْيَا وَحُبِّهِمْ لَهَا وَغَفَلَتِهِمْ عَنِ الْآخِرَةِ وَإِعْرَاضِهِمْ عَنْهَا أَيْ”hati yang cenderung dan cinta kepada dunia hingga lalai dan berpaling dari akhirat.
Imam Ibnu Taimiyyah[3] mendifinisikan penyakit hati sebagai berikut,
نَوْعُ فَسَادٍ يَحْصُلُ لَهُ يَفْسُدُ بِهِ تَصَوُّرُهُ وَإِرَادَتُهُ فَتَصَوُّرُهُ بِالشُّبُهَاتِ الَّتِي تَعْرِضُ لَهُ حَتَّى لَا يَرَى الْحَقَّ أَوْ يَرَاهُ عَلَى خِلَافِ مَا هُوَ عَلَيْهِ وَإِرَادَتُهُ بِحَيْثُ يُبْغِضُ الْحَقَّ النَّافِعَ وَيُحِبُّ الْبَاطِلَ الضَّارّ
Merupakan jenis kerusakan yang merusak persepsi-persepsi dan keinginan-keinginan, tergambar pada persepsinya berbagai macam syubhat hingga ia tidak dapat melihat kebenaran, atau ia melihatnya berbeda dari yang sebenarnya. Sedangkan keinginannya akan membenci kebenaran yang bermanfaat dan menyukai hal-hal yang berbahaya.
Berbeda dengan pendapat Ibnu Taimiyyah tersebut di atas, Ibnul Qayyim[4] berpendapat bahwa hati yang sakit adalah hati yang hidup namun memiliki cacat. Hati ini berada dalam dua kondisi, kadang cenderung kepada kebaikan dan sebaliknya. Lebih lanjut Ibnul Qayyim menjelaskan “ففيه من محبة الله تعالى والإيمان به والإخلاص له، والتوكل عليه: ما هو مادة حياته، وفيه من محبة الشهوات وإيثارها والحرص على تحصيلها” didalamnya terdapat cinta kepada Allah ta’ala, iman kepada-Nya, ikhlas karena-Nya dan tawakkal atas-Nya, itulah bagian kehidupan hati, namun didalamnya juga terdapat cinta kepada syahwat dan mengutamakannya serta antusias untuk meraihnya.
Al Ghazali berpendapat sebagaimana fisik manusia yang bisa sakit, hatipun demikian. Karena setiap penciptaan yang Allah lakukan pasti memiliki faidah dan tujuan penciptaan. Kemudian al Ghazali[5] menyebutkan tujuan Allah menciptakan hati yaitu “العلم والحكمة والمعرفة وحب الله تعالى وعبادته والتلذذ بذكره وإيثاره ذلك على كل شهوة سواه والاستعانة بجميع الشهوات والأعضاء عليه” untuk ilmu, hikmah, mengenal, mencintai Allah ta’ala, menyembah kepada-Nya, merasa lezat dengan menyebut-Nya, mengutamakan semua itu atas semua keinginan lain, memohon pertolongan dengan semua keinginan dan anggota tubuh untuk maksud-maksud mulia tersebut.
Dengan demikian menurut al Ghazali penyimpangan-penyimpangan yang terjadi atas faedah dan tujuan penciptaan tersebut adalah penyakit pada hati. Tidak mengenal Allah, mencintai sesuatu selain Allah bukan dalam kerangka cinta kepada Allah dan menuju kepada dunia dalam segala amal dan perbuatan adalah diantara penyakit-penyakit hati.
Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk memakmurkan hati mereka dengan cinta yang sesungguhnya kepada Allah ta’ala dan rasul-Nya, dan memperingatkan akan dominasi cinta terhadap berbagai syahwat dunia yang mampu memalingkan cinta hakiki tersebut. Jika sedikit saja cinta kepada syahwat dunia memasuki hati hingga kemudian secara perlahan memalingkan manusia dari cinta hakikinya maka sakitlah hatinya.
Dr Anas Karzuun[6] mengemukakan bahwa manusia terbagi menjadi 3 golongan, yaitu “القسم الأول : السابقون، و أصحاب النفوس المطمئنة، القسم الثاني : أصحاب اليمين، المقتصدون، و أصحاب النفوس اللوامة، القسم الثالث : أصحاب الشمال، و الظالمون لأنفسهم، و أصحاب النفوس الأمارة بالسوء” pertama orang-orang yang terdahulu (berbuat kebaikan) pemilik nafsu yang tenang. Kedua adalah golongan kanan, kelompok yang pertengahan pemilik nafsu yang menyesali diri. Ketiga adalah golongan kiri, kelompok yang mendzolimi diri sendiri pemilik nafsu yang menyuruh kepada perbuatan buruk.
Selanjutnya beliau mengemukakan firman Allah yang tertulis dalam al Qur’an pada surat fathir ayat 32 yaitu,
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
Kemudian Kami berikan al Kitab kepada hamba-hamba Kami yang Kami pilih. Maka diantara mereka ada yang mendzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan dan ada pula yang terdahulu dalam berbuat kebaikan dengan izin Allah. Itulah keutamaan yang besar.
Selanjutnya menurut Dr Anas Karzuun manusia yang sehat hatinya memiliki nafsu yang tenang dalam kebaikan, dan nafsu yang menyesali diri. Penyakit hati terdapat pada manusia yang memiliki nafsu yang menyuruh kepada keburukan.
Meskipun demikian Sa’id Hawwa[7] menjelaskan seorang yang diberikan keistimewaan oleh Allah dengan nafsu yang tenang tidak berarti terbebas secara sempurna dari kemungkinan berbuat salah, Sebab Allah menjadikan kesempurnaan dan keterjagaan dari dosa (ma’shum) hanya untuk para nabi dan rasul, kemudian beliau mengemukakan perkataan Ibnu Athaillah “لَيْسَ كُلُّ مَنْ ثَبَتَ تَخْصِيْصُهُ كَمُلَ تَخْلِيْصُهُ” tidak setiap orang yang tampak keistimewaannya menjadikannya sempurna pembebasannya (dari penyakit-penyakit hati)
Kemudian mengenai nafsu yang menyesali diri, Al Hasan[8] berkata “هِيَ وَاللَّهِ نَفْسُ الْمُؤْمِنِ، مَا يُرَى الْمُؤْمِنُ إِلَّا يَلُومُ نَفْسَهُ: مَا أَرَدْتُ بِكَلَامِي؟ مَا أَرَدْتُ بِأَكْلِي؟ مَا أَرَدْتُ بِحَدِيثِ نَفْسِي؟ وَالْفَاجِرُ لَا يُحَاسِبُ نَفْسَهُ” Demi Allah ini adalah nafsu seorang mukmin. Ia tidak melihat apapun selain menyesali diri, Apa yang kuinginkan dengan perkataanku? Apa yang kuinginkan dengan makanku? Apa yang kuinginkan dengan bisikan nafsuku?
Hal ini menggambarkan pemilik nafsu yang menyesali diri adalah mereka yang senantiasa mengintrospeksi apa hasrat yang sesungguhnya dari segala perbuatannya, jika buruk maka mereka menyesali dirinya.
Adapun mengenai nafsu yang menyuruh kepada perbuatan buruk adalah nafsu yang berperan mengantarkan pemiliknya kepada keburukan dan menjauhkannya dari kebaikan. Kemudian hatinya akan terpuruk dan menyimpang dari fitrah yang Allah berikan kepadanya.
Al Jurzani[9] memaknai nafsu yang menyuruh berbuat buruk sebagai berikut “هي التي تميل إلى الطبيعة البدنية، وتأمر باللذات والشهوات الحسية، وتجذب القلب إلى الجهة السفلية، فهي مأوى الشرور، ومنبع الأخلاق الذميمة” nafsu yang cenderung kepada tabi’at tubuh, menyuruh menikmati kelezatan dan syahwat inderawi dan menarik hati ke tingkat yang rendah. Maka itulah tempat bagi berbagai kejahatan dan sumber segala perilaku tercela.
Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan beberapa karekteristik penyakit hati yaitu:
Penyakit hati adalah, penyimpangan atau kerusakan yang terjadi atas hati manusia hingga ia keluar dari batas-batas sehatnya yaitu faedah dan tujuan penciptaannya.
Pada awalnya hati manusia itu fitrah, adanya penyakit pada hati akan membolak-balikkan hati hingga ia memiliki kecenderungan selain kepada kebaikan juga keburukan. Jika tidak segera mendapatkan penanganan maka ia akan mendominasi dan mematikan hati hingga hati tersebut tidak dapat melihat kebenaran.
Faedah dan tujuan penciptaan hati secara garis besar adalah untuk beribadah kepada Allah, atau menuju kepada Allah dalam segala amal perbuatan hati terutama cinta hingga menggerakkan amaliah fisik diatas landasan amaliah hati.
Batasan Antara Hati yang Sehat dan Sakit
Menurut Ahmad Karzuun[10] batasan pasti yang merupakan area perpindahan antara hati yang suci dan hati yang sakit adalah, kesamaan antara cinta kepada Allah ta’ala dan Rasul-Nya dengan cinta kepada dunia yang diperbolehkan (mubah). Sedangkan jika masuk sedikit saja syahwat terlarang ke dalam hati, maka akan mengakibatkan sakit. Pengetahuan mengenai batasan ini tidak dimiliki setiap orang karena nafsu seringkali menipu pemiliknya. Demikian pula diperlukan kehati-hatian dalam mengerjakan hal yang diperbolehkan agar tidak terjerumus ke dalam syubhat.
Pendapat tersebut di atas semakna dengan pengertian hati yang sehat menurut Ibnul Qayyim al Jauziyah[11] yaitu “الذى قد سلم من كل شهوة تخالف أمر الله ونهيه، ومن كل شبهة تعارض خبره” hati yang selamat dari semua syahwat yang bertentangan dengan perintah Allah dan larangan-Nya serta dari segala perbuatan syubhat yang mengacaukan pengetahuannya.
Oleh karena itu Rasulullah saw menjelaskan bahwa jalan yang benar untuk kebaikan hati dan kesuciannya dari berbagai penyakit adalah menjauhkan diri dari syubhat karena khawatir akan jatuh pada area terlarang.
Dari Nu’man bin Basyir ra berkata, aku mendengar bahwasanya Rasulullah saw bersabda,
إِنَّ الحَلالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَات لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاس، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرأَ لِدِيْنِهِ وعِرْضِه، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيْهِ. أَلا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمَىً. أَلا وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ، أَلا وإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وإذَا فَسَدَت فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلا وَهيَ القَلْبُ
Sesungguhnya yang halal itu jelas dan sesungguhnya yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya terdapat hal-hal yang samar-samar yang sebagian besar manusia tidak mengetahuinya. Barangsiapa menjauhi hal tersebut ia telah mencari kebersihan untuk agama dan kehormatannya. Barangsiapa terjerumus kedalam perkara yang samar-samar maka ia telah jatuh ke dalam perkara yang haram. Seperti penggembala yang berada didekat daerah terlarang dan dikhawatirkan ia akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan. Ingatlah bahwa larangan Allah adalah apa yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam jasad manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik maka baik pula seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati.”[12]
Rasulullah saw juga menganjurkan untuk meninggalkan segala hal yang meragukan,
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ، فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ، وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
Tolaklah segala sesuatu yang meragukanmu dengan sesuatu yang tak meragukanmu, sesungguhnya perkara yang benar itu menenangkan hati dan dusta itu menggelisahkan.[13]
Sufyan bin Uyainah[14] berkata “لَا يُصِيبُ رَجُلٌ حَقِيقَةَ التَّقْوَى حَتَّى يُحِيلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْحَرَامِ حَاجِزًا مِنَ الْحَلَالِ , وَحَتَّى يَدَعَ الْإِثْمَ وَمَا تَشَابَهَ مِنْهُ’ Tidak akan sampai seseorang pada takwa yang sesungguhnya kecuali ia meletakkan pemisah antara dirinya dan hal-hal yang haram sesuatu yang halal, sehingga ia terhindar dari dosa dan perkara yang samar.
Dalil-dalil tersebut diatas menunjukkan demikian pentingnya menjaga kondisi hati manusia agar senantiasa berada dalam keadaan yang sehat. Memperhatikan perbaikan dan pengobatan hati merupakan hal yang utama karena seluruh perbuatan manusia berupa kebaikan dan keburukan bersumber dari hati manusia. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda,
الْقَلْبُ مَلَكٌ وَلَهُ جُنُودٌ، فَإِذَا صَلُحَ الْمَلِكُ صَلُحَتْ جُنُودُهُ، وَإِذَا فَسَدَ الْمَلِكُ فَسَدَتْ جُنُودُهُ
Hati adalah raja dan baginya para prajurit, jika baik raja baik pula prajurit-prajuritnya dan jika buruk raja maka buruk pula prajurit-prajuritnya.[15]
Catatan Pustaka
[1] Ibnu Faris, 1399 H, Mu’jam Maqayisul Lughah, Beirut : Daar al Fikr, 5/311
[2] Syamsuddin Al Qurthubi, 1384 H, al Jami’ li Ahkamil Qur’an, Cairo : Daar al Kutub al Mishriyyah, 1/197.
[3] Ibnu Taimiyyah, 1416 H, Majmu al fatawa, Saudi Arabia : Lembaga Penerbit Raja Fahd, 10/93.
[4] Ibnul Qayyim, tt, Ighaatsahul Lahfan min Mashaayidis Syaithan, Riyadh : Maktabah al Ma’arif, 1/9.
[5] Al Ghazali, tt, Ihya Ulumuddin, Beirut : Daar al Ma’rifah, 3/63
[6] Anas Ahmad Karzuun, 1415 H, Manhajul Islam fi Tazkiyatin Nufus wa Atsarahu fi Da’wati Ilallah, Saudi Arabia : Jami’ah Ummul Qura, 343.
[7] Sa’id Hawwa, 1409 H, Mudzakirat fi Manazilis Shiddiqin wa Rabbaniyyin (Syarh al hikam li Ibni Athaillah), Beirut : Daar Ammar, h 463
[8] al Qurthubi, op.cit, 19/93.
[9] Asy Syarif al Jurzani, 1403 H, Kitab al Ta’rifat, Beirut : Daar al Kutub al ‘Ilmiyyah, h 243.
[10] Ahmad Anas Karzuun, op.cit, 347.
[11] Ibnul Qayyim, op.cit, 1/7.
[12] Bukhari : Shahih al Bukhari, Beirut : Daar Thuq an Najah, 1422 H, 1/20 hadits ke 52. Dan Muslim : Shahih Muslim, Beirut : Daar Ihya at Turats al ‘Araby, tt, 3/1219 hadits ke 1599.
[13] Ahmad bin Hanbal, 1421 H, al Musnad, Beirut : Muassasah ar Risalah, 3/248 hadits ke 1723. Shahih menurut syaikh Syu’aib al Arnauth. Hadits ini juga dikemukakan oleh Ath Thoyalisi 1178, at Tirmidzi 2518, al Hakim 2/13 dan al Baihaqi 5/335, imam al Hakim menshahihkannya dan disepakati oleh adz Dzahabi.
[14] Abu Nu’aim al Ashfihany , 1394 H, Hilyatul Auliya wa Thobaqotul Ashfiya, Beirut : Daar al Kitab al ‘Araby, 7/288.
[15] Abu Bakar al Baihaqi, 1423 H, Sya’abul Iman, Saudi Arabia : Maktabah ar Rusyd, 1/257 hadits ke 108. Hadits ini dhaif menurut al Albany, lihat Silsilatu al Ahadits adh Dho’ifah 9/71 no 4074.