urgensi dakwah dalam al Qur'an 2
Dengan hikmahnya Allah telah menciptakan manusia sebagai ciptaan yang terbaik dari segi fisik maupun psikis. Mengistimewakan manusia dengan berbagai karakter dan sifat dengan sangat rinci dan mendetail serta memiliki berbagai macam kondisi dan perubahan. Jika setiap Muslim mampu mengarahkan keburukan nafsunya dan mendidiknya kejalan yang benar maka sungguh dia telah beruntung, dan sebaliknya jika dia tidak berhasil mendidiknya maka sungguh dia telah merugi.
Allah ta’ala berfirman dalam surat Yusuf ayat 53 tentang kecenderungan nafsu manusia yang menyuruh kepada kejahatan,
وما أبرئ نفسي إن النفس لأمارة بالسوء إلا ما رحم ربي إن ربي غفور رحيم.
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “ (Yusuf 53).
Menurut az Zuhailiy ayat ini menujujukkan bahwa manusia memerlukan bimbingan agar senantiasa dapat berprilaku baik,
أنّ أكثر النّفوس نزّاعة للشّهوة، ميّالة للهوى، ذات نزعة شريرة، تحتاج إلى مجاهدة ومكافحة ومراقبة وتحذير”[1]
Dalam pengertian lain, sesungguhnya sebagian besar jiwa bertentangan dengan syahwat, cenderung kepada kesenangan hatinya yang mengarah kepada keburukan, hal ini membutuhkan kesungguhan, pertahanan, pengawasan dan peringatan.
Manusia memiliki nafsu yang senantiasa menyuruh berbuat keburukan, sebagaimana didefinisikan oleh al Jurzani sebagai nafsu lahiriyah atau duniawiyah semata, ia berkata,
هي التي تميل إلى الطبيعة البدنية، وتأمر باللذات والشهوات الحسية، وتجذب القلب إلى الجهة السفلية، فهي مأوى الشرور، ومنبع الأخلاق الذميمة” [2]
Dalam pengertian lain, nafsu yang menyeru kepada keburukan adalah nafsu yang cenderung kepada tabi’at tubuh, menyuruh menikmati kelezatan dan syahwat inderawi dan menarik hati ke tingkat yang rendah. Maka itulah tempat bagi berbagai kejahatan dan sumber segala perilaku tercela.
Penutupan ayat ini diakhiri dengan, … “sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun dan Maha Pengasih ”, maksudnya adalah,
إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ عظيم المغفرة فيغفر ما يعتري النفوس بمقتضى طباعها ومبالغ في الرحمة فيعصمها من الجريان على موجب ذلك”[3]
ampunan bagi siapapun yang mau bertaubat dan kembali dari ajakan jiwa yang menyuruhnya berbuat buruk. Mahakasih, yang melindungi jiwa dari terus mengikuti perintah jiwa ini serta meningkatkannya pada kondisi jiwa yang lebih baik.
Allah ta’ala juga berfirman dalam surat asy Syams ayat 7 – 10, tentang kondisi jiwa manusia yang memerlukan da’wah agar senantiasa berada dalam kebenaran.
ونفس وما سواها. فألهمها فجورها وتقواها. قد أفلح من زكاها. وقد خاب من دساها.
“dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Asy Syams 7 – 10).
Allah ta’ala memberikan pada jiwa manusia karakteristik berupa kemampuan untuk mengetahui yang baik dan buruk. Ayat ini mengisyaratkan akan adanya tabiat manusia yang dapat menerima kebaikan dan keburukan. Adapun maksud dari kalimat “fa alhamaha fujuraha wa taqwaha”, adalah; “Menurut ibnu Abbas dalam riwayat Ali bin Abi Thalhah maksudnya adalah, “بَيَّنَ لَهَا الْخَيْرَ وَالشَّرَّ” menjelaskan kepadanya kebaikan dan keburukan. Sedangkan dalam riwayat ‘Athiyah “عَلَّمَهَا الطَّاعَةَ وَالْمَعْصِيَةَ” mengajarkan kepadanya keta’atan dan maksiat. Al Kalby meriwayatkan dari Aby Shalih, “عَرَّفَهَا مَا تَأْتِي مِنَ الْخَيْرِ وَمَا تَتَّقِي مِنَ الشَّرِّ” memperkenalkan kepadanya segala sesuatu yang datang dari kebaikan dan berhati-hati terhadap segala keburukan.”[4]
Menurut al Fairuz Abadi jiwa manusia itu memiliki sifat-sifat sebagai berikut; “مَيْلُ النَّفس إِلى الشَّهْوَة” jiwa itu memiliki kecenderungan kepada sesuatu yang diinginkannya, “العِشْقُ، ويكون فى الخَيْر والشرّ” --kecenderungannya terhadap sesuatu itu -- menjadikan hatinya tertambat baik terhadap kebaikan maupun keburukan, “إِرادةُ النَّفْس والمحَبَّة” -- kecenderungannya terhadap sesuatu itu -- menjadikannya sebagai pilihan jiwa dan kecintaan. [5]
Maka da’wah merupakan sesuatu yang dibutuhkan setiap manusia untuk mengarahkan dan menjadikan kebaikan sebagai sesuatu yang dicintai bagi dirinya. Serta mengalihkan jiwanya dari kecenderungan menyukai perbuatan buruk.
Catatan Pustaka
- Wahbah bin Musthafa az Zuhaily, op.cit, Vol 7, hlm 13.
- Asy Syarif al Jurzani, Kitab al Ta’rifat, Beirut : Daar al Kutub al ‘Ilmiyyah,1403 H, hlm 243.
- Syihabuddin al Alusi, Ruuh al Ma’aniy, Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyah, 1415 H, Vol 7, hlm 5.
- Abu Muhammad al Baghawi, Ma’alim at Tanziil fi Tafsir al Qur’an, Beirut : Daar Ihyau at Turats al ‘Arabiy, 1420 H,Vol 5, hlm 258.
- Majiduddin Abu Thahir Muhammad bin Ya’qub al Al Fairuz Abadiy, Bashairu Dzawi at Tamyiz fi Lathaif al Kitab al Aziz, Qahirah : Lajnah Ihya at Turats al ‘Araby, 1412 H, vol 5, hlm 359.