Sigit Suhandoyo. Teks akhlak (أَخْلاَق) berasal dari bahasa Arab, yaitu isim mashdar (bentuk infinitif) dari kata akhlaqa, yukhliqu, akhlaqan, yang secara tekstual berarti (السَّجِيَّةُ) perangai, karakter. (الطبْع) kelakuan, tabi’at, watak dasar, dan (الدِّين) agama. Teks ini memiliki persesuaian dengan kata (خلَقٌ) penciptaan, erat hubungannya dengan (خالِقٌ) pencipta dan (مَخْلوقٌ) yang diciptakan. Kata akhlak juga berkaitan dengan kata (الخَلْقُ) kejadian dan al-khuluqu (الخُلُقُ) tingkah laku. Al-khalqu adalah bentuk lahir dan al-khuluqu adalah bentuk batin. Hal ini berkaitan dengan keadaan manusia yang tersusun dari jasad (tubuh) yang terlihat mata dan dapat diraba serta unsur roh dan jiwa yang hanya dapat dilihat dengan mata hati. Dari dua unsur tersebut, unsur ruh lebih besar nilainya dibanding dengan tubuh yang terlihat dengan mata kepala.
Dalam al-Qur’an tidak terdapat teks akhlaq, term akhlaq dalam al-Qur’an ditunjukkan dengan kata (الخُلُقُ), diantaranya dalam surat al-Qalam ayat 4,
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Menurut Shihab, Kata (خُلُقٍ) khuluq jika tidak dibarengi dengan adjektifnya (kata sifat), maka ia selalu berarti budi pekerti yang luhur, tingkah laku dan watak terpuji.
Dari berbagai definisi kebahasaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa akhlaq adalah budi pekerti, tingkah laku dan watak manusia. Akhlaq merupakan sesuatu yang menghubungkan makhluq (ciptaan) dengan khaliq (pencipta). Akhlaq memiliki dua dimensi, pertama, dimensi lahiriyah yang dapat dilihat mata yaitu akhlaq terhadap sesama manusia. Kedua dimensi batiniyah, yaitu akhlaq kepada Allah ta’ala, yang dapat dilihat dengan mata hati. Kata Akhlaq memiliki konotasi makna yang positif, dikarenakan secara bahasa memiliki arti agama (دين) Islam. Meskipun kata akhlaq dapat juga disandingkan dengan kata madzmummah (الأخلاق المذمومة) yang berarti akhlaq tercela.
Adapun jika merujuk pendapat akhlaq secara istilah keilmuan, pendapat tertua yang dikemukakan oleh ulama Islam boleh jadi diwakili oleh al-Jahidz (w.255H), yaitu:
أن الخلق هو حال النفس، بها يفعل الإنسان أفعاله بلا روية ولا اختيار، والخلق قد يكون في بعض الناس غريزة وطبعا، وفي بعضهم لا يكون إلّا بالرياضة والاجتهاد، كالسخاء قد يوجد في كثير من الناس من غير رياضة ولا تعمل، وكالشجاعة والحلم والعفة والعدل وغير ذلك من الأخلاق المحمودة.
akhlaq adalah keadaan jiwa, dengan itu seseorang melakukan tindakannya tanpa penilaian atau pilihan, dan akhlaq ada pada beberapa orang berupa naluri dan tabi’at, dan pada beberapa orang lainnya diperoleh dengan latihan dan ketekunan. Seperti halnya kemurahan hati mungkin ada pada banyak orang tanpa proses latihan dan upaya yang keras. Sebagaimana keberanian, kelembutan, kesucian, keadilan dan lainnya Itu adalah akhlak yang terpuji.
Melalui definisi ini al-Jahidz menegaskan bahwa akhlaq adalah keadaan jiwa yang mendorong manusia melakukan suatu tindakan secara spontan. Orang yang berakhlaq baik akan secara spontan merespon suatu stimulus dengan kebaikan secara spontan. Demikian pula orang yang berakhlaq buruk akan merespon suatu stimulus dengan keburukan secara spontan pula. Akhlaq ada yang berupa tabi’at bawaan dan adapula yang harus diperoleh melalui latihan dan upaya yang keras.
Meneruskan pendapat sebelumnya, Ibnu Miskawaih (w.421H) mengemukakan bahwa akhlaq adalah,
حال للنفس داعية لها إلى أفعالها من غير فكر ولا روية، وهذه الحال تنقسم إلى قسمين: منها ما يكون طبيعيّا من أصل المزاج، كالإنسان الذي يحركه أدنى شيء نحو غضب ويهيج من أقل سبب، وكالإنسان الذي يجبن من أيسر شيء، أو كالذي يفزع من أدنى صوت يطرق سمعه، أو يرتاع من خبر يسمعه، وكالذي يضحك ضحكا مفرطا من أدنى شيء يعجبه، وكالذي يغتم ويحزن من أيسر شيء يناله. ومنها ما يكون مستفادا بالعادة والتدرّب، وربما كان مبدؤه بالروية والفكر، ثم يستمر أولا فأولا حتى يصير ملكة وخلقا.
Keadaan jiwa yang mengundang untuk bertindak tanpa pemikiran atau pertiimbangan. Situasi ini terbagi menjadi dua bagian: beberapa di antaranya alami dari asal mula suasana hati, seperti orang yang digerakkan oleh hal sekecil apa pun ke arah kemarahan dan kesal karena alasan sekecil apa pun. Seperti juga orang yang ketakutan karena hal kecil. Suara yang mengetuk pendengarannya, atau takut pada berita yang didengarnya. Dan sebagian orang yang tertawa berlebihan pada hal terkecil yang disukainya, dan sebagian orang yang mudah berduka karena hal kecil yang didapatnya. Dan sebagian orang mendapat kebaikan akhlaq dari pembiasaan dan pelatihan. Boleh jadi prinsip akhlaq pada awalnya adalah perhatian dan pemikiran, kemudian dilanjutkan tahap demi tahap sampai menjadi kebiasaan dan kepribadian.
Melalui pendapat ini, Ibnu Miskawaih selain menguatkan pendapat sebelumnya bahwa akhlaq ada yang berupa tabiat bawaan, dengan mengemukakan berbagai contoh. Secara samar Ibnu Miskawaih menambahkan definisi berupa kemungkinan proses terbentuknya akhlaq yang diperoleh mepapui pembiasaan dan pelatihan. Menurutnya pembentukan akhlaq dimulai dengan melatih perhatian dan pemikiran untuk menimbang dan memberikan respon yang baik atas suatu stimulus. Sehingga tahap demi tahap akhirnya jiwa menjadi spontan melakukan kebaikan atas setiap stimulus tanpa perhatian dan pemikiran yang mendalam.
Penting juga dikemukakan pendapat tentang akhlaq dari Ulama kenamaan dari Basrah, al-Mawardi (w.450H),
غرائز كامنة، تظهر بالاختيار، وتقهر بالاضطرار.
Naluri yang tersembunyi, yang ditunjukkan oleh pilihan, dan ditundukkan oleh paksaan.
Definisi ini meringkaskan pengertian panjang yang dikemuka-kan sebelumnya. Menurut al-Mawardi sebagaimana pendapat-pendapat yang lebih awal, akhlaq itu watak yang tak terlihat oleh orang lain, menjadi terlihat ketika orang tersebut memilih melakukan sesuatu dari stimulus yang diterimanya. Terkadang jiwa harus dipaksa untuk melakukan respon yang baik atas suatu stimulus.
Pendapat berikutnya dari kajian istilah tentang Akhlaq adalah yang dikemukakan oleh al-Imam Abu Hamid al-Ghazali (w.505H). Menurutnya akhlaq adalah,
هَيْئَةٌ فِي النَّفْسِ رَاسِخَةٌ عَنْهَا تُصْدِرُ الْأَفْعَالَ بِسُهُولَةٍ وَيُسْرٍ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ إِلَى فِكْرٍ وَرَوِيَّةٍ
Gambaran tentang keadaan jiwa yang tertanam secara mendalam. Keadaan jiwa itu melahirkan tindakan dengan mudah dan gampang tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.
Dari berbagai definisi tersebut ini dapat dijelaskan bahwa, seseorang yang berakhlaq mulia akan secara mudah berbuat mulia. Seorang pemurah dikatakan dermawan karena seringnya ia berderma, ia akan mudah mendermakan hartanya, tanpa berfikir atau menimbang kerugian pada hartanya, maupun keuntungan yang didapatnya. Orang-orang yang berakhlaq baik akan senantiasa berbuat baik, sekalipun kebaikan mereka tidak dibalasi dengan kebaikan yang setimpal, bahkan mereka senantiasa berbuat baik meskipun diperlakukan buruk. Mereka berbuat baik bukan karena orang lain, melainkan karena kebaikan itu sudah melekat pada diri mereka dan menjadi karakter yang kokoh. Mereka berbuat baik karena Allah ta’ala menjadikan mereka orang-orang yang berakhlaq baik. Memiliki akhlaq yang baik ada yang diperoleh berupa tabi’at bawaan dan adapula yang diperoleh melalui latihan dan upaya yang keras untuk menundukkan nafs.
Dari ranah individu, pengertian akhlaq kemudian merambah kelingkup sosial. Pengertian akhlaq dalam definisi ini dikemukakan oleh Abdul Wadud Makrum, menurutnya akhlaq adalah,
مجموعة القواعد السلوكية التي تحدد السلوك الإنساني وتنظمه، وينبغي أن يحتذيها الإنسان فكرا وسلوكا في مواجهة المشكلات الاجتماعية والمواقف الخلقية المختلفة، والتي تبرز المغزى الاجتماعي لسلوكه بما يتفق وطبيعة الآداب والقيم الإجتماعية السائدة.
Seperangkat aturan perilaku yang mendefinisikan dan mengatur perilaku manusia, dan harus diikuti dalam pemikiran dan perilaku individu dalam menghadapi berbagai masalah sosial dan situasi moral, yang menonjolkan makna sosial dari perilakunya sesuai dengan sifat moral dan nilai-nilai sosial yang berlaku.
Pendapat semisal dengan Makrum dikemukakan oleh Prof. Miqdad Yaljan,
مجموعة المبادىء والقواعد المنظمة للسلوك الإنساني التي يحددها الوحي لتنظيم حياة الإنسان وتحديد علاقته بغيره على نحو يحقق الغاية من وجوده في هذا العالم على أكمل وجه.
Seperangkat prinsip dan aturan yang mengatur perilaku manusia yang ditentukan oleh Wahyu untuk mengatur kehidupan manusia dan mendefinisikan hubungannya dengan seluruh mahluk dengan cara yang dapat mencapai tujuan keberadaannya di dunia ini sepenuhnya.
Dengan demikian dari definisi ulama masa lampau maupun masa kini, akhlaq dalam pandangan Islam adalah kumpulan tata nilai ketuhanan yang mengatur individu dan masyarakat. Tata nilai ini komprehensif dalam perspektif yang terintegrasi antara sumber, hakikat, makna sosial, dan tujuannya.
Dafftar Pustaka
- Ibnu Manzhur al-Anshari, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadr, cet ketiga, 1414 H), Juz 10, hlm 86.
- Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera hati, 2002) vol 14, hlm 380.
- Abu ‘Utsman ‘Amru al-Jahidz al-Kinani, Tahdzib al-Akhlaq, (Mesir: Dar al-Shahabah li al-Turats, 1989), hlm 12.
- Abu ‘Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-A’raq, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabiyah, 1981), hlm 4-5.
- Abu al-Hasan al-Bashri al-Mawardi, al-Tasyhil al-Nadzar, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabiyah, 1983), hlm 5.
- Abu Hamid al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tth) vol 3, hlm 53.
- Shalih bin ‘Abdullah al-Hamid, et.al, Nadzratu al-Na’im fi Makarim Akhlaq al-Rasul al-Karim, (Jeddah: Dar al-Wasilah, tth) Vol 1, hlm 63.
- Miqdad Yaljan, al-Tarbiyah al-Akhlaq al-Islamiyah, (Cairo: Maktabah al-Khanaji, 1977), hlm 75.