Sigit Suhandoyo.
Pendahuluan. Kata ekonomi dalam bahasa Indonesia merupakan sebuah kata serapan dari oikosnomos yang dalam bahasa Yunani berarti peraturan rumah tangga. Sedangkan dalam terminologi Islam kata ekonomi dipadankan dengan kata (اقتصاد) atau iqtishād. Naskah ini selanjutnya akan membahas pendapat para ulama tafsir terkait pengertian penggunaan teks iqtishād dalam al-Qur’an.
Pembahasan. Kata iqtishād dalam bahasa arab merupakan sebuah kata yang berasal dari kata dasar qasd. Kata ini dengan beragam bentukannya terulang sebanyak 6 kali di dalam al-Qur’an . (al-Mu’jam al-Mufahras 545)
Menurut al-Fayrūz Ābādī Kata al-qasd berarti (إِتيان الشىءِ) yaitu meniatkan melakukan sesuatu. (Bashāiru Dzawī al-Tamyīz 4/271) Kata وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ dalam surat Luqman ayat 19 adalah salah satu nasihat Luqman bagi anaknya untuk berjalan dengan sederhana. Pakar tafsir Wahbah al-Zuhaylī mengemukakan bahwa maksud dari berjalan dengan sederhana adalah berjalan secara pertengahan, tidak terlalu cepat seperti lompatan setan dan tidak terlalu lambat seperti orang yang lemah karena ingin terlihat zuhud. (al-Tafsir al-Munīr 21/151) Maksudnya adalah berjalan dengan wajar, jangan terlalu cepat sehingga orang melihatnya sebagai sebuah kesombongan sebagaimana sifat syaitan.
Pendapat semacam ini juga dikemukakan oleh al-Qurthubi , bahwa yang dimaksud al qashd pada ayat ini adalah “تَوَسَّطْ فِيهِ. مَا بَيْنَ الْإِسْرَاعِ وَالْبُطْءِ” (al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an 14/171) berjalan dengan proporsional diantara antara cepat dan lambat. Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Abu Ja’far al Thabari, menurutnya al-qashd dalam ayat ini berarti (وتواضع في مشيك إذا مشيت، ولا تستكبر، ولا تستعجل، ولكن اتئد) (Jāmi’ al-Bayān Fi Ta’wil al-Qur’an 20/146) yaitu Luqman menasihati anaknya agar bersikap rendah hati, jika berjalan jangan bersikap sombong dan jangan tergesa-gesa, bersikaplah dengan tenang.
Dapat disimpulkan penggunaan teks al-qashd pada ayat ini menunjukkan arti suatu sikap yang sederhana, tenang dan wajar. Ia juga berarti sikap pertengahan atau proporsional antara tergesa-gesa dengan terlalu santai. Dapat pula berartirendah hati bukan sombong dan bukan pula rendah diri.
Selanjutnya teks al-qashd pada surat al-Naḫl ayat 9,
وَعَلَى اللَّهِ قَصْدُ السَّبِيلِ وَمِنْهَا جَائِرٌ.
“dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok”.
Wahbah az-Zuhailī menerangkan bahwa arti kata قَصْدُ السَّبِيلِ pada ayat adalah “الطريق المستقيم الذي لا اعوجاج فيه” yaitu jalan lurus yang tidak berkelok dan atau bercabang. (al-Tafsir al-Munīr 17/174) Sehingga maksud jalan yang lurus adalah jalan yang terang menuju kepada kebenaran dan kebaikan berdasarkan petunjuk yang benar. Jalan lurus menurut al-Qurthubī adalah yang jalan yang menuju kepada sesuatu yang diharapkan, dan dapat pula berarti jalan kembali atau tujuan akhir dari suatu perjalanan. (al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an 10/81-82)
Yahya Ibn Salam berpendapat bahwa pengertian qasd al-sabil adalah (الْبَيَانُ، حَلالُهُ، وَحَرَامُهُ، وَطَاعَتُهُ، وَمَعْصِيَتُهُ) (Tafsir Yahya Ibn Salam 1/63) jalan yang menjelaskan antara halal dan haram, antara ketaatan dan maksiat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh al-samarqandi , bahwa maksudnya adalah (بيان الهدى،أو هداية الطريق) (Baḫrul ‘Ulūm 2/267) yaitu menjelaskan petunjuk atau jalan yang mendapat petunjuk. Pendapat serupa juga dikemukakan al-Tsa’labi , menurutnya qashd al-sabil berarti jalan lurus, yaitu jalan kebenaran yang menerangkan hukum-hukum syari’at dan kewajiban-kewajiban itulah jalan Islam yang hanif (bersih). (al-Kasyf wa al-Bayān 6/9)
Penggunaan teks al-qashd dalam ayat ini memiliki ragam pengertian, yaitu sesuatu yang lurus tidak berkelok dan bercabang. Ia juga berarti terang karena mendapatkan cahaya petunjuk kepada kebenaran. Al-qashd berarti menjelaskan hukum-hukum syari’at dan kewajiban-kewajiban sehingga diketahui kehalalan dan keharaman sesuatu, serta diketahui pula sebuah perbuatan itu bermakna ketaatan atau kemaksiatan hingga berhasil meraih tujuan akhir yang diharapkan.
Pengertian al-Qashd sebagai sifat pertengahan antara sesuatu juga ditemukan dalam teks ayat ke 42 surat at-Taubah.
لَوْ كَانَ عَرَضًا قَرِيبًا وَسَفَرًا قَاصِدًا لَاتَّبَعُوكَ وَلَكِنْ بَعُدَتْ عَلَيْهِمُ الشُّقَّةُ …(42)
“Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak berapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka…”
Terdapat perbedaan pendapat tentang makna (سَفَرًا قَاصِدًا) sebagian berpendapat bahwa maksudnya adalah perjalanan yang mudah karena dekatnya tempat tujuan. Sebagaimana dikemukakan diantaranya oleh al-Thabarī bahwa maknanya adalah (قريبًا سهلا) (Jāmi’ al-Bayān Fi Ta’wil al-Qur’an 14/217) yaitu, perjalanan yang dekat dan mudah. Sedangkan pendapat yang lain mengemukakan bahwa maksudnya adalah perjalanan yang mudah karena tujuannya tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat, atau bersifat pertengahan sebagaimana makna al-qashd sebelumnya.
Wahbah az-Zuhailī mengemukakan bahwa kata (سَفَرًا قَاصِدًا)dalam ayat ini berarti (سهلا لا عناء فيه ولا مشقة، أي وسطا معتدلا) (al-Tafsir al-Munīr 10/228) yaitu suatu perjalanan yang mudah, tidak ada kepenatan atau kesulitan didalamnya, yaitu perjalanan yang tengah-tengah atau sedang. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh al-Maraghi (لا مشقة فيه من القصد وهو الاعتدال) yaitu perjalanan yang tidak ada kesulitan di dalamnya, yaitu perjalanan yang sedang. (Tafsir al-Marāghī 10/125) Menguatkan pendapat tersebut, al-Syaukānī mengemukakan bahwa maksudnya adalah (سَفَرًا مُتَوَسِّطًا بَيْنَ الْقُرْبِ وَالْبُعْدِ، وَكُلُّ مُتَوَسِّطٍ بَيْنَ الْإِفْرَاطِ وَالتَّفْرِيطِ فَهُوَ قَاصِدٌ) yaitu perjalanan yang pertengahan antara dekat dan jauh, dan setiap yang pertengahan berada di antara berlebih-lebihan dan terlalu lalai.( Fath al-Qadīr 2/414) Berikutnya kata (مُقْتَصِدٌ) yang tertera pada surat luqman ayat 32,
فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ فَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ
“maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus”
Pakar Tafsir al-Qurthubī mengutip beberapa pendapat, menurut Ibnu Abbas ra, bahwa maksud teks (مُقْتَصِدٌ) pada ayat ini adalah menunaikan apa yang ia janjikan kepada Allah. Menurut al-Naqassy, adalah berlaku adil dalam janji dan menunaikannya. Sedangkan menurut al-Hasan adalah orang beriman yang memegang teguh ketauhidan serta ketaatan. (al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an 14/80) Sedangkan menurut Shihab kata ini berasal kata al-qashd, yaitu moderasi yakni yang hidup antara rasa takut dan harapan. Ada juga yang memahaminya dalam arti peringkat pertengahan, yakni dia bukan termasuk orang durhaka, tetapi dalam saat yang sama bukan juga orang yang sangat taat beragama.( Tafsir al-Misbah 11/160) Selanjutnya Shihab mengemukakan bahwa makna ayat ini sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat Fathir ayat 32,
فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ
lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah.
Beragam pendapat yang dikemukakan lagi oleh al-Qurthubī terkait ayat ini. Diantara pendapat yang dikutipnya adalah pendapat dari Muhammad bin jazid bahwa maksud muqtashid adalah (هُوَ الَّذِي يُعْطِي الدُّنْيَا حَقَّهَا وَالْآخِرَةَ حَقَّهَا) mereka yang memberikan hak dunia dan hak akhiratnya secara seimbang. Lebih lanjut ia menyimpulkan bahwa muqtashid adalah, golongan yang senantiasa bersikap moderat dan seimbang serta berupaya meninggalkan kecenderungan apapun. Muqtashid adalah golongan moderat yang tidak mendzahilimi diri sendiri namun bukan pula golongan yang lebih dahulu berbuat kebaikan.( al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an 14/346)
Dengan demikian penggunaan kata muqtashid dalam dua ayat tersebut diatas, dapat disimpulkan memilliki pengertian golongan pertengahan yang menunaikan janjinya kepada Allah, bersikap pertengahan antara rasa takut dan berharap kepada Allah. Melakukan apa yang menjadi kewajiban dunia dan akhirat secara seimbang. Bukan termasuk golongan yang durhaka kepada Allah, meski juga bukan golongan yang lebih cepat dalam ketaatan kepada Allah.
Pembahasan berikutnya adalah kata muqtashidah yang dikaitkan dengan kata ummah yaitu (أُمَّةٌ مُقْتَصِدَةٌ), pada surat al maidah ayat 66. Menurut al-Mawardi , kata ini mempunyai dua arti yaitu ummat yang pertengahan dalam mengerjakan perintah Allah dan ummat yang menegakkan keadilan. (al-Nukat wa al-‘Uyun 2/53) Sedangkan menurut al-Qusyairi (المقتصد الواقف على حدّ الأمر لا يقصّر فينقص، ولا يجاوز فيزيد) al muqtashid adalah berhenti atas batasan perintah, tidak memendekkan dan mengurangi, tidak pula melebihkan dan menambahkan.( Lathaif al-Isyarat 1/437)
Al-Razi menuturkan (لِاقْتِصَادِ فِي اللُّغَةِ الِاعْتِدَالُ فِي الْعَمَلِ مِنْ غَيْرِ غُلُوٍّ وَلَا تَقْصِيرٍ), secara bahasa al-Iqtishad adalah bersikap moderat dalam perbuatan tidak melebih-lebihkan dan tidak pula mengurang-ngurangi. (Mafatih al-Ghayb 12/399) Al-Zuhailī mengemukakan bahwa ummatun muqtashidah adalah (جماعة معتدلة في أمر الدين) yaitu kelompak yang lurus dalam menjalankan perintah agama. (al-Tafsir al-Munir 6/264) Al-Thanthawi mengemukakan, ummatun muqtashidah adalah (جماعة مستقيمة على طريق الحق) , yaitu kelompok yang berjalan lurus diatas kebenaran. (al-Tafsir al-Wasith 4/222) Pendapat serupa dikemukakan oleh al-Tsa’labi yaitu (الاعتدال والرفْقُ والتوسُّط الحَسَن في الأقوال والأفعال) , ummat yang moderat, lemah lembut, dan pertengahan, baik dalam perkataan dan perbuatan.(al-Kasyf wa al-Bayan 2/402)
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas maka maksud dari ummatan muqtashid, adalah ummat moderat yang menegakkan keadilan, berada diatas jalan yang lurus dengan menjaga batas-batas syari’at Allah, sederhana dalam berikap, lemah lembut dan baik dalam bertutur dan berbuat.
Kesimpulan. Kata al-qashd --dalam berbagai derivasinya-- sebagai akar kata dari iqtishad yang dikaji dalam ayat ini, terdapat pada 6 tempat dalam kitab suci. Kata-kata tersebut mengacu pada makna moderat atau pertengahan dan bisa juga berarti menegakkan keadilan dalam segala hal. Sebagai ummat, menjadi ummat Moderat di antara ekstrim kanan dan ekstrim kiri. Menjadi ummat berkeadilan dalam menegakkan tuntutan dunia dan akhirat. Termasuk pula secara individual, menjadi individu yang sederhana. Proporsional dalam mengambil keputusan, tidak tergesa-gesa dan tidak pula menunda-nunda. Proporsional dalam bersikap tidak sombong dan tidak pula rendah diri.
Kata iqtishad juga mengandung makna jalan lurus, yang terang benderang. Jalan ini memiliki petunjuk yang jelas, pentunjuk kepada halal dan haram, petunjuk yang membedakan prilaku kebaikan dan kejahatan. Petunjuk itu mengantarkan kepada tujuan yang hendak diraih, yaitu kebaikan dunia dan akhirat.
Kajian para penafsir al-Qur’an terhadap kata Iqtishad dalam berbagai bentuknya memberikan makna yang mendalam tentang ekonomi Islam. Kata iqtishad syarat akan nilai-nilai moral terhadap sesama dan Sang Pencipta. Keutamaan dalam pemaknaan iqtishad ini dapat menjadi panduan bagi praktek dalam aktifitas ekonomi.
Bahan Bacaan
- Muhammad Fuād ‘Abd a-Bāqī, al-Mu’jam al-Mufahras li al-fādz al-Qur’ān al-karīm, (Libanon: Dār al-FIkr, 1987)
- al-Fayrūz Ābādī, Bashāiru Dzawī al-Tamyīz, (Cairo: Lajnah Ihyāu Turats al-Islāmī, 1996)
- Wahbah al-Zuhaylī, al-Tafsir al-Munīr, (Damaskus: Dār al-Fikr al-Mu’āshir, cet ke 2, 1418 H)
- Syamsu al-dīn al-Quthubī, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an, (Cairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, cet ke 2, 1964)
- Abu Ja’far al-Thabari, Jāmi’ al-Bayān Fi Ta’wāl al-Qur’an, (Beirut: Muassasatu al-risalah, 1420 H)
- Yahya Ibn Salam, Tafsir Yahya Ibn Salam, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet pertama, 2004)
- Abu Laits al-Samarqandi, Baḫrul ‘Ulūm, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth).
- Abū Ishāq al-Tsa’labī, al-Kasyf wa al-Bayān ‘an Tafsīr al-Qur’ān, (Beirut: Dar Ihyau Turats al-Arabi, cet pertama, 1422 H)
- Musthafa al-Marāghī, Tafsir al-Marāghī, (Mesir: Perusahaan Penerbitan Musthafa al-Halabi, 1946)
- Muhammad bin ‘Alī al-Syaukānī, Fath al-Qadīr, (Beirut: Dār Ibn Katsīr, cet pertama, 1414H)
- Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, cet 4, 2005)
- Abu al-Hasan al-Mawardi, al-Nukat wa al-‘Uyun, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth)
- ‘Abd al-Karim al-Qusyairi, Lathaif al-Isyarat, (Mesir: al-Haiah al-Mishriyah, tth)
- Fakhr al-Din al-Razi, Mafatih al-Ghayb, (Beirut: Dar Ihyau Turats al-Arabi, cet ketiga, 1420 H)
- Muhammad sayyid al-Thanthawi, al-Tafsir al-Wasith, (Mesir: Dār Nahdhah, tth)