Dakwah Tabligh



Dakwah tabligh melalui perkataan memiliki peran yang penting dalam upaya-upaya menyeru manusia kepada Allah ta’ala. Da’wah melalui perkataan dapat dilakukan melalui tulisan dan seruan lisan. Allah mensifati da’wah melalui perkataan sebagai sebaik-baik perkataan sebagaimana firman-Nya dalam surat al Fushilat ayat 33,

ومن أحسن قولا ممن دعا إلى الله وعمل صالحا وقال إنني من المسلمين

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shaleh dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?"

Ayat ini menegaskan bahwa seruan da’wah kepada Allah melalui perkataan merupakan tuntutan dalam Islam, petunjuk kepada kebaikan, keselamatan dan kesejahteraan. Az Zuhaili berkata, da’wah melalui perkataan adalah “منهاج أهل الحق، المحبين للإنسانية، السالكين ، فإن أهل الإيمان يصلحون أنفسهم أولا، ثم يحاولون إصلاح غيرهم”(1)  metode para pengikut kebenaran, para pecinta nilai-nilai kemanusiaan, para pencari jalan kepada Allah, karena sesungguhnya Ahlul Iman memperbaiki dirinya kemudian memperbaiki sesamanya.

Meski demikian tidaklah cukup seorang da’i menguasai ilmu syari’at semata, melainkan ia harus menguasai metode agar seruannya kepada Allah tersebut diterima oleh objek da’wahnya. Da’i yang bijaksana adalah mereka yang mempelajari situasi dan kondisi objek da’wahnya, serta memperhatikan kadar pemikiran nya, Ali bin Abu Thalib ra, pernah berkata,

حَدِّثُوا النَّاسَ، بِمَا يَعْرِفُونَ أَتُحِبُّونَ أَنْ يُكَذَّبَ، اللَّهُ وَرَسُولُهُ(2) 

“Ajaklah manusia berbicara sesuai dengan pengetahuan yang mereka miliki, atau kamu menuyukai mereka mendustakan Allah dan rasul-Nya.”

Abdullah bin Mas’ud ra, juga pernah berkata,

مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا لَا تَبْلُغُهُ عُقُولُهُمْ، إِلَّا كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً(3) 

“Jika ada diantara kamu ada yang berbicara dengan segolongan manusia yang akalnya tidak mampu menerima apa yang kamu bicarakan, pada masanya kelak akan menjadi fitnah bagi sebagian mereka ”


URGENSI DA’WAH TABLIGH

Menurut Taufiq al Wa’iy perkataan yang terucap, tertulis atau disenandungkan merupakan sarana terbesar dalam tabligh pada masa ini dan yang akan datang. Perkataan merupakan sarana pencerahan, pendidikan, arahan dan evaluasi yang menyeluruh. Jika dipergunakan dengan baik ia lebih kuat dari ekspedisi pasukan. Perang pemikiran dan peradaban pada hari ini lebih efektif dari perang bersenjata.

Demikian pentingnya memberikan penjelasan perkara-perkara agama kepada manusia hingga Allah melaknat mereka yang menyembunyikan kebenaran bagi dirinya sendiri. Allah ta’ala berfirman dalam surat al Baqarah 159,

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati ”

Demikian pula sebuah riwayat dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda,

مَنْ سُئِل عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ، أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ  (4)

Siapa yang ditanya tentang suatu ilmu, lalu dia menyembunyikannya, maka pada hari kiamat ia akan dikekang dengan kekangan yang terbuat dari api neraka. 

Da’wah tabligh melalui perkataan juga memiliki beberapa nilai penting yaitu memungkinkan tersebarnya pemahaman Islam yang universal, komprehensif menjangkau seluruh sisi kehidupan manusia serta, realistis dapat dipertanggung-jawabkan dalam hal praktek dan aplikasinya dalam kehidupan. 


KAIDAH – KAIDAH DA’WAH TABLIGH


1. Argumentasi yang berpengaruh

Tidak diragukan lagi bahwa dalam diri manusia terdapat sensitivitas tertentu yang dapat memengaruhi watak dan menumbuhkan nilai rasa tertentu serta menguatkan logika dalam diri mereka. Ada beberapa teknik mempengaruhi objek da’wah melalui argumentasi yaitu,

Pertama, mempengaruhi jiwa manusia melalui perasaan alamiah yang ada dalam diri mereka seperti gembira, sedih, marah, benci, rindu dsb. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah ra. Bahwasanya Rasulullah saw melewati pasar, sedangkan para sahabat ada disekitarnya. Kemudian beliau mendapati bangkai anak kambing kecil yang bertelinga bunting. Beliau memegang telinganya dan berkata

«أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هَذَا لَهُ بِدِرْهَمٍ؟» فَقَالُوا: مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَيْءٍ، وَمَا نَصْنَعُ بِهِ؟ قَالَ: «أَتُحِبُّونَ أَنَّهُ لَكُمْ؟» قَالُوا: وَاللهِ لَوْ كَانَ حَيًّا، كَانَ عَيْبًا فِيهِ، لِأَنَّهُ أَسَكُّ، فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ؟ فَقَالَ: «فَوَاللهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ، مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ»(5)  

“Siapakah diantara kalian yang mau membeli anak kambing ini dengan harga satu dirham?” para sahabat menjawab, “sedikitpun kami tidak menyukainya. Apa yang bisa kami lakukan padanya?, Nabi bersabda, “Siapa yang suka aku berikan anak kambing ini kepadanya?, Mereka menjawab, Demi Allah, kalau ia hidup, ia cacat karena telinganya buntung, apalagi ia telah mati. Rasulullah saw bersabda, “Demi Allah dunia itu lebih rendah nilainya disisi Allah dibandingkan anak kambing ini bagi kalian ”

Kedua, mempengaruhi manusia melalui akal, menggugah akal, mengajaknya untuk berfikir atau mengarahkannya kepada sebuah kesimpulan tertentu. Sebagaimana yang dicontohkan dalam firman Allah ta’ala pada surat al an Naml ayat 62

أمن يجيب المضطر إذا دعاه ويكشف السوء ويجعلكم خلفاء الأرض أإله مع الله قليلا ما تذكرون

“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya).”

Demikianlah tidak ada satupun rasul yang Allah utus melainkan memiliki kemampuan berargumentasi kepada manusia untuk mempengaruhi objek da’wahnya. Mengingat pentingnya permasalahan ini hendaknya pada da’i di masa sekarang tidak terlepas sendiri dengan kemampuan dan ilmu yang terbatas. Harus ada pusat kajian, penelitian dan perencanaan strategis yang memberikan kelengkapan bagi keberhasilan da’wah mereka.


2. Memberikan motivasi dalam kebaikan.

Pada dasarnya manusia mencintai perbuatan baik dan sebaliknya membenci kejahatan dan kerusakan pada jiwa, keluarga maupun masyarakat secara umum. Adanya unsure cinta pada kebaikan merupakan sebuah pintu masuk yang Allah berikan kepada para da’i untuk mengajak manusia ke jalan kebaikan dan menentang semua bentuk kejahatan.

Menurut said al Qathani, “metode ini dimaksudkan untuk mengajak manusia agar mentaati Allah sehingga mereka memperoleh keberuntungan di dunia dan akhirat”(6) . pemberian motivasi ini dapat kita bagi dalam dua bagian, yaitu

Pertama, pemberian motivasi dengan janji, misalnya janji tentang kemenangan dan kebahagiaan di dunia bagi orang-orang yang beriman, seperti dalam firman Allah ta’ala pada surat an Nahl ayat 97,

من عمل صالحا من ذكر أو أنثى وهو مؤمن فلنحيينه حياة طيبة ولنجزينهم أجرهم بأحسن ما كانوا يعملون

“Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”

Kedua, memberikan motivasi dengan menyebutkan berbagai macam bentuk ketaatan kepada Allah. Motivasi ini dimaksudkan untuk mengajak objek da’wah agar berlomba-lomba dalam mengerjakan amal sholeh. Pemberian motivasi semacam ini juga banyak terdapat dalam al Qur’an maupun hadits. Misalnya dalam hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Amr ra berkata, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

أَرْبَعٌ إِذَا كُنَّ فِيكَ فَلَا عَلَيْكَ مَا فَاتَكَ مِنَ الدُّنْيَا: حِفْظُ أَمَانَةٍ، وَصِدْقُ حَدِيثٍ، وَحُسْنُ خَلِيقَةٍ، وَعِفَّةٌ فِي طُعْمَةٍ(7) 

“Empat hal yang jika kamu berpegang kepadanya, maka tidaklah mengapa jika engkau kehilangan yang lainnya di dunia, yaitu : menjaga amanah, berbicara benar, berakhlaq baik, menjaga diri dalam hal makanan.”


3. Da’wah dengan nasihat yang baik dan penuh hikmah

Nasihat adalah mengatakan sesuatu yang benar dengan cara yang dapat melunakkan hati dalam menerimanya. Nasihat adalah pengajaran yang berkesan dan mengikat jiwa dengan keimanan dan petunjuk.

Nasihat ini berisi pengajaran yang menerangkan masalah-masalah yang berkenaan dengan permasalahan kehidupan secara tematik, misalnya berkaitan dengan aqidah, akhlaq, halal dan haram, dan yang lainnya. Misalnya seorang da’i mengajarkan kepada objek da’wahnya tentang permasalahan haid dalam firman Allah ta’ala pada surat al Baqarah ayat 222,

ويسألونك عن المحيض قل هو أذى فاعتزلوا النساء في المحيض ولا تقربوهن حتى يطهرن فإذا تطهرن فأتوهن من حيث أمركم الله إن الله يحب التوابين ويحب المتطهرين

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”

Para ulama tafsir berbeda pendapat tentang makna hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid. Al Mawardiy mengemukakan, “pertama “اعتزل جميع بدنها أن يباشره بشيء من بدنه” menjauhi seluruh tubuhnya secara mutlak, pendapat ini dikemukakan oleh ‘Ubaidah as Salmany. Kedua “ما بين السرة والركبة” menjauhi antara pusar dan lutut, pendapat ini dikemukakan oleh Syuraih. dan ketiga, “الَفرِج” menjauhi farj, pendapat ini dikemukakan oleh A’isyah, Maimunah dan Hafshah serta jumhur mufassirin.”(8) 

Penjelasan ini merupakan contoh memberikan nasihat tentang pengajaran keilmuan fiqh yang bersifat praktis dan mudah diterapkan. Demikian pula diantara bentuk nasihat yang baik dan penuh hikmah adalah menjauhkan objek da’wah dari pertentangan furu’iyyah dan mengikat mereka dalam persaudaraan dan cinta kasih. Menghilangkan khilaf tercela sehingga berubah menjadi ikhtilaf yang terpuji. Misalnya dalam permasalahan furu’iyyah seperti minum sambil berdiri, dll.


4. Mempertimbangkan situasi dan kondisi lingkungan da’wah.

Mempelajari lingkungan masyarakat sasaran da’wah adalah hal penting yang harus dilakukan oleh seorang da’i. Artinya secara ideal, seorang da’i harus mengetahui secara detail tentang kondisi lingkungan masyarakat penerima da’wahnya, baik ideologi, psikologi, sosiologi, ekonomi, bahasa, kebudayaan hingga letak geografisnya. Pengetahuan ini akan membantu da’i dalam menyusun materi da’wahnya terkait hal-hal prioritas yang harus disampaikan dan yang dapat ditunda, serta teknik pendekatan yang akan digunakannya. 

Ibnu Zubair ra pernah bersabda bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda,

يَا عَائِشَةُ لَوْلاَ قَوْمُكِ حَدِيثٌ عَهْدُهُمْ - قَالَ ابْنُ الزُّبَيْرِ - بِكُفْرٍ، لَنَقَضْتُ الكَعْبَةَ فَجَعَلْتُ لَهَا بَابَيْنِ: بَابٌ يَدْخُلُ النَّاسُ وَبَابٌ يَخْرُجُون

“Ya Aisyah, seandainya kaummu bukan orang-orang yang baru saja meninggalkan kekafiran, pasti aku akan membongkar Ka’bah dan menjadikannya dua pintu, satu untuk masuk dan satu lagi untuk keluar.”

Hadits ini mengajarkan kepada para da’i tentang perilaku Rasulullah saw menghindari kemungkinan-kemungkinan terjadinya penentangan yang tidak perlu karena diakibatkan aktifitas da’wah yang tidak termasuk dalam prioritas.


5. Penampilan yang menarik

Agama Islam menganjurkan kepada para pemeluknya untuk senantiasa berwajah yang ceria dan menjaga penampilan fisik. Sebagai seorang yang menyeru manusia kepada keimanan maka wajib bagi da’i untuk senantiasa mengamalkan hal-hal tersebut. Dari Abu Dzar al Ghifari ra,

تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ(9) 

“Senyummu dihadapan wajah saudaramu adalah shodaqoh”

Dari Jabir bin Abdullah ra, Suatu hari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam datang menemui kami. Tiba-tiba beliau menyaksikan seorang lelaki yang berbaju kusut dan rambutnya tidak rapi. Kemudian beliau bersabda

أَمَا كَانَ يَجِدُ هَذَا مَا يُسَكِّنُ بِهِ شَعْرَهُ، وَرَأَى رَجُلًا آخَرَ وَعَلْيِهِ ثِيَابٌ وَسِخَةٌ، فَقَالَ أَمَا كَانَ هَذَا يَجِدُ مَاءً يَغْسِلُ بِهِ ثَوْبَهُ (10),

“Apakah lelaki itu tidak memiliki sesuatu yang dapat menjadikan rambutnya rapi? kemudian beliau melihat lelaki lain yang berbaju kotor. lalu, Beliau bersabda: Apakah lelaki itu tidak memiliki sesuatu yang dapat ia gunakan untuk mencuci bajunya?” 


6. Metode yang beragam dan sesuai

Menurut al Qathah Metode da’wah ialah “العلم الذي يتصل بكيفية مباشرة التبليغ، وإزالة العوائق عنه”(11)  ilmu yang mempelajari bagaimana cara berkomunikasi secara langsung kepada objek da’wah dan mengatasi kendala-kendalanya.

Ada beberapa macam metode tabligh melalui perkataan, diantaranya khutbah, pengajaran, ceramah, diskusi, da’wah fardiyyah, fatwa, artikel, surat atau buku. Masing-masing metode ini memiliki tempat, waktu dan seni masing-masing dalam keberhasilannya. Sebagai contoh metode Rasulullah saw dalam khutbah, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra, ia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَخَوَّلُنَا بِالْمَوْعِظَةِ فِي الأَيَّامِ، كَرَاهَةَ السَّآمَةِ عَلَيْنَا(12) 

“Bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam selalu memperhatikan bagi kami untuk memberikan nasihat, karena beliau takut akan merasa bosan” 

Hadits tersebut memberikan pelajaran bagi para da’i agar memperhatikan aspek waktu dalam memberikan nasihat. Al khattabi berkata demikianlah maksud dari hadits ini “كَانَ يُرَاعِي الْأَوْقَاتَ فِي تَذْكِيرِنَا وَلَا يَفْعَلُ ذَلِكَ كُلَّ يَوْمٍ لِئَلَّا نَمَلَّ” (13)  bahwa Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa memperhatikan waktu dalam memberikan nasihat, Beliau tidak memberikan nasihat setiap hari agar kami tidak merasa bosan. Abu Ubaid al Harawi menceritakan dalam al gharibiin dari Abu Amru asy Syaibani bahwa yang benar adalah yatahawaluna dengan (ح) sehingga bermakna “يتطلب أحوالنا التي ننشط فيها للموعظة” memperhatikan kondisi kami ketika memberikan nasihat. Namun menurut al arnauth pendapat pertama lebih kuat.(14)  meskipun demikian memperhatikan kondisi pendengar ketika hendak menyampaikan sebuah nasihat juga harus diperhatikan.

Termasuk dalam pengertian ini adalah memilih waktu yang yang telah disepakati, makna ini disampaikan oleh al ‘Ainiy “أَن النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم كَانَ يعظ الصَّحَابَة فِي أَوْقَات مَعْلُومَة” (15)   bahwasanya Nabi saw memberikan nasihat bagi para sahabatnya pada waktu yang telah umum disepakati.

Memperhatikan aspek waktu juga berarti singkat, padat dan mudah dalam memberikan nasihat. Dari Jabir bin Samurah ra, ia berkata

كُنْتُ أُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَوَاتِ فَكَانَتْ صَلَاتُهُ قَصْدًا، وَخُطْبَتُهُ قَصْدًا(16) 

“aku shalat di belakang nabi saw, ternyata shalat dan khutbah beliau itu sedang-sedang saja.”

Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan matan yang berbeda, dari Jabir bin Samurah ra, ia berkata 

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُطِيلُ الْمَوْعِظَةَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، إِنَّمَا هُنَّ كَلِمَاتٌ يَسِيرَاتٌ(17) 

“Rasulullah saw tidak lama dalam memberi pelajaran pada hari jum’at namun hanya kalimat-kalimat yang ringan / mudah.”

Dari Amr bin al Ash ra ia berkata, Rasulullah saw bersabda, 

لَقَدْ رَأَيْتُ، أَوْ أُمِرْتُ، أَنْ أَتَجَوَّزَ فِي الْقَوْلِ، فَإِنَّ الْجَوَازَ هُوَ خَيْرٌ(18)  

“sungguh aku lihat atau diperintah untuk singkat dalam berbicara, karena singkat dalam berbicara adalah yang terbaik.”


7. Kepribadian yang integral

Manusia selain membutuhkan para da’i yang ikhlas, giat dan dinamis juga membutuhkan para da’i yang dapat menjadi contoh atas perkataan yang mereka serukan. Karena da’i adalah seorang pendidik dan pembangun generasi, maka upaya-upaya tersebut jelas tidak akan mungkin berhasil jika da’i tidak memiliki kepribadian Islam yang integral.

Perbuatan da’i sesuai dengan jalan lurus yang digariskan. Gaya hidupnya merupakan aktualisasi perkataannya, yang terlihat darinya adalah cerminan hatinya. Jika ia mengajak kepada sesuatu ia berkomitmen dengan hal itu. Jika ia melarang sesuatu ia pula yang pertama meninggalkan hal tersebut.

Keberhasilan da’wah Rasulullah saw  membangun generasi yang berperadaban  menurut Jum’ah Amin adalah dikarenakan metode da’wahnya dibangun atas, “tarbiyyah dan keteladanan.” Sehingga para penerima da’wah dapat melihat, mendengar dan merasakan nilai-nilai da’wah itu secara utuh dari pribadi da’i.


KESIMPULAN

Sebagai sebuah aktifitas yang bersentuhan dengan manusia dan kemanusiaan, dakwah seringkali menyajikan permasalahan yang kompleks kepada para  da’i. Karenanya dibutuhkan pemahaman, metode dan teknik dalam menyampaikan Islam kepada objek da’wah. Dangkalnya pemahaman seorang da’i terkadang mengakibatkan penolakan terhadap da’wah bukan dikarenakan nilai-nilai yang diserukannya melainkan kesalahan sang da’i tersebut.

Sekelumit pembahasan tentang tabligh melalui perkataan memberikan beberapa kaidah-kaidah dasar bagi para da’i untuk dikembangkan dan dimatangkan melalui pengalaman da’wah secara langsung.

Hasbunallah wa Ni’mal Wakiil


Catatan Kaki

  1. Wahbah bin Musthofa az Zuhaili, 1422 H, at Tafsiir al Wasith, Damaskus : Daar al Fikr, 3/2306.
  2. Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al Bukhari al Ju’fi, 1422H, Shahih al Bukhari, Beirut: Daar Thuuqa an Najah, 1/37, hadits no 127.
  3. Muslim bin al Hajjaj Abu al hasan al Qusyairy an Naisabury, tt, Shahih Muslim, Beirut: Daar ihyau At Turats al Araby, 1/11.
  4. Abu Dawud Sulaiman bin al Asy’ats as Sijistaaniy, tt, Sunan Abi Dawud, Beirut: al Maktabah al Ashriyah, 3/321 hadits no 3658. 
  5. Muslim bin Hajjaj, op.cit, 4/2272 hadtis no 2957.
  6. Sa’id bin Ali bin Wahf al Qathani, 1423 H, al Hikmatu fi Da’wati Ila Allah ta’ala, Saudi Arabia: Kementrian Agama Urusan Wakaf, Da’wah dan Penerangan, 2/482.
  7. Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad asy Syaibaniy, 1421 H, Musnad al Imam Ahmad bin Hanbal, Beirut : Muassasah ar Risalah, 11/ 233 hadits no 6652.
  8. Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Habib al Bashary al Baghdady al Mawardiy, tt, an Nukat wal ‘Uyun, Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyyah, 1/283.
  9. Muhammad bin Isa at Tirmidzi, 1395 H, Sunan at Tirmidzi. Mesir : Syirkatu Maktabatu wa Mathba’atu Musthofa al Baaby al Halby, 4/399. 
  10. Abu Dawud, op.cit, tt, 4/51.
  11. Al Qathani, op.cit, 1/125.
  12. Al Bukhari, op.cit, 1/25 hadits no 68.
  13. Sebagaimana di kutip Ibnu Hajar al Asqalaani, 1379 H, Fath al Baari, Beirut : Daar al Ma’rifah, Juz 1, hlm 162.
  14. lihat penjelasan pada Musnad Imam Ahmad yang ditahqiq oleh Syu’aib al Arnauth. Ahmad bin Hanbal, op.cit, 6/59.
  15. Badruddin al ‘Ainiy : ‘Umdatu al Qaari Syarh Shahih al Bukhari, Beirut : Daar Ihya at Turats al ‘Arabiy, tt, 2/44. 
  16. Muslim, op.cit, 2/591.
  17. Abu Dawud, op.cit, 1/289. 
  18. Ibid, Juz 4/302.


Melazimkan Istighfar



حَدَّثَنَا أَبُو اليَمَانِ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ: قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «وَاللَّهِ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي اليَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً»  (1

Menyampaikan kepada kami Abu al-Yaman, mengabarkan kepada kamu Syu’aib, dari al-Zuhri, ia berkata: Mengabarkan kepadaku Abu Salamah ibn Abdurrahan, ia Berkata: Abu Hurairah ra telah berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda, "Demi Allah, aku memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya lebih dari tujuh puluh kali dalam sehari.“


Para Perawi Hadits

al-Hakim bin Nafi‘ Abu al-Yaman. Masa hidupnya antara 138-220 H, tinggal di Suriah. Merupakan perawi yang tsiqah. Meriwayatkan hadits dari Shu'aib bin Abi Hamzah, Huraiz bin 'Utsman bin Jabir, dll. Meriwayatkan darinya, diantaranya adalah al-Bukhari, dll.

Shu'aib bin Abi Hamzah. Merupakan tabi’ al-Tabi’in yang tsiqah, tinggal di Suriah, ia wafat pada 162 H. meriwayatkan hadits dari: al-Zuhri, Abu al-Zanad, Muhammad bin al-Munkadir, Nafie', Hisham bin 'Urwa, dll. Meriwayatkan darinya: al-Walid bin Muslim al-Quraishi, al-Hakim bin Nafi', Abu al-Yaman, 'Ali bin 'Ayyash, dll

Al Zuhri. merupakan tabi’in yang tsiqah, tinggal di Madinah dan Suriah, masa hidupnya antara 51-124 H. Meriwayatkan hadits dari : ibn Umar, Anas bin Malik, Nafid Jabir ibn 'Abdullah, Abu Salama bin Abdurrahman bin Auf. Meriwayatkan darinya: 'Ata' bin Abi Rabah, 'Umar bin ‘Abdul-‘Aziz, Ibn Juraij, Sufyan bin 'Uyaynah, Yazid bin Abi Habib, dll.  

Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf. Merupakan tabi’in yang tsiqah, tinggal di Madinah, wafat pada 94 H. Meriwayatkan hadits dari: Abu Hurairah, ibn Abbas, ibn Umar, 'Abdur Rahman Ibn 'Auf, 'Usman ibn 'Affaan, dll. Meriwayatkan darinya: 'Urwa h ibn Zubair, al-Zuhri, Muhammad bin Ibrahim bin al-Harith, dll.

Abu Hurairah. Adalah Abdurrahman ibn Sakhr, sahabat Nabi saw yang paling banyak meriwayatkan hadits. Tinggal di Yaman, Mekah dan Madinah, masa hidupnya antara 12 sebelum hijrah hingga 59 H. Meriwayatkan hadits dari: Rasulullah saw, Abu Bakr As-Siddiq, 'Umar ibn al-Khattab, Ubayy ibn Ka'b, Usamah ibn Zayd, 'Aisha bint Abi Bakr dll. Meriwayatkan darinya: ibn Abbas, ibn Umar, Anas bin Malik, Abu Salamah, dll


Penjelasan Hadits

a. Pengertian Taubat

Menurut Nuruddin al Qari taubat adalah,

وَالتَّوْبَةُ فِي الشَّرْعِ تَرْكُ الذَّنْبِ لِقُبْحِهِ، وَالنَّدَمُ عَلَى مَا فَرَطَ مِنْهُ، وَالْعَزِيمَةُ عَلَى تَرْكِ الْمُعَاوَدَةِ وَتَدَارُكِ مَا أَمْكَنَهُ أَنْ يَتَدَارَكَ مِنَ الْأَعْمَالِ بِالْإِعَادَةِ.(2)

Taubat menurut syari’at berarti meninggalkan dosa karena keburukannya, menyesali perbuatan yang lalai, dan bertekad untuk tidak mengulanginya serta memperbaiki kesalahan apa pun yang dapat diperbaiki. 


b. Taubat dan istighfar adalah wujud kerendah-hatian kepada Allah.

Ibnu Bathal mengatakan, hamba yang paling bersungguh-sungguh beribadah kepada Allah adalah para nabi, karena ilmu yang dianugerahkan Allah kepada mereka. Mereka senantiasa mengucap syukur kepada Tuhannya, mengakui kekurangan-Nya, & tidak membanggakan amalnya. Taubat & istighfar adalah wujud kepatuhan & kerendah-hatian mereka pada Allah. (3)


c. Taubat dan istighfar merupakan jalan mendekatkan diri kepada Allah.

Nuruddin al-Qari mengemukakan 

الِاسْتِغْفَارُ بِاللِّسَانِ، وَالتَّوْبَةُ بِالْجَنَانِ، وَهِيَ الرُّجُوعُ عَنِ الْمَعْصِيَةِ إِلَى الطَّاعَةِ، أَوْ مِنَ الْغَفْلَةِ إِلَى الذِّكْرِ، وَمِنَ الْغَيْبَةِ إِلَى الْحُضُورِ، ثُمَّ هِيَ أَهَمُّ مَقَاصِدِ الشَّرِيعَةِ، وَأَوَّلُ مَقَامَاتِ سَالِكِي الْآخِرَةِ (4) 

Memohon ampun dengan lisan, dan bertaubat dengan hati, yaitu mengubah kemaksiatan menjadi ketaatan, kelalaian menjadi zikir, dan dari kealpaan menjadi keberadaan. Inilah tujuan hukum syariat yang penting, dan maqam pertama bagi mereka yang mencari akhirat.

Ibnu Rajab al-Hanbali mengemukakan,

فمن عجز عن مسابقة المحبين في ميدان مضمارهم فلا يعجز عن مشاركة المذنبين في استغفارهم (5)

Jika tak mampu berlomba dengan mereka para pecinta Allah dalam ibadah maka berlombalah dengan para pendosa dalam istighfar mereka


d. Istighfar adalah kebiasaan Nabi Muhammad saw 

Hamzah Muhammad Qasim mengemukakan, Hendaknya setiap Mukmin mencintai untuk beristighfar, dalam kondisi baik maupun buruk. Karena Rasulullah saw, yang merupakan imam orang-orang bertaqwa, banyak beristighfar.

Nabi Muhammad saw banyak beristighfar, padahal ia telah diampuni. Hal ini dilakukan untuk mendidik umatnya, meninggikan derajatnya, memperbanyak amal shalehnya, dan memenuhi kebutuhannya. Karena istighfar adalah zikir, ibadah, dan mendekatkan diri kepada Allah. Istighfar digunakan untuk berbagai tujuan, mengangkkat kesusahan, menghilangkan kekhawatiran, menambah rezeki, dan sebagainya. (6)


Hasbunallah wa ni'mal wakil
Sigit Suhandoyo


Catatan Kaki

(1). Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Riyadh: Dar Thuqa al-Najah), vol 8, hlm 67, hadits no 6307.
(2). Abu al-Hasan Nuruddin al-Qari, Mirqat al-Mafatih, (Beirut: Dar al-Fikr, 2002), Vol 4, hlm 1609.
(3). Ibnu Bathaal, Syarh Shahih al-Bukhari li Ibn Bathaal, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 2003), Vol 10, hlm 77.
(4). Abu al-Hasan Nuruddin al-Qari, Mirqat al-Mafatih, (Beirut: Dar al-Fikr, 2002), Vol 4, hlm 1609.
(5). Ibnu Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2004), hlm 45.
(6). Hamzah Muhammad Qasim, Manar al-Qari, (Damaskus: Maktaba Dar al-Bayan, 1990),  vol 5, hlm 272.


 


Definisi Zakat



Menurut pakar susastra Ibnu Faris (W.1004) Zakat  berasal dari kata zakā (زكا). Kata ini memiliki arti berkembang dan bertambah. Selain itu kata zakat juga berarti bersih.  Masyarakat Muslim meyakini bahwa zakat akan mengembangkan dan menambahkan harta di dunia dan pahala di akhirat. Zakat juga membersihkan harta dan jiwa orang yang menunaikannya. 


Zakat dalam pengertian syari’at menunjukkan suatu kewajiban yang harus dikeluarkan atas harta  seseorang untuk tujuan yang ditetapkan. Menurut al-Maydānī (W.1881), seorang faqih dari kalangan Hanafiyah, zakat adalah,

تمليك جزء مخصوص من مال مخصوص لشخص مخصوث لله تعالى. 

yaitu, pemberian hak kepemilikan atas sebagian harta tertentu dari harta tertentu kepada orang-orang tertentu yang dtetapkan, demi mencari ridho Allah Ta’ala.


Dari kalangan Malikiyah mengemukakan bahwa zakat adalah,

إخْرَاجُ جُزْءٍ مَخْصُوصٍ مِنْ مَالٍ مَخْصُوصٍ بَلَغَ نِصَابًا لِمُسْتَحِقِّهِ إنْ تَمَّ الْمِلْكُ وَحَوْلُ غَيْرِ مَعْدِنٍ وَحَرْثٍ. 

Yaitu, mengeluarkan sebagian tertentu dari harta tertentu yang telah mencapai nishab kepada orang yang  berhak menerimanya. Harta merupakan kepemilikan sempurna, genap satu tahun hijriah, selain barang tambang dan tanaman. 


Menurut al Māwardī, salah seorang fuqaha dari kalangan Syafi’iyyah, zakat adalah

اسْمٌ صَرِيحٌ لِأَخْذِ شَيْءٍ مَخْصُوصٍ، مِنْ مال مخصوص، على أوصافه مَخْصُوصَةٍ لِطَائِفَةٍ مَخْصُوصَةٍ. 

Penamaan yang jelas untuk mengambil sesuatu yang spesifik, dari harta tertentu, sesuai sifatnya, khusus untuk golongan tertentu.


Menurut Ibnu Qudamah, fuqaha dari kalangan Hanabilah zakat adalah

حَقٌّ يَجِبُ فِي الْمَالِ، فَعِنْدَ إطْلَاقِ لَفْظِهَا فِي مَوَارِدِ الشَّرِيعَةِ يَنْصَرِفُ إلَى ذَلِكَ. 

Ini adalah hak wajib atas uang, dan jika digunakan sebagai kata dalam sumber-sumber syariah, maka merujuk pada hal tersebut.

KAJIAN HADITS TENTANG UPAH


Upah dalam bahasa Arab disebut dengan kata (إجارة) yang berarti menjual manfaat. Kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa ijarah adalah “عقد على المنافع بعوض” (1)   yaitu akad atas suatu kemanfaatan yang disertai dengan imbalan. Menurut kalangan Syafi’iyyah ijarah adalah “عقد على منفعة مقصودة معلومة مباحة قابلة للبذل والإباحة بعوض معلوم”(2)  yaitu akad atas suatu manfaat yang mengandung maksud tertentu, mubah, serta dapat didermakan dan kebolehan dengan pengganti tertentu. Adapun menurut pendapat kalangan Malikiyah dan Hanabilah ijarah adalah “تمليك منافع شيء مباحة مدة معلومة بعوض”(3)  yaitu memberikan hak kepemilikan manfaat sesuatu yang mubah dalam masa tertentu yang disertai dengan imbalan


Kajian terhadap hadits-hadits Nabi Muhammad saw tentang upah, menunjukkan adanya ketentuan-ketentuan yang dapat menjadi acuan hukum bagi pembayaran upah. Sebagai berikut:


a. Upah yang dibayarkan merupakan sesuatu disepakati antara pemberi dan penerima upah.

Diriwayatkan oleh Abdul Razaq al-Shan’ani, Dari Abu Sa’id al-Khudry ra berkata, Rasulullah saw bersabda:

مَنِ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَلْيُسَمِّ لَهُ إِجَارَتَه.(4)  

Barang siapa yang mempekerjakan pekerja, maka hendaklah ia menentukan upahnya.


Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudry ra dengan teks yang berbeda, bahwa Rasulullah saw bersabda;

مَنِ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا، فَلْيُعْلِمْهُ أَجْرَهُ.(5) 

Barang siapa yang memperkerjakan pekerja, maka hendaklah ia memberitahukan upahnya.


Imam Syafi’i dan Abu Yusuf berpendapat bahwa hadits tersebut di atas menunjukkan wajibnya menjelaskan ukuran atau kadar atas upah yang diberikan.(6)  Pendapat serupa dikemukakan pula oleh al-Shan’ani, bahwa hadits ini merupakan dalil wajibnya menentukan upah atas suatu pekerjaan yang dilakukan. Hal ini agar tidak menimbulkan ketidakjelasan yang bisa mengakibatkan perselisihan dan permusuhan.(7)  Al-Kasani dari fuqaha Hanafiyah mengemukakan bahwa mengetahui upah tidak sah kecuali dengan isyarat dan penentuan, maupun dengan penjelasan, terkait jenis, sifat, macam dan kadar dari upah yang dimaksud.(8)  Ibnu Qudamah dari fuqaha Hanabilah mengermukakan bahwa Upah yang maklum atau diketahui bersama merupakan syarat dari sahnya akad.(9)  


Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa upah yang dibayarkan kepada pekerja haruslah diketahui bersama secara jelas kadarnya. Jika upah bukan berupa uang, maka jenis, sifat dan macamnya harus jelas. Upah yang jelas dan disepakati mencegah terjadinya perselisihan dan permusuhan antara kedua belah pihak.


Mekanisme penetapan upah dalam konsep Islam terdapat tiga alternatif sebagai berikut: a. Mekanisme Musyawarah. Musyawarah merupakan pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah bersama. Maka upah kerja ditetapkan atas dasar keputusan bersama yang telah disepakati oleh pengusaha dan pekerja dengan syarat adanya keadilan dan kerelaan antara dua pihak yang bertransaksi. b. Mekanisme pasar. Mekanisme ini menetapkan bahwa upah yang akan diterima pekerja disesuaikan dengan upah yang berlaku di pasaran, yaitu didasarkan pada penawaran dan permintaan tenaga kerja, serta nilai kontribusi tenaga kerja terhadap produktifitas. c. Ditentukan oleh Negara. Negara (pemerintah) memainkan peranan penting dalam perekonomian, yaitu menjamin perekonomian berjalan sesuai dengan syari’ah dan menjamin agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak asasi.(10) 


b. Upah dibayarkan dalam waktu yang disepakati.

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Umar ra, Rasulullah saw bersabda:

أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ، قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ.(11) 

Bayarlah upah pekerja sebelum keringatnya mengering.


Menurut al Bassam, hadits tersebut diatas menunjukkan wajibnya menyegerakan untuk menunaikan upah pekerja setelah pekerjaan tuntas dilakukan. Penggunaan teks secara hiperbola dimaksudkan agar isi pesan menjadi penting dan diperhatikan.(12)  Imam Malik mengutip perkatan Ibnu Wahb terkait penjelasan hadits ini.

مَنْ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَلْيَسْتَأْجِرْهُ بِأَجْرٍ مَعْلُومٍ إلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ.(13) 

Barang siapa yang mempekerjakan pekerja, maka bayarkanlah besaran upah yang diketahui secara umum dalam waktu yang difahami secara umum.


Menurut al-Munawi, upah adalah harga kerja dari fisik dan psikis pekerja. Jika pekerja telah menyelesaikan pekerjaannya, maka ia berhak mendapatkan upahnya dengan segera. Oleh sebab itu haram menunda-nundanya bagi orang yang mampu membayarnya dengan segera.(14)  


Seorang pekerja hanya berhak atas upah, jika ia telah menunaikan pekerjaan dengan semestinya dan sesuai atas syarat-syarat yang mereka sepakati bersama. Terkait waktu dan rincian pekerjaan yang harus dipenuhi. Jika ia membolos kerja tanpa alasan yang benar, tidak menunaikan pekerjaan sebagaimana mestinya, maka sepatutnya hal tersebut di perhitungkan pula sebagaimana mestinya.(15) 


Adapun tetang penentuan upah, rujukannya adalah kesepakatan antara kedua belah pihak. Namun tidak dibenarkan bagi pihak yang kuat dalam akad untuk mengeksploitasi pihak lain yang lebih lemah kedudukannya. Tidak dibenarkan memberikan upah yang sangat minim hingga tidak dapat memenuhi kebutuhannya dan juga tidak dibenarkan pekerja menuntut upah di atas haknya. Kewajiban yang ditentukan oleh Islam adalah hendaknya setiap pihak diberikan haknya secara baik dan negara harus ikut campur mengayomi pihak yang lemah dan menegakkan keadilan. Termasuk akhlak mulia dalam perkara ini adalah, memberikan tambahan kepada buruh dengan sesuatu di luar upahnya sebagai hadiah, khususnya jika ia menunaikan pekerjaannya dengan baik.(16) 


Catatan Pustaka

  1. Fakhruddin al-Zayla’iy al-Hanafi, Tabyin al-Haqaiq, (Cairo: al-Mathba’atu al-Kubra al-Amiriyah, Cet pertama 1313 H), Juz 5, hlm 105
  2. Al-Khatib al-Syarbini al-Syafi’iy, Mughni al-Muhtaj, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah, cet pertama, 1415 H), Juz 2, hlm 332
  3. Muhammad bin Ahmad al-Dasuqi al-Maliki, Hasiyatu al-Dasuqi ‘Ala Al-Syarh al-Kabir, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Juz 4, hlm 2. Lihat juga Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali, al-Mughni, (Cairo: Maktabah al-al-Qahirah, tth), Juz 5, hlm 398.
  4. Abdul Razaq al-Shan’ani, al-Mushannaf, (Beirut: al-Maktab al-Islami, Cetakan ke 2 1403 H), Juz 8, hlm 235, hadits no 15024.
  5. Abu Bakar Ibn Abi Syaibah ra, al-Kitab al-Mushannaf fil Ahadits wal Atsar, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, cetakan pertama 1409 H), Juz 4, hlm 366, hadits no 21109. Dalam riwayat lain dari Utsman ra teksnya (فَلْيُبَيِّنْ لَهُ أَجْرَهُ) hendaklah ia menjelaskan upahnya, Ibid, hadits no 21110.
  6. Muhammad bin Ali al-Syaukani, Nail al-Authar, (Mesir: Dar al-Hadits, Cetakan pertama 1993), Juz 5, hlm 349.
  7. Muhammad bin Isma’il al-Shan’ani, Subul al-Salam, (Mesir: Dar al-Hadits, tth), Juz 2, hlm 118.
  8. Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani al-Hanafi, Badai’u al-Shana’i, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cetakan ke 2, 1406 H), Juz 4, hlm 193.
  9. Ibnu Qudamah al-Maqdisi al Hanbali, al-Mugni, (Mesir: Maktabah al-Qahirah, tth), Juz 5, hlm 327.
  10. Rizki Fadli dan Zainuddin, Tinjauan Fikih Ekonomi Terhadap Pengupahan Bajak Sawah, Jurnal Hukum Ekonomi Syari’ah IAIN Batu Sangkar, Volume 3 no 2, tahun 2020..
  11. Ibnu Majah al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar Ihyau Turats al-‘Arabi,tth), Juz 2, hlm 817, hadits no 2443.
  12. Abdurrahman bin Abdullah al-Bassam, Taudhikhul Ahkam Min Bulugh al-Maram (edisi terjemah), (Jakarta: Penerbit Buku Islam Rahmatan, tth) Jilid 5, hlm 73-74.
  13. Malik bin Anas, al-Mudawwanah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cetakan pertama,1994), Juz 3, hlm 420.
  14. Al-Munawi, Faidhul Qadir, Juz 1, hlm 562.
  15. Yusuf al-Qaradhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, (Jakarta: Rabbani Press, 2001), hlm 405.
  16. Ibid.