Allah ta’ala mengilhamkan pada jiwa manusia karakteristik berupa kemampuan untuk mengetahui kebaikan dan keburukan, serta kesiapan untuk melaksanakan keduanya, sebagaimana firman-Nya dalam surat asy syams ayat 7-8 dan surat al insaan ayat 3,
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا . فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
Dan demi jiwa serta penyempurnaannya, maka Kami ilhamkan kepadanya jalan kefasikan dan takwa.
إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا
Sungguh telah Kami tunjukkan jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur
Menurut al Fairuz Abadi[1] jiwa manusia itu memiliki sifat-sifat sebagai berikut; jiwa itu memiliki kecenderungan kepada sesuatu yang diinginkannya, menghendaki sesuatu yang disukainya, kecintaannya terhadap sesuatu itu akan dapat menjadikan sesuatu itu keutamaan dalam hidupnya dan jika ia menikmati sesuatu yang disukainya itu lambat laun kesenangannya itu akan menguasai isi hatinya.
Sehingga jiwa manusia ini akan selalu tunduk dan patuh kepada Allah serta menyenangi kebaikan hingga kebaikan itu akan menguasai segenap isi hatinya jika mendapat bimbingan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Begitu pula sebaliknya bila ia dibiarkan tanpa pengendalian maka ia akan mengendalikan manusia mengikuti gejolak jiwa yang rendah yang mengajak kepada kemaksiatan hingga kemaksiatan itu pada puncaknya akan menguasai pula hatinya.
Secara garis besar dari berbagai ayat yang terdapat di al Qur’an dapat disimpulkan bahwa kondisi jiwa manusia terdiri dari tiga jenis, yaitu jiwa yang mengajak berbuat buruk (nafsu ammarah bi suu’), jiwa yang menyesali diri (nafsu lawwamah) dan jiwa yang tenang (nafsu muthmainnah).
Jiwa yang Mengajak Berbuat Keburukan
Al Jurzani[2] memaknai jiwa semacam ini sebagai berikut,
هي التي تميل إلى الطبيعة البدنية، وتأمر باللذات والشهوات الحسية، وتجذب القلب إلى الجهة السفلية، فهي مأوى الشرور، ومنبع الأخلاق الذميمة
Sesuatu yang cenderung kepada pembawaan tubuh, mengajak menikmati kelezatan dan selera inderawi serta menarik hati kearah kenistaan. Itulah tempat bagi berbagai kejahatan dan mata air segala perilaku tercela.
Allah ta’ala berfirman dalam surat Yusuf ayat 53,
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan aku tidak mampu membebaskan jiwaku (dari kesalahan), sungguh jiwa itu menyuruh berbuat keburukan, kecuali jiwa yang dirahmati Tuhanku, sungguh Tuhanku Mahapengampun dan Mahapengasih.
Jiwa yang mengajak berbuat keburukan ini juga dijelaskan oleh Ibnu Katsir[3] dalam tafsirnya tentang perkataan istri al Aziiz yang menggoda nabi Yusuf as, “وَلَسْتُ أُبَرِّئُ نَفْسِي، فَإِنَّ النَّفْسَ تَتَحَدَّثُ وَتَتَمَنَّى؛ وَلِهَذَا رَاوَدَتْهُ لِأَنَّهَا أَمَارَةٌ بِالسُّوءِ”, Aku tidak membebaskan diriku dari kesalahan, sebab hawa nafsu diriku selalu membisikkan godaan dan angan-angan kepadaku. Karena itulah aku menggoda Yusuf dikarenakan jiwaku yang mengajak berbuat keburukan.
Jiwa yang memerintahkan perbuatan buruk ini adalah jiwa yang menipu akal dan menghilangkan rasa malu manusia, ia menjadikan sesuatu yang buruk menjadi indah dan baik. Sifat jiwa yang demikian akhirnya menjadi kesempatan bagi Iblis untuk membisikkan kejahatan, menyesatkan, menggelincirkan dan menjerumuskan manusia kepada kemaksiatan.
Ibnul Qayyim al Jauziyyah[4] menjelaskan bisikan setan ini pada jiwa yang lemah sebagai berikut, “وَأما النَّفس الأمارة فَجعل الشَّيْطَان قرينها وصاحبها الَّذِي يَليهَا فَهُوَ يعدها ويمنيها ويقذف فِيهَا الْبَاطِل ويأمرها بالسوء” adapun jiwa yang memerintahkan berbuat keburukan, maka syetan akan menjadi pendamping dan sahabatnya yang memberi janji-janji, angan-angan kosong kemudian menyusupkan kebatilah pada hati manusia serta memerintahkan berbuat keburukan.
Manusia yang tertipu adalah mereka yang berjalan dibelakang kehendak jiwanya (nafsunya) tanpa pengendalian akal dan syari’at serta tidak memperhitungkan dampak perbuatannya. Menjadikan hawa nafsunya sebagai panglima adalah kesesatan. Allah ta’ala berfirman dalam surat al Qashash ayat 50,
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun.”
Jiwa yang mengajak pada keburukan ini harus diperangi dengan sungguh-sungguh agar terbebas dari belenggu keindahan kenikmatan maksiat yang bersifat fana dan menipu. Mengajari dan melatih jiwa untuk memikul beban dan kesulitan seperti merutinkan shalat malam, puasa sunnah, shadaqah dan sebagainya.
Dari ‘Abdullah bin Umar, Rasulullah saw bersabda,
لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ
“Tiadalah (sempurna) keimanan seorang Mukmin sehingga menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa”[5]
Jiwa yang Menyesali Diri
Jiwa yang menyesali diri adalah jiwa yang senantiasa mengingatkan pemiliknya dari perbuatan maksiat dan mengajak pemiliknya segera bertaubat ketika bermaksiat. Jiwa semacam ini dapat meningkat hingga mengembalikannya kepada kondisi fitrahnya yang bersih.
Allah ta’ala berfirman dalam surat al qiyamah ayat 2,
وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ
“Aku bersumpah dengan jiwa yang menyesali (dirinya sendiri)”
Ibnu Katsir[6] mengungkapkan perkataan al Hasan dalam tafsirnya tentang jiwa orang beriman, “إِنَّ الْمُؤْمِنَ -وَاللَّهِ-مَا نَرَاهُ إِلَّا يَلُومُ نَفْسَهُ: مَا أَرَدْتُ بِكَلِمَتِي؟ مَا أَرَدْتُ بِأَكْلَتِي؟ مَا أَرَدْتُ بِحَدِيثِ نَفْسِي؟ وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَمْضِي قُدُما مَا يُعَاتِبُ نَفْسَهُ” Sesungguhnya orang beriman itu, demi Allah menurut penilaian kami amat sangat menyesali dirinya sendiri dan mencelanya, Apa tujuanku dengan perkataanku, apa tujuanku dengan makananku, apa tujuanku dengan bisikan jiwaku. Sedangkan para perdurhaka itu melaju terus dalam kedurhakaannya tanpa pernah menyesali diri.
Al Qurthubi[7] mengutip perkataan Mujahid dalam tafsirnya tentang jiwa yang menyesali diri, “هِيَ الَّتِي تَلُومُ عَلَى مَا فَاتَ وَتَنْدَمُ، فَتَلُومُ نَفْسَهَا عَلَى الشَّرِّ لِمَ فَعَلَتْهُ، وَعَلَى الْخَيْرِ لِمَ لَا تَسْتَكْثِرُ مِنْهُ” ia adalah jiwa yang mengecam segala sesuatu yang lepas terlewat dan menyesalinya, ia mengecam dirinya atas keburukan yang dilakukannya, ia mengecam dirinya pula ketika berbuat kebaikan dengan perasaan kurang sempurna dan kurang optimal.
Al Jurzani[8] berkata “هي التي تنورت بنور القلب قدر ما تنبهت به عن سنة الغفلة، كلما صدرت عنها سيئة، بحكم جبلتها الظلمانية، أخذت تلوم نفسها وتتوب عنها”Jiwa ini bersinar dengan cahaya hati, yang menyadarkan dari kelalaian. Setiap kali ia mengerjakan keburukan dan terjerumus dalam kegelapan, ia akan menyesali diri dan bertaubat atasnya.
Jiwa yang menyesali diri adalah kondisi jiwa pada level berikutnya, setidaknya inilah kondisi jiwa yang harus dimiliki oleh orang beriman, manakala ia lalai maka jiwanya mengingatkan atas kelalaiannya.
Setiap mukmin wajib mewaspadai ketika jiwanya merasa nyaman akan kemaksiatan, tidak tergerak jiwanya untuk membenci kemungkaran, sementara membenci kemungkaran dengan hati adalah selemah-lemah iman.
Jiwa yang Tenang
Ini adalah tingkatan jiwa yang tertinggi, jiwa yang tenang dengan keta’atan kepada Allah, tenang dengan janji-janji Allah. Merasakan nikmat dalam beribadah kepada Allah. Allah memenuhi segenap jiwanya, Allah selalu ada dalam segala aktivitasnya. Jika Allah memberinya kenikmatan maka ia bersyukur dan bertambah keta’atannya. Jika Allah mengujinya dengan musibah maka ia bersabar dan bertambah kedekatannya kepada Allah, dan ia kembalikan segala urusannya kepada Allah.
Jiwa semacam ini tak mengenal kecewa dalam kebaikan, tak mengenal gentar dalam ujian. Ia memahami betul hakikat kehidupan, dunia itu fana dan sementara, akhiratlah tujuan utama. Jiwa ini tenang karena surga adalah terminal akhir yang akan diraihnnya. Allah ta’ala berfirman dalam surat al Fajr ayat 27-30,
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ (27) ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً (28) فَادْخُلِي فِي عِبَادِي (29) وَادْخُلِي جَنَّتِي (30)
Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai-Nya, maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku”
Al Jurzani[9] menjelaskan bahwa jiwa yang tenang adalah “هي التي تم تنورها بنور القلب حتى انخلعت عن صفاتها الذميمة، وتخلقت بالأخلاق الحميدة” jiwa yang sempurna cahayanya dengan cahaya hati hingga terlepas dari sifat-sifat buruk, dan terbingkai deng akhlaq yang terpuji.
Keberhasilan yang besar dari tazkiyatun nafs adalah jiwa yang tenang, tenang dalam beribadah, tenang dalam perjuangan dan pengorbanannya, tenang karena Allah menjadi poros segala amalnya, hati, ucapan dan tindakan.
Allah ta’ala berfirman dalam surat ar ra’du ayat 28
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hatinya menjadi tenteram dengan mengingat Allah, Ingatlah hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenang.”
Hasbunallah wa ni’mal wakil
[1] Lihat al Fairuuz Abadi : Bashairu Dzawi at Tamyiz fi Lathaif al Kitab al Aziz, Qahirah : Lajnah Ihya at Turats al ‘Araby, 1412 H, Jilid 5, hlm 359.
[2] Asy Syariif Al Jurzani: Kitab at Ta’rifat, Beirut: Daar al Kutub al ‘Ilmiyyah, 1403 H, hlm 243.
[3] Ibnu Katsir: Tafsir al Qur’an al Adzhim, Daar Thayyibah li nushr wa at tauzi’, 1420 H, Jilid 4, hlm 394.
[4] Ibnul Qayyim al Jauziyah : Ar Ruuh fil kalami ala arwah al amwati wal ahyai bid dalaili min al kitab wa sunnah , Beirut: Daar al Kutub al ‘Ilmiyyah, tt, hlm 227.
[5] Ibnu Abi Ashim : Kitab as Sunah wa Ma’ahu Dzilal al Jannah fi Takhrij as Sunnah. Al Maktab al Islamy, Jilid 1, hlm 12. Menurut Muhammad Nashirudin al Albani hadits ini dhaif.
[6] Tafsir al Qur’an al Adzhim, jilid 8, hlm 275.
[7] Syamsuddin al Qurthubi: al Jami’ li Ahkam al Qur’an. Qahirah: Daar al Kutub al Mishriyah, 1384 H, Jilid 19, hlm 193.
[8] At Ta’rifat, hlm 243.
[9] idem.