1. Teks Ayat
Allah telah berfirman dalam surat al Baqarah ayat 173 sebagai berikut:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi-mu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
2.Penjelasan Kalimat
إِنَّما حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ
(Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah)
Imam al Qurthubi berkata,
إِنَّمَا" كَلِمَةٌ مَوْضُوعَةٌ لِلْحَصْرِ، تَتَضَمَّنُ النَّفْيَ وَالْإِثْبَاتَ، فَتُثْبِتُ مَا تَنَاوَلَهُ الْخِطَابُ وَتَنْفِي مَا عَدَاهُ، وَقَدْ حَصَرَتْ هَا هُنَا التَّحْرِيمَ، لَا سِيَّمَا وَقَدْ جَاءَتْ عُقَيْبَ التَّحْلِيلِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى:" يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّباتِ مَا رَزَقْناكُمْ" فَأَفَادَتِ الْإِبَاحَةَ عَلَى الْإِطْلَاقِ، ثُمَّ عَقَّبَهَا بِذِكْرِ الْمُحَرَّمِ بِكَلِمَةٍ" إِنَّمَا" الْحَاصِرَةُ
Innama adalah kalimat isim maf’ul untuk membatasi. Melingkupi penolakan dan penetapan. Maka ia menetapkan yang diambil dari pembicaraan dan menolak yang selainnya. Dan telah dibatasi makanan yang diharamkan. Terutama yang telah datang setelah pengesahan dari firman Allah ta’ala “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu…” (2:172). Maka ia memberikan kebolehan atas pengumuman kemudian datang sesudahnya dengan mengingat-kan yang diharamkan dengan kalimat innama yang membatasi. (al Jami’ li ahkamil Qur’an 2:216)
Maksud penegasan dan pembatasan makanan yang haram juga dikemukakan Ath thobari dalam tafsirnya,
لا تُحَرِّمُوا عَلَى أَنْفُسَكُمْ مَا لَمْ أُحَرِّمُهُ عَلَيْكُمْ أَيُّهَا المُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ، بَل كُلُوا ذَلِكَ، فَإِنِّي لَمْ أُحَرِّمُ عَلَيْكُمْ غَيرَ الْمَيْتَةِ وَالدَّمِ وَلَحْمِ الخِنْزِيرِ، ومَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِي.
Janganlah kalian haramkan diri kalian atas segala sesuatu yang tidak Aku haramkan bagi kalian wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, akan tetapi makanlah, karena sesungguhnya Aku tidak mengharamkan bagi kalian selain bangkai, darah, daging babi dan hewan yang disembelih bukan atas nama Allah. (jami’ul bayan an ta’wil li ayyil qur’an, 3:317)
Mengenai definisi bangkai dalam kamus al muhith disebutkan,
عَلَى مَا مَاتَ حَتْفَ أَنْفِهِ مِنَ الحَيَوَانِ مِنَ المَوتِ الذِي هُوَ مُفارَقَةُ الرُوحِ وَ الجَسَدِ
Segala sesuatu yang mati secara wajar dari hewan dengan kematian yang memisahkan ruh dan jasad.
Rasulullah saw juga pernah bersabda mengenai definisi bangkai yaitu,
مَا قَطَعَ مِنَ البَهِيمَةِ و هي حَيَّةٌ، فَهِيَ مَيْتَةٌ
Segala sesuatu yang terpotong dari hewan yang hidup maka ia adalah bangkai.[1]
Kemudian al Jashas mendefinisikan bangkai menurut istilah syari’at yaitu,
اسْمٌ حيوان الْمَيِّتِ غَيْرِ الْمُذَكَّى وَقَدْ يَكُونُ مَيْتَةً بِأَنْ يَمُوتَ حَتْفَ أَنْفِهِ مِنْ غَيْرِ سَبَبٍ لِآدَمِيٍّ فِيهِ وَقَدْ يَكُونُ مَيْتَةً لِسَبَبِ فِعْلِ آدَمِيٍّ إذَا لَمْ يَكُنْ فِعْلُهُ فِيهِ عَلَى وَجْهِ الذَّكَاةِ الْمُبِيحَةِ لَهُ
Sebutan bagi hewan yang telah mati tanpa penyembelihan dan telah menjadi bangkai dengan kematian secara wajar tanpa sebab perbuatan manusia padanya. Dan menjadi bangkai pula disebabkan perbuatan manusia jika
tidak menyembelihnya dengan menghadapkan penyembelihan tersebut bagi sesuatu yang diperbolehkan baginya. (ahkam al Qur’an, 1:132)
Mengenai makna yang disembelih atas selain nama Allah, ath thobari menjelaskan sebagai berikut,
ما ذُبح للآلهةِ والأوثانِ يُسمَّى عليه بغير اسمِه، أو قُصِدَ به غيرُه من الأصنامِ
Segala yang disembelih bagi patung dan berhala dan yang disebut dan ditujukan sembelihannya pada selain Allah. (Jami’ul Bayan an Ta’wil li Ayyil Qur’an, 3:319)
Menurutnya para ulama berbeda pendapat mengenai kalimat ini, sebagian berpendapat bahwa yang dimaksud adalah yang disembelih bagi selain Allah, sebagaimana riwayat dari Ibnu Abbas ra,
ما ذُبِح لغير اللّهِ من أهل الكفرِ، غيرَ اليهودِ والنصارى.
Maksudnya adalah segala sembelihan yang ditujukan bagi selain Allah dari orang-orang kafir, selain yahudi dan Nashrani. (Jami’ul Bayan an Ta’wil li Ayyil Qur’an, 3:320)
Diriwayatkan pula dari ‘uqbah bin muslim mengenai makna binatang yang disembelih disebut nama selain Allah adalah sembelihan orang majusi, para penyembah berhala dan orang-orang musyrik. (Jami’ul Bayan an Ta’wil li Ayyil Qur’an, 3:321)
Sebagian yang lain berpendapat bahwa yang dimaksud adalah hewan yang disembelih tidak disebutkan nama Allah padanya. Sebagaimana riwayat dari rabi’
عن الرَبيعِ قوله:"وما أهلّ به لغير الله"، يقول: ما ذَكَرَ عَلَيهِ غيرُ اسمُ اللّهِ.
Bahwa yang dimaksud adalah hewan yang disembelih atasnya nama selain Allah. (Jami’ul Bayan an Ta’wil li Ayyil Qur’an, 3:321)
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ
(Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkan-nya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.)
Mujahid berkata maksud kalimat tersebut adalah,
غَيْرَ قَاطِعِ السَّبِيلِ، وَلَا مَفَارِقٍ الْأَئِمَّةَ، وَلَا خَارِجٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Tidak memisahkan jalan, tidak meninggalkan imam dan tidak keluar dalam rangka bermaksiat kepada Allah azza wajalla. (Tafsir Mujahid,1:28)
Al Baihaqi menuliskan pendapat asy Syafi’i mengenai ayat ini,
فَيَحِلُّ مَا حُرِّمَ: مِنْ الْمَيْتَةِ وَالدَّمِ وَلَحْمِ الْخِنْزِيرِ وَكُلُّ مَا حُرِّمَ-: مِمَّا لَا يُغَيِّرُ الْعَقْلَ: مِنْ الْخَمْرِ.-: لِلْمُضْطَرِّ
bahwa dengan demikian apa yang telah diharamkan berupa bangkai, darah dan daging babi dan semua yang diharamkan dari apa yang tidak merusak akal seperti khamr, menjadi halal saat dalam keadaan darurat. (Ahkam al Qur’an li asy Syafi’i, 2:91)
Ibnu Katsir mengutip beberapa riwayat mengenai batasan-batasan kebolehan memakan makanan yang diharamkan, sebagai berikut,
قَالَ سَعِيدٌ -فِي رِوَايَةٍ عَنْهُ وَمُقَاتِلُ بْنُ حَيَّانَ: غَيْرَ بَاغٍ: يَعْنِي غَيْرَ مُسْتَحِلِّهِ. وَقَالَ السُّدِّيُّ: غَيْرَ بَاغٍ يَبْتَغِي فِيهِ شَهْوَتَهُ، وَقَالَ عَطَاءٌ الْخُرَاسَانِيُّ فِي قَوْلِهِ: {غَيْرَ بَاغٍ} لَا يَشْوِي مِنَ الْمِيتَةِ لِيَشْتَهِيَهُ وَلَا يَطْبُخُهُ، وَلَا يَأْكُلُ إِلَّا العُلْقَة، وَيَحْمِلُ مَعَهُ مَا يُبَلِّغُهُ الْحَلَالَ، فَإِذَا بَلَغَهُ أَلْقَاهُ [وَهُوَ قَوْلُهُ: {وَلا عَادٍ} يَقُولُ: لَا يَعْدُو بِهِ الْحَلَالَ
Sa’id di dalam riwayat yang lain dan Muqatil mengatakan yang dimaksud dengan “ghair baghin” ialah tidak menghalalkannya. As sudi berkata bahwa “ghairu baghin” adalah tidak mengikuti selera ingin memakannya. Berkata “Atha al Khurasany bahwa “ghairu baghin” ialah seseorang tidak boleh memanggang sebagian dari bangkai itu untuk membuatnya berselera memakannya, tidak boleh memasaknya serta memakannya kecuali hanya sedikit. Ia boleh membawanya hingga ia dapat menemukan makanan yang halal. Jika ia telah menemukan makanan halal maka ia harus membuangnya, demikian yang dimaksud firman Allah “wala ‘aadin” yakni tidak boleh melampaui batas dalam memakannya hingga ia menemukan yang halal. (Tafsir al Qur’anul ‘Adzhim, 1:482)
3. Hukum – Hukum Yang Terdapat Pada Ayat.
a. Pengharaman Bangkai
Para Fuqaha sepakat atas pengharaman memakan bangkai dalam keadaan lapang dan kemampuan berusaha.[2] Semua pendapat tersebut berdasarkan dalil surat al Baqarah 173.
Ar Raazi mena’wilkan hikmah pengha-raman bangkai yang mati secara wajar (tidak disembelih)
وَاعْلَمْ أنَّ تَحرِيمَ الميتةِ مُوافَقٌ لِمَا فِي العقولِ، لأنَّ الدَّم جَوْهَرٌ لطِيفٌ جِداً، فإِذَا ماتَ الحيوانُ حَتْفُ أَنْفِهِ اِحْتَبَسَ الدَمُ في عُرُوقِ وَ تَعَفَّنَ وَ فَسَدَ، و حصلَ مِن أكْلِهِ مُضارٌّ عظيمةٌ
ketahuilah bahwa diharamkannya bangkai adalah rasional, karena darah adalah zat yang sangat halus, jika bangkai hewan yang mati secara wajar darahnya tertahan pada sumbernya dan rusak membusuk, serta membawa kemudharatan yang berbahaya bagi pemakannya. (Tafsir ar Raazi, 11:132)
فَاحْتِقَانُ الدَمِ في الميتةِ سببٌ ظاهرٌ، وَ أمّا ذَبِيحةُ المجوسي و المرتدِّ و تارِكِ التسميةِ و من أهلَّ بِذَبِيحتِهِ لغير اللّهِ، فَنَفْسُ ذَبَيحَةِ هؤلاءِ أَكْتَسَبَتِ المَذْبُوحِ خُبُثاً أَوْجَبَ تَحْرِيمُهُ، وَ لاَ يُنْكِرُ أَنْ يَكوُنَ ذِكْرُ اسمُ الأوثانِ و الكواكبِ و الجِنِّ على الذَبِيحةِ يُكسبُها خُبُثاً، و ذِكرُ اسم اللّهِ وَحْدَهُ يَكْسِبُها طيباً إلاّ مَن قَلَّ نَصِيبُهُ مِن حَقَائِقَ العِلمِ وَ الإِيْمَانِ و ذُوقِ الشريعةِ
Penetapan pengharaman darah pada bangkai adalah sebab yang terlihat, adapun sembelihan majusi, orang murtad dan mereka yang meninggalkan bacaan bismillah serta sembelihan yang disembelih untuk selain Allah maka pada dasarnya sembelihan mereka itu ditetapkan sebagai sembelihan yang buruk yang ditetapkan pengharamannya. Dan tidak dapat dipungkiri apabila penyembelihan disertai dengan menyebut berhala-berhala, bintang-bintang dan jin atas hewan sembelihan adalah merupakan perlakuan keji padanya. Dan menyebutkan nama Allah semata para hewan sembelihan merupakan kebaikan kecuali sedikit sekali orang yang memahamI dari hakikat-hakikat ilmu dan iman serta tabi’at hukum syari’at. (I’lamul Muwaqi’in, 2:154)
وَ أمَّا فِي حالَةِ الإِلْجَاءِ و الاِظطرَارِ، فَقَد ذهب الفقهاءُ إلى جوازِ أكْلِ الميتَةِ عِنْدَئِذٍ، فَمَنِ اظْطُرَّ إلى أكلِ الميتةِ إمّا بإكراهِ مُلْجىءٍ مِن ظالمٍ أو بِجوعٍ في مَخْمَصَةٍ أو بِفِقْرٍ لاَ يجِدُ مَعَهُ غيرَ الميْتةِ، حَلَّ لهُ ذلك َالدَاعِي الضَرُورَةِ.
Mengenai keadaan terpaksa, maka para fuqaha membolehkan memakan bangkai seperlunya. Maka barangsiapa terpaksa memakan bangkai apakah dengan paksaan dari orang dholim atau karena lapar yang sangat atau karena kefakiran dan tidak menemukan pada sisinya selain bangkai. Dihalalkan baginya yang demikian itu karena sebab keadaan darurat.(Maushu’at Fiqh, 39:383)[3]
Az Zayla’i berpendapat,
فَظَهَرَ أنَّ التَحرِيمَ مَخصوصٌ بِحالةِ الإِخْتِيارِ، و فِي حالةٍ الاِظْطرارِ مباحٌ ، لأَنَّ الضروراتِ تُبِيحُ المَحْظورَاتِ
jelasnya pengharaman disebabkan keadaan bebas untuk berusaha, sehingga dalam keadaan terpaksa dibolehkan. Sebagaimana kaidah “sesungguhnya keadaan terpaksa membolehkan larangan” (tabayina al haqaiq 5/185)
Batasan Kondisi Darurat Yang Membolehkan Memakan Bangkai
Para ulama berbeda pendapat mengenai batasan kondisi darurat yang membolehkan memakan bangkai sebagai berikut,
Pertama, ditakutkan terjadi pada dirinya kematian baik secara pasti maupun perkiraan. Ini adalah pendapat yang masyhur dari kalangan malikiyah.[4]
Kedua, ditakutkan terjadi para dirinya kematian atau sakit yang mengkhawatirkan dan bertambah parah, dikhawatirkan terpisah atau tertinggal dari rombongan (dalam perjalanan) karena keadaanya yang lemah dalam berjalan maupun berkendara. Maka yang demikian itu adalah kondisi yang takut karena terpaksa. Ini adalah pendapat kalangan syafi’iyyah dan hanabilah.[5]
Ketiga, dikhawatirkan kerusakan atau kerugian pada jiwanya atau sebagian badannya rusak karena tidak makan, dan ketika mereka sampai pada kondisi demikian mereka tidak menemui kecuali bangkai, atau mereka mendapati selain bangkai, sehingga mereka terpaksa memakannya karena terancam kerusakan pada jiwanya atau sebagian badannya. Ini adalah pendapat kalangan Hanafiyah.[6]
Hukum Memakan Bangkai Dalam Keadaan Terpaksa
Pertama, wajib, jika dalam keadaan terpaksa, wajib baginya untuk memakannya, maka jika menahan dari makan dan sabar hingga mati adalah tercela. Ini adalah pendapat jumhur fuqaha dari kalangan hanafiyah, malikiyah, syafi’iyyah dan juga hanabilah.[7] Berdasarkan dalil firman Allah “...dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (2:195)
Kedua, Mubah, ini adalah pendapat Abu Yusuf dari kalangan hanafiyah dan suhnun dari kalangan malikiyah, Abu Ishaq asy Syairazi dari kalangan syafi’iyyah. Mereka berpendapat, jika mendapati keadaan terpaksa hingga mengakibat-kan kematian maka tidak ada dosa memakan bangkai[8] karena kebolehan memakannya adalah rukhsah (keringanan), sedang tidak wajib baginya mengambil semua keringanan. Dan baginya kemaslahatan dengan meninggalkan sesuatu yang kotor dan mengambil keutamaan. (al Mughni 13/332)
Kadar dibolehkannya memakan bangkai ketika terpaksa.
Para ulama berbeda pendapat tentang kadar kebolehan memakan bangkai sebagai berikut:
Pertama, Jumhur ulama dari kalangan hanafiyah, hanabilah dan syafi’iyah dalam penjelasan ibn majasyun dan ibn Hubaib dari kalangan malikiyah dan selainnya, tidak dibolehkan memakan bangkai dalam keadaan terpaksa kecuali dalam kadar sekedar menjaga hidupnya.[9]
Kedua, dalam pendapat kalangan malikiyah yang dikuatkan kalangan syafi’iyyah dan Ahmad dalam riwayatnya bahwa boleh dalam keadaan terpaksa memakan bangkai hingga kenyang, karena keadaan darurat itu menghilangkan pengharam-an.[10] Sebagaimana sebuah riwayat dari Jabir bin Samurah ra,
أنَّ رَجُلًا نَزَلَ الحرّةَ، فنفقتْ عِنْدَهُ ناَقةٌ، فَقَالَتْ اِمْرَأتُهُ: اِسْلَخْهَا حَتَّى نُقَدِّدَ شَحْمَهَا وَ لَحْمَهَا وَ نَأْكُلُهُ، فقال: حتَّى أَسْأَلَ رسولَ اللّهِ صلى الله عليه و سلم، فسألَهُ فقال: هَل عِنْدَكَ غَنِيٌّ يَغْنِيكَ؟ قال: لا، قَالَ: فَكُلُوهَا
Sesungguhnya seorang datang ke daerah yang panas, pada saat itu ia mendapati unta betinanya telah mati, kemudian berkata istrinya kepadanya: “kulitilah unta itu sehingga kita dapat memotong lemak dan dagingnya kemudian memakannya”. Kemudian ia berkata: hingga aku bertanya kepada Rasulullah saw. Rasulullah bertanya: “apakah engkau memiliki sesuatu yang mencukupkan kebutuhanmu?” ia berkata: “tidak”. Rasulullah bersabda: “maka makanlah”[11]
b. Pengharaman Darah
Yang dimaksud darah adalah,
هُوَ ذَلِكَ السائلُ الأحْمَرِ الذِي يُجْزِي في عُرُوقِ الحيواناتِ، و عليه تقومُ الحياةُ
cairan merah yang mengalir pada urat hewan, dan padanya ada kehidupan. (lisanul arab bab- دمى )
Para ulama fiqh bersepakat bahwa darah adalah haram, najis tidak dibolehkan makan dan mengambil manfaat atasnya, sebagaimana telah mutlak pelarangannya pada ayat ini dan surat al an’am 145 “Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Al Qurthubi berkata, darah yang diharamkan adalah yang mengalir (tidak bercam-pur dengan urat dan daging). Kemudian beliau menyampaikan perkataan dari ‘Aisyah ra,
كُنَّا نَطْبُخُ الْبُرْمَةَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَعْلُوهَا الصُّفْرَةُ مِنَ الدَّمِ فَنَأْكُلُ وَلَا نُنْكِرُهُ
Kami pernah memasak daging dalam kuali, di masa Nabi saw, kuali itu mendidih kekuning-kuningan dari warna darah, kemudian kami memakannya dan kami tidak mengingkarinya. (al jami’ li ahkam al qur’an 2/222)
c. Pengharaman Daging Babi
Para ulama fiqh sepakat pengharaman daging babi berdasarkan dalil ayat ini dan al an’am 145, kecuali dalam keadaan darurat. Para ulama kalangan hanabilah menda-hulukan memakan anjing dari babi dalam keadaan darurat. (mausu’at fiqh 22/30)
Para ulama sepakat pengharaman memakan babi, daging, lemak, bagian luar dan dalamnya, dan tidak ada khilaf padanya. Dan ulama Malikiyah -jika dalam keadaan darurat- mewajibkan mendahulukan bangkai selain babi daripada babi, karena babi haram zatnya, bangkainya.[12]
Mengenai pemanfaatan bulu babi, al Qurthubi berpendapat,
لَا خِلَافَ أَنَّ جُمْلَةَ الْخِنْزِيرِ مُحَرَّمَةٌ إِلَّا الشَّعْرَ فَإِنَّهُ يَجُوزُ الْخِرَازَةُ بِهِ. وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ رجلا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخِرَازَةِ بِشَعْرِ الْخِنْزِيرِ، فَقَالَ: (لَا بَأْسَ بِذَلِكَ) ذَكَرَهُ ابْنُ خُوَيْزِ مَنْدَادُ، قَالَ: وَلِأَنَّ الْخِرَازَةَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ، وَبَعْدَهُ مَوْجُودَةٌ ظَاهِرَةٌ، لَا نَعْلَمُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْكَرَهَا وَلَا أَحَدَ مِنَ الْأَئِمَّةِ بَعْدَهُ
Al Qurthubi berkata, tidak ada khilaf mengenai pengharaman babi secara utuh kecuali bulunya yang diperbolehkan dimanfaatkan bagi tukang jahit kulit. Sebagaimana telah diriwayatkan dari seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah saw tentang penjahit dengan menggunakan bulu babi, Rasulullah bersabda (tidak apa-apa dengan yang demikian). Ibnu Huwaiz bin Mandad berkata, cara yang demikian telah berlangsung sejak jaman nabi dan sesudahnya, dan kami tidak mengetahui nabi melarangnya demikian juga ulama sesudahnya. (al jami’ li ahkam al Qur’an 2/223)
c. Hewan yang disembelih tidak atas nama Allah.
Al Jashas berpendapat bahwa diharamkan menyamakan nama selain Allah pada sembelihan.
يُوجِبُ تَحْرِيمَهَا إذَا سُمِّيَ عَلَيْهَا بِاسْمٍ غَيْرِ اللَّهِ لِأَنَّ الْإِهْلَالَ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ هُوَ إظهار غير اسم الله ولم يفرق في الْآيَةُ بَيْنَ تَسْمِيَةِ الْمَسِيحِ وَبَيْنَ تَسْمِيَةِ غَيْرِهِ بَعْدَ أَنْ يَكُونَ الْإِهْلَالُ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ وَقَوْلُهُ فِي آيَةٍ أُخْرَى وَما ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ
Wajibnya pengharaman jika disamakan atasnya nama selain Allah karena sembelihan yang tidak disebut nama Allah atasnya adalah meninggikan nama selain Allah dan tidak ada perbedaan dalam ayat antara penyebutan nama al masih dan penyebutan sesudahnya adalah sembelihan yang disebutkan atasn nama selain Allah sebagaimana dalam ayat lain dan (diharamkan bagimu) sembelihan yang dilakukan atas nama berhala. (al Jashas : ahkam al quran 1/155)
Berbeda dengan al Jashas, al Baihaqi pendukung syafi’i menuliskan,
وَأَحَلَّ اللَّهُ (عَزَّ وَجَلَّ) : طَعَامَ أَهْلِ الْكِتَابِ وَقَدْ وَصَفَ ذَبَائِحَهُمْ، وَلَمْ يَسْتَثْنِ مِنْهَا شَيْئًا.
فَلَا يَجُوزُ أَنْ تَحْرُمَ ذَبِيحَةُ كِتَابِيٍّ وَفِي الذَّبِيحَةِ حَرَامٌ- عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ-: مِمَّا كَانَ حَرُمَ عَلَى أَهْلِ الْكِتَابِ، قَبْلَ مُحَمَّدٍ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ)
وَلَا يَجُوزُ:- أَنْ يَكُونَ شَيْءٌ حَلَالًا-: مِنْ جِهَةِ الذَّكَاةِ لِأَحَدٍ، حَرَامًا عَلَى غَيْرِهِ. لِأَنَّ اللَّهَ (عَزَّ وَجَلَّ) أَبَاحَ مَا ذُكِرَ: عَامَّةً لَا: خاصّة.
Allah telah menghalalkan makanan Ahli kitab dan sungguh dia telah menerangkan sifat sembelihan mereka dan tidak mengecualikan sesuatupun darinya.
Oleh karena itu sembelihan ahli kitab tidak boleh diharamkan selain itu dalam sembelihan diharamkan atas setiap muslim apa yang diharamkan atas ahli kitab sebelum nabi Muhammad saw.
Sesuatu yang halal – dari sisi penyembelihan – bagi seseorang tidak boleh menjadi haram atas yang lain, sebab Allah telah membolehkan apa yang telah disebutkan secara umum dan tidak secara khusus. (al baihaqi: ahkam al Qur’an 2/98-99)
Mengenai bagaimana memakan sembelihan yang membuat kita ragu untuk memakannya dalam kitab subulus salam as shan’ani menuliskan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ad daruquthni,
(وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: الْمُسْلِمُ يَكْفِيهِ اسْمُهُ فَإِنْ نَسِيَ أَنْ يُسَمِّيَ حِينَ يَذْبَحُ فَلْيُسَمِّ ثُمَّ لِيَأْكُلْ . أَخْرَجَهُ الدَّارَقُطْنِيُّ وَفِيهِ رَاوٍ فِي حِفْظِهِ ضَعْفٌ)
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Nabi saw bersabda, “seorang muslim itu cukup dengan namanya. Bila ia lupa menyebut nama Allah ketika menyembelih hendaknya ia menyebut nama Allah sebelum makan, kemudian memakannya”[13]
وَأَخْرَجَهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ إلَى ابْنِ عَبَّاسٍ مَوْقُوفًا عَلَيْهِ وَلَهُ شَاهِدٌ عِنْدَ أَبِي دَاوُد فِي مَرَاسِيلِهِ بِلَفْظِ: ذَبِيحَةُ الْمُسْلِمِ حَلَالٌ ذَكَرَ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا أَمْ لَمْ يَذْكُرْ وَرِجَالُهُ مُوَثَّقُونَ
Abdurrazzaq juga meriwayatkannya dengan sanad shahih mauquf kepada Ibnu Abbas. Pada hadits ini ada syahid riwayat abu Dawud dalam kitab Marasil dengan lafaz “sembelihan orang muslim adalah halal, ia menyebut nama Allah maupun tidak.” Para perawinya terpercaya.
As shon’ani mengatakan sekalipun demikian hadits ini tidak bisa membantah hadits-hadits yang mewajibkan melafazkan basmalah dengan mutlak. Meskipun demikian hadits ini berdasarkan persangkaan tidak pula mewajibkan basmalah dengan mutlak. Dengan demikian ditafsirkan bagi sembelihan yang tidak dilafazhkan basmalah untuk tidak memakannya dalam bab kehati-hatian. (subulus salam 2/528)
Wallahu a’lam
[1] Sunan Abu Dawud, 3/277, Sunan at Tirmidzi 4/74, dari hadits abi waqid al laitsi, berkata at tirmidzi, hadits ini hasan gharib.
[2] Lihat al kaafi Ibnu abd bar 1/439, Ahkam al Qur’an, Ibnu Arabi 1/25, Bidayatul Mujtahid 1/440 & 465, Syarh Muntaha al Iradat 3/392, al Mughni Ibnu Qudamah 13/330
[3] Lihat Al Jashas : Ahkam al Qur’an 1/156-159, Ibnu al Arabi: Ahkam al Qur’an 1/55, Ibnu Qudamah: al Mughni 13/330.
[4] Lihat al Kharasyi 3/28, Ibn Abd Bar: al Kaafi 1/439, al Qawaanin al fiqhiyah 178, Ibn Arabi: Ahkam al Qur’an 1/55, Bidayah al Mujtahid 1/476, al Qaraafi : adz Dzakhiirah 4/109.
[5] Lihat Mughni al Muhtaj 4/306, an Nawawi: al Majmu’ 9/42, Tuhfah al Muhtaj 9/390, Syarh al Muntaha 3/400 & Kifayah al Akhyar 2/144.
[6] Lihat al Jashash: Ahkam al Qur’an 1/159 & Tabyiin al Haqaiq 5/185.
[7] Lihat Rad al Muhtaar 5/215, Tabyiin al Haqaiq 5/185, al Jashas: Ahkam al Qur’an 1/157, Ibn Arabi: Ahkam al Qur’an 1/56, Ibn Jazi: at Tashil 69, an Nawawi: al Majmu’ 9/42, Mughni al Muhtaj 4/306, Kasyaf al Qona’ 9/42, Syarh al Muntaha 3/400, al Mughni 13/331, Ibnul Qayyim: ‘Iddat as Shobirin 35, Adz Dzakhirah 4/110 & al Inshaf 10/37
[8] Lihat Tabyin al Haqaiq 5/185, adz Dzahirah 4/110, al Majmu Syarh al Muhadzab 9/40, al Mughni 13/332.
[9] Lihat al Jashas : ahkam al qur’an 1/157 & 160, tafsir ar raazi 5/24, al Qadhi abd wahab: al ishraf 2/257, ibn arabi: ahkam al qur’an 1/55-56, bidayatul mujtahid 1/476, al majmu’ 9/43, mughni al muhtaj 4/307, ibnu qudamah: al mughni 13/330, kasyaf al qana’ 6/194, syarh al muntaha 3/400, al mubdi’ 9/206 & kifayah al akhyar 2/143.
[10] Lihat Ibn Arabi: ahkam al qur’an 1/55, al qarafi: adz dzakhirah 4/109, ad dardiri: syarh ash shogiir 2/184, Ibn Jazi: at tashil 69, al qashafi: lubab al libab 75, qawanin al fiqhiyah 178, Ibn Jalaab: at tafrii’ 1/407, ibn abd baar: al kaafi 1/439, al kharasy 3/28, bidayah al mujtahid 1/466, al majmu’ syarh al muhadzabn 9/40 & 42, kifayah al akhyar 2/144, al mubdi’ 9/40 & 42, al mughni 13/331 & tafsir ar raazi 5/24.
[11] Diriwayatkan abu dawud 4/166-167, Ahmad 5/104, al Mundziri tidak mengkritiknya 5/326, asy Syaukani: nail al authar 9/30 “tidak ada cacat pada sanadnya”
[12] Lihat hasiyah ibn ‘abidin 5/196, al Majmu’ 9/2&39.
[13] Hadits ini lemah, dalam sanadnya ada seorang perawi yang lemah hafalannya, bernama Muhammad bin Yazid bin Sinan. Ia seorang yang jujur tetapi lemah hafalannya.