Sigit Suhandoyo. Empat kata berikut ini yaitu hati, akal, ruuh dan jiwa merupakan kata yang seringkali digunakan untuk membahas sifat, karakter manusia dan segala sesuatu yang bersumber darinya berupa pengetahuan, kecenderungan, maupun perbuatan. Terdapat banyak sekali pendapat dalam pendefinisian hal-hal tersebut.
Hati adalah bagian terpenting dalam diri manusia, ia adalah sumber dari segala perilaku lahiriyah dan batiniyah manusia. Al Muhasibi berkata[1] “الْقلب هُوَ الاصل والجوارح أَغْصَان وَلَا تقوم الاغصان إِلَّا بالاصل” hati adalah pokok dan anggota badan adalah cabangnya sehingga tidak akan tegak cabang tanpa pokoknya. Hati memiliki beberapa karakteristik, yaitu:
Pertama, Menurut syaikh Abdurrahman Habanakah[2], hati adalah tempat menetapnya akidah yang kokoh karenanya ia merupakan tempat bagi iman yang benar, “القلب مستقر القائد الراسخة، لذلك مستقر الإيمان الصادق”. Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al Anfaal ayat 2,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal.
Ar Raghib berkata[3], “ووجل القلب: هو الخشية للحق على سبيل التصديق له باليقين” dan hati yang bergetar adalah hati yang takut terhadap kebenaran atas jalan pembenaran padanya dengan penuh keyakinan.
Kedua, Hati adalah tempat bagi berbagai perasaan serta ilmu pengetahuan. Al Ghazali mendifinisikan hati sebagai[4], “لطيفة ربانية روحانية لها بهذا القلب الجسماني تعلق وتلك اللطيفة هي حقيقة الإنسان وهو المدرك العالم العارف من الإنسان وهو المخاطب والمعاقب والمعاتب والمطالب” bagian lembut yang bersifat spiritual dan ketuhanan, yang memiliki kaitan dengan jantung dan jasad. Bagian lembut ini merupakan hakikat manusia. Ia merupakan alam pengetahuan pada manusia. Ia berbicara, membalas dan menuntut.
Ketiga, hati adalah tempat perenungan dan berfikir. Allah ta’ala berfirman dalam surat al Hajj ayat 46,
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.
Keterkaitan Hati, Akal, Ruuh dan Jiwa. Pada surat al Hajj ayat 26, Allah ta’ala menggambarkan bahwa fungsi hati adalah berfikir. Jelas yang dimaksud bukanlah fisik otak, namun sesuatu yang lebih mendalam. Sebagaimana yang dimaksud fungsi mendengar bukanlah fungsi telinga mereka cacat, melainkan sesuatu yang lebih mendalam pula. Kemudian Allah menegaskan bahwa hati mereka buta.
Muhammad Ali al Juzu berpendapat[5],” فالفقه و العلم مكانهما القلب، و هذا يؤكد أهمية القلب بالنسبة للمعرفة، فيهما يشتر كان في الناحية الفكرية” pemahaman dan ilmu kedudukannya ada di dalam hati. Ini mendukung fungsi hati yang terkait dengan pengetahuan. Keduanya memiliki aspek kesamaan pada aspek pemikiran.
Jika diibaratkan fungsi pendengaran, penglihatan, perasa, serta otak adalah sebagai pengumpul informasi maka proses pengolahan data dan pengambilan keputusan yang tidak menyertakan hati maka akan tergelincir pada kesalahan. Hal ini menggambarkan betapa pentingnya manusia memiliki hati yang sehat.
Dengan demikian diketahui bahwa hati juga berperan mengontrol kecenderungan jiwa (nafs), sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al Jaatsiyah ayat 23 yang menggambarkan orang-orang yang mengikuti nafsunya maka Allah sekat hatinya hingga tidak dapat menimbang kebenaran dan tertutup dari hidayah kecuali Allah bukakan,
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
Mengenai ruuh Ibnu Katsir berpendapat,[6]” إن الروح هي أَصْلُ النَّفْسِ وَمَادَّتُهَا، وَالنَّفْسُ مُرَكَّبَةٌ مِنْهَا وَمِنَ اتِّصَالِهَا بِالْبَدَنِ ، وَهَذَا مَعْنًى حَسَنٌ” ruuh adalah itu merupakan asal dan materi jiwa (nafs). Jiwa terbentuk dari ruuh dan terhubung dengan badan, dan ini adalah pengertian yang baik.
Dengan demikian nafs adalah unsur yang terbentuk dari peniupan ruuh kepada jasad manusia. Karena memiliki unsur akhirat dan duniawi, nafs memiliki kecenderungan untuk berbuat baik dan buruk. Oleh karenanya manusia harus membimbing jiwanya dengan kejernihan hati.
Catatan Kaki
- Al Haarits al Muhasibi, tt, Adabun Nufus, Libanon: Daar al Jiil, h 179.
- Abdurrahman Habanakah, tt, al Akhlaq al Islamiyyah wa Ususuha, Beirut: Daar al Qalam, h.245.
- Ar Raghib al Ashfihany, 1428 H, adz Dzari’atu ila Makarimi asy Syari’ah, Cairo: Daar as Salam. h 159.
- Al Ghazali, tt, Ihya Ulumuddin, Beirut: Daar al Ma’rifah, 3/3.
- Dr. Muhammad Ali al Juzu,1983, Mafhuum al Aql wa al Qalb fi Al Qur’an wa as Sunnah, Beirut: Daar al ‘Ilm. H 275.
- Ibnu Katsir,1419 H, Tafsir al Qur’anul Adzhim, Beirut: Daar al Kutub al ‘Ilmiyyah, 5/107