Pernikahan Dan Kesetaraan

 


Sigit Suhandoyo. Kajian para penafsir al-Qur’an menunjukkan bahwa, citra tentang kesetaraan suami dan istri dalam hubungan pernikahan bersifat intertekstual, bertaut dari satu teks kepada teks lain, selalu bertumbuh dan mengalami pambaruan, meningkatkan kompleksitas dan terutama sekali membangun makna, membangun rasa. 

Dalam praktiknya, menurut para penafsir al-Qur’an, pemaknaan ini tak serta merta dirumuskan oleh kemampuan manusia bernalar teoritis,  namun lebih dari itu, membutuhkan hukum moral yang secara intrinsik berada dalam hati manusia. Sesuatu yang tak henti-hentinya membuat takjub para penafsir al-Qur’an. 

Al-Qur’an menyampaikan sebuah informasi tentang kesetaraan hak suami dan istri secara umum dalam ayat 228 surat al Baqarah. 

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Dan bagi mereka (istri) ada hak yang seimbang dengan kewajiban yang ada atas mereka (suami) dengan cara yang ma'ruf. 

Sementara Penafsir al-Qur’an, menuliskan pandangan tentang lemahnya posisi wanita sebelum kedatangan Rasulullah saw. Maha Guru tafsir al-Thabari bahkan mengisahkan keterkejutan beberapa sahabat mulia tentang dukungan Rasulullah saw atas peran wanita dalam mengemukakan pendapat.

Pernikahan dalam Islam bukanlah akad perbudakan ataupun akad penyerahan kepemilikan, melainkan akad yang mengakibatkan timbulnya kesetaraan sesuai dengan maslahat umum bagi suami dan istri. Penggalan ayat tersebut diatas, segera saja memancing berbagai imajinasi aktif para Penafsir al-Qur’an, tentang visi ilahiyah dan sejarah kritis yang muncul dalam realitas. 

Kesetaraan dalam pekerjaan. Menurut Shihab, meski penggalan ayat ini menunjukkan adanya kewajiban utama suami terkait nafkah, dan kewajiban utama istri terkait rumah tangga, namun tidak menafikan keduanya untuk saling membantu, juga dengan cara yang ma’ruf. Pakar tafsir kelahiran Rappang Sulawesi Selatan ini memandang, keluarga sebagai bentuk kerjasama dan interdependensi untuk mencapai tujuan bersama. Lebih lanjut ia mengemukakan beberapa riwayat tentang Rasulullah saw, membantu pekerjaan para istrinya. Demikian pula sebaliknya. 

Meski dalam kondisi tertentu, istri juga diperbolehkan bekerja, menurut Wahbah Zuhaili suamilah yang diciptakan Allah dengan kesiapan untuk memikul beban, berjuang dan bekerja, dan ia diharuskan memberi nafkah kepada istri: membayar mahar dan mencukupi kebutuhan hidupnya.

Bagi suami, hal ini bukanlah bentuk ketidak adilan sosial, ini adalah proses penyucian hati untuk mengalahkan kepentingan diri sendiri, dan juga hasrat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Kesetaraan dalam Hubungan Seksual al-Bantani, penulis Tafsir Maroh Labid, mengemukakan bahwa  maksud kesetaraan dalam hubungan seksual, adalah bahwa kenikmatan hubungan seks merupakan hak suami dan istri. Al-Ghazali bahkan mendahulukan tujuan hubungan seksual suami istri sebagai sarana bersenang-senang atas tujuan melakukan regenerasi. 

Lebih lanjut hujjatul Islam ini menjelaskan tentang pentingnya suami melakukan pemanasan, sebelum berhubungan seksual. Beliau juga menganjurkan agar suami menahan orgasmenya, agar istripun mengalaminya. Bagi suami yang rendah gairah seksualnya, ia tak boleh mengabaikan istrinya, al-Ghazali menuliskan bahwa setidaknya 4 hari sekali ia harus mendatangi istrinya dan memenuhi kebutuhannya. Penafsir kelahiran Dayr Atiyah, Wahbah Zuhaili bahkan mengemukakan wajibnya suami untuk menempuh pendekatan medis jika mendapati kelemahan atas fungsi seksualnya.

Kesetaraan dalam Pergaulan Pendapat menarik dikemukakan oleh pemimpin para penafsir dari kalangan Sahabat, Ibnu Abbas ra. “Aku menghiasi diriku untuk istriku sebagaimana istriku menghiasi dirinya untukku. Dan aku tidak menyukai menuntut semua hakku kepadanya, sehingga mengakibatkan dia menuntut pula haknya kepadaku.  Aku lebih menyukai memperindah diriku  untuknya, dengan keindahan yang tiada cela.”  

Menguatkan pendapat Ibnu Abbas ra, pakar tafsir Musthafa al Maraghi, mengemukakan pendapatnya. Berhias bagi suami merupakan seni pribadi, suatu kekhasan yang tak bisa ditiru, hal itu tergantung keadaan mereka, mempertimbangkan keserasian, keselarasan dengan kesukaan istri. Penafsir kelahiran tepi barat sungai Nil ini lalu mengemukakan, berhias juga harus mempertimbangkan tempat, waktu dan situasi. Termasuk berhias, adalah menjaga perawakan tubuh adalah senantiasa ideal, imbuh Wahbah Zuhaili.

Begitulah dialektika cinta, para pecinta bisa saja berangkat dari keindahan-keindahan inderawi, namun pada akhirnya mereka mendapati bahwa prinsip dari segala keindahan adalah kesucian dan kelapangan hati. 

Sebagaimana dikemukakan oleh Maha Guru Tafsir, Ibnu Jarir al-Thabari tentang gambaran mental bagi suami. Memenuhi hak-hak istri tak bisa tidak, harus dimulai dengan kesabaran. Hal yang juga diamini oleh pakar tafsir Mutawalli al-Sya’rawi, dalam untaian nasihatnya kepada putranya, “Wahai anakku, gadis ini meninggalkan ayahnya, ibunya dan saudara-saudaranya, hanya untuk hidup bersamamu, Maka jadilah engkau sebagai pengganti mereka."

Ramai penafsir al-Qur’an menuliskan berbagai pandangan bagi suami untuk memenuhi hak istrinya, dan sedikit sebaliknya. Meski demikian, penulis I’jaz al-Qur’an wa al-Balaghah al-Nabawiyah, Musthafa Shadiq al-Rafi’i, mengemukakan pendapat yang tak kalah menariknya, “Wanitalah yang sebenarnya diciptakan untuk menjadi substansi kebajikan, kesabaran dan iman bagi pria, sehingga dia menjadi inspirasi, pelipur lara dan pemberi semangat dan kekuatan.” 

Spiritualitas, tentu saja adalah kecerdasan jiwa tertinggi, serta rahasia terdalam yang tak terpisah dari bingkai sosialnya. Sebagaimana terungkap dalam hubungan kesetaraan hak suami istri. Kajian Para penafsir menyiratkan bahwa, kesetaraan hak dalam hubungan suami istri, tumbuh dan berkembang karena rasa ingin saling memberi, bukan saling menuntut. 

Ibnul Qayyim al-Jauziyah, mengemukakan bahwa hubungan kesetaraan hak suami dan istri bukan hanya suatu hubungan yang bersifat legal dan formal, namun sebagaimana cinta, ia lebih bersifat esoteris. Pernikahan bukanlah bentuk penindasan seorang laki-laki atas perempuan. Ia adalah relasi idiologis, ketertarikan fisik inderawi, hingga intimasi dialogis.

Ilmuwan kelahiran kota kenangan ini menuliskan, “Memahami rasa cinta dari aura sang kekasih lebih menggetarkan dari perkataan yang ia ucapkan. Bahkan dari auralah kita memahami cinta. Maka bedakan, antara yang mengucapkan, “aku mencintaimu” hanya lisannya saja, dengan orang yang meski ia hanya terdiam, tapi aura dan keadaannya mengeluarkan cinta, seakan seluruh tubuhnya sedang memelukmu dengan hangat, lalu berbisik lembut: "aku lah kekasihmu". 

Hasbunallah wa ni’mal wakil

Pengertian Murabahah



Murabahah merupakan salah satu instrumen keuangan syariah yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Dalam Islam, transaksi ekonomi harus dilakukan dengan cara yang adil dan transparan, serta tidak boleh mengandung unsur riba dan penipuan. Murabahah dapat membantu memenuhi kebutuhan masyarakat akan pembiayaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.


Secara etimologis kata (مُرَابَحَةُ) murabahah, berakar dari kata (رَبِحَ) rabiha yang berarti mendapatkan keuntungan atas kegiatan perdagangan yang melelahkan.(1)  Dikatakan juga murabahah adalah “استشَفَّ”(2)  yang berarti menetapkan manfaat. Jika penjual mengatakan kepada pembali “بِعْتُ الْمَتَاعَ مُرَابَحَةً” saya menjual barang dengan murabahah, maka itu berarti penjual menentukan jumlah keuntungan untuk setiap harga.(3)  Al-Jurzaniy mengemukakan bahwa murabahah adalah “الْبَيْعُ بِزِيَادَةٍ عَلَى الثَّمَنِ الْأَوَّلِ”(4)  yaitu Penjualan dengan tambahan pada harga awal.


Dengan demikian, murabahah merujuk pada konsep mendapatkan keuntungan atau laba. Dalam konteks jual beli, murabahah diartikan sebagai penjualan dengan tambahan pada harga awal, di mana penjual menentukan jumlah keuntungan untuk setiap harga. Dengan demikian, murabahah dapat diartikan sebagai transaksi jual beli di mana penjual menjual barang dengan harga yang lebih tinggi dari harga awal pembelian, dengan menyebutkan harga awal dan besarnya keuntungan yang diinginkan. 


Secara terminologi, murabahah memiliki definisi yang berbeda-beda di kalangan fuqaha, namun memiliki makna dan tujuan yang sama. Murabahah adalah menjual barang yang dimiliki dengan harga awal ditambah keuntungan. Murabahah termasuk jenis jual beli amanah yang bergantung pada informasi tentang harga barang dan biaya yang dikeluarkan oleh penjual.


Abu al-Ma’ali al-Marghinani, salah seorang dari fuqaha Hanafiyah mengemukakan bahwa,

المرَابِحَةُ بِمِثْلِ الثَّمَنِ الْأَوَّلِ وَزِيَادَةٍ، جَائِزٌ؛ لِأَنَّ الْمَبِيعَ مَعْلُومٌ وَالثَّمَنَ مَعْلُومٌ، وَلِأَنَّ النَّاسَ تَعَامَلُوا ذَلِكَ كُلَّهُ مِنْ غَيْرِ نَكِيرٍ مَنْكَرٍ.(5) 

Murabahah adalah menjual dengan harga yang sama dengan harga pertama ditambah keuntungan. ini diperbolehkan. karena barang yang dijual dan harga yang dibayar keduanya jelas. Dan karena manusia telah melakukan semua transaksi ini tanpa ada yang mengingkarinya.


Menurut Ibnul Jazi, salah seorang fuqaha Malikiyah mengemukakan,

هِيَ أَنْ يُعَرِّفَ صَاحِبُ السِّلْعَةِ الْمُشْتَرِيَ بِكَمِ اشْتَرَاهَا، وَيَأْخُذَ مِنْهُ رِبْحًا إِمَّا عَلَى الْجُمْلَةِ، مِثْل أَنْ يَقُول: اشْتَرَيْتُهَا بِعَشَرَةٍ وَتُرْبِحُنِي دِينَارًا أَوْ دِينَارَيْنِ، وَإِمَّا عَلَى التَّفْصِيل وَهُوَ أَنْ يَقُول: تُرْبِحُنِي دِرْهَمًا لِكُل دِينَارٍ أَوْ نَحْوِهِ ، أَيْ إِمَّا بِمِقْدَارٍ مُقَطَّعٍ مُحَدَّدٍ، وَإِمَّا بِنِسْبَةٍ عَشْرِيَّةٍ.(6) 

Bentuk murabahah adalah penjual memberitahu pembeli tentang harga pembelian barang dan meminta keuntungan, baik secara umum maupun rinci. Contohnya, penjual mengatakan, "Saya membeli barang ini seharga 10 dan ingin mendapatkan keuntungan 1 atau 2 dinar." Atau, "Saya ingin mendapatkan keuntungan 1 dirham untuk setiap dinar." Keuntungan dapat ditentukan secara pasti atau berdasarkan persentase tertentu.


Dalam bukunya, al-Muhadzab, al-Syairazi menuliskan definisi murabahah sebagai berikut, 

وَيَجُوزُ أَنْ يَبِيعَهَا مُرَابَحَةً وَهُوَ أَنْ يُبَيِّنَ رَأْسَ الْمَالِ وَقَدْرَ الرِّبْحِ بِأَنْ يَقُولَ ثَمَنُهَا مِائَةٌ وَقَدْ بِعْتُكَهَا بِرَأْسِ مَالِهَا وَرِبْحِ دِرْهَمٍ فِي كُلِّ عَشَرَةٍ.(7) 

Diperbolehkan menjual dengan sistem murabahah, yaitu dengan menjelaskan modal dan jumlah keuntungan, seperti dengan mengatakan: Harga belinya adalah 100, dan aku jual kepadamu dengan modal dan keuntungan 1 dirham untuk setiap 10.


Ibnu Qudamah, salah seorang fuqaha Hanabilah mengemukakan definisi yang berdekatan,

الْبَيْعُ بِرَأْسِ الْمَالِ وَرِبْحٍ مَعْلُومٍ، وَيُشْتَرَطُ عِلْمُهُمَا بِرَأْسِ الْمَالِ.(8) 

Jual beli dengan modal dan keuntungan yang diketahui, dan disyaratkan bahwa keduanya (modal dan keuntungan) harus diketahui.


Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa murabahah adalah jenis jual beli amanah di mana penjual menjual barang dengan harga awal ditambah keuntungan yang diketahui dan disepakati oleh kedua belah pihak. Dalam murabahah, penjual harus menjelaskan harga pembelian barang (modal) dan jumlah keuntungan yang diinginkan, sehingga pembeli mengetahui harga sebenarnya dan keuntungan yang dibebankan. Murabahah diperbolehkan dalam syariat Islam karena barang yang dijual dan harga yang dibayar keduanya jelas, dan manusia telah melakukan transaksi ini tanpa ada yang mengingkarinya. Keuntungan dalam murabahah dapat ditentukan secara pasti atau berdasarkan persentase tertentu. Definisi secara kebahasaan memiliki keselarasan terminologinya.


Catatan Kaki

  1. Abu al-‘Abbas al Fayumi, al Misbah al-Munir fi Gharib al-Syarh al-Kabir, (Beirut: al-maktabah al-‘ilmiyah, tth), Vol 1, hlm 215.
  2. Abu Nashr al-Jauhari, al-Shahah Taj al-Lughah wa al-Shahah al-Arabiyah, (Beirut: Dar al-Ilmu li al-Malayin, cetakan keempat, 1987), Vol 1, hlm 363.
  3. Abu al-‘Abbas al-Fayumi, op.cit, Vol 1, hlm 215.
  4. Al-Syarif al-Jurzani, Kitab al-Ta’rifat, (Beirut: dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cetakan pertama, 1983), Vol 1, hlm 210.
  5. Abu al-Ma’ali Burhan al-Din al-Marghinani al-Hanafi, al-Muhith al-Burhani fi al-Fiqh al-Nu’mani, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2004), vol 7, hlm 3.
  6. Abu al-Qasim Muhammad Ibnu al-Jazi, Al-Qawanin al-Fiqhiyah, (Beirut: Dar al-Fikr, 2006), 263. 
  7. Abu Ishaq Ibrahim al-Syairazi, al-Muhadzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi’i, (Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyah, tth), vol 2, hlm 57.
  8. Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali, al-Mughni, (Cairo: Maktabah al-Qahirah, tth), vol 4, hlm 136. 

Pengertian Khiyar



Khiyar memberikan kesempatan kepada pembeli dan penjual untuk mempertimbangkan kembali keputusan mereka sebelum transaksi jual beli disepakati. Dengan adanya khiyar, pihak-pihak yang terlibat dapat memeriksa barang atau jasa yang diperjual-belikan secara lebih teliti, sehingga mengurangi risiko penipuan atau kecurangan. Khiyar memungkinkan pembeli untuk memeriksa kualitas barang sebelum memutuskan untuk membelinya secara definitif. Khiyar mencerminkan prinsip kerelaan dalam transaksi, di mana kedua belah pihak memiliki kesempatan untuk mempertimbangkan dan menyetujui transaksi tanpa tekanan atau paksaan. Dan dengan adanya khiyar, pembeli dan penjual dapat mengurangi risiko kerugian yang mungkin timbul dari transaksi yang tidak diinginkan atau tidak sesuai dengan harapan.


Dalam bahasa Arab, kata (الْخِيَارُ) al-khiyār berarti (خِلَافُ الْأَشْرَارِ)(1)  yaitu kebalikan dari keburukan. merupakan bentuk mashdar dari kata (الاِخْتِيَارِ) al-ikhtiyār, yang berarti (طَلَبُ خَيْرِ الأَمْرَيْنِ)(2)  yaitu menuntut yang baik dari dua perkara. Ketika seseorang mengatakan (أَنْتَ بِالْخِيَارِ) artinya adalah pilihlah apa yang kamu inginkan.(3)  Dengan demikian kata "al-khiyār" dalam bahasa Arab memiliki dua makna yang terkait, yaitu: Kebalikan dari keburukan dan pilihan atau seleksi. Kedua makna ini terkait dengan konsep "al-ikhtiyār" yang berarti memilih. Ketika seseorang diberikan pilihan, maka mereka memiliki kesempatan untuk memilih apa yang baik atau yang diinginkan. Jadi, kata "al-khiyār" dapat diartikan sebagai pilihan atau kesempatan untuk memilih yang baik.


Para ulama fiqih memberikan definisi yang berdekatan satu sama lain. ‘Ala al-Din al-Samarqandi, fuqaha Hanafiyah mengemukakan bahwa khiyar dalam jual beli adalah, 

التَّخْيِيرُ بَيْنَ الْفَسْخِ وَالْإِجَازَةِ فَأَيُّهُمَا وُجِدَ سَقَطَ.(4) 

Yaitu, memilih antara membatalkan dan megesahkan transaksi, maka mana saja yang dipilih, yang lain gugur.


Menurut ulama Malikiyah, yang dimaksud khiyar dalam jual beli adalah,

هُوَ الْبَيْعُ الَّذِي جُعِلَ فِيهِ الْخِيَارُ لِأَحَدِ الْمُتَبَايِعَيْنِ فِي الْأَخْذِ وَالرَّدِّ.(5) 

yaitu jual beli yang di dalamnya terdapat hak memilih bagi salah satu dari kedua pihak yang melakukan transaksi, baik untuk menerima atau menolak transaksi tersebut. 


Al-Khatib al-Syarbini, salah seorang fuqaha syafi’iyyah mengemukakan pendapat yang serupa, khiyar adalah,

طَلَبُ خَيْرِ الْأَمْرَيْنِ مِنْ إمْضَاءِ الْعَقْدِ أَوْ فَسْخِهِ.(6) 

Yaitu, permintaan untuk memilih yang terbaik dari dua opsi, yaitu melanjutkan akad atau membatalkannya.


Ulama hanabilah, Ibnu Utsaimin mengemukakan bahwa khiyar adalah, 

الْأَخْذُ بِخَيْرِ الْأَمْرَيْنِ مِنْ الْإِمْضَاءِ أَوْ الْفَسْخِ، سَوَاءٌ كَانَ لِلْبَائِعِ أَوْ لِلْمُشْتَرِي(7). 

Yaitu, memilih yang terbaik dari dua opsi, yaitu melanjutkan atau membatalkan, baik itu bagi penjual maupun pembeli.


Berdasarkan berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, khiyar merupakan hak memilih yang dimiliki oleh salah satu atau kedua belah pihak dalam transaksi jual beli untuk memutuskan apakah akan melanjutkan atau membatalkan akad. Definisi ini memiliki kesamaan makna meskipun dengan redaksi yang berbeda-beda di antara mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Pada intinya, khiyar memberikan fleksibilitas kepada pihak-pihak yang bertransaksi untuk mempertimbangkan kembali keputusan mereka sebelum mengikatkan diri pada akad jual beli. Definisi secara bahasa dan istilah menunjukkan keselarasan. 


Catatan Kaki

  1. Zain al-Din al-Razi, Mukhtar al-Shohah, (Beirut: Maktabah al-Ashriyah, cetakan ke 5, 1999), Vol 1, hlm 99.
  2. Abu al-Faydh Murtadha al-Zabidy, Taj al-Arus min Jawahir al-Qamus, (Beirut: Dar al Hidayah tth), Vol 11, hlm 243.
  3. Abu Thahir Muhammad bin Ya’qub al-Fairuz Abadi, al-Qamus al-Muhith, (Beirut: Muassasatu al-risalah, cetakan ke 3, 2005), vol 1, hlm 389. 
  4. Abu Bakar Ala al-Din al-Samarqandi, Tuhfatu al-Fuqaha, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, cetakan ke 2, 1994), vol 2, hlm 67.
  5. Sa’di Abu Habib, al-Qamus al-Fiqhi Lughatan wa Istilahan, (Suriah: Dar al-Fikr, cetakan ke 2, 1988), Vol 1, hlm 125.
  6. Al-Khatib al-Syarbini al-Syafi’i, Mughni al-Muhtaj, (Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyah, cetakan pertama 1994),Vol 2, hlm 402.
  7. Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syarh al-Mumti’, (Riyadh: Dar Ibn al-Jauzi, cetakan pertama, 1421 H), Vol 8, hlm 261

Dakwah Tabligh



Dakwah tabligh melalui perkataan memiliki peran yang penting dalam upaya-upaya menyeru manusia kepada Allah ta’ala. Da’wah melalui perkataan dapat dilakukan melalui tulisan dan seruan lisan. Allah mensifati da’wah melalui perkataan sebagai sebaik-baik perkataan sebagaimana firman-Nya dalam surat al Fushilat ayat 33,

ومن أحسن قولا ممن دعا إلى الله وعمل صالحا وقال إنني من المسلمين

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shaleh dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?"

Ayat ini menegaskan bahwa seruan da’wah kepada Allah melalui perkataan merupakan tuntutan dalam Islam, petunjuk kepada kebaikan, keselamatan dan kesejahteraan. Az Zuhaili berkata, da’wah melalui perkataan adalah “منهاج أهل الحق، المحبين للإنسانية، السالكين ، فإن أهل الإيمان يصلحون أنفسهم أولا، ثم يحاولون إصلاح غيرهم”(1)  metode para pengikut kebenaran, para pecinta nilai-nilai kemanusiaan, para pencari jalan kepada Allah, karena sesungguhnya Ahlul Iman memperbaiki dirinya kemudian memperbaiki sesamanya.

Meski demikian tidaklah cukup seorang da’i menguasai ilmu syari’at semata, melainkan ia harus menguasai metode agar seruannya kepada Allah tersebut diterima oleh objek da’wahnya. Da’i yang bijaksana adalah mereka yang mempelajari situasi dan kondisi objek da’wahnya, serta memperhatikan kadar pemikiran nya, Ali bin Abu Thalib ra, pernah berkata,

حَدِّثُوا النَّاسَ، بِمَا يَعْرِفُونَ أَتُحِبُّونَ أَنْ يُكَذَّبَ، اللَّهُ وَرَسُولُهُ(2) 

“Ajaklah manusia berbicara sesuai dengan pengetahuan yang mereka miliki, atau kamu menuyukai mereka mendustakan Allah dan rasul-Nya.”

Abdullah bin Mas’ud ra, juga pernah berkata,

مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا لَا تَبْلُغُهُ عُقُولُهُمْ، إِلَّا كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً(3) 

“Jika ada diantara kamu ada yang berbicara dengan segolongan manusia yang akalnya tidak mampu menerima apa yang kamu bicarakan, pada masanya kelak akan menjadi fitnah bagi sebagian mereka ”


URGENSI DA’WAH TABLIGH

Menurut Taufiq al Wa’iy perkataan yang terucap, tertulis atau disenandungkan merupakan sarana terbesar dalam tabligh pada masa ini dan yang akan datang. Perkataan merupakan sarana pencerahan, pendidikan, arahan dan evaluasi yang menyeluruh. Jika dipergunakan dengan baik ia lebih kuat dari ekspedisi pasukan. Perang pemikiran dan peradaban pada hari ini lebih efektif dari perang bersenjata.

Demikian pentingnya memberikan penjelasan perkara-perkara agama kepada manusia hingga Allah melaknat mereka yang menyembunyikan kebenaran bagi dirinya sendiri. Allah ta’ala berfirman dalam surat al Baqarah 159,

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati ”

Demikian pula sebuah riwayat dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda,

مَنْ سُئِل عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ، أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ  (4)

Siapa yang ditanya tentang suatu ilmu, lalu dia menyembunyikannya, maka pada hari kiamat ia akan dikekang dengan kekangan yang terbuat dari api neraka. 

Da’wah tabligh melalui perkataan juga memiliki beberapa nilai penting yaitu memungkinkan tersebarnya pemahaman Islam yang universal, komprehensif menjangkau seluruh sisi kehidupan manusia serta, realistis dapat dipertanggung-jawabkan dalam hal praktek dan aplikasinya dalam kehidupan. 


KAIDAH – KAIDAH DA’WAH TABLIGH


1. Argumentasi yang berpengaruh

Tidak diragukan lagi bahwa dalam diri manusia terdapat sensitivitas tertentu yang dapat memengaruhi watak dan menumbuhkan nilai rasa tertentu serta menguatkan logika dalam diri mereka. Ada beberapa teknik mempengaruhi objek da’wah melalui argumentasi yaitu,

Pertama, mempengaruhi jiwa manusia melalui perasaan alamiah yang ada dalam diri mereka seperti gembira, sedih, marah, benci, rindu dsb. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah ra. Bahwasanya Rasulullah saw melewati pasar, sedangkan para sahabat ada disekitarnya. Kemudian beliau mendapati bangkai anak kambing kecil yang bertelinga bunting. Beliau memegang telinganya dan berkata

«أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هَذَا لَهُ بِدِرْهَمٍ؟» فَقَالُوا: مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَيْءٍ، وَمَا نَصْنَعُ بِهِ؟ قَالَ: «أَتُحِبُّونَ أَنَّهُ لَكُمْ؟» قَالُوا: وَاللهِ لَوْ كَانَ حَيًّا، كَانَ عَيْبًا فِيهِ، لِأَنَّهُ أَسَكُّ، فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ؟ فَقَالَ: «فَوَاللهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ، مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ»(5)  

“Siapakah diantara kalian yang mau membeli anak kambing ini dengan harga satu dirham?” para sahabat menjawab, “sedikitpun kami tidak menyukainya. Apa yang bisa kami lakukan padanya?, Nabi bersabda, “Siapa yang suka aku berikan anak kambing ini kepadanya?, Mereka menjawab, Demi Allah, kalau ia hidup, ia cacat karena telinganya buntung, apalagi ia telah mati. Rasulullah saw bersabda, “Demi Allah dunia itu lebih rendah nilainya disisi Allah dibandingkan anak kambing ini bagi kalian ”

Kedua, mempengaruhi manusia melalui akal, menggugah akal, mengajaknya untuk berfikir atau mengarahkannya kepada sebuah kesimpulan tertentu. Sebagaimana yang dicontohkan dalam firman Allah ta’ala pada surat al an Naml ayat 62

أمن يجيب المضطر إذا دعاه ويكشف السوء ويجعلكم خلفاء الأرض أإله مع الله قليلا ما تذكرون

“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya).”

Demikianlah tidak ada satupun rasul yang Allah utus melainkan memiliki kemampuan berargumentasi kepada manusia untuk mempengaruhi objek da’wahnya. Mengingat pentingnya permasalahan ini hendaknya pada da’i di masa sekarang tidak terlepas sendiri dengan kemampuan dan ilmu yang terbatas. Harus ada pusat kajian, penelitian dan perencanaan strategis yang memberikan kelengkapan bagi keberhasilan da’wah mereka.


2. Memberikan motivasi dalam kebaikan.

Pada dasarnya manusia mencintai perbuatan baik dan sebaliknya membenci kejahatan dan kerusakan pada jiwa, keluarga maupun masyarakat secara umum. Adanya unsure cinta pada kebaikan merupakan sebuah pintu masuk yang Allah berikan kepada para da’i untuk mengajak manusia ke jalan kebaikan dan menentang semua bentuk kejahatan.

Menurut said al Qathani, “metode ini dimaksudkan untuk mengajak manusia agar mentaati Allah sehingga mereka memperoleh keberuntungan di dunia dan akhirat”(6) . pemberian motivasi ini dapat kita bagi dalam dua bagian, yaitu

Pertama, pemberian motivasi dengan janji, misalnya janji tentang kemenangan dan kebahagiaan di dunia bagi orang-orang yang beriman, seperti dalam firman Allah ta’ala pada surat an Nahl ayat 97,

من عمل صالحا من ذكر أو أنثى وهو مؤمن فلنحيينه حياة طيبة ولنجزينهم أجرهم بأحسن ما كانوا يعملون

“Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”

Kedua, memberikan motivasi dengan menyebutkan berbagai macam bentuk ketaatan kepada Allah. Motivasi ini dimaksudkan untuk mengajak objek da’wah agar berlomba-lomba dalam mengerjakan amal sholeh. Pemberian motivasi semacam ini juga banyak terdapat dalam al Qur’an maupun hadits. Misalnya dalam hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Amr ra berkata, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

أَرْبَعٌ إِذَا كُنَّ فِيكَ فَلَا عَلَيْكَ مَا فَاتَكَ مِنَ الدُّنْيَا: حِفْظُ أَمَانَةٍ، وَصِدْقُ حَدِيثٍ، وَحُسْنُ خَلِيقَةٍ، وَعِفَّةٌ فِي طُعْمَةٍ(7) 

“Empat hal yang jika kamu berpegang kepadanya, maka tidaklah mengapa jika engkau kehilangan yang lainnya di dunia, yaitu : menjaga amanah, berbicara benar, berakhlaq baik, menjaga diri dalam hal makanan.”


3. Da’wah dengan nasihat yang baik dan penuh hikmah

Nasihat adalah mengatakan sesuatu yang benar dengan cara yang dapat melunakkan hati dalam menerimanya. Nasihat adalah pengajaran yang berkesan dan mengikat jiwa dengan keimanan dan petunjuk.

Nasihat ini berisi pengajaran yang menerangkan masalah-masalah yang berkenaan dengan permasalahan kehidupan secara tematik, misalnya berkaitan dengan aqidah, akhlaq, halal dan haram, dan yang lainnya. Misalnya seorang da’i mengajarkan kepada objek da’wahnya tentang permasalahan haid dalam firman Allah ta’ala pada surat al Baqarah ayat 222,

ويسألونك عن المحيض قل هو أذى فاعتزلوا النساء في المحيض ولا تقربوهن حتى يطهرن فإذا تطهرن فأتوهن من حيث أمركم الله إن الله يحب التوابين ويحب المتطهرين

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”

Para ulama tafsir berbeda pendapat tentang makna hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid. Al Mawardiy mengemukakan, “pertama “اعتزل جميع بدنها أن يباشره بشيء من بدنه” menjauhi seluruh tubuhnya secara mutlak, pendapat ini dikemukakan oleh ‘Ubaidah as Salmany. Kedua “ما بين السرة والركبة” menjauhi antara pusar dan lutut, pendapat ini dikemukakan oleh Syuraih. dan ketiga, “الَفرِج” menjauhi farj, pendapat ini dikemukakan oleh A’isyah, Maimunah dan Hafshah serta jumhur mufassirin.”(8) 

Penjelasan ini merupakan contoh memberikan nasihat tentang pengajaran keilmuan fiqh yang bersifat praktis dan mudah diterapkan. Demikian pula diantara bentuk nasihat yang baik dan penuh hikmah adalah menjauhkan objek da’wah dari pertentangan furu’iyyah dan mengikat mereka dalam persaudaraan dan cinta kasih. Menghilangkan khilaf tercela sehingga berubah menjadi ikhtilaf yang terpuji. Misalnya dalam permasalahan furu’iyyah seperti minum sambil berdiri, dll.


4. Mempertimbangkan situasi dan kondisi lingkungan da’wah.

Mempelajari lingkungan masyarakat sasaran da’wah adalah hal penting yang harus dilakukan oleh seorang da’i. Artinya secara ideal, seorang da’i harus mengetahui secara detail tentang kondisi lingkungan masyarakat penerima da’wahnya, baik ideologi, psikologi, sosiologi, ekonomi, bahasa, kebudayaan hingga letak geografisnya. Pengetahuan ini akan membantu da’i dalam menyusun materi da’wahnya terkait hal-hal prioritas yang harus disampaikan dan yang dapat ditunda, serta teknik pendekatan yang akan digunakannya. 

Ibnu Zubair ra pernah bersabda bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda,

يَا عَائِشَةُ لَوْلاَ قَوْمُكِ حَدِيثٌ عَهْدُهُمْ - قَالَ ابْنُ الزُّبَيْرِ - بِكُفْرٍ، لَنَقَضْتُ الكَعْبَةَ فَجَعَلْتُ لَهَا بَابَيْنِ: بَابٌ يَدْخُلُ النَّاسُ وَبَابٌ يَخْرُجُون

“Ya Aisyah, seandainya kaummu bukan orang-orang yang baru saja meninggalkan kekafiran, pasti aku akan membongkar Ka’bah dan menjadikannya dua pintu, satu untuk masuk dan satu lagi untuk keluar.”

Hadits ini mengajarkan kepada para da’i tentang perilaku Rasulullah saw menghindari kemungkinan-kemungkinan terjadinya penentangan yang tidak perlu karena diakibatkan aktifitas da’wah yang tidak termasuk dalam prioritas.


5. Penampilan yang menarik

Agama Islam menganjurkan kepada para pemeluknya untuk senantiasa berwajah yang ceria dan menjaga penampilan fisik. Sebagai seorang yang menyeru manusia kepada keimanan maka wajib bagi da’i untuk senantiasa mengamalkan hal-hal tersebut. Dari Abu Dzar al Ghifari ra,

تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ(9) 

“Senyummu dihadapan wajah saudaramu adalah shodaqoh”

Dari Jabir bin Abdullah ra, Suatu hari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam datang menemui kami. Tiba-tiba beliau menyaksikan seorang lelaki yang berbaju kusut dan rambutnya tidak rapi. Kemudian beliau bersabda

أَمَا كَانَ يَجِدُ هَذَا مَا يُسَكِّنُ بِهِ شَعْرَهُ، وَرَأَى رَجُلًا آخَرَ وَعَلْيِهِ ثِيَابٌ وَسِخَةٌ، فَقَالَ أَمَا كَانَ هَذَا يَجِدُ مَاءً يَغْسِلُ بِهِ ثَوْبَهُ (10),

“Apakah lelaki itu tidak memiliki sesuatu yang dapat menjadikan rambutnya rapi? kemudian beliau melihat lelaki lain yang berbaju kotor. lalu, Beliau bersabda: Apakah lelaki itu tidak memiliki sesuatu yang dapat ia gunakan untuk mencuci bajunya?” 


6. Metode yang beragam dan sesuai

Menurut al Qathah Metode da’wah ialah “العلم الذي يتصل بكيفية مباشرة التبليغ، وإزالة العوائق عنه”(11)  ilmu yang mempelajari bagaimana cara berkomunikasi secara langsung kepada objek da’wah dan mengatasi kendala-kendalanya.

Ada beberapa macam metode tabligh melalui perkataan, diantaranya khutbah, pengajaran, ceramah, diskusi, da’wah fardiyyah, fatwa, artikel, surat atau buku. Masing-masing metode ini memiliki tempat, waktu dan seni masing-masing dalam keberhasilannya. Sebagai contoh metode Rasulullah saw dalam khutbah, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra, ia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَخَوَّلُنَا بِالْمَوْعِظَةِ فِي الأَيَّامِ، كَرَاهَةَ السَّآمَةِ عَلَيْنَا(12) 

“Bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam selalu memperhatikan bagi kami untuk memberikan nasihat, karena beliau takut akan merasa bosan” 

Hadits tersebut memberikan pelajaran bagi para da’i agar memperhatikan aspek waktu dalam memberikan nasihat. Al khattabi berkata demikianlah maksud dari hadits ini “كَانَ يُرَاعِي الْأَوْقَاتَ فِي تَذْكِيرِنَا وَلَا يَفْعَلُ ذَلِكَ كُلَّ يَوْمٍ لِئَلَّا نَمَلَّ” (13)  bahwa Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa memperhatikan waktu dalam memberikan nasihat, Beliau tidak memberikan nasihat setiap hari agar kami tidak merasa bosan. Abu Ubaid al Harawi menceritakan dalam al gharibiin dari Abu Amru asy Syaibani bahwa yang benar adalah yatahawaluna dengan (ح) sehingga bermakna “يتطلب أحوالنا التي ننشط فيها للموعظة” memperhatikan kondisi kami ketika memberikan nasihat. Namun menurut al arnauth pendapat pertama lebih kuat.(14)  meskipun demikian memperhatikan kondisi pendengar ketika hendak menyampaikan sebuah nasihat juga harus diperhatikan.

Termasuk dalam pengertian ini adalah memilih waktu yang yang telah disepakati, makna ini disampaikan oleh al ‘Ainiy “أَن النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم كَانَ يعظ الصَّحَابَة فِي أَوْقَات مَعْلُومَة” (15)   bahwasanya Nabi saw memberikan nasihat bagi para sahabatnya pada waktu yang telah umum disepakati.

Memperhatikan aspek waktu juga berarti singkat, padat dan mudah dalam memberikan nasihat. Dari Jabir bin Samurah ra, ia berkata

كُنْتُ أُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَوَاتِ فَكَانَتْ صَلَاتُهُ قَصْدًا، وَخُطْبَتُهُ قَصْدًا(16) 

“aku shalat di belakang nabi saw, ternyata shalat dan khutbah beliau itu sedang-sedang saja.”

Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan matan yang berbeda, dari Jabir bin Samurah ra, ia berkata 

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُطِيلُ الْمَوْعِظَةَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، إِنَّمَا هُنَّ كَلِمَاتٌ يَسِيرَاتٌ(17) 

“Rasulullah saw tidak lama dalam memberi pelajaran pada hari jum’at namun hanya kalimat-kalimat yang ringan / mudah.”

Dari Amr bin al Ash ra ia berkata, Rasulullah saw bersabda, 

لَقَدْ رَأَيْتُ، أَوْ أُمِرْتُ، أَنْ أَتَجَوَّزَ فِي الْقَوْلِ، فَإِنَّ الْجَوَازَ هُوَ خَيْرٌ(18)  

“sungguh aku lihat atau diperintah untuk singkat dalam berbicara, karena singkat dalam berbicara adalah yang terbaik.”


7. Kepribadian yang integral

Manusia selain membutuhkan para da’i yang ikhlas, giat dan dinamis juga membutuhkan para da’i yang dapat menjadi contoh atas perkataan yang mereka serukan. Karena da’i adalah seorang pendidik dan pembangun generasi, maka upaya-upaya tersebut jelas tidak akan mungkin berhasil jika da’i tidak memiliki kepribadian Islam yang integral.

Perbuatan da’i sesuai dengan jalan lurus yang digariskan. Gaya hidupnya merupakan aktualisasi perkataannya, yang terlihat darinya adalah cerminan hatinya. Jika ia mengajak kepada sesuatu ia berkomitmen dengan hal itu. Jika ia melarang sesuatu ia pula yang pertama meninggalkan hal tersebut.

Keberhasilan da’wah Rasulullah saw  membangun generasi yang berperadaban  menurut Jum’ah Amin adalah dikarenakan metode da’wahnya dibangun atas, “tarbiyyah dan keteladanan.” Sehingga para penerima da’wah dapat melihat, mendengar dan merasakan nilai-nilai da’wah itu secara utuh dari pribadi da’i.


KESIMPULAN

Sebagai sebuah aktifitas yang bersentuhan dengan manusia dan kemanusiaan, dakwah seringkali menyajikan permasalahan yang kompleks kepada para  da’i. Karenanya dibutuhkan pemahaman, metode dan teknik dalam menyampaikan Islam kepada objek da’wah. Dangkalnya pemahaman seorang da’i terkadang mengakibatkan penolakan terhadap da’wah bukan dikarenakan nilai-nilai yang diserukannya melainkan kesalahan sang da’i tersebut.

Sekelumit pembahasan tentang tabligh melalui perkataan memberikan beberapa kaidah-kaidah dasar bagi para da’i untuk dikembangkan dan dimatangkan melalui pengalaman da’wah secara langsung.

Hasbunallah wa Ni’mal Wakiil


Catatan Kaki

  1. Wahbah bin Musthofa az Zuhaili, 1422 H, at Tafsiir al Wasith, Damaskus : Daar al Fikr, 3/2306.
  2. Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al Bukhari al Ju’fi, 1422H, Shahih al Bukhari, Beirut: Daar Thuuqa an Najah, 1/37, hadits no 127.
  3. Muslim bin al Hajjaj Abu al hasan al Qusyairy an Naisabury, tt, Shahih Muslim, Beirut: Daar ihyau At Turats al Araby, 1/11.
  4. Abu Dawud Sulaiman bin al Asy’ats as Sijistaaniy, tt, Sunan Abi Dawud, Beirut: al Maktabah al Ashriyah, 3/321 hadits no 3658. 
  5. Muslim bin Hajjaj, op.cit, 4/2272 hadtis no 2957.
  6. Sa’id bin Ali bin Wahf al Qathani, 1423 H, al Hikmatu fi Da’wati Ila Allah ta’ala, Saudi Arabia: Kementrian Agama Urusan Wakaf, Da’wah dan Penerangan, 2/482.
  7. Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad asy Syaibaniy, 1421 H, Musnad al Imam Ahmad bin Hanbal, Beirut : Muassasah ar Risalah, 11/ 233 hadits no 6652.
  8. Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Habib al Bashary al Baghdady al Mawardiy, tt, an Nukat wal ‘Uyun, Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyyah, 1/283.
  9. Muhammad bin Isa at Tirmidzi, 1395 H, Sunan at Tirmidzi. Mesir : Syirkatu Maktabatu wa Mathba’atu Musthofa al Baaby al Halby, 4/399. 
  10. Abu Dawud, op.cit, tt, 4/51.
  11. Al Qathani, op.cit, 1/125.
  12. Al Bukhari, op.cit, 1/25 hadits no 68.
  13. Sebagaimana di kutip Ibnu Hajar al Asqalaani, 1379 H, Fath al Baari, Beirut : Daar al Ma’rifah, Juz 1, hlm 162.
  14. lihat penjelasan pada Musnad Imam Ahmad yang ditahqiq oleh Syu’aib al Arnauth. Ahmad bin Hanbal, op.cit, 6/59.
  15. Badruddin al ‘Ainiy : ‘Umdatu al Qaari Syarh Shahih al Bukhari, Beirut : Daar Ihya at Turats al ‘Arabiy, tt, 2/44. 
  16. Muslim, op.cit, 2/591.
  17. Abu Dawud, op.cit, 1/289. 
  18. Ibid, Juz 4/302.