Sigit Suhandoyo. Pembahasan tentang al-nāsikh atau yang menghapus dan al-mansūkh atau yang dihapus merupakan hal yang penting, karena hal tersebut merupakan salah satu rukun dalam ijtihad.(1) Sebagaimana difahami bahwa ayat-ayat yang turun lebih akhir memungkinkan terjadinya penghapusan hukum syari’at yang ditunjukkan oleh ayat-ayat yang turun lebih awal. Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al-Baqarah ayat 106,
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”
Nilai penting memahami al-nāsikh dan al-mansūkh ini disampaikan oleh Abū ‘Ubaid al-Qāsim ibn Salām,(2) tentang sebuah riwayat dari Abū ‘Abd al-Raḫman al-Sulamī. Bahwasanya ‘Ali ra, bertanya kepada seorang hakim, “هَلْ عَلِمْتَ النَّاسِخَ وَالْمَنْسُوخَ؟ قَالَ: لَا قَالَ: «هَلَكْتَ وَأَهْلَكْتَ»”(3) apakah engkau mengetahui al-nāsikh dan al-mansūkh? hakim itu menjawab, tidak. Ali berkata, kamu celaka dan mencelakakan.
Demikian pula dituturkan oleh Yahya bin Aktsam al-Tamīmī (w.242 H) bahwa urgensi ilmu al-nāsikh dan al-mansūkh sebagai berikut,
“ليس من العلوم كلّها علم هو أوجب على العلماء وعلى المتعلمين، وعلى كافة المسلمين من علم ناسخ القرآن ومنسوخه.(4)
Tidaklah ada suatu ilmu yang wajib difahami oleh para ‘ulama, para pembelajar dan ummat Islam secara umum sebagaimana ilmu al-nāsikh dan al-mansūkh dalam al-Qur’ān.
Naskah ini membahas definisi al-naskh, perbedaannya dengan al-Insa’, dalil-dalil kebolehannya, macamnya, jenis nasakh dalam al-Qur’an dan Nasakh yang disertai dengan pengganti maupun tidak.
PEMBAHASAN
A. DEFINISI AL-NĀSIKH
Menurut Qatādah(5) , secara bahasa kata al-nāsikh memiliki tiga definisi yaitu; pertama, kata ini berarti memindahkan, sebagaimana teks “نسخت الكتاب” yaitu memindahkan isi sebuah buku pada buku lain. Kedua, kata ini juga berarti menggantikan, sebagaimana teks“نسخت الشمس الظل” yaitu sinar matahari menggantikan kegelapan malam. Dan Ketiga, kata ini berarti menghapus, sebagaimana teks, “نسخت الريح الاثار” yaitu hembusan angin yang menghapus jejak-jejak perjalanan.(6) Kata al-naskh juga bisa berarti memperbaiki sesuatu .(7)
Adapun pengertian al-nāsikh secara istilah adalah, “رَفَعَ الْحُكْمَ الَّذِي ثَبَتَ تَكْلِيفُهُ لِلْعِبَادِ إِمَّا بِإِسْقَاطِهِ إِلَى غَيْرِ بَدَلٍ أَوْ إِلَى بَدَلٍ”(8) menghilangkan hukum yang telah ditetapkan pembebanannya kepada manusia, baik pembatalannya tanpa pengganti maupun dengan pengganti. Penghapusan hukum itu dimungkinkan dengan adanya dalil syari’at yang menyatakan penghapusannya. Sebagaimana dikemukakan oleh Qatādah, “رفع الحكم الشرعى بدليل شرعى متأخر”(9) bahwa al-nāsikh adalah penghapusan hukum syari’at dengan dalil syari’at yang lebih akhir diturunkan. Dengan demikian al-nāsikh adalah hukum syari’at yang akhir diturunkan yang menghapuskan, dan al-mansūkh adalah hukum syari’at awal yang dihapus.
Para ulama memberikan pembatasan atas definisi al-nāsikh tersebut. Pertama, konteks al-mansūkh merupakan konteks hukum yang dibebankan kepada hamba. Dengan demikian tidak termasuk didalamnya adalah ayat-ayat tentang akhlak, janji-janji Allah maupun ancaman-Nya. Sebagaimana firman Allah ta’ala tentang akhlaq asasiyah berikut dalam surat al-A’rāf ayat 199,
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.”
Kedua, hukum tersebut merupakan hukum syari’at. Dengan demikian tidak termasuk dalam pengertian nasakh menghapuskan “البراءة الأصلية” yaitu kebebasan atau kebolehan yang bersifat asal, karena hal itu bukan hukum syar’i. Sebagaimana kewajiban sholat tidak menasakh sholat sebelum diwajibkannya sholat. Demikian pula tidak termasuk didalamnya hukum atas hasil pemikiran manusia seperti ijtihad atau fatwa.
Ketiga, tidak termasuk nasakh, penghapusan hukum yang disebabkan oleh kematian maupun gila, karena syari’at ditujukan kepada manusia yang masih hidup dan berakal sehat.
Keempat, Dalil penghapusan hukum tersebut adalah dalil syar’i yang diturunkan lebih akhir dari dalil syar’i yang hukumnya dimansūkh. Sehingga penetapannya tidak terkait dengan urutan surat atau ayat dalam mushaf al-Qur’ān. Sebagai contoh kewajiban sholat al-lail dalam surat al-muzammil ayat 2, “قُمِ اللَّيْلَ إِلاّ قَلِيلاً، نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلاً” bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya). Ayat ini dinasakh dengan turunnya ayat ke 20 pada tahun berikutnya. Termasuk juga menasakh ayat ini adalah surat al-Isra ayat 79, “وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ” “Dan pada sebahagian malam hari bershalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu”. Demikianlah, penghapusan kewajiban sholat malam menjadi sunnah, terkait periode turunnya ayat dan bukan urutan pada mushaf al-Qur’ān.
kelima, Hukum yang dimansūkh memiliki kepatutan secara waktu, tempat dan keadaan untuk dibebankan kepada manusia, dalam arti pemberlakuan hukum tidak dalam waktu, tempat dan keadaan yang terbatas. Sebagai contoh dalam surat al-Baqarah ayat 109, “...فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ...”, artinya, Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Terkait ayat ini, Abū Ja’fār al-Thabārī mengemukakan riwayat berikut,
أَخْبَرَنَا ابُنْ نَاصِرٍ، قَالَ: أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ أَيُّوبَ قَالَ: أَخْبَرَنَا ابْنُ شَاذَانَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ النَّجَّادُ، قَالَ: أَخْبَرَنَا أَبُو داود السجستاني، قال: بنا أحمد ابن مُحَمَّدٍ الْمَرْوَزِيُّ، قَالَ أَخْبَرَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ، عَنِ الرَّبِيعِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ {فَاعْفُوا وَاصْفَحُواِ} قَالَ: نُسِخَ بِقَوْلِهِ: {قَاتِلُوا الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الآخِرِ} الآية
Bahwa ayat ke 109 dalam surat al-Baqarah dihapus hukumnya dengan surat at-Taubah ayat ke 29, “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian”
Menurut Ibnu al-Jauzi(10) , ayat ini tidak termasuk yang dimansūkh, karena konteks ayat tersebut dibatasi oleh waktu. Bahwa memang perintah memaafkan dan membiarkan para ahli kitab itu sampai Allah mendatangkan perintahnya. Dan konteks yang terbatas waktu tidak tidak ada nasakh di dalamnya .(11)
B. PERBEDAAN AL-INSĀ’ DAN AL-NASAKH
Al-insā’ tidak termasuk dalam al-nasakh. Al-insā’ adalah perubahan hukum yang terjadi karena sebab-sebab tertentu. Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al-Anfāl ayat 65-66,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ (65) الْآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ (66)
“Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antaramu, mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.(65) Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika di antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. (66)”
Perubahan hukum tersebut di atas terjadi karena perubahan keadaan ummat Islam. Perintah perang dalam ayat ini terkait bertambahnya kekuatan ummat Islam, adapun ketika dalam keadaan lemah maka wajib bagi ummat Islam bersabar.
Hal ini berbeda dengan al-nasakh yang merupakan penghapusan perintah syari’at secara permanen. Sebagaimana contoh firman Allah dalam surat al-Mujadilah ayat 12,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرٌ لَكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيم
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ayat ini berisi larangan mengadakan pembicaraan khusus dengan Nabi saw sebelum melakukan shadaqah. Ibnu Katsir menuliskan riwayat dari Mujahid bahwa Ali ra, datang menemui Nabi saw setelah bershadaqah satu dinar, dan kemudian setelah itu hukumnya di nasakh (hapus). Ali berkata tidak ada sebelum dan sesudahku yang berbuat sepertiku.
Lebih lanjut dari Ibnu Katsir, bahwa Rasulullah bertanya kepada Ali, Bagaimana pendapatmu; dengan satu dinar? Ali berkata, mereka tidak mampu. Nabi berkata, bagaimana kalau setengah dinar? Ali berkata, mereka tidak mampu. Nabi berkata, apa pendapatmu? Ali berkata, emas sebutir gandum. Nabi berkata, sungguh engkau orang yang zuhud. Ali berkata,” maka disebabkan olehku Allah memberikan keringanan kepada ummat ini.”(12)
C. DALIL-DALIL KEBOLEHAN AL-NASAKH
Para ulama membahas kebolehan al-nasakh ini didasari pada ayat-ayat berikut, surat al-Baqarah ayat 106, “…مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ” Ayat mana saja yang Kami nasakhkan. Surat al-naḫl ayat 101,
وَإِذَا بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ آيَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.” Dan surat al-ra’du ayat 39,
يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Umulkitab (Lauh al-mahfuz).”
Demikian pula sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas ra, bahwasanya Umar ibn al-Khattab pernah berkata,
أَقْرَؤُنَا أُبَيٌّ، وَأَقْضَانَا عَلِيٌّ، وَإِنَّا لَنَدَعُ مِنْ قَوْلِ أُبَيٍّ، وَذَاكَ أَنَّ أُبَيًّا يَقُولُ: لاَ أَدَعُ شَيْئًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ". وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا}.(13)
“Yang paling paling memahami al-Qur’an diantara kami adalah Ubay, namun demikian kamipun meninggalkan sebagian perkataannya, karena ia mengatakan: “aku tidak akan meninggalkan sedikitpun segala apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah saw. Padahal Allah telah berfirman, “apa saja ayat yang Kami Nasakhkan atau Kami jadikan manusia lupa kepadanya.”
Adapun untuk mengetahui al-nāsikh dan al-mansūkh, menurut al-Qathan ada beberapa cara, Pertama, Dalil yang lugas dalam al-Qur’an dan Riwayat dari Nabi saw atau para sahabatnya. Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al-Baqarah ayat 187,
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ...
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”. Ayat ini merupakan dalil yang lugas ”sharīḫ” tentang penghapusan larangan berhubungan suami istri pada malam ramadhan, menjadi sesuatu yang dibolehkan.
Demikian pula riwayat yang lugas dari Nabi saw tentang tentang ziyarah kubur, “نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا…”(14) aku dulu pernah melarang kalian berziarah kubur, maka sekarang berziarah kuburlah”
Kedua, kesepakatan ummat bahwa sebuah ayat menasakh ayat yang lain, dan Ketiga, mengetahui turunnya ayat dalam perspektif sejarah, mana yang lebih awal dan yang lebih akhir.(15) Penting untuk dijadikan pedoman bahwa menentukan nāsikh dan mansūkh adalah riwayat yang shahih dari para sahabat, bukan hasil ijtihad maupun pendapat para ahli tafsir.
D. MACAM-MACAM NASAKH
Pertama, Nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an. Dalam hal ini para ulama menyepakati kebolehannya, dan tidak terjadi perbedaan pendapat di dalamnya. Kedua, Nasakh al-Qur’an dengan Ḫadits Ahad, Sebagian besar ulama meniadakan kebolehannya. Hal ini dikarenakan al-Qur’an itu mutawatir, sedangkan tidak boleh menasakh sesuatu yang mutawatir dengan yang ahad. Ketiga, Nasakh al-Qur’an dengan Ḫadits mutawatir. Dalam hal ini sebagian ulama membolehkan dan sebagian lain menentangnya. Diantara yang membolehkan adalah Malik, Abu Hanifah dan Ahmad ibn Hanbal. Dalil yang mereka gunakan adalah al-Qur’an surat al-Najm ayat 3 & 4,
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4)
“dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya.(3) Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), (4)”
Sedangkan yang tidak membolehkannya diantaranya adalah al-Tsaurī, Syafi’i. ia mengemukakan dalil surat al-Baqarah ayat 106. Bahwa yang dapat menasakh adalah dalil yang sebanding. Sedangkan hadits tidak sebanding dengan al-Qur’an. Al-Suyuti mengutip dari Syafi’i bahwa dimanapun al-Qur’an itu dinasakh dengan sunnah harus ada dalil al-Qur’an yang menguatkan pula.(16)
Keempat, Nasakh Sunnah dengan al-Qur’an. Dalam hal ini jumhur ulama menyepakatinya. Sebagaimana surat al-Baqarah ayat 144, “... فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ...” maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidilharam. Abu Dawud meriwayatkan bahwa sebelum ayat ini turun Rasulullah saw sholah menghadap bait al-maqdis selama 13 bulan.(17)
E. JENIS NASAKH DALAM AL-QUR’AN
Pembahasan ini terbagi dalam tiga bagian, yaitu, (1). Penghapusan hukum dan tulisannya, (2). Penghapusan tulisan namun hukumnya tetap, dan (3). Penghapusan hukum namun tulisannya tetap.
Pertama, Penghapusan hukum dan bacaan. Misalnya riwayat berikut, dari Mujahid bin Jabr,
قال بْنُ أَبِي دَاوُدَ: وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُثْمَانَ الْعِجْلِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا سَيْفٌ عَنْ مُجَاهِدٍ4 قَالَ: (إِنَّ الأَحْزَابَ كَانَتْ مِثْلَ الْبَقَرَةِ أَوْ أَطْوَلَ).(18)
“bahwa surat al-Ahzab seperti surat al-Baqarah atau lebih panjang darinya.” Demikian pula riwayat dari Abu Musa al-Asy’ari,
قَالَ أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي دَاوُدَ، وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الملك الدقيقي، قال: أنبأنا عفان، قال: بنا حماد، قالت بنا عَلِيُّ [بْنُ] زَيْدٍ عَنْ أَبِي حرب (ابن) 1 أَبِي الأَسْوَدِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي مُوسَى2 قَالَ: نَزَلَتْ سُورَةٌ مِثْلُ بَرَاءَةٌ ثُمَّ رُفِعَتْ.(19)
“telah diturunkan sebuah surat seperti al-barā’ah kemudian dihapuskan.”
Kedua, Penghapusan tulisan namun hukumnya tetap. Sebagaimana riwayat dalam Shahih al-Bukhari bahwa Umar ra pernah berkata,
إِنَّ اللَّهَ بَعَثَ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالحَقِّ، وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ الكِتَابَ، فَكَانَ مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ آيَةُ الرَّجْمِ، فَقَرَأْنَاهَا وَعَقَلْنَاهَا وَوَعَيْنَاهَا، رَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ، فَأَخْشَى إِنْ طَالَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُولَ قَائِلٌ: وَاللَّهِ مَا نَجِدُ آيَةَ الرَّجْمِ فِي كِتَابِ اللَّهِ، فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيضَةٍ أَنْزَلَهَا اللَّهُ، وَالرَّجْمُ فِي كِتَابِ اللَّهِ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى إِذَا أُحْصِنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ، إِذَا قَامَتِ البَيِّنَةُ، أَوْ كَانَ الحَبَلُ أَوِ الِاعْتِرَافُ.(20)
“sesungguhnya Allah swt mengutus Muhammad saw dengan benar dan menurunkan kepadanya al-Qur’an. Dan didalam apa yang diturunkan kepadanya terdapat ayat rajam, maka aku membacanya, mempelajari dan menjaganya. Dan Rasulullah saw pernah melakukan perajaman dan kamipun melakukan setelahnya. Lalu aku khawatir dengan berlalunya zaman yang panjang maka ada dari manusia yang mengatakan, kami tidak mendapatkan hukum rajam dalam kitabullah. Lalu mereka mengalami kesesatan dengan meninggalkan suatu kewajiban yang telah diturunkan Allah swt. Maka rajam itu benar terhadap seorang pezina yang telah menikah baik laki-laki maupun perempuan jika terdapat bukti atau hamil atau pengakuan.”
Ayat mansūkh yang dimaksudkan adalah “الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما البتة نكالًا من الله، والله عزيز حكيم” orang tua laki-laki dan perempuan apabila keduanya berzina, maka rajamlah keduanya itu dengan pasti sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Demikian pula masih dalam riwayat yang sama, terdapat contoh ayat yang mansūkh, “أَنْ لاَ تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ، فَإِنَّهُ كُفْرٌ بِكُمْ أَنْ تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ”(21) janganlah kalian membenci bapak-bapak kalian. Sesungguhnya hal itu adalah kekufuran bagi kalian dengan membenci bapak-bapak kalian.
Ketiga, Penghapusan hukum namun tulisannya tetap. Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat at-Taubah ayat 41,
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Ayat ini mansūkh oleh ayat-ayat yang menjelaskan tentang udzur seperti dalam surat al-Nūr ayat 61,
لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَى حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ...
“Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri.”
Ayat ke 41 surat al-taubah tersebut di atas juga mansūkh oleh ayat ke 91,
لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلَا عَلَى الْمَرْضَى وَلَا عَلَى الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِنْ سَبِيلٍ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, atas orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,”
Mansūkh pula oleh ayat ke 122,
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Hikmah dari tetapnya tulisan tersebut, meskipun hukumnya mansūkh, selain sebagai pahala bagi mereka yang membacanya adalah sebagai pengingat akan kasih sayang Allah bagi manusia akan keringanan yang Allah berikan kepada hamba-Nya.
F. NASAKH BERPENGGANTI DENGAN TIDAK BERPENGGANTI
Nasakh adakalanya disertai dengan pengganti “badal” dan adapula yang tidak disertai dengan pengganti. Nasakh yang disertai dengan pengganti bisa lebih ringan, sama maupun lebih berat.
Nasakh tanpa badal sebagaimana telah disebutkan di atas adalah penghapusan keharusan bersedekah sebelum berbicara dengan Rasulullah saw. Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al-mujadalah ayat 12 dan dinasakh oleh ayat ke 13nya.
Adapun contoh nasakh dengan badal yang lebih ringan adalah firman Allah ta’ala dalam surat al-Baqarah ayat 183 tentang keringanan dimalam bulan Ramadhan,“... كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ ...” sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian. Ayat ini mansūkh berdasarkan ayat ke 187, “أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ” Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu. Demikian pula surat al-Muzzammil ayat ke 2 dengan ayat ke 20 dan surat al-Isra ayat 79.
Nasakh dengan badal yang serupa, misalnya sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al-Baqarah ayat 144. Tentang pemindahan arah kiblat dari bait al-Maqdis ke bait al-Haram.
Nasakh dengan badal yang lebih berat adalah seperti penghapusan hukuman penahanan di rumah, dalam ayat ke 15 surat al-Nisa,
وَاللَّاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا
“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya.”
Hukum dalam ayat ini mansukh oleh surat al-Nūr ayat 2,
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ...
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera,”
PENUTUP
Al-nāsikh dan al-mansūkh selain merupakan alat bagi para mujtahid untuk penetapan hukum juga memiliki kandungan hikmah yang banyak. Selain hikmah utama akan otoritas dan kehendak Allah atas hamba-Nya, juga memberikan keringanan hukum bagi manusia. Penting bagi para pengkaji al-Qur’an untuk berhati-hati dalam melakukan pengkajian atas tema ini.
CATATAN KAKI
- Muhammad al-Sayyid Jibrīl, al-Manhaj al-Qawīm Ila ‘Ulūm al-Qur’ān al-Karīm, (Cairo: Muassasatu al-Falāh, 2007), hlm 207.
- Ia hidup antara tahun 150-224 H. Merupakan salah satu ulama fiqh, ḫadīts dan qirā-at. Mempelajari fiqh kepada imām al-Syāfi’ī dan sahabat Abu Hanifah seperti al-Qādhi Abū Yusuf dan Muhammad bin al-Ḫasan al-Syaibānī. Ibn al-‘Anbāri pernah bertutur, bahwa Abū ‘Ubaid membagi malamnya menjadi tiga bagian, sepertiga awal untuk tidur, sepertiga kedua untuk sholat dan sepertiga akhir untuk menulis. Diantara tulisannya yang masyhur adalah Fadhāil al-Qur’ān, Garīb al-Qur’ān dan al-Nāsikh wa al-Mansūkh.
- Abū ‘Ubaid al-Qāsim ibn Salām, al-Nāsikh wa al-Mansūkh Fī al-Qur’ān al-‘Azīz, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 1418 H), hlm 4
- Sebagaimana dikutip oleh Ibnu al-Jauzi, Nawāsikh al-Qur’ān, (Saudi Arabia: Universitas Islam Madinah, cet. kedua, 1423 H), Jilid 1, hlm 21.
- Qatādah bin Di’āmah bin Qatādah bin ‘Azīz terlahir pada tahun 61 H dalam keadaan buta. Ia adalah seorang mufasir dan pakar dalam mufradāt bahasa Arab. Aḫmad bin Hanbal bertutur tentangnya, “Qatādah adalah salah satu hafidz dari kalangan ulama Bashrah”. Wabah tha’un pada 117 H mengantarkan Qatādah menemui Rabb-Nya,
- Qatādah bin Di’āmah, al-Nāsikh wa al-Mansūkh, (Beirut: Muassasatu al-Risālah, cet. ketiga 1998), hlm 6.
- Muhammad al-Sayyid Jibrīl, op.cit, hlm 209.
- Ibnu al-Jauzī, Op.cit, Jilid 1, hlm 127.
- Qatādah bin Di’āmah, Loc.cit. Lihat juga Mannā’ al-Qathan, Mabāhits Fi Ulūm al-Qur’ān, (Saudi Arabia: Maktabah al-Ma’ārif, cet. ke3 1421 H), Hlm 238.
- Namanya adalah Jamāl al-Dīn Abū al-Faraj ‘Abd al-Rahmān bin ‘Alī bin Muhammad al-Jauzī. Ulama besar dari Iraq, seorang hāfidz, mufassir, muhadīts, dan pakar dalam sejarah. Diantara karya utamanya adalah, Zād al-Masīr Fī al-Tafsīr, Jāmi’ al-Masānid, al-Mugnī fī Ulūm al-Qur’ān, Tadzkirah al-Arīb fi al-Lugah, al-Maudhū’āt, al-dhuafā’, al-Wāhiyāt, al-Munadham fi al-Tārīkh, Nawāsikh al-Qur’ān, Garīb al-Hadīts, al-Wafā fī Fadhāil al-Mushthafā, dll. Sebagian majelisnya dihadiri lebih dari 100 ribu jama’ah, terdiri dari masyarakat umum hingga para raja. wafat pada tahun 597 H pada usia 89 tahun.
- Ibnu al-Jauzī, Op.cit, Jilid 1, hlm 194.
- Abu al-Fida Isma’il Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, (Beirut: Dar Thoyibah, cet. kedua 1420 H), Jilid 8, hlm 50.
- Muhammad bin Ismā’īl al-Bukhārī, Shaḫīḫ al-Bukhari, (Saudi Arabia: Dār Thuwaiq al-Najah, cet pertama, 1422 H), Jilid 6, hlm 19, no 4481.
- Muslim bin al-Ḫajjaj al-Naisābūrī, Shaḫīḫ al-Muslim, (Beirut: Dār Ihyāu Turāts al-‘Arabiy, tth), Jilid 2, hlm 672, hadits no 977.
- Mannā’ al-Qathan, op.cit, hlm 240.
- Jalāl al-Dīn al-Suyūthī, al-Itqān Fi ‘Ulūm al-Qur’ān, (Cairo: al-Hay-ah al-Mishriyah al-‘Āmmah li al-Kitāb), Jilid 3, hlm 68.
- Lihat Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Maktabah al-‘Ashriyah, tth), Jilid 1, hlm 140, hadits no 547.
- Ibnu al-Jauzī, Op.cit, Jilid 1, hlm 159.
- Ibid,
- Muhammad bin Ismā’īl al-Bukhārī, op.cit, Jilid 8, hlm 168, nomor 6830.
- Ibid.
- Ibid
DAFTAR PUSTAKA
- Muhammad al-Sayyid Jibrīl, al-Manhaj al-Qawīm Ila ‘Ulūm al-Qur’ān al-Karīm, (Cairo: Muassasatu al-Falāh, 2007).
- Abū ‘Ubaid al-Qāsim ibn Salām, al-Nāsikh wa al-Mansūkh Fī al-Qur’ān al-‘Azīz, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 1418 H).
- Ibnu al-Jauzi, Nawāsikh al-Qur’ān, (Saudi Arabia: Universitas Islam Madinah, cet.
- Qatādah bin Di’āmah, al-Nāsikh wa al-Mansūkh, (Beirut: Muassasatu al-Risālah, cet. ketiga 1998).
- Mannā’ al-Qathan, Mabāhits Fi Ulūm al-Qur’ān, (Saudi Arabia: Maktabah al-Ma’ārif, cet. ke3 1421 H)
- Abu al-Fida Isma’il Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, (Beirut: Dar Thoyibah, cet. kedua 1420 H)
- Muhammad bin Ismā’īl al-Bukhārī, Shaḫīḫ al-Bukhari, (Saudi Arabia: Dār Thuwaiq al-Najah, cet pertama, 1422 H).
- Muslim bin al-Ḫajjaj al-Naisābūrī, Shaḫīḫ al-Muslim, (Beirut: Dār Ihyāu Turāts al-‘Arabiy, tth).
- alāl al-Dīn al-Suyūthī, al-Itqān Fi ‘Ulūm al-Qur’ān, (Cairo: al-Hay-ah al-Mishriyah al-‘Āmmah li al-Kitāb).
- Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Maktabah al-‘Ashriyah, tth).