Sigit Suhandoyo. Ayat-ayat dalam al-Qur’an menunjukkan makna tersurat dan tersirat. Makna yang tersurat atau ditunjukkan secara jelas oleh teks ayat disebut dengan manthûq dan makna yang tersirat atau mafhûm yang berdasarkan pemahaman, baik pemahaman tersebut bersesuaian dengan manthûq maupun bertentangan dengannya.
Kajian ringkas tentang manthûq dan mafhûm dalam naskah ini membahas tentang macam, definisi dan contoh-contohnya dalam al-Qur’an.
PEMBAHASAN
A. MANTHÛQ
Manthûq adaalah “مَا دَلَّ عَلَيْهِ اللَّفْظُ فِي مَحَلِّ النُّطْقِ”(1) yaitu sesuatu petunjuk yang terdapat secara jelas oleh sebuah lafadz pada tempat pembicaraan. Manthûq terbagi dalam lima macam, yaitu nash, dzāhir, mu’awwal, dalālah iqtidā dan dalālah isyārah.
1. Nash
Nash adalah “ما أفاد بنفسه معنى صريحًا لا يحتمل غيره”(2) lafadz menunjukkan suatu makna yang tidak mungkin mengandung makna lain. As-Suyuthi mengutip pendapat al-Juwaini bahwa tujuan dari nash adalah menunjukkan makna yang berdiri sendiri dengan yakin dan menghilangkan kemungkinan adanya penakwilan dan makna-makna lain.
Sebagai contoh nash adalah surat al-Baqarah ayat 196,
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ
“Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.”
Penyebutan teks sepuluh dengan sempurna pada ayat di atas menghilangkan kemungkinan sepuluh itu diartikan secara metafora. Kewajiban puasa tiga hari dalam masa haji dan 7 hari setelah pulang haji, tidak membua peluang bagi penafsiran yang lain.
Contoh lain tentang nash adalah surat al-Nur ayat 4,
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.
Ayat ini menunjukkan dengan jelas tentang : pertama, 80 kali hukuman dera bagi orang yang memfitnah wanita beriman berbuat zina. Kedua, tidak diterima kesakian mereka untuk selama-lamanya dan ketiga, ditetapi sebagai orang fasik. Masing-masing aturan ini ditunjukkan oleh teks Al-Qur'an, secara jelas dipelajari secara eksplisit. Signifikansi ketiga hukuman menunjukkan tanda yang sama dan sebangun, tidak memberikan kemungkinan penafsiran yang lain.
Contoh lain nash pada ayat ke 3 surat al-Nisa:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Ayat ke 3 surat al-Nisa ini menunjukkan dengan jelas tentang; pertama kebolehan menikah. Kedua kebolehan poligami hingga 4, dan ketiga wajib membatasi diri hanya 1 istri jika dikhawatirkan tidak berlaku adil.
2. Dzāhir
Dzāhir adalah “ما أفاد بنفسه معنى صريحًا واحتمل غيره احتمالًا مرجوحًا” yaitu lafadh yang menunjukkan sesuatu makna yang segera bisa dipahami ketika ia diucapkan, tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah (marjuh). Maka, dhahir itu sama halnya dengan nash dalam hal penunjukannya kepada makna yang berdasarkan pada ucapan. Akan tetapi, dari segi lain ini berbeda dengannya karena nash hanya menunjukkan satu makna secara tegas dan tidak mengandung kemungkinan menerima makna lain. Sedangkan dhahir, selain menunjukkan satu makna ketika diucapkan, ia juga memberikan kemungkinan makna lain yang meskipun lemah.
Misalnya firman Allah:
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ
Artinya: “Maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas…” (QS. Al-Baqarah: 173).
Lafadh “al-bagh” digunakan untuk makna al-jahil (bodoh dan tidak tahu) dan al-dhalim (melampaui batas). Tetapi pemakaian untuk makna kedua lebih tegas dan popular sehingga makna inilah yang kuat (rajah), sedangkan makna yang pertama lemah (marjuh).
Contoh lain seperti firman Allah:
وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka bersuci... (QS. Al-Baqarah: 222).
Ayat di atas mempunyai dua kemungkinan makna, kata thuhr dapat diartikan sebagai berhenti haidh suci, dan mandi. Namun penunjukan kata thuhr dengan makna kedua yaitu mandi lebih konkrit dan jelas (dhahir) sehingga itulah makna yang rajih, sedangkan penunjukan kepada makna yang pertama adalah marjuh.
3. Muawwal
Muawwal, “ما حمل لفظه على المعنى المرجوح لدليل” yaitu sebuah lafadh yang diartikan dengan makna marjuh karena ada sesuatu dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna rajah. Ada perbedaan antara muawwal dan dhahir; dhahir diartikan dengan makna yang rajah sebab tidak ada dalil yang memalingkannya kepada marjuh, sedangkan muawwal diartikan dengan makna marjuh karena ada dalil yang memalingkan dari yang rajih.
Misalnya firman Allah:
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ
Artinya: Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan (QS. Al-Isra’: 24).
Lafadh janah aslinya mempunyai arti sayap sedang dzull bermakna rendah, namun ayat ini lebih condong dimaknai dengan hendah hati, tawadhu’ dan bergaul dengan baik kepada kedua orang tua, tidak diartikan dengan makna yang pertama
4. Dalālah Iqtidā
Dalālah Iqtidā adalah, “ما توقفت دلالة اللفظ فيه على إضمار”(3) yaitu sebuah lafadz yang maknanya bergantung pada seuatu yang tersembunyi atau tidak disebutkan. Sebagai contoh adalah firman Allah ta’ala dalam surat al-Nisā ayat 23.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ...
“Diharamkan atas kamu ibu-ibumu;”
Makna dari lafadz tersebut diatas bergantung pada sesuatu yang tidak disebutkan, yaitu "وطء" أو "نكاح" berhubungan badan atau menikahi. Pengharaman ibu tidak disandarkan secara umum melainkan pada suatu perbuatan yang tersembunyi atau tidak disebutkan dalam ayat.
5. Dalālah Isyārah
Dalālah Isyārah adalah “ما دل لفظه على ما لم يقصد به قصدا أوليًّا بل من لازمه”(4) yaitu sebuah lafadz yang maknanya tidak tidak dimaksudkan dari makna awal melainkan pada makna yang diisyaratkan dari lafadz tersebut, karena tidak dapat dihindari.
Sebagai contoh adalah firman Allah ta’ala dalam surat al-Baqarah ayat 187,
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ...
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”
Ayat ini menunjukkan sebuah isyarat akan sahnya puasa bagi orang yang pada pagi harinya masih berada dalam keadaan junub. Karena ayat ini menghalalkan hubungan suami-istri hingga terbit fajar, sehingga tidak terhindarkan terjadinya pula junub hingga terbit fajar.
Contoh lain tentang dalālah isyārah adalah, surat al-Nisa ayat ke 3,
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Selain menunjukkan nash yang jelas, ayat ini juga menunjukkan dalālah Isyārah. Jika takut tak dapat berlaku dalam berpoligami, maka nikahilah 1 saja. Teks ini menunjukkan juga isyarat bahwa berlaku adil kepada istri adalah wajib, meski hanya seorang istri. Kezaliman terhadap istri adalah dilarang.
Dalam kajian tentang dalālah isyārah ini, para ulama berbeda pendapat apakah dalālah isyārah termasuk dalam pembahasan manthūq atau mafhūm.
B. MAFHÛM
Mafhum secara bahasa berarti faham atau dapat difahami. Secara ishtilahi, mafhum adalah, “ما دل عليه اللفظ لا في محل النطق”(5) yaitu makna yang ditunjukkan oleh lafadh tidak berdasarkan pada bunyi bacaan. Para ulama’ berpendapat bahwa sebagian besar dilalah didasarkan pada teks (nash). Dilalah nash juga diambil dari teks, karena ia juga difahami dari pengertian bahasa pada suatu teks. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa semua dilalah di atas adalah dilalah al-manthuq, dan berbeda dengan dilalah mafhum.
Para ulama membagi mafhum menjadi dua bagian pokok, yaitu: a) Mafhum muwafaqah atau juga dinamai dengan dilalah nash, dan b) mafhum mukhalafah.
1. Mafhūm muwafaqah
Mafhūm muwafaqah adalah ”ما وافق حكمه حكم المنطوق”(6) makna yang hukumnya sesuai dengan manthuq. Bisa juga diartikan makna yang tidak tersirat sejalan dengan makna yang tersurat. Mafhum muwafaqah dibagi menjadi dua bagian:
a). Faḫwal khitāb
Faḫwal khitāb yaitu apabila makna yang difahami lebih digunakan hukumnya daripada makna yang tertulis. Sebagai contoh tentang keharaman mencaci maki orang tua yang dipahami firman Allah dalam surat al-Isra ayat 23,:
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ
Artinya: “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”
Makna yang tertulis dari ayat ini adalah larangan mengatakan “uff”, atau secara adat dalam budaya kita “ah” kepada kedua orang tua. Oleh karena itu menyakiti hati, mencaci maki, apalagi memukulnya juga haram karena merupakan mafhum muwafaqah dari ayat di atas.
b) Laḫnul khitāb
Laḫnul khitāb yaitu apabila hukum mafhum sama nilainya dengan hukum mantuq. Misalnya dalalah firman Allah:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya (QS. Al-Nisa’: 10).
Ayat ini menunjukkan pula keharaman membakar harta anak yatim atau menyia-nyiakan dengan cara berbuat kerusakan dengan cara apapun. Dalalah demikian disebut dengan lahnul khitab, karena ia sama nilainya dengan memakan harta tersebut sampai habis tidak tersisa sama sekali.
Baik faḫwal khitāb dan laḫnal khitāb termasuk mafhūm muwafaqah, disebabkan makna yang tidak disebutkan itu hukumnya sesuai dengan hukum yang ucapkan, meskipun hukum itu memiliki nilai tambah pada yang pertama dan sama pada yang kedua.
2. Mafhūm Mukhalafah,
Mafhūm Mukhalafah adalah “مَا يُخَالِفُ حُكْمُهُ الْمَنْطُوقَ”(7) yaitu, lafadz yang hukumnya menyelisihi manthūq. Dikatakan juga bahwa Mafhūm Mukhalafah adalah “دلالة اللفظ على ثبوت حكم للمسكوت عنه مخالف لما دل عليه المنطوق”(8) yaitu lafadz yang ditetapkan oleh hukum yang tidak terucapkan berbeda makna yang dikandung oleh manthuq.
Oleh karena itu, suatu nash sekaligus dapat menunjukkan dua hukum, yaitu; hukum yang langsung ditunjukkan oleh bunyi (manthuq) suatu nash dan hukum yang difahami dari kebalikan nash tersebut. Jika lafadh nash menunjukkan pada hukum halal dengan adanya batasan (qayd), maka nash tersebut juga dapat dipahami sebagai hukum yang mengharamkan, ini terjadi apabila qaydnya tidak ada.
Sebagai contoh firman Allah ta’ala dalam surat al-Nisa ayat 25,
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ
Artinya: “Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki” (QS. Al-Nisa’: 25).
Secara manthuq, ayat tersebut menunjukkan adanya hukum halal (diperbolehkan) bagi seorang yang merdeka menikahi hamba sahaya dengan batas (qayd): orang tersebut tidak mampu menikah dengan wanita yang merdeka. Di samping itu, ayat tersebut dapat difahami secara kebalikan (mafhum mukhalafah) dari bunyinya, yakni haramnya seseorang yang merdeka menikahi hamba sahaya, bila orang tersebut mampu menikah dengan wanita yang merdeka.
Mafhum Mukhalafah terbagi dalam beberapa jenis. Diantaranya yaitu: mafhūm sifat, mafhūm syarat, mafhūm tujuan dan mafhūm pembatasan.
a) Mafhum sifat,
Mafhum sifat yaitu pemahaman yang diperoleh dari menetapkan hukum dalam bunyi manthuq suatu nash yang dibatasi dengan sifat maknawiyah yang terdapat dalam lafadh, dan jika sifat tersebut telah hilang, maka terjadilah kebalikan hukum tersebut, semisal dalam firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 7
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti.
Ayat ini memberikan pengertian bahwa jika pembawa berita bukan seorang fasik maka isi berita tidak wajib di diadakan tabayun. Dengan demikian berita dari seorang yang adil wajib diterima.
b) Mafhum syarat.
Mafhum syarat yaitu pemahaman yang diperoleh dari menetapkan kebalikan suatu hukum yang tergantung pada syarat, atau bersamaan dengan syarat jika syarat tersebut tidak terwujud. Sebagai contoh firman Allah:
وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Artinya: “Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka mereka melahirkan.” (QS. Al-Thalaq: 6).
Ayat di atas memberi penjelasan bahwa kewajiban membari nafkah kepada istri yang telah diceraikan dan tengah menjalani masa ‘iddah itu dibatasi jika istri yang diceraikan tersebut sedang mengandung. Oleh karena itu, dapat diambil mafhum mukhalafahnya, bahwa jika istri yang diceraikan tersebut tidak sedang hamil, maka mantan suami tidak wajib memberikan nafkah kepadanya.
c) Mafhum Tujuan
Mafhum Tujuan yaitu pemahaman yang diperoleh dari menetapkan hukum yang berada di luar tujuan nash, bila hukum tersebut dibatasi dengan tujuan. Hal ini memunculkan pertanyaan apakah batas yang ditetapkan ayat termasuk dalam tuntutan ayat atau tidak. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 230:
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
Artinya: Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.
Ayat di atas mafhumnya adalah, istri tersebut halal bagi suami pertama sesudah ia nikah dengan suami yang lain, dengan memenuhi syarat pernikahan. Ini karena ada “حَتَّى” kata sebagai tujuan, diperbolehkannya menikah lagi dengan mantan suami setelah si istri sudah menikah dengan suami lain yang menceraikannya.
d) Mafhum pembatasan
Mafhum pembatasan adalah pemahaman yang diperoleh dari membatasi hukum dari segi manthūq dan mafhūm dibatasi untuk tidak keluar dari pembatasan tersebut. Sebagai contoh firman Allah ta’ala dalam surat al-fatihah ayat 5,
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”
Manthūq dari ayat tersebut adalah bahwasanya beribadah itu kepada Allah dan memohon pertolongan juga kepada Allah. Mafhūmnya adalah jangan beribadah kepada selain Allah dan jangan pula meminta pertolongan kepada selain Allah.
PENUTUP
Manthuq adalah makna teks yang terdapat pada ayat yang tidak mengandungi kemungkinan pengertian yang lain, sedangkan mafhum adalah makna yang diperolah bukan dari teks yang tertulis melainkan makna diluar teks atau makna yang tersirat.
Manthuq dan mafhum terkait erat dengan proses pengambilan hukum dari al-Qur’ān. Meski terdapat perbedaan pendapat tentang kehujjahan mafhum, mayoritas ulama tetap menerima mafhum sebagai hujjah.
Catatan Kaki
- Jalāl al-Dīn al-Suyūthī, al-Itqān Fi ‘Ulūm al-Qur’ān, (Cairo: al-Hay-ah al-Mishriyah al-‘Āmmah li al-Kitāb), Jilid 3, hlm 104
- Ibid
- Fahd al-Rūmī, Dirāsat Fi ‘Ulūm al-Qur’ān, (Riyadh: Hak Cetak Pribadi, 2003), hlm 446.
- Ibid.
- Ibid, hlm 448
- Ibid.
- Jalāl al-dīn al-Suyuthi, op.cit, Jilid 3, hlm 106
- Fahd al-Rūmī, op.cit, hlm 450